Oleh: Syamsul Kurniawan
MODEL etnopedagogi bisa dikatakan relatif baru sebagai diskursus dalam model-model pendidikan di Indonesia. Berbagi pendapatnya tentang ini, adalah AC Alwasilah, K. Suyadi, T. Karyono dalam bukunya berjudul Etnopedagogi: Landasan Praktik Pendidikan dan Pendidikan Guru, mengatakan bahwa kearifan lokal yang menjadi sumber belajar peserta didik, tetap mesti diberikan interpretasi baru agar relevan dengan kebutuhan belajar peserta didik. Hal yang perlu dimafhumi, baik bagi pendidik dan peserta didik, bahwa kearifan lokal memiliki karakteristik seperti: satu, berdasarkan pengalaman; dua, telah diuji secara empirik selama bertahun-tahun; tiga, dapat diadaptasi oleh budaya modern; empat, melekat pada keseharian individu dan/atau lembaga; lima, lazim dilakukan oleh individu dan/atau kelompok; enam, sifatnya dinamis; dan tujuh, berhubungan dengan sistem kepercayaan masyarakat.[1]
Peluang
Model
etnopedagogi dalam pembelajaran layak dipertimbangkan pada praksis pendidikan
di sekolah/madrasah. Apalagi, banyaknya kearifan lokal yang ada di
tengah-tengah masyarakat Indonesia, bisa dijadikan sebagai daya dukung bagi
pencapaian tujuan pendidikan di sekolah/ madrasah. Namun demikian, berdasarkan
karakteristik yang melekat pada kearifan lokal tersebut, praksis model
etnopaedagogi otomatis sulit berdiri sendiri dengan ciri lokal ketradisionalannya
dan steril dari budaya global. Bagaimanapun, pada keduanya bisa saling
beririsan, membaur dan saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Oleh
sebab itu, model etnopedagogi dalam praksisnya di sekolah/ madrasah selayaknya
bisa mempertimbangkan keduanya sekaligus, agar pengalaman belajar peserta didik
bisa didapatkan secara komprehensif, dan hasilnya bisa optimal.
R.
Alexander dalam buku berjudul Culture and Pedagogy: International Comparison
in Primary Education menyitir adanya irisan antara pendidikan (pedagogy)
dengan kebudayaan (culture) di tengah-tengah masyarakat.[2] Apa yang disitir oleh
Alexander pada bukunya tersebut, dalam konteks ini menjadikan etnopaedagogi
menemukan relevansinya.
Seperti
telah disinggung, bahwa etnopaedagogi adalah model pendidikan yang memanfaatkan
sumber-sumber kearifan lokal sebagai sumber-sumber belajar. Harapannya peserta
didik tidak terasing dengan budayanya, dan karena sumber belajarnya didapat
dari sumber-sumber kearifan lokal pada budaya tersebut, mereka akan menyadari
betapa pentingnya pengetahuan dan keterampilan yang dihasilkan, disimpan, diterapkan,
dikelola, dan diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya, dan kesemuanya tersebut bisa menjadi modal mereka dalam
menyelesaikan masalah.
Model
etnopaedagogi adalah model pendidikan yang menekankan pentingnya memperhatikan
nilai-nilai tradisional pada budaya lokal, tanpa mengesampingkan perhatian pada
aspek-aspek budaya global, yang mana pembelajaran dipandang sebagai aktifitas
budaya.[3] Shimahara dan Sakai,
mengungkapkan bahwa model etnopaedagogi berupaya membangun relasi yang harmonis
antara pendidik dan peserta didik, dalam konstruksi pengetahuan, sikap,
keterampilan, dan budaya dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Berdasarkan
ini, kedudukan pendidikan dalam model etnopedagogi sangat strategis, khususnya
untuk membangun irisan dari kesemuanya tersebut.[4]
Kaitannya
dengan pencapaian tujuan pendidikan ini, dibutuhkan pendidik yang minimal
memiliki kemampuan dasar: satu, pengetahuan dasar tentang siswa dan bagaimana
mereka belajar serta berkembang dalam konteks sosial kebudayaan tertentu; dua,
pengetahuan seputar isi dan tujuan kurikulum, serta bagaimana mengajarkannya;
dan tiga, pengetahuan tentang mengajar yang mempertimbangkan aspek konten dan
peserta didik, serta bagaimana mengembangkan situasi kelas yang produktif, dan
bagaimana melakukan penilaiannya.
