Saturday, April 1, 2023

Etnopedagogi

Oleh: Syamsul Kurniawan

MODEL etnopedagogi bisa dikatakan relatif baru sebagai diskursus dalam model-model pendidikan di Indonesia. Berbagi pendapatnya tentang ini, adalah AC Alwasilah, K. Suyadi, T. Karyono dalam bukunya berjudul Etnopedagogi: Landasan Praktik Pendidikan dan Pendidikan Guru, mengatakan bahwa kearifan lokal yang menjadi sumber belajar peserta didik, tetap mesti diberikan interpretasi baru agar relevan dengan kebutuhan belajar peserta didik. Hal yang perlu dimafhumi, baik bagi pendidik dan peserta didik, bahwa kearifan lokal memiliki karakteristik seperti: satu, berdasarkan pengalaman; dua, telah diuji secara empirik selama bertahun-tahun; tiga, dapat diadaptasi oleh budaya modern; empat, melekat pada keseharian individu dan/atau lembaga; lima, lazim dilakukan oleh individu dan/atau kelompok; enam, sifatnya dinamis; dan tujuh, berhubungan dengan sistem kepercayaan masyarakat.[1]   

Peluang

Model etnopedagogi dalam pembelajaran layak dipertimbangkan pada praksis pendidikan di sekolah/madrasah. Apalagi, banyaknya kearifan lokal yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia, bisa dijadikan sebagai daya dukung bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah/ madrasah. Namun demikian, berdasarkan karakteristik yang melekat pada kearifan lokal tersebut, praksis model etnopaedagogi otomatis sulit berdiri sendiri dengan ciri lokal ketradisionalannya dan steril dari budaya global. Bagaimanapun, pada keduanya bisa saling beririsan, membaur dan saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, model etnopedagogi dalam praksisnya di sekolah/ madrasah selayaknya bisa mempertimbangkan keduanya sekaligus, agar pengalaman belajar peserta didik bisa didapatkan secara komprehensif, dan hasilnya bisa optimal.

R. Alexander dalam buku berjudul Culture and Pedagogy: International Comparison in Primary Education menyitir adanya irisan antara pendidikan (pedagogy) dengan kebudayaan (culture) di tengah-tengah masyarakat.[2] Apa yang disitir oleh Alexander pada bukunya tersebut, dalam konteks ini menjadikan etnopaedagogi menemukan relevansinya.

Seperti telah disinggung, bahwa etnopaedagogi adalah model pendidikan yang memanfaatkan sumber-sumber kearifan lokal sebagai sumber-sumber belajar. Harapannya peserta didik tidak terasing dengan budayanya, dan karena sumber belajarnya didapat dari sumber-sumber kearifan lokal pada budaya tersebut, mereka akan menyadari betapa pentingnya pengetahuan dan keterampilan yang dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan kesemuanya tersebut bisa menjadi modal mereka dalam menyelesaikan masalah.

Model etnopaedagogi adalah model pendidikan yang menekankan pentingnya memperhatikan nilai-nilai tradisional pada budaya lokal, tanpa mengesampingkan perhatian pada aspek-aspek budaya global, yang mana pembelajaran dipandang sebagai aktifitas budaya.[3] Shimahara dan Sakai, mengungkapkan bahwa model etnopaedagogi berupaya membangun relasi yang harmonis antara pendidik dan peserta didik, dalam konstruksi pengetahuan, sikap, keterampilan, dan budaya dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Berdasarkan ini, kedudukan pendidikan dalam model etnopedagogi sangat strategis, khususnya untuk membangun irisan dari kesemuanya tersebut.[4]

Kaitannya dengan pencapaian tujuan pendidikan ini, dibutuhkan pendidik yang minimal memiliki kemampuan dasar: satu, pengetahuan dasar tentang siswa dan bagaimana mereka belajar serta berkembang dalam konteks sosial kebudayaan tertentu; dua, pengetahuan seputar isi dan tujuan kurikulum, serta bagaimana mengajarkannya; dan tiga, pengetahuan tentang mengajar yang mempertimbangkan aspek konten dan peserta didik, serta bagaimana mengembangkan situasi kelas yang produktif, dan bagaimana melakukan penilaiannya.

