Thursday, March 21, 2024

Reformasi Kelembagaan Pendidikan Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan 

BANYAK ahli mengungkapkan urgennya pengembangan sumber daya manusia (SDM), khususnya melalui peranan fungsional pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut teori human capital, pendidikan memberi pengaruh pada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan keterampilan dan produktivitas kerja.Theodore W. Schultz pada tahun 1961 mengungkapkan bahwa Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi dalam sumber daya manusia, selain kesehatan dan migrasi. 

Demikian juga Robert M. Solow pemenang Nobel bidang ekonomi pada tahun 1987 menekankan peranan ilmu pengetahuan dan investasi sumber daya manusia dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Dari teori Solow yang kemudian dikembangkan menjadi teori baru pertumbuhan ekonomi (The New Growth Theory) tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan dasar pertumbuhan ekonomi. 

Seperti yang diungkap Schutz dan Solow serta ahli-ahli ekonomi lainnya bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam pertum-buhan ekonomi melalui peningkatan kualitas SDM.Hal ini dapat dilihat pada negara Jepang misalnya, dimana kemajuan ekonomi yang didapatnya sekarang tak lepas dari peranan pendidikan. 

Sistem pendidikan Jepang yang baik terbukti bisa menghasilkan manusia-manusia berkualitas, sehingga walaupun hancur setelah mengalami kekalahan pada Perang Dunia II, mereka dapat cepat bangkit maju dan bahkan bersaing dengan negara yang mengalah-kannya dalam pe-rang. Negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura juga memperlihatkan fenomena yang tidak jauh berbeda dari Jepang, dimana kemajuan ekonomi yang mereka dapat adalah karena tingginya kualitas SDM-nya. Agaknya keadaan di Indonesia berbeda jauh sekali dengan negara-negara tersebut. Dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang relatif lebih banyak, tapi negara kita ternyata jauh tertinggal.

 

Oleh karena itu reformasi pendidikan – perlu dilakukan sekarang juga walaupun hal itu terasa amat terlambat – dan harus diseriusi. Reformasi berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar. Reformasi berimplikasi pada merubah sesuatu, menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan kebijakan institusional. Beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidang tertentu yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa yang lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan, adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu institusi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti negara sekalipun.Sedangkan yang dimaksudkan dengan reformasi pendidikan dalam tulisan ini adalah upaya perbaikan pada kelembagaan pendidikan, khususnya kelembagaan pendidikan Islam. 

Kenapa ini penting kita bincangkan? Seperti yang diuraikan di atas, bahwa keadaan pendidikan di negeri kita pada masa sekarang sangat mengkhawatirkan. Pendidikan kita hingga saat ini belum mampu membawa Indonesia keluar dari lingkaran krisis yang berkepanjangan. Sementara kita mafhum, bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, lumayan banyak jumlahnya, dalam bentuk yang juga beragama, sebutlah: pesantren, madrasah, dan sekolah bercirikan Islam.

 

Bukan saja itu, krisis moral juga menjadi bagian yang menambah deret persoalan yang dihadapi bangsa kita, yang mayoritas berpenduduk memeluk Islam. Seperti yang bisa kita simak di berita-berita di setiap harinya, kasus tawuran antar pelajar; mahalnya biaya masuk sekolah; sarana dan prasarana pendidikan yang tak tercukupi di banyak sekolah, terutama di daerah perbatasan, sampai tentang tragedi contek massal yang pernah mewarnai momen ujian nasional, dan lain-lain. Sebagian persoalan yang saya sebut tersebut, merupakan salah satu alasan tentang pentingnya melakukan reformasi kelembagaan pendidikan, khususnya kelembagaan Islam. 

Pada aras ini, reformasi kelembagaan pendidikan Islam harusnya memiliki dua karakteristik dasar yaitu “terprogram” dan “sistemik”. Reformasi kelembagaan pendidikan Islam yang terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu lembaga pendidikan Islam. Adapun yang termasuk ke dalam reformasi terprogram ini adalah inovasi. Inovasi adalah memperkenalkan ide baru, metode baru atau sarana baru untuk meningkatkan beberapa aspek dalam proses pendidikan agar terjadi perubahan secara kontras dari sebelumnya dengan maksud-maksud tertentu yang ditetapkan. Seorang reformer terprogram memperkenalkan lebih dari satu inovasi dan mengembangkan perencanaan yang terorganisir dengan maksud adanya perubahan dan perbaikan untuk mencapai tujuan baru. Biasanya inovasi pendidikan terjadi terlebih dahulu sebelum terjadinya reformasi kelembagaan pendidikan. Meskipun dalam kasus berbeda, bisa sebaliknya. Dalam konteks kelembagaan pendidikan Islam, hal ini juga relevan. 

