Tuesday, October 3, 2023

Daya Tahan Kebijakan Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi: Seberapa Penting Support Kepemimpinan?


Oleh: Syamsul Kurniawan 

SEHUBUNGAN dengan daya tahan kebijakan moderasi beragama di lingkup perguruan tinggi, peran fungsional pemimpin dalam ranah ini jelas sangat penting. Rektor dan jajaran pimpinan di perguruan tinggi perlu memberikan support penuh terhadap penguatan moderasi beragama. Kaitan dengan ini, kepemimpinan jajaran pimpinan di perguruan tinggi, mulai dari Rektor hingga ke pimpinan di level program studi, selayaknya fungsional terhadap kebutuhan ini.

Kaitannya dengan ini, kepemimpinan yang fungsional jelas tidak selalu bawaan dari sejak lahir. Menurut Wuryanano, seorang penulis yang menyebut dirinya sebagai mindset navigator, bahwa kepemimpinan semacam ini mestinya diperoleh dengan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan seputar kepemimpinan.[1]

Betul, bahwa tidak menampik jika setiap orang ketika lahir sudah membawa bakatnya dalam memimpin, sebagaimana sabda Nabi Saw, “setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya” (HR Bukhari). Namun soal fungsional atau tidak kepemimpinannya, itu perkara yang lain. Apalagi, model-model kepemimpinan yang support terhadap penguatan moderasi beragama, jelas ini butuh pembiasaan-pembiasaan. Oleh karena tidak fungsional kepemimpinan seorang pimpinan terhadap kebutuhan ini, termasuk dalam konteks perguruan tinggi, maka kebijakan-kebijakan penguatan moderasi beragama kurang memiliki daya tahannya. Untuk kebutuhan ini, para jajaran pimpinan dari tingkat rektor hingga pimpinan program studi mesti menunjukkan teladan dalam moderasi beragama.

Sebab ia adalah teladan dari yang dipimpinnya. Sebagaimana dimafhumi, menjadi seorang pemimpin berarti menjadi seorang yang punya pengaruh; bisa mempengaruhi orang-orang di lingkungan yang sesuai dengan dunianya. Maka bisa dibayangkan jika para pimpinan di perguruan tinggi keagamaan Islam, hanya mampu membicarakan penguatan moderasi beragama sebatas wacana, dan tidak merembes ke dalam kebijakan-kebijakan yang strategis. “Mempunyai pengaruh” juga bisa diartikan, bahwa seorang pemimpin itu punya kemampuan untuk memperoleh pengikut.

 

Seberapa fungsional, bagaimana mendisgnosanya?

Fungsional tidaknya kepimpinan di perguruan tinggi keagamaan Islam terhadap kebutuhan ini, bisa didiagnosa dengan menggunakan skema A-G-I-L dari Talcott Parsons. Dari sisi adaptasi (adaptation), seorang pimpinan dari rektor hingga jajaran pimpinan program studi mengetahui atau tidak secara pasti tentang bidang tugasnya, agar lebih memperjelas pelaksanaan, arahan, dan efektifitas kebijakan-kebijakan penguatan moderasi beragama di perguruan tingginya. Dari sisi pencapaian tujuan (goal-attainment), jajaran pimpinan memiliki kemampuan atau tidak dalam membaca kebutuhan-kebutuhan untuk optimalisasi penguatan moderasi beragama di perguruan tingginya. Dari sisi integrasi (integration), jajaran pimpinan memiliki kemampuan atau tidak dalam membangun hubungan kerja yang baik, baik dalam internal perguruan tingginya maupun keluar. Terakhir, dari sisi latensi (latency), para jajaran pimpinan memiliki keberanian atau tidak merawat pola-pola kebijakan yang support terhadap kebutuhan penguatan moderasi beragama yang ditunjukkan dengan keberanian untuk mengambil keputusan secara tepat, baik dilihat dari segi waktu maupun materi. Jika keempat prasayat fungsional ini tidak lengkap, bisa dipastikan di perguruan tinggi, kebijakan-kebijakannya kurang memiliki daya tahan terhadap penguatan moderasi beragama.

Bisa dimafhumi, pada umumnya seseorang yang diangkat menjadi pemimpin didasarkan atas kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan orang-orang yang dipimpinnya. Kelebihan-kelebihan tersebut merupakan syarat utama menjadi seorang pemimpin yang sukses. Ach. Mohyi, dalam konteks manajemen organisasi menyebut beberapa syarat utama yang harusnya dimiliki oleh seorang pemimpin: satu, Mampu berperan fungsional sebagai pengatur, pengarah aktivitas organisasi atau lembaga untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan; dua, mampu berperan fungsional sebagai penanggung jawab dan membuat kebijakan-kebijakan organisasi atau kelembagaan; tiga, mampu berperan fungsional menjadi pemersatu dan memotivasi para bawahannya dalam melaksanakan aktivitas organisasi atau kelembagaan; empat, mampu berperan fungsional menjadi pelopor dalam menjalankan aktivitas manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan serta pengelolaan sumber daya yang ada; dan lima, mampu berperan fungsional sebagai pelopor dalam memajukan organisasi atau suatu lembaga.[2]

Sementara itu menurut Jawahir Tanthowi, syarat-syarat yang harus ada pada seorang pimpinan adalah sebagai berikut: satu, mampu melihat organisasi secara keseluruhan; dua, mampu mengambil keputusan; tiga, mampu melaksanakan pendelegasian; dan empat, mampu memimpin sekaligus mengabdi.[3] Dalam konteks daya tahan perguruan tinggi terhadap penguatan moderasi beragama, jajaran pimpinan mulai dari rektor hingga pimpinan program studi mesti menunjukkan kemampuannya dalam keterampilan teknis ini, sehingga mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan kebijakan atau program yang support terhadap penguatan moderasi beragama, dan pada gilirannya hasil pencapaian dari inipun bisa dioptimalkan. Jika ini tidak terwujud, maka sudah pasti ada yang disfungsional.***


[1] Wuryanano, 2007. Super Mind for Successful Life (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007), 130.  