Menurut Von Glasersfeld, para pendidik berkewajiban membangun struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi, yang melibatkan interaksi edukatif yang konstruktif baik dari sisi pengetahuan dan pengalaman belajar yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru.[5] Dalam perspektif konstruktivisme, tiap-tiap individu belajar dengan cara mengkonstruksi pengetahuan yang mereka lakukan secara aktif ketimbang sekedar menyerap informasi.[6]

Dalam realisasinya, model etnopedagogi jelas tidak hanya membagi pengetahuan dan nilai yang bersumber dari kearifan lokal, tetapi juga memberikan situasi yang kondusif pada peserta didik sehingga mereka mendapatkan pengalaman belajar yang memadai dari sumber belajar tersebut. Untuk optimalisasinya, tentu saja dibutuhkan pendidik yang mampu mewujudkannya dalam konteks proses dan hasil.[7] Dari aspek proses, pendidik dikatakan berhasil manakala mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif baik dalam pengertian fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran. Sementara dari sisi hasil, pendidik dikatakan berhasil manakala mereka mampu membangun mental peserta didik sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai.[8] Tentunya yang dalam hal ini mesti berselaras dengan apa yang ingin dicapai dari model etnopaedagogi, yaitu peserta didik tidak terasing dengan budayanya.

Tantangan

Dalam konteks etnopedagogi, yang menjadi tantangannya adalah membangun lingkungan belajar yang konstruktif dengan kebutuhan adaptasi peserta didik terhadap situasi sosial dan kebudayaannya. Lingkungan belajar akan sangat berpengaruh terhadap efektif tidaknya model etnopedagogi yang akan dikembangkan.

Lingkungan sendiri secara kebahasaan (etymology) berasal dari kata “lingkung” yang berarti sekeliling, sekitar, dan/atau seluruh suatu lingkaran daerah.[9] Secara istilah (terminology), lingkungan bisa diartikan sebagai apapun material dan stimulus di dalam dan di luar individu, baik yang sifatnya fisiologis, psikologis, dan sosio-kultural. Dengan kata lain, kondisi yang ada dari ruang yang kita tempati, bisa disebut sebagai lingkungan.[10] Dalam konteks pendidikan, lingkungan menurut Syamsu Yusuf diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di alam sekitar, yang memiliki makna dan pengaruh terhadap karakter atau sifat dari seseorang baik secara langsung maupun tidak.[11]

Dengan demikian, jika yang dimaksud adalah lingkungan belajar, maka bisa diartikan sebagai lingkungan di mana peserta didik berada dalam situasi belajar, dan lingkungan ini sangat berdampak pada tumbuh kembangnya kepribadian peserta didik. Situasi lingkungan belajar yang baik akan mendukung bertumbuh-kembangnya kepribadian yang positif dari peserta didik. Demikian pula lingkungan belajar yang nyaman, akan membuat peserta didik kondusif dalam belajar dan mendapatkan pengalaman belajar. Kaitan dengan etnopaedagogi ini, lingkungan belajar jelas sangat penting. Setidaknya ada tiga macam lingkungan belajar yang berdampak pada peserta didik, yaitu: satu, lingkungan fisik yang meliputi sarana dan prasarana belajar, sumber belajar, dan media belajar; dua, lingkungan sosial yang menyangkut hubungan peserta didik dengan teman-temannya, hubungan antar pendidik, dan semua unsur yang ada; tiga, lingkungan akademis, yaitu situasi lingkungan belajar yang konstruktif bagi pelaksanaan aktifitas pembelajaran dan berbagai macam program lain yang mendukung aktifitas pembelajaran.[12]

Jika kita merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Pada Bab Tujuh, tentang Sarana dan Prasarana, maka yang perlu diperhatikan dalam pengembangan etnopaedagogi di sekolah/ madrasah, yaitu: satu, sarana yang mencakup perabotan, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lainnya yang diperlukan dalam menunjang proses pembelajaran, yang teratur dan berkelanjutan; dan dua, memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, tempat rekreasi, dan ruang tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan, yang kesemuanya relevan bagi etnopedagogi.[13]

