Jean
Baudrillard dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981) mengajukan
gagasan tentang bagaimana simulasi telah menggantikan realitas di dunia modern.
Ia menekankan bahwa kita tidak lagi hidup dalam dunia yang merujuk pada
realitas, melainkan pada citra dan representasi yang tidak ada rujukan aslinya.
Simulasi menjadi realitas baru yang kita jalani sehari-hari. Ini membawa kita
pada pertanyaan mendasar: apakah kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahunnya
masih merujuk pada realitas perjuangan dan identitas bangsa, atau sudah menjadi
sekadar simulasi?.
Indonesia,
yang kini memiliki lebih dari 221 juta pengguna internet, berada di
persimpangan ini. Ketika kita berbicara tentang kemerdekaan, kita berbicara
tentang sebuah sejarah perjuangan panjang melawan penjajahan. Namun, di era
digital ini, makna dari kemerdekaan tersebut bisa jadi terdistorsi oleh
citra-citra yang diproduksi dan disebarkan secara masif melalui media sosial
dan platform digital lainnya. Perayaan kemerdekaan di era ini tidak lagi hanya
diisi dengan upacara bendera dan pembacaan teks proklamasi, tetapi juga dengan
postingan di media sosial yang menampilkan simbol-simbol kemerdekaan.
Simbol-simbol ini, dalam pandangan Baudrillard, bisa saja telah kehilangan
makna aslinya dan menjadi sekadar simulasi yang kita konsumsi setiap tahun.
Literasi
Digital di Era Simulasi
Literasi
digital menjadi salah satu alat paling penting untuk bertahan dalam era
simulasi ini. Namun, literasi digital yang kita butuhkan bukan hanya sekadar
kemampuan teknis untuk menggunakan perangkat digital. Seperti yang dijelaskan
oleh Faithe Wempen dalam Digital Literacy for Dummies (2020), literasi
digital mencakup kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menyaring
informasi dengan kritis. Di sinilah tantangan terbesar kita: bagaimana
membekali masyarakat, terutama generasi muda, dengan keterampilan untuk
membedakan antara realitas dan simulasi?
Sekolah,
sebagai lembaga pendidikan, memiliki peran penting dalam membentuk kecerdasan
literasi digital ini. Ron Ritchhart dalam Creating Cultures of Thinking
(2014) menekankan pentingnya budaya sekolah yang mendukung berpikir kritis dan
reflektif. Budaya ini harus diarahkan untuk mempersiapkan siswa menghadapi
gelombang informasi yang melimpah dengan bijaksana. Ini bukan hanya soal
mengajarkan cara menggunakan internet atau media sosial, tetapi juga tentang
bagaimana mereka dapat memeriksa keabsahan informasi, memahami konteks, dan
menganalisisnya dengan kritis.
Namun,
tantangan ini tidak bisa dihadapi oleh sekolah saja. Keluarga dan masyarakat
juga harus terlibat dalam membangun kecerdasan literasi digital ini. Kolaborasi
antara sekolah, keluarga, dan komunitas menjadi kunci untuk menciptakan
lingkungan yang mendukung pengembangan literasi digital yang kuat dan
bertanggung jawab. Dalam istilah Ki Hadjar Dewantara, Tripusat Pendidikan.
Pendidikan
karakter menjadi salah satu aspek penting dalam menghadapi tantangan era
digital di tripusat pendidikan ini. Namun, pendidikan karakter yang kita
butuhkan di era ini harus mampu beradaptasi dengan realitas baru yang dibentuk
oleh simulasi. Christopher Peterson dan Martin Seligman dalam Character
Strengths and Virtues (2004) menekankan pentingnya pendidikan karakter yang
kuat untuk membentuk individu yang mampu menghadapi berbagai tantangan hidup.
Di era digital ini, pendidikan karakter harus mampu membekali siswa dengan
nilai-nilai moral yang kuat yang dapat diterapkan dalam konteks digital.
Integrasi
pendidikan karakter dengan literasi digital menjadi sangat penting. Sekolah
harus memastikan bahwa siswa tidak hanya dilatih dalam keterampilan teknis,
tetapi juga dalam nilai-nilai moral yang dapat membantu mereka menavigasi dunia
digital dengan bijaksana. Ini berarti mengajarkan siswa untuk menghargai
integritas, tanggung jawab, dan empati dalam interaksi digital mereka. Dalam
dunia di mana simulasi bisa dengan mudah mengaburkan batas antara yang benar
dan yang salah, pendidikan karakter yang kuat menjadi benteng pertahanan yang
tidak bisa diabaikan.
Nicholas
Carr dalam bukunya The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains
(2010) mengajukan argumen bahwa paparan berlebihan terhadap informasi yang
dangkal dapat mengganggu kemampuan otak untuk fokus dan berpikir mendalam. Ini
menjadi ancaman serius bagi generasi muda yang tumbuh dalam era digital. Tanpa
keterampilan literasi digital yang memadai, mereka berisiko kehilangan
kemampuan untuk berpikir kritis dan mendalam, yang sangat penting dalam
pembentukan karakter yang kuat.
