Sunday, November 12, 2023

Enam Masalah yang Disoroti dari Sekolah/ Madrasah Kita

Oleh: Syamsul Kurniawan

Sekurang-kurangnya ada enam masalah yang bisa kita soroti dari sekolah/madrasah kita: satu, sekolah/madrasah cenderung membekali siswa/i-nya pengetahuan akademik, dan sementara keterampilan hidup (life skill) kurang diperhatikan. Dua, sekolah/madrasah kita cenderung menjejali siswa/i-nya dengan banyak pelajaran namun serba dangkal. Kecenderungan menjejali siswa/i dengan banyak pelajaran ini senyatanya juga tidak terbukti membawa manfaat positif bagi siswa/i kala melanjutkan studinya di jenjang berikutnya (contoh: Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah ke Perguruan Tinggi Umum/ Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) dan/atau di dunia kerja; tiga, sekolah/ madrasah mengarahkan model pendidikannya untuk mencetak “worker” ketimbang “employee”;[1] empat, sekolah/ madrasah kita mencetak profil lulusan yang menganggur dan suram hidupnya serta menjadi input buruk di Perguruan Tinggi Umum/ Perguruan Tinggi Keagamaan Islam;[2] lima, sekolah (pengecualian: madrasah) membekalkan banyak pengetahuan dan keterampilan, hanya saja waktunya cenderung minimum;[3] enam, pendidikan agama Islam di sekolah/ madrasah kurang membagikan pengetahuan dan keterampilan agama yang sifatnya substantif dan bahkan juga cenderung dikotomik dengan pelajaran-pelajaran yang didapat oleh siswa/i.

Dengan demikian tantangannya adalah bagaimana mencetak lulusan-lulusan sekolah/ madrasah yang tidak hanya berpengetahuan akademik, tapi juga berketerampilan hidup (life skill), tidak hanya menerima pelajaran tetapi pula mendapatkan “pengalaman belajar” dan tahu “caranya bagaimana belajar”, tidak hanya dibekali kemampuan bekerja tetapi juga kemampuan menciptakan lapangan kerja, tidak hanya sekedar lulus tetapi betul-betul lulusan berkualitas yang siap bekerja atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, tidak hanya mumpuni dari sisi akademis tetapi pula mumpuni dalam sisi agamanya, dan tidak hanya tahu agama tetapi juga betul-betul mengamalkannya, dan tidak pernah berpikir memisahkan agama dari kehidupannya.***   



[1] Kedua istilah ini jelas berbeda tekanannya. Jika “worker”, adalah pekerja yang sebatas bekerja berdasarkan perintah dari atasannya dan menerima imbalan yang cenrung tetap, sementara “employee” adalah pekerja-pekerja yang bekerja berdasar pada insiatif dan kreatifitasnya, sehingga penghasilannya yang ia dapatkan pun tidak tetap, yang besarannya ia tentukan sendiri. Jalaluddin Rakhmat, “AFTA Mengancam Lembaga Pendidikan di Indonesia”, dalam Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, dan Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997). Betul, bahwa tidak ada sekolah/madrasah yang terang-terangan mencantumkan dalam brosur-brosur promosinya, bahwa lulusannya bakal siap bekerja di suatu bidang, atau lulus di prodi-prodi tertentu yang ingin disasar, kecuali Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan sekolah-sekolah kedinasan. Namun, dengan menyandang ijazah, lulusan-lulusan dari sekolah/ madrasah cenderung mengejar posisi-posisi sebagai pegawai di dunia kerja, dan nampak segan bekerja di luar jalur tersebut. Kalaupun melanjutkan ke perguruan tinggi, prodi yang dipilihpun adalah prodi-prodi yang mereka percayai bisa mengantarkan mereka sebagai pegawai. Sehingga wajar, saat lulus ijazah mereka seperti jimat yang mereka bawa kemana-mana untuk melamar kerja, sementara mereka minim keterampilan hidup (life skill). Padahal, meminjam istilah Rocky Gerung, “ijazah itu adalah tanda seseorang pernah sekolah, bukan penanda ia berpikir.” Moh. Zen dalam disertasinya meneliti kehidupan “orang laut” di Riau dan membandingkan penghasilan dari mereka yang hanya tamat SD dan tamat SMA. Mereka yang tamat SMA malah menjadi miskin, oleh karena hanya mengidam-idamkan kerja kantoran (yang kalaupun diterima kerja) yang gajinya jauh lebih kecil ketimbang penghasilan mereka yang profesinya melaut walaupun hanya tamatan SD. Tampaknya belum ada penelitian yang baru seputar ini. Lihat Moh.Zen, “DInamika Pendidikan ‘Orang Laut’ Sebagai Suatu Profil Operasionalisasi Pendidikan Nasional”, Disertasi, Pascasarjana, IKIP Bandung, 1994.