Di lingkungan belajar yang konstruktif bagi model etnopaedagogi, pendidik berperan membantu peserta didik dalam konteksnya sebagai fasilitator sehingga peserta didik mampu mengkonstruksi pengetahuan dari sumber-sumber belajarnya menjadi pengetahuannya. Pada ranah ini jelas pendidik tidaklah hanya membagi pengetahuannya kepada peserta didik. Dalam konteks sebagai fasilitator, pendidik fungsinya hanya memfasilitasi peserta didik sehingga mereka bisa membangun pengetahuan mereka masing-masing, yang dalam konteks ini pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal mereka. Jikapun pendidik membagi konsep, ide, dan pengetahuannya tentang hal ini pada peserta didik mereka, pemindahan itu tentu saja memberi peluang untuk diinterpretasikan kembali dan bahkan dikonstruksi ulang oleh peserta didik melalui pemahaman dan pengalaman belajar mereka sendiri.[14]***

 

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, R., Culture and Pedagogy: International Comparison in Primary Education, London: Blackwell, 2000.

Alwasilah, AC, K. Suryadi, and T. Karyono, Etnopaedagogi: Landasan Praktik Pendidikan dan Pendidikan Guru, Bandung: Kiblat Buku Utama, 2009.

Glasersfeld, E. Von, ‘A Constructivist Approach to Teaching’, in Constructivism in Education, ed. by LP Stelfe and J. Galle, Hillsdale, NJ: Laurence Erlbaum, 1995.

Hoban, GF, ‘Theories and Models of Profesional Development’, in Exploring Professional Development in Education, ed. by RJ King, DM Hill, and JA Retallick, Riverwood; NSW: Social Science Press, 1997.

Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Mitra Pelajar, 2005.

Mudri, M. Walid, ‘Kompetensi dan Peranan Guru dalam Pembelajaran’, Jurnal Falasifa, vol. 1, no. 1, 2010, pp. 111–276.

Mulyasa, Menciptakan Pelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

Saguni, Fatimah, ‘Penerapan Teori Konstruktivis dalam Pembelajaran’, Jurnal Paedagogia, vol. 8, no. 2, 2019, pp. 19–32.

Shimahara, NK and A. Sakai, ‘Teacher Internship and the Culture of Theaching in Japan’, in Education and Training in Japan, vol. II, ed. by Thomas Rohlen and Christoper Bjork, London: Routledge, 1998.

Stigler, WS and J. Hiebert, The Teaching Gap: Best Ideas from the World; Teachers for Improving Education in the Classroom, Newyork: The Free Press, 1999.

Supardi, Imam, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya, Bandung: Alumni, 2003.

Surya, Muhammad, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Dirjen Dikdasmen Direktorat Kependidikan, 2004.

Yusuf, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.



[1] AC Alwasilah, K. Suryadi, and T. Karyono, Etnopaedagogi: Landasan Praktik Pendidikan dan Pendidikan Guru (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2009).

[2] R. Alexander, Culture and Pedagogy: International Comparison in Primary Education (London: Blackwell, 2000).

[3] WS Stigler and J. Hiebert, The Teaching Gap: Best Ideas from the World; Teachers for Improving Education in the Classroom (Newyork: The Free Press, 1999).

[4] NK Shimahara and A. Sakai, ‘Teacher Internship and the Culture of Theaching in Japan’, in Education and Training in Japan, vol. II, ed. by Thomas Rohlen and Christoper Bjork (London: Routledge, 1998).

[5] E. Von Glasersfeld, ‘A Constructivist Approach to Teaching’, in Constructivism in Education, ed. by LP Stelfe and J. Galle (Hillsdale, NJ: Laurence Erlbaum, 1995).

[6] GF Hoban, ‘Theories and Models of Profesional Development’, in Exploring Professional Development in Education, ed. by RJ King, DM Hill, and JA Retallick (Riverwood; NSW: Social Science Press, 1997).

[7] M. Walid Mudri, ‘Kompetensi dan Peranan Guru dalam Pembelajaran’, Jurnal Falasifa, vol. 1, no. 1 (2010), p. 112.