Sementara itu reformasi sistemik berkaitan dengan adanya hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem kelembagaan pendidikan Islam secara keseluruhan. Hal ini sering kali terjadi di luar pesantren, madrasah, dan sekolah bercirikan Islam yang berada pada kekuatan sosial dan politik. Karakteristik reformasi sistemik ini sulit sekali diwujudkan karena menyankut struktur kekuasaan yang ada. 

Sebagai penutup, reformasi kelembagaan pendidikan Islam saya ibaratkan sebagai pohon yang terdiri dari empat bagian yaitu akar, batang, cabang dan daunnya. Akar reformasi yang merupakan landasan filosofis yang tak lain bersumber dari cara hidup (way of life) masyarakatnya. Sebagai akarnya reformasi pendidikan adalah masalah sentralisasi-desentralisasi, masalah pemerataan-mutu dan siklus politik pemerintahan setempat. Sebagai batangnya adalah berupa mandat dari pemerintah dan standar-standarnya tentang struktur dan tujuannya. Dalam hal ini isu-isu yang muncul adalah masalah akuntabilitas dan prestasi sebagai prioritas utama. Cabang-cabang reformasi kelembagaan pendidikan Islam adalah manajemen lokal, pemberdayaan liyai/ ustadz/ guru, perhatian pada daerah setempat. Sedangkan daun-daun reformasi pendidikan adalah keterlibatan orang tua/ wali peserta didik dan keterlibatan masyarakat untuk menentukan misi sekolah yang dapat diterima dan bernilai bagi masyarakat setempat. Terdapat tiga kondisi untuk terjadinya reformasi pendidikan yaitu adanya perubahan struktur organisasi, adanya mekanisme monitoring dari hasil yang diharapkan secara mudah yang biasa disebut akuntabilitas dan terciptanya kekuatan untuk terjadinya reformasi.

Strategi reformasi kelembagaan pendidikan Islam di atas barangkali sudah sering dibicarakan, didiskusikan bahkan diagendakan oleh pemerintah, namun agaknya berjalan masih “setengah hati”. Karena itu yang terpenting dari agenda reformasi kelembagaan pendidikan Islam menurut saya adalah komitmen, bukan sekadar diwacanakan, tapi betul-betul dikerjakan.***

Sunday, March 17, 2024

Pers Mahasiswa, Masihkah Menjanjikan?


Oleh: Syamsul Kurniawan

Pasal 1 ayat (1) UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan tentang definisi pers:

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

 Sementara pada Pasal 1 ayat (2) disebutkan: "Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi." 

Membaca kedua ketentuan dalam UU Pers tersebut maka posisi pers mahasiswa memang tak bisa sepenuhnya disebut sebagai badan usaha pers. Karena itu, payung eksistensial pers mahasiswa menurut saya tak bisa keluar dari badan hukum di kampus yang dianut atau organisasi mahasiswa yang mewadahinya.

Lepas dari persoalan eksistensial pers mahasiswa, saya melihat saat ini semestinya manajemen pers mahasiswa merupakan hasil transformasi sosial dan politik kehidupan pers mahasiswa; dari semula hanya berorientasi sekadar kekuatan pengontrol kebijakan kampus dan non-kampus yang otoritarian, atau dalam konteks HMI sebagai pengontrol organisasi, melebarkan sayapnya tidak hanya sebagai pengontrol kebijakan kampus atau organisasi menjadi kekuatan pembangkit kesadaran dan kebutuhan “publik pembacanya” terhadap aneka kepentingan publik itu sendiri.

Pers mahasiswa juga harus tahu selera pasar. Itulah juga sebabnya mengapa pers mahasiswa sekarang, perlu menata dirinya untuk mereorientasikan ke mana dirinya hendak melangkah lebih jauh. Maka langkah awal yang perlu dan harus dilakukan pengelola pers mahasiswa generasi sekarang adalah dengan melakukan review atau audit atas kebutuhan, keinginan, dan kepentingan para pembacanya terhadap kehadiran pers mahasiswa di masing-masing kampus. Pers mahasiswa karenanya tidak boleh berjarak dengan pembacanya.

Strategi yang bisa dipertanggungjawabkan adalah dengan membuat semacam riset apa saja keinginan dan kebutuhan pembaca tersebut. Biasanya ini tugas bagian “Penelitian dan Pengembangan (Litbang)” yang idealnya dimiliki di suatu lembaga pers mahasiswa. Tidak hanya mengurusi penelitian, Litbang juga harus mengagendakan diskusi rutin yang diikuti selurus pengurus internal lembaga pers mahasiswa.

Setelah ini, lalu dilakukan reformat atas produk pers mahasiswa. Dari mulai metode rekruitmen anggota baru, reposisioning konten dan format penerbitan, hingga reformasi di bidang manajemen administrasi dan pemasaran.

