Wednesday, February 28, 2024

Kurikulum yang Dirancang “Berdamai dengan Perubahan”

Oleh: Syamsul Kurniawan (Kaprodi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)

HARUS diakui, bahwa zaman ini trennya semakin maju, yang mestinya diikuti dengan kemampuan adaptasi masyarakat di zaman ini. Semua sektor kehidupan selayaknya bisa beradaptasi dengan kemajuan yang ada, tak terkecuali sektor pendidikan. Hanya saja dalam kenyataannya masih banyak guru yang belum bisa beradaptasi dengan kemajuan tersebut, termasuk guru-guru agama Islam, dan tidak memiliki kemampuan mendidik mahasiswanya sesuai selera zaman.

Khalifah kedua dalam sejarah umat Islam, yaitu Umar ibn Khattab, pernah mengatakan, “Didiklah anak-anakmu itu berlainan dengan keadaan kamu sekarang karena mereka telah dijadikan Tuhan untuk zaman yang bukan zaman engkau.” Penyataan ini jelas berlaku secara umum pada semua pendidik, termasuk orang tua dan juga guru yang mestinya bisa berdamai dengan perubahan. Khususnya guru agama, ini harusnya bisa diperhatikan.

Pada zaman ini, tidak selayaknya lagi guru agama Islam yang masih sebatas menekankan pada penguasaan content based (materi pengetahuan), berlangsung secara teacher-centered (berpusat pada guru), dan berorientasi pada tujuan yang dirumuskan sepihak oleh mereka sendiri., meskipun masalah keberhasilan pendidikan bisa dilihat dari banyak faktor, namun sulit menampik bagaimana kecenderungan ini bisa menyebabkan kegagalan dalam proses pendidikan.

Jika masalahnya ada pada kompetensi guru-guru agama Islam, muaranya bisa saja dari tempat memproduksinya, yaitu pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Program Studi Pendidikan Agama Islam. Jika sejauh ini guru-guru agama Islam nyaman dengan model belajar, di mana siswa-siswa mereka “secara pasif” mendengarkan ceramah mereka (delivery system), atau menghafal materi tertentu, dan mengerjakan soal-soal pilihan ganda atau esai yang mereka berikan, bisa jadi itu karena demikianlah mereka pelajari saat mereka kuliah. Mereka terkondisikan menjadi guru agama Islam yang dominan dalam menentukan materi dan metode mengajarnya, dan siswa kurang dilibatkan dalam proses belajarnya. Akar masalahnya, bisa jadi ada pada kurikulum Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, yang memproduksi mereka demikian.

Menyadari pentingnya peran fungsional guru agama Islam dalam optimalisasi pendidikan agama Islam di sekolah, maka pengkondisian kurikulum yang dicicipi oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan jadi sebuah keharusan untuk dibenahi. Tidak hanya tentang bagaimana kurikulum Program Studi Pendidikan Agama Islam di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan perlu dirancang menjadi solusi atas masalah di atas, yang juga penting adalah bagaimana kurikulum pada Program Studi bisa dirancang secara multidispliner,  interdisipliner dan bahkan transdisipliner, yang memungkinkan mahasiswa tidak hanya mendapatkan mata kuliah yang berhubungan dengan bidangnya tetapi juga mata kuliah lain yang memperkuat kompetensinya sebagai mahasiswa calon guru pendidikan agama Islam. Tidak boleh kurikulum dirancang mendikotomikan antara agama dan sains.

Jelas di dalam Islam, tidak dikenal dikotomi keilmuan.  Sebagai pedoman umat Islam, al-Quran juga menguatkan hubungan antara agama dan sains iniAl-Quran menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang selanjutnya harus menjadi paradigma dalam menyusun kurikulum. Pengembangan eksperimen-eksperimen sains yang berdasarkan pada paradigma al-Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang kemudian dikuasai oleh mahasiswa-mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam yang kelak akan menjadi guru Pendidikan Agama Islam.

Paradigma kurikulum ini dapat menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif, yang “mungkin saja” akan berguna bagi mereka yang hidup di era disrupsiDengan kurikulum yang non dikotomik, yang dirancang secara multisipliner, interdisipliner dan bahkan transdisipliner, jelas memungkinkan premis-premis normatif al-Quran dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur transedental al-Quran adalah sebuah ide normatif  dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoritis. Paradigma kurikulum ini akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang empiris, dalam artian sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi secara umum, dan yang beririsan dengan kemashlahatan umat Islam khususnya.

Maka yang perlu dilakukan dalam merumuskan kurikulum adalah merekonstruksi pandangan terhadap ilmu-ilmu yang digali dari sumbernya yang berupa ayat-ayat Al-Qur‘an dan hadits serta ayat-ayat kauniyah, sehingga dapat Kembali pada kesatuan transdental semua ilmu pengetahuan. Tidak sekedar terintegrasi melainkan juga terinterkonkesikan antara satu dengan yang lain. M. Amin Abdullah berpendapat, agar agama dan ilmu terintegrasi dan terinterkoneksi maka disiplin keilmuan tersebut perlu bekerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan. Dengan kata lain, modelnya adalah multidispliner, interdisipliner dan bahkan transdisipliner.

Usaha untuk membangun kesatupaduan dan keterhubungan antara keilmuan agama dan sains pada kurikulum Program Studi Pendidikan Agama Islam di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan dalam pengertian ini, maknanya adalah menjadikan keilmuan mengalami proses objektifikasi di mana keilmuan tersebut dirasakan oleh mahasiswa yang kelak menjadi guru agama sebagai suatu yang natural atau sewajarnya, bukan sebagai praktik keagamaan. Sementara itu bagi siswanya yang belajar dengannya kelak, bisa tetap menganggapnya sebagai bagian dari praktik keagamaan dan dinilai sebagai amal ibadah. Ini memungkinkan ilmu-ilmu dalam agama Islam menjadi rahmat bagi semua orang dan alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Jadi poinnya ada dua, dalam upaya melakukan pengembangan kurikulum Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, yaitu: satu, kurikulum hendaknya bisa dirancang tidak an sich menekankan pada penguasaan content based (materi pengetahuan), dan jangan pula menkondisikan mahasiswa menganggap pembelajaran berlangsung secara teacher-centered (berpusat pada guru) sebagai sesuatu yang baik. Kedua, kurikulum hendaknya bisa dirancang secara integratif dan interkonektif dalam pengertiannya yang multidisipliner, interdisipliner dan bahkan transdisipliner.

Jika ini bisa diwujudkan, maka harapan untuk mewujudkan Program Studi Pendidikan Agama Islam mengarah pada apa yang disebut Merdeka Belajar Kampus Merdeka bukanlah suatu hal yang mustahil.***

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...