[8] Mulyasa, Menciptakan Pelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), pp. 13–4.

[9] Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), p. 318.

[10] Imam Supardi, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya (Bandung: Alumni, 2003), p. 2.

[11] Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), p. 54.

[12] Muhammad Surya, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Dirjen Dikdasmen Direktorat Kependidikan, 2004), p. 78.

[13] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

[14] Fatimah Saguni, ‘Penerapan Teori Konstruktivis dalam Pembelajaran’, Jurnal Paedagogia, vol. 8, no. 2 (2019), p. 20.

Tuesday, March 28, 2023

Agama di Mata Geertz

Clifford Geertz
Oleh: Syamsul Kurniawan (Kaprodi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)

Secara antropologis, agama beririsan dengan ide dan kepercayaan manusia tentang Tuhan dan konsekuensinya dengan bagaimana manusia tersebut merasakan dan berbuat sejalan dengan ide dan kepercayaan tersebut. Ide dan kepercayaan seputar ini, kemudian berimplikasi pada etos, sebagai sekumpulan aturan, nilai-nilai, kesadaran, sifat dan emosi, serta apapun yang berhubungan dengan estetika. Sehingga, bisa dikatakan soalan etos ini sangatlah kontekstual, bergantung dari di mana pemahaman terhadap suatu agama dibangun.

Adalah Clifford Geertz, seorang antropolog yang hasil penelitiannya seputar keberagamaan masyarakat yang banyak dirujuk. Geertz, yang lahir 23 Agustus 1926 dan wafat 30 Oktober 2006, dengan demikian meninggal di usia 80 tahun, yang menurut pengakuannya sendiri dari umurnya yang Panjang, 10 tahun lebih dihabiskannya untuk aktifitas penelitian lapangan di Jawa, Bali dan Maroko. Selanjutnya, 30 tahun dari umurnya ia gunakan untuk menulis dan mendesiminasikan hasil-hasil penelitian antropologisnya seputar keberagamaan di sana. Niatannya sebagai antropolog hanya untuk menyampaikan pesan-pesan penting studi kebudayaan pada orang lain. 

Geertz belajar disiplin keilmuan antropologi di Universitas Harvard, tepatnya pada Departement of Social Relations yang didirikan oleh Clyde Kluckhon bersama beberapa tokoh lainnya. Geertz menulis disertasinya di bawah bimbingan Cora DuBuois, tentang keberagamaan di Jawa pada tahun 1952, dan menyelesaikan disertasi dan studi Doktoralnya pada 1956 dengan disertasi yang diterbitkan dalam judul The Religion of Java.

Geertz terkenal dan popular di Indonesia karena penelitian antropologis yang dilakukannya tentang masyarakat di Jawa dan Bali. Penelitian antropologisnya seputar masyarakat di Jawa dan Bali ini menghasilkan beberapa buku penting, yang mana pokok kajiannya meliputi politik aliran (abangan, santri, priyayi), keberagamaan di Jawa, watak perkotaan di Jawa sebagai hollow town dan bukannya solid town, perbandingan keberislaman di Indonesia dan Islam Maroko (antara the scope religion dan the force religion), perbandingan antara etos dan praktik perdagangan di Jawa dan Bali (antara individualisme pasar dan rasionalisme ekonomi di pihak lain), politik klasik di Bali yang dirumuskannya sebagai theatre state serta apa yang ditinggalkan oleh Hinduisme dalam praktik keagamaan di Jawa dan Bali. Bahasan karya-karya Geertz itulah yang menurut penulis membuat beliau penting di Indonesia.

***

Dalam bukunya, Islam Observed, Geertz menjelaskan secara panjang lebar tentang etos, perbedaan nilai dan perasaan-perasaan yang muncul dalam kedua kebudayaan yang berbeda, yaitu pemeluk agama di Maroko yang sangat aktif dan agresif dengan pemeluk agama di Indonesia yang pasif dan dinamis. Geertz mendiskusikan perayaan Rangda dan Barong di Bali dari sudut pandangnya sebagai antropolog. Pada saat itu pula, Geertz dengan panjang lebar mendiskusikan tentang etos masyarakat Bali yang umumnya memeluk Hindu, yang mana etos tersebut menurutnya mengkombinasikan antara perasaan yang dipenuhi oleh horor dan kegembiraan, penuh rasa takut sekaligus komedi yang menggelikan selama perayaan berlangsung.