***

Bukan maksud saya hendak menggiring pers mahasiswa menjadi sepenuhnya berorientasi kepada pers umum komersial. Tapi itu penting mengingat reformasi manajemen pers mahasiswa menurut saya menjadi sangat urgen dewasa ini, yang mana menempatkan posisioning pers mahasiswa secara tepat.

Salah satu “persoalan manajerial” yang menonjol pada tubuh pers mahasiswa dari dulu yang saya amati (sejak saya masih mengelola lembaga pers mahasiswa) adalah sulitnya memperoleh kader-kader yang berkualitas. Pada awalnya, ketika melakukan rekruitmen, tersedia cukup banyak –bahkan kadangkala terlalu banyak—calon-calon pengurus pers mahasiswa. Namun seiring perkembangan waktu, jumlah mereka pun semakin menyusut. Inilah “hukum alam” dalam istilah saya dulu dan kawan-kawan. Acapkali tinggal beberapa orang saja dari generasi baru ini yang bertahan hingga puncak karier di kepengurusan pers mahasiswa.

Apa penyebabnya? Apakah pers mahasiswa sebenarnya telah kehilangan daya tariknya bagi sebagian mahasiswa? Ini seperti persoalan sederhana. Tapi memiliki efek yang besar bagi pengembangan artikulasi kehidupan pers mahasiswa di masa depan.

Semestinya, regenerasi para pengelola pers mahasiswa kini mulai dijadikan perhatian serius oleh pengelola sekarang, jika tak ingin pers mahasiswa bakal menjadi “fosil dinosaurus”, tinggal kenangan dalam jangka waktu tak terlalu lama lagi. Pengelola pers mahasiswa juga mesti bekerja keras menemukan minat setiap generasi baru pers mahasiswa itu, agar tidak semua kader diarahkan pada bidang redaksi, tapi masih cukup banyak yang tersisa untuk mengisi bidang-bidang lain yang tak kalah prestisius. Seperti bidang administrasi, bidang pelatihan dan pengembangan (litbang), serta bidang usaha (periklanan dan distribusi).

Dalam konstelasi pergerakan, pers mahasiswa seringkali menjadi satu kesatuan dari pergerakan mahasiswa. Nyaris setiap muncul momentum gerakan mahasiswa, elemen-elemen pers mahasiswa memberikan support yang penting. Melalui gagasan-gagasan yang disampaikannya, ia turut menggelorakan momentum pergerakan tersebut untuk turut bersama meraih satu tujuan tertentu.

Bagaimana seandainya momentum gerakan sedang tidak berkembang? Apa yang harus dilakukan pengurus pers mahasiswa untuk menjaga ritme dinamika organisasinya? Postur dan potret organisasi pers mahasiswa dalam hemat saya tidak memiliki standar yang baku. Setiap organisasi pers mahasiswa bisa mendesain struktur organisasinya sesuai kebutuhan di setiap kampus/ atau organisasi yang mewadahinya. Karakter setiap kampus/ organisasi akan menentukan corak dan struktur organisasi tersebut. Di kampus/ organisasi yang cenderung konservatif pemimpinnya, tentu akan memberikan ruang tumbuh yang berbeda dengan di kampus/organisasi yang pemimpinnya lebih bergaya progresif.

Satu hal yang menarik, model organisasi pers mahasiswa memungkinkan dikembangkannya sikap-sikap egalitarian dan menyuburkan sifat demokrasi di antara para pengelolanya. Sikap-sikap otoritarian tidak bisa menemukan ruang untuk hidup di dalam organisasi pers mahasiswa. Hanya saja, salah satu titik lemah organisasi pers mahasiswa adalah cara pengelolaannya yang acapkali terlalu bersifat paguyuban. Egalitarianisme tidak dengan serta merta mesti melarutkan gaya pengelolaan organisasi yang serius (untuk tidak menyebutnya dengan “profesional”). Hubungan yang terlalu cair diantara pengelola pers mahasiswa membuat hampir semua urusan bisa ditoleransi. Akibatnya, sejumlah program yang awalnya biasa dirancang, ternyata hanya berhenti di atas lembaran-lembaran kertas: “tak kunjung diterbitkan”.

***

Menilik pengalaman semacam ini, di masa mendatang organisasi pers mahasiswa saya kira menjadi miniatur organisasi pers komersial. Posisinya tetap masih menjanjikan. Mengapa demikian? Pasalnya, fakta membuktikan bahwa sampai hari ini pers mahasiswa masih menjadi sumber terbesar pemasok SDM industri pers. Termasuk saat terjadi pergeseran dari pers yang memproduksi tulisan-tulisan yang dicetak, ke tulisan-tulisan yang disebar secara online.*** 

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...