[2] Ach. Mohyi, Teori & Prilaku Organisasi. Ed: Trioningsih-Ratih Juliati (Malang: UMM, 1999), 176.

[3] Jawahir Tanthowi. Unsur-unsur Manajemen Menurut Ajaran Al-Qur‘an (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983) hlm. 37

Monday, October 2, 2023

Lulusan Perguruan Tinggi dan Kecerdasan Sosial

Oleh: Syamsul Kurniawan

DARI sekian banyak lulusan perguruan tinggi, yang dicari oleh dunia kerja, sebutlah perusahaan biasanya adalah mereka yang tidak hanya bisa bekerja dengan baik, tetapi juga yang mampu meningkatkan kinerja perusahaan tempatnya bekerja lebih baik lagi. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu saja lulusan-lulusan perguruan tinggi, tidak hanya dituntut untuk menjadi cerdas dari sisi intelektualnya, tetapi juga sosialnya.  

Kecerdasan sosial yang dimaksud di sini adalah bagaimana kecerdasan mereka memiliki orientasi untuk berkontribusi terhadap lingkungan sosial sekitarnya. Kecerdasan sosial juga berarti adanya kemampuan untuk menghasilkan kreasi, karya, dan kontribusi nyata untuk mewujudkan lingkungan sosial sekitarnya ke arah yang lebih baik. Betul, bahwa saat ini, banyak dari lulusan-lulusan perguruan tinggi yang berprestasi di bidang akademik, namun demikian kualitas karakter mereka senyatanya belum matang untuk bersaing.[1]

Ada anggapan bahwa, modal sukses lulusan perguruan tinggi ada dua: satu, kompetensi akademik (hard skills) yang menyumbang 20 persen; dan dua, kompetensi non akademik (soft skiils) yang menyumbang 80 persen. Secara umum soft skills adalah kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal. Beberapa contoh soft skills di antaranya adalah kemampuan beradaptasi, berkomunikasi, memimpin, mengambil putusan, dan memecahkan masalah.

Berbeda dengan hard skills, soft skills ini jelas membutuhkan kecerdasan sosial. Sayangnya, pengajaran di perguruan tinggi cenderung masih berfokus pada penguatan akademis, ketimbang penguatan kecerdasan sosial ini. Bukannya penguatan akademis ini tidak penting, tetapi kemampuan non akademik berupa soft skills jelas akan menentukan level sukses mereka di dunia kerja.[2]

Peran Dosen yang Visioner?

Dalam mencetak lulusan-lulusan perguruan tinggi yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tapi juga sosial, dibutuhkan lebih banyak dosen-dosen yang visioner. Terma visioner yang dimaksudkan di sini biasanya berhubungan kemampuan dosen membaca kebutuhan masa depan dari mahasiswa-mahasiswanya. Dalam polesan kerja-kerja terukur dosen-dosen yang visioner inilah lulusan-lulusan perguruan tinggi yang cerdas intelektual dan sosialnya mungkin terwujud.

Dosen yang visioner, dalam pengertian yang sederhana sama dengan fungsi guru-guru di sekolah yang juga selayaknya visioner, berwawasan jauh ke depan, mampu menyusun strategi pencapaian dan secara berkelanjutan melakukan evaluasi terhadap kerja-kerja yang ia lakukan demi mewujudkan visinya tersebut. Kecuali itu, ia punya kemampuan untuk meyakinkan mahasiswa-mahasiswanya terhadap visinya. Dalam membangun jejaring, penting pula baginya membangun hubungan baik dengan berbagai pihak yang dibutuhkan untuk pencapaian visinya.[3]

Menjadi dosen yang visioner sangat berhubungan dengan pola pikir sekaligus tindakan yang akan ia lakukan sesuai rencananya. Dengan demikian, kerja visioner seorang dosen bukan berarti kerja serabutan melainkan kerja-kerja terukur. Kerja-kerja terukur ini dituntut untuk mampu menjawab kebutuhan mahasiswanya yang kelak menjadi lulusan-lulusan perguruan tinggi yang akan berkontestasi di dunia kerja. Mereka yang tergolong dosen visioner, terus bergerak, kreatif, dan optimistik. Dosen yang visioner adalah mereka yang proaktif, bukannya reaktif dan apalagi inaktif.

Kembali ke kerja-kerja mencetak lulusan-lulusan perguruan tinggi yang tidak hanya cerdas intelektual tapi juga sosial, seorang dosen perlu mencari terobosan-terobosan. Terkadang, mereka harus “think out the box” untuk kebutuhan ini. Sebagaimana telah diulas di atas, pangsa pasar pada hari ini membutuhkan lebih dari sekedar lulusan-lulusan perguruan tinggi yang pintar (dalam pengertian hanya sisi intelektualnya saja yang cerdas), tetapi mereka yang juga mempunyai kecepatan membangun pertemanan, jejaring dan kepercayaan (baca: kecerdasan sosial). Pemenang kontestasi di masa depan adalah mereka yang dengan kecerdasan sosialnya mampu membangun kolaborasi. Betul, bahwa masa depan dibangun di atas fondasi kolaborasi dan sinergi.***



[1] Kompas, “Menjadi Generasi Cerdas Sosial”, Kompas (Oktober 2012), p. 51.

[2] Ibid.

[3] Eva Solina, “Guru Sang Visioner”, Pontianak Post (Pontianak, 28 Sep 2019), p. 10.

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...