Geertz memang banyak berperan dalam mengisi teori-teori antropologi yang berdasarkan pada hasil-hal penelitian antropologisnya di lapangan. Geertz mempunyai pandangan bahwa kumpulan pemikiran subjektif dari orang-orang dapat dibangun untuk memperoleh keseluruhan pemahaman pada sebuah objek yang sedang diteliti, termasuk keberagamaan. Geertz berkeyakinan bahwa pengalaman atau ekspresi keagamaan sejatinya muncul dari kemampuan seseorang dalam membangun ekspresi mereka tentang Tuhan dan ajaran-ajaran agamanya, yang disebut Geertz sebagai sistem simbol.

Seperangkat simbol keagamaan ini tidak hanya menyediakan “model untuk” (model for) dunia yaitu petunjuk untuk hidup di dalam ajaran agama, tetapi juga “model dari” (model of) dunia yaitu suatu penjelasan agama tentang tatanan yang tampak berurat-berakar dalam struktur alam semesta. Jadi bagi Geertz, agama bagi pemeluknya mengekspresikan dan membentuk dunia di mana manusia hidup di tempat yang berbeda-beda, dengan cara yang fundamental dan ultim. Memakai pengertian agama semacam ini, seorang antropolog dapat mendekati situasi apapun dalam bahasanya sendiri. Perubahan dalam mode of thought keagamaan, yang dikedepankan Geertz menurut Marilyn dapat dijelaskan oleh semua perubahan kultur dan material yang lebih luas sehingga dapat mempengaruhi kontruksi sosial keberagamaan sebagai sistim simbol.

***

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, melalui pemikiran Geertz ini, dengan demikian juga bagian dari sistim simbol. Maksudnya, dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di masa hidupnya, Nabi tentu banyak menghadapi keterbatasan. Nabi Muhammad SAW memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di masa hidupnya, tapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular dan kontekstual. Kebutuhan akan Islam saat ini tentu saja berbeda dengan kebutuhan akan Islam pada saat agama ini muncul.

Maka sebagai muslim di Indonesia kita harus menyadarinya, dan harus berani berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. Islam di tempat kelahirannya Arab, adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka bumi. Pada konteks ini Islam di Indonesia semestinya dapat dipahami secara moderat, dalam pengertian tidak diperlakukan sebagai pemahaman yang beku, namun cair dan dinamis. Sehingga, ada kemungkinan menerjemahkan Islam dengan cara yang lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di tempat kelahirannya Arab adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi. Bukankah demikian?***

 

 

Sunday, March 26, 2023

Servant Leadership


 Oleh: Syamsul Kurniawan

ASLAM ra. mengisahkan suatu ketika ia pernah bersama Umar ra. menuju Kota Hirah (sebuah nama kota di dekat Madinah). Kemudian terlihat oleh mereka ada nyala api di suatu tempat di atas gunung. Umar ra. berkata, “Mungkin ini adalah satu kafilah yang karena kemalaman, mereka tidak sampai ke kota. Mereka terpaksa menunggu di luar kota. Mari kita lihat kabar mereka.”

Setelah sampai di tempat nyala api tersebut, nampaklah seorang ibu dengan anak-anaknya. Anak-anaknya tersebut sedang menangis meronta-ronta. Sementara ibunya sedang merebus air dalam sebuah wadah di atas tungku. Umar ra. mendekat dan memberi salam kepada ibu tersebut. Selanjutnya Umar ra. bertanya, “Mengapa anak-anak ini menangis?”. Ibu tersebut menjawab, “Mereka menangis karena tidak bisa menahan rasa lapar.” Kemudian Umar ra. bertanya, “Apa yang sedang ibu rebus di dalam panci itu?”.