[2] Udin Supriadi dan Munawar Rahmat mengungkap hasil penelitiannya mengungkap tentang bagaimana sekitar 50% lulusan SMP yang tidak melanjutkan studinya ke jenjang SMA/MA dan sekitar 70% lulusan SMA yang tidak melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi Umum/ Perguruan Tinggi Keagamaan Islam kurang mampu bersaing di dunia kerja. Di perguruan tinggi ia menjadi input yang buruk. Oleh karenanya keduanya, menyoroti sisi akhlak dan karakter yang kurang diperhatikan di jenjang-jenjang ini, padahal menurut keduanya pintar saja tidak cukup. Udin Supriadi dan Munawar Rahmat, “Urgensi Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Akhlak, dan Pendidikan Karakter di Sekolah”, dalam Prosiding Seminar Nasional Agama Islam 2019: Pendidikan Agama Islam dan Penguatan Karakter Religius dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0, Malang, 14 Maret 2019. ISBN: 978-623-93947-5-2., 6-15 [12]. Sehingga wajar ini beririsan dengan kualitas lulusan perguruan tinggi (baik Perguruan Tinggi Umum/ Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) yang juga buruk, dan bahkan lebih parah. Setidaknya menurut Bimo Ario Tejo. Dalam kolomnya, Tejo mengungkap bagaimana – dalam contoh kasus di Tasik Malaya – pada tahun 2019, tingkat pengangguran lulusan Diploma/ Sarjana berada di kisaran 6% hingga 7%, jauh di atas tingkat pengangguran lulusan SD yang hanya 2,7% dan SMP 5% berdasarkan data BPS tahun 2019. Baca: Bimo Ario Tejo, “Sarjana Menganggur dan Revolusi Pendidikan Tinggi”, Kolom, Detik.com, 30 September 2019,  https://news.detik.com/kolom/d-4727746/sarjana-menganggur-dan-revolusi-pendidikan-tinggi, Akses 12/11/2019.

[3] Udin Supriadi dan Munawar Rahmat menyoroti bagaimana banyak sekolah yang hanya membekalkan siswa/i nya pelajaran agama dua jam dalam satu minggu. Akibatnya, seringkali dari siswa/i tersebut (sebutlah yang beragama Islam) tidak memiliki keterampilan minimum seperti keterampilan membaca Al-Qur‘an. Keterampilan yang seharusnya telah dikuasai oleh siswa SD ini seyogyanya banyak pula yang belum menguasainya meski telah menyandang status mahasiswa. Kalaupun ada dari siswa yang bisa membaca Al-Qur’an dengan baik, biasanya keterampilan tersebut didapat di luar sekolah, seperti di Taman Pendidikan Al-Qur‘an. Hanya berdasarkan penelitian Supriadi dan Rahmat, mereka yang masuk Taman Pendidikan Al-Qur‘an hanya 10%-30% siswa SD. Udin Supriadi dan Munawar Rahmat, “Urgensi Pendidikan Agama Islam…”, 12.

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...