Menurut
Von Glasersfeld, para pendidik berkewajiban membangun struktur konseptual
melalui refleksi dan abstraksi, yang melibatkan interaksi edukatif yang
konstruktif baik dari sisi pengetahuan dan pengalaman belajar yang telah
dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru.[5] Dalam perspektif
konstruktivisme, tiap-tiap individu belajar dengan cara mengkonstruksi
pengetahuan yang mereka lakukan secara aktif ketimbang sekedar menyerap
informasi.[6]
Dalam
realisasinya, model etnopedagogi jelas tidak hanya membagi pengetahuan dan
nilai yang bersumber dari kearifan lokal, tetapi juga memberikan situasi yang
kondusif pada peserta didik sehingga mereka mendapatkan pengalaman belajar yang
memadai dari sumber belajar tersebut. Untuk optimalisasinya, tentu saja
dibutuhkan pendidik yang mampu mewujudkannya dalam konteks proses dan hasil.[7] Dari aspek proses,
pendidik dikatakan berhasil manakala mampu melibatkan sebagian besar peserta
didik secara aktif baik dalam pengertian fisik, mental maupun sosial dalam
proses pembelajaran. Sementara dari sisi hasil, pendidik dikatakan berhasil
manakala mereka mampu membangun mental peserta didik sejalan dengan tujuan yang
ingin dicapai.[8]
Tentunya yang dalam hal ini mesti berselaras dengan apa yang ingin dicapai dari
model etnopaedagogi, yaitu peserta didik tidak terasing dengan budayanya.
Tantangan
Dalam
konteks etnopedagogi, yang menjadi tantangannya adalah membangun lingkungan belajar
yang konstruktif dengan kebutuhan adaptasi peserta didik terhadap situasi
sosial dan kebudayaannya. Lingkungan belajar akan sangat berpengaruh terhadap
efektif tidaknya model etnopedagogi yang akan dikembangkan.
Lingkungan
sendiri secara kebahasaan (etymology) berasal dari kata “lingkung” yang
berarti sekeliling, sekitar, dan/atau seluruh suatu lingkaran daerah.[9] Secara istilah (terminology),
lingkungan bisa diartikan sebagai apapun material dan stimulus di dalam dan di
luar individu, baik yang sifatnya fisiologis, psikologis, dan sosio-kultural.
Dengan kata lain, kondisi yang ada dari ruang yang kita tempati, bisa disebut
sebagai lingkungan.[10] Dalam konteks pendidikan,
lingkungan menurut Syamsu Yusuf diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di
alam sekitar, yang memiliki makna dan pengaruh terhadap karakter atau sifat
dari seseorang baik secara langsung maupun tidak.[11]
Dengan
demikian, jika yang dimaksud adalah lingkungan belajar, maka bisa diartikan
sebagai lingkungan di mana peserta didik berada dalam situasi belajar, dan
lingkungan ini sangat berdampak pada tumbuh kembangnya kepribadian peserta
didik. Situasi lingkungan belajar yang baik akan mendukung bertumbuh-kembangnya
kepribadian yang positif dari peserta didik. Demikian pula lingkungan belajar
yang nyaman, akan membuat peserta didik kondusif dalam belajar dan mendapatkan
pengalaman belajar. Kaitan dengan etnopaedagogi ini, lingkungan belajar jelas
sangat penting. Setidaknya ada tiga macam lingkungan belajar yang berdampak
pada peserta didik, yaitu: satu, lingkungan fisik yang meliputi sarana dan prasarana
belajar, sumber belajar, dan media belajar; dua, lingkungan sosial yang
menyangkut hubungan peserta didik dengan teman-temannya, hubungan antar
pendidik, dan semua unsur yang ada; tiga, lingkungan akademis, yaitu situasi
lingkungan belajar yang konstruktif bagi pelaksanaan aktifitas pembelajaran dan
berbagai macam program lain yang mendukung aktifitas pembelajaran.[12]
Jika
kita merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2015
Tentang Standar Nasional Pendidikan, Pada Bab Tujuh, tentang Sarana dan
Prasarana, maka yang perlu diperhatikan dalam pengembangan etnopaedagogi di
sekolah/ madrasah, yaitu: satu, sarana yang mencakup perabotan, peralatan
pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis
pakai serta perlengkapan lainnya yang diperlukan dalam menunjang proses
pembelajaran, yang teratur dan berkelanjutan; dan dua, memiliki prasarana yang
meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik,
ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja,
ruang unit produksi, tempat rekreasi, dan ruang tempat lain yang diperlukan
untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan, yang kesemuanya
relevan bagi etnopedagogi.[13]
Di
lingkungan belajar yang konstruktif bagi model etnopaedagogi, pendidik berperan
membantu peserta didik dalam konteksnya sebagai fasilitator sehingga peserta
didik mampu mengkonstruksi pengetahuan dari sumber-sumber belajarnya menjadi
pengetahuannya. Pada ranah ini jelas pendidik tidaklah hanya membagi
pengetahuannya kepada peserta didik. Dalam konteks sebagai fasilitator,
pendidik fungsinya hanya memfasilitasi peserta didik sehingga mereka bisa
membangun pengetahuan mereka masing-masing, yang dalam konteks ini pengetahuan
yang bersumber dari kearifan lokal mereka. Jikapun pendidik membagi konsep,
ide, dan pengetahuannya tentang hal ini pada peserta didik mereka, pemindahan
itu tentu saja memberi peluang untuk diinterpretasikan kembali dan bahkan
dikonstruksi ulang oleh peserta didik melalui pemahaman dan pengalaman belajar
mereka sendiri.[14]***
DAFTAR
PUSTAKA
Alexander, R., Culture and Pedagogy: International
Comparison in Primary Education, London: Blackwell, 2000.
