Saturday, April 2, 2022

Ramadhan dan Intelektualisme

 

Oleh: Syamsul Kurniawan

Tulisan ini dimulai dengan sebuah kalimat tanya, “Bagaimana sebaiknya kita memandang dan memosisikan momentum Bulan Ramadhan ini?”. Jawabnya mungkin bisa beragam.Kemungkinan pertama, Ramadhan tahun ini  bisa kita interpretasi dalam tataran ritualistik, yaitu sebagai ritual Islam yang terbatas pada dimensi transendental, sebagai bentuk ibadah kepada Allah, melaksanakan titah Tuhan. Itu saja, sebagai bentuk ibadah mahdhah kepada Allah, seperti shalat, atau puasa yang dilakukan dalam konteks kesalehan ritual masing-masing.  

Kemungkinan kedua, Ramadhan tahun ini bisa kita interpretasi dalam tataran sufistik, semisal sebagai bentuk pengasingan spiritual atas kemegahan dunia, maka Ramadhan yang mensyariatkan puasa selanjutnya dipahami untuk mengontrol nafsu, sehingga tidak mudah terpedaya oleh kenikmatan material atau duniawi. Pada aras ini, Ramadhan tidak hanya dimaknai sebagai momentum memperkuat kesalehan ritual an sich, ia juga bermakna momentum untuk memperkuat kesalehan spiritual. Puasa, misalnya dipahami sebagai bentuk purifikasi atas godaan keduniawian, dengan cara memosisikan puasa untuk melatih pengendalian diri terutama dari segala macam bentuk godaan duniawiyah, kekuasaan, dan materi yang menghambat integritas seorang umat beragama.

Kemungkinan ketiga, bulan Ramadhan diinterpretasi dalam perspektif intelektualisme yang transformatif, di mana puasa dimaknai sebagai bentuk etika sosial dan kritik atas perilaku menindas yang selama ini dilakukan. Puasa tidak lagi berhenti dalam tataran “ritual” atau “pengasingan spiritual” atas kekuasaan dan materi saja, sebagaimana kemungkinan satu dan dua, tetapi ia juga mesti diteruskan ke dalam etika sosial yang transformatif.

Mengutip Hassan Hanafi, puasa adalah bentuk pembebasan manusia atas hawa nafsu materialistik, yang berarti juga perilaku menindas dan kapitalistik, menjadi kepedulian dan etika sosial yang menjamin semua orang hidup dalam setting Islam yang berkeadilan. Maksudnya di sini, keber“agama”an mestilah terejawantah dalam praksis sosial yang konkret; ia bukan “candu” yang mengasingkan, melainkan semangat juang yang membebaskan bagi umat Islam. Tidakkah Al-Quran mengibaratkan seseorang yang saleh secara ritual atau spiritual namun tidak saleh secara sosial sebagai umat yang “mendustakan agama”? (QS 107: 1-7).

Maka idealnya, bulan Ramadhan tahun ini bisa menjadi kawah candradimuka terutama dalam melatih sisi-sisi intelektual umat. Coser misalnya, menginterpretasi intelektual di sini sebagai orang-orang yang dalam kapasitasnya selalu berpikir soal alternatif terbaik untuk masyarakat. Bandingkan dengan pengertian intelektual dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa latin intellectus yang berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan.

Dalam pengertian sehari-hari kemudian berarti kecerdasan, kepandaian, atau akal. Pengertian intelek ini berbeda dengan pengertian taraf kecerdasan atau intelegensi. Intelek lebih menunjukkan pada apa yang dapat dilakukan manusia dengan intelegensinya; hal yang tergantung pada latihan dan pengalaman. Intelek di sini merepresentasikan daya atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan, yaitu daya akal budi dan kecerdasan berpikir. Kata intelek juga berkonotasi untuk menyebut kaum terpelajar atau kaum cendekiawan.

Karena itu, sikap intelektual perlu dilatih selama bulan Ramadhan, sehingga pada saat dan pasca Ramadhan, umat beragama bisa berperan aktif sebagai change maker, yaitu orang yang membuat perubahan. Harapannya, terbentuk intelektual-intelektual muslim setelah Ramadhan, yang sekurang-kurangnya mempunyai karakteristik seperti:

Pertama, memiliki ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang mampu diteorisasikan dan direalisasikan di tengah masyarakat. Misalnya, ia memahami puasa berarti mengendalikan nafsu, terutama nafsu amarah. Maka, idealnya, sifat dan perbuatannya juga mendukung apa yang ia pahami dalam praktiknya di masyarakat. Mengerti bahwa jujur adalah kunci sukses ibadah puasa, maka mestinya dalam praktiknya di masyarakat juga mengedepankan kejujuran dan anti korupsi.

Kedua, dapat menyampaikan sesuatu hal yang positif dengan bahasa kaumnya dan mampu menyesuaikan dengan lingkungan. Semisal, di era milineal seperti saat ini, tidak cukup dakwah diinterpretasikan umat sebatas dakwah billisan, dakwah bilhal, tetapi juga dakwah bilqalam. Atau, tidak cukup berdakwah di mimbar-mimbar ceramah, tetapi juga dengan memanfaatkan media sosial, seperti youtube, facebook, twitter, whatsapp, dan medsos lainnya.

Ketiga, di bulan Ramadhan, sikap yang perlu ditunjukkan umat, seperti memiliki tanggung jawab sosial untuk mengubah masyarakat yang statis menjadi dinamis.Intelektual yang diharapkan muncul dari proses bulan Ramadhan, adalah umat-umat Islam yang tidak saja harus menghasilkan “sebuah” pemikiran tapi juga