Ibu tersebut menjawab, “Panci ini merebus beberapa butir batu. Saya mengerti bahwa batu-batu ini memang tidak akan pernah masak selama-lamanya. Saya lakukan hal ini hanya untuk membujuk anak-anak saya supaya tidak merasakan lapar. Seolah yang saya masak adalah tepung gandum. Dengan perbuatan saya ini, anak-anak saya ini akan menyangka perutnya akan berisi. Laparnya akan habis. Rupanya bujukan saya itu tidak mempan menahan perut mereka yang lapar.”

Kemudian Umar ra. melanjutkan pertanyaannya, “Apakah Amirul Mukminin tidak mengetahui keadaan ibu seperti ini?”. Ibu tersebut menjawab, “Sekiranya Amirul Mukminin, Khalifah Umar itu mengetahui keadaan kami yang begini melarat sengsara, tentulah tidak akan seperti ini jadinya nasib kami, dan tidak setinggi itu tangis anak-anak saya.” Umar berkata, “Jika demikian, ibu tunggulah di sini sebentar. Saya usahakan tepung gandum itu buat ibu masak.”

Aslam ra. mengisahkan, “Kemudian Umar ra. mengajakku kembali ke Madinah. Ia mengeluarkan sekarung gandum, kurma, minyak dan beberapa dirham uang dari Baitul Mal. Ia penuhi isi karung tersebut.

Setelah penuh ia berkata kepadaku, ‘Letakkan karung ini di pundakku wahai Aslam.’ Aku menjawab, ‘Biarkan saya saja yang membawanya wahai Amirul Mukminin’. Umar ra. berkata, ‘Tidak. Letakkan saja di atas pundakku.’ Dua tiga kali aku menawarkan dirinya untuk membantunya membawakan karung itu. Kemudian Umar ra. berkata, ‘Apakah engkau akan memikul dosa-dosaku nanti pada hari kiamat?. Tidak. Aku sendirilah yang akan memikulnya.' Karena mengenai perkara ini. Dengan terpaksa aku letakkan juga karung itu di atas pundaknya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia membawa karung tersebut ke kemah ibu tadi, dan aku tetap bersamanya. Sesampainya di tempat ibu dan anak tersebut, langsung Umar memasak bahan makanan yang ia bawa, dan ia sendiri yang menyalakan tungkunya.”

Aslam ra. melanjutkan kisahnya, “Aku melihat asap mengenai janggut Umar ra. Umar ra. memasak hingga bahan makanan yang ia masak itu matang. Kemudian dengan tangannya sendiri, ia menghidangkan makanan itu untuk ibu dan anak tersebut. Umar ra. tampak sangat senang sekali melihat mereka bisa makan. Ibu dari anak-anak tersebut selanjutnya mengucapkan terimakasih kepada Umar ra. "Semoga Allah SWT memberikanmu balasan yang baik. Seharusnya engkau yang lebih berhak menjadi khalifah, bukan Umar ra."

Untuk menyenangkan hati ibu tersebut, Umar ra. berkata kepadanya, ‘Jika engkau pergi menjumpai Khalifah, engkaupun akan menjumpai aku di sana.’ Setelah itu, Umar ra. tidak beranjak pergi melainkan duduk-duduk dulu. Setelah beberapa lama ia duduk, kemudian ia mengajakku pergi meninggalkan mereka. Kepadaku, Umar ra. berkata, ‘Tahukan engkau mengapa aku duduk?’ Karena aku ingin menyaksikan mereka tertawa setelah melihat mereka menangis karena kelaparan’.

***

Di negeri ini sayangnya tidak banyak pemimpin yang berkarakter servant leader seperti Umar ra. Karakter servant leadership yang dimiliki Umar sebagai seorang pemimpin tercitrakan dari keluhuran budinya, bersedia “hitam berjelaga” karena menyayangi warganya, tidak tenggelam pada jabatan yang dititipkan kepadanya, tahu siapa yang ia pimpin, tahu siapa bawahannya, dan mengerti apa yang menjadi komitmen dan tugasnya sebagai pemimpin. Sementara pemimpin-pemimpin kita seringkali hanya mementingkan pencitraan, menjual kepalsuan (ketidakjujuran) dan merayakan kemegahan dirinya sendiri.