Alwasilah, AC, K. Suryadi, and T. Karyono, Etnopaedagogi:
Landasan Praktik Pendidikan dan Pendidikan Guru, Bandung: Kiblat Buku
Utama, 2009.
Glasersfeld, E. Von, ‘A Constructivist Approach to
Teaching’, in Constructivism in Education, ed. by LP Stelfe and J.
Galle, Hillsdale, NJ: Laurence Erlbaum, 1995.
Hoban, GF, ‘Theories and Models of Profesional
Development’, in Exploring Professional Development in Education, ed. by
RJ King, DM Hill, and JA Retallick, Riverwood; NSW: Social Science Press, 1997.
Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
Surabaya: Mitra Pelajar, 2005.
Mudri, M. Walid, ‘Kompetensi dan Peranan Guru dalam
Pembelajaran’, Jurnal Falasifa, vol. 1, no. 1, 2010, pp. 111–276.
Mulyasa, Menciptakan Pelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
Saguni, Fatimah, ‘Penerapan Teori Konstruktivis dalam
Pembelajaran’, Jurnal Paedagogia, vol. 8, no. 2, 2019, pp. 19–32.
Shimahara, NK and A. Sakai, ‘Teacher Internship and
the Culture of Theaching in Japan’, in Education and Training in Japan,
vol. II, ed. by Thomas Rohlen and Christoper Bjork, London: Routledge, 1998.
Stigler, WS and J. Hiebert, The Teaching Gap: Best
Ideas from the World; Teachers for Improving Education in the Classroom,
Newyork: The Free Press, 1999.
Supardi, Imam, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya,
Bandung: Alumni, 2003.
Surya, Muhammad, Psikologi Pendidikan, Jakarta:
Dirjen Dikdasmen Direktorat Kependidikan, 2004.
Yusuf, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
[1] AC
Alwasilah, K. Suryadi, and T. Karyono, Etnopaedagogi: Landasan Praktik
Pendidikan dan Pendidikan Guru (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2009).
[2] R.
Alexander, Culture and Pedagogy: International Comparison in Primary
Education (London: Blackwell, 2000).
[3] WS
Stigler and J. Hiebert, The Teaching Gap: Best Ideas from the World;
Teachers for Improving Education in the Classroom (Newyork: The Free Press,
1999).
[4] NK
Shimahara and A. Sakai, ‘Teacher Internship and the Culture of Theaching in
Japan’, in Education and Training in Japan, vol. II, ed. by Thomas
Rohlen and Christoper Bjork (London: Routledge, 1998).
[5] E. Von
Glasersfeld, ‘A Constructivist Approach to Teaching’, in Constructivism in
Education, ed. by LP Stelfe and J. Galle (Hillsdale, NJ: Laurence Erlbaum,
1995).
[6] GF Hoban,
‘Theories and Models of Profesional Development’, in Exploring Professional
Development in Education, ed. by RJ King, DM Hill, and JA Retallick
(Riverwood; NSW: Social Science Press, 1997).
[7] M. Walid
Mudri, ‘Kompetensi dan Peranan Guru dalam Pembelajaran’, Jurnal Falasifa,
vol. 1, no. 1 (2010), p. 112.
[8] Mulyasa, Menciptakan
Pelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), pp.
13–4.
[9] Hoetomo, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), p. 318.
[10] Imam
Supardi, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya (Bandung: Alumni, 2003), p.
2.
[11] Syamsu
Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2001), p. 54.
[12] Muhammad
Surya, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Dirjen Dikdasmen Direktorat
Kependidikan, 2004), p. 78.
[13] Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan.
[14] Fatimah
Saguni, ‘Penerapan Teori Konstruktivis dalam Pembelajaran’, Jurnal
Paedagogia, vol. 8, no. 2 (2019), p. 20.