Sementara
Eli Pariser dalam The Filter Bubble: How the New Personalized Web Is
Changing What We Read and How We Think (2012) menambahkan bahwa algoritma
digital bisa menciptakan "gelembung filter" yang membatasi paparan
informasi dan memperkuat pandangan sempit. Ini bisa menyebabkan siswa terjebak
dalam lingkaran informasi yang hanya memperkuat pandangan mereka sendiri, tanpa
pernah menantang atau mempertanyakan keyakinan mereka. Untuk melawan dampak
ini, sekolah dan masyarakat harus berperan aktif dalam menyediakan lingkungan
yang mendorong dialog terbuka dan pemikiran kritis. Keterampilan literasi
digital yang kuat adalah senjata utama untuk melawan efek negatif dari
gelembung filter ini.
Membangun
Ketahanan Bangsa Melalui Literasi dan Karakter
Dalam
konteks Indonesia, membangun ketahanan bangsa di era digital memerlukan
pendekatan yang holistik. Pendidikan literasi digital harus menjadi prioritas
utama, baik di sekolah maupun di rumah. Namun, literasi digital tidak bisa
berdiri sendiri; ia harus diintegrasikan dengan pendidikan karakter yang kuat.
Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa generasi muda Indonesia siap
menghadapi tantangan era digital dengan kepala tegak dan hati yang bersih.
Pemerintah,
sekolah, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang
mendukung pengembangan literasi digital dan pendidikan karakter. Ini berarti
tidak hanya menyediakan akses ke teknologi, tetapi juga memastikan bahwa
teknologi tersebut digunakan dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Dalam hal
ini, kita harus mencontoh negara-negara yang telah berhasil mengintegrasikan
literasi digital dan pendidikan karakter dalam kurikulum mereka.
Ulang
tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-79 harus menjadi momen refleksi, bukan
hanya terhadap masa lalu, tetapi juga terhadap masa depan. Di era digital ini,
kemerdekaan harus didefinisikan ulang dalam konteks simulasi yang semakin
mendominasi kehidupan kita. Kita harus bertanya pada diri sendiri: apa arti
kemerdekaan di dunia yang semakin didominasi oleh simulasi? Bagaimana kita bisa
memastikan bahwa kita tetap merdeka, bukan hanya secara politik, tetapi juga
secara mental dan spiritual?.
Jean
Baudrillard mengingatkan kita bahwa dalam dunia simulasi, realitas bisa saja
hilang atau terdistorsi. Oleh karena itu, tugas kita sebagai bangsa yang
merdeka adalah untuk terus mempertahankan kemampuan kita untuk membedakan
antara realitas dan ilusi. Ini adalah perjuangan baru yang harus kita hadapi
dengan semangat yang sama seperti ketika kita berjuang untuk meraih
kemerdekaan.
Sebagai
penutup, kemerdekaan di era digital bukan hanya tentang kebebasan dari
penjajahan fisik, tetapi juga kebebasan dari penjajahan kesadaran. Dengan
mengembangkan literasi digital yang kuat dan pendidikan karakter yang kokoh,
kita bisa memastikan bahwa kita tetap merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Ini
adalah bentuk kemerdekaan yang lebih dalam, yang tidak hanya berbicara tentang
kebebasan bergerak atau berekspresi, tetapi juga tentang kebebasan untuk
berpikir secara kritis, memahami secara mendalam, dan bertindak dengan
bijaksana di tengah gelombang informasi digital yang melanda.
Di
tengah derasnya arus informasi, kita harus menjadi bangsa yang cerdas, yang
mampu memilah dan memilih mana yang benar-benar bermanfaat dan mana yang
sekadar ilusi. Indonesia yang merdeka di era digital adalah Indonesia yang
rakyatnya tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen gagasan
yang kritis dan inovatif. Ini adalah Indonesia yang tidak hanya merayakan
kemerdekaan sebagai upacara tahunan, tetapi juga sebagai prinsip hidup yang
terus dijaga dan diperjuangkan di setiap lini kehidupan, terutama dalam
menghadapi tantangan baru di era simulasi ini.
Pada
akhirnya, tugas besar kita adalah memastikan bahwa generasi mendatang tidak
hanya mewarisi kebebasan politik yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu
kita, tetapi juga mewarisi keb asan intelektual dan moral yang mampu bertahan
di tengah simulasi yang terus berkembang. Ini adalah tantangan yang harus kita
jawab bersama, dengan semangat yang sama seperti semangat kemerdekaan itu
sendiri.
Kita
harus berani untuk tidak hanya mempertahankan, tetapi juga memperluas makna
kemerdekaan di era digital ini. Dengan mempersiapkan generasi yang memiliki
literasi digital yang kuat dan karakter yang kokoh, kita tidak hanya menjaga
kemerdekaan yang telah kita miliki, tetapi juga memastikan bahwa kita tetap
menjadi bangsa yang merdeka, baik dalam pikiran, perbuatan, maupun dalam jiwa,
di tengah dunia yang terus berubah dan semakin kompleks ini.***