Tak usah jauh-jauh mengambil contoh. Di bulan suci Ramadhan sebagaimana saat ini, sangat mudah menjumpai karakter pemimpin yang “curi-curi” pencitraan. Cobalah lihat jalanan dengan sedikit lebih jeli selama di bulan Ramadhan. Ada banyak bertebaran baliho, spanduk, atau papan reklame yang memajang gambar para para politisi (pimpinan atau pengurus partai politik), anggota legislatif dan calon anggota legislatif atau kepala daerah. Mereka tampil dalam kemasan yang agamis: lelaki berpeci dan perempuan dengan kerudung atau jilbab.

Pada baliho, spanduk, atau papan reklame tersebut tampak wajah senyum mereka, dan tertulis kata-kata simpatik katakanlah “Selamat menunaikan ibadah puasa.” Tak lupa barangkali diselipkan juga promosi diri, seperti mencantumkan nama lengkap caleg dengan gelarnya, daerah pemilihan dan partai politik pengusungnya. Meski tidak semassal di jalanan, kemasan serupa juga menghiasi tayangan sehari-hari televisi terutama saat berbuka atau sahur. Pemirsa disuguhi iklan-iklan mereka yang mengucapkan selamat berpuasa dengan dandanan yang religius.

Jika gemar berselancar di dunia maya, terutama facebook atau twitter, maka kita juga akan menemukan lama-laman itu dipenuhi foto, tweet (kicauan), atau status mereka yang berusaha menampilkan diri sebagai sosok agamis. Memang tak ada yang salah dengan tampilan pemimpin-pemimpin kita tersebut. Namanya juga politisi, mereka akan lincah memanfaatkan segala momen untuk kepentingan politiknya. Hanya saja dalam kenyataannya, hal yang dilakukan oleh para pemimpin kita tersebut sebatas “pencitraan diri”. Pun jika sebagian mereka ada yang turun ke warga dan memberikan bantuan selama bulan suci ini, penulis melihat itu masih sebatas “politisasi Ramadhan”. Make the most of any momentum (memanfaatkan momentum apapun) untuk kepentingannya, termasuk memanfaatkan momentum Ramadhan.

Bandingkan dengan nanti, setelah Ramadhan atau sesudah pemilihan, sebagian figur-figur ini belum tentu sebagian di antaranya yang sedia turun langsung ke warga, melihat dan mendengar langsung apa yang dibutuhkan warganya, tidak hanya mengandalkan laporan dari bawahannya. Kepedulian seorang pemimpin pada warganya, semestinya dapat tumbuh dari lubuk hati yang terdalam, bukan sebatas pencitraan.

Di negeri ini jelas masih banyak yang menderita kemiskinan, sementara pemimpin yang mendapatkan kursi jabatan dari menjual pencitraan pada rakyatnya seringkali tenggelam dengan posisinya, dan melupakan tugas dan tanggung jawabnya untuk menyejahterakan rakyatnya. Padahal semua mereka juga tahu bahwa setiap kekuasaan, termasuk yang diamanahkan kepada mereka, akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Yang Maha Kuasa. Firman Allah SWT: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS al Zalzalah [99]: 7-8). 

Sungguh, Umar bin Khattab ra, layak diteladani, yaitu sosok servant leader yang bersedia keliling untuk melihat dan mendengar langsung apa yang dibutuhkan warganya. Seperti dikisahkan oleh Aslam ra. di atas, ketika Umar ra. melihat ada di antara warganya yang menderita kelaparan, lalu ia berikan apa yang dibutuhkan oleh warganya tersebut.

Menyadari arti pentingnya, karakter servant leadership seperti Umar, hemat penulis, perlu dibangun pada generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan di negara ini. Pendidikan punya peran fungsional yang penting untuk ini. Harapannya, muncul karakter pemimpin-pemimpin yang melayani di masa yang akan datang, dan bukan sebaliknya pemimpin-pemimpin yang haus pada kekuasaan, tenggelam dengan kekuasaan yang ia dapat, yang hanya pandai dalam pencitraan dan menjual kebohongan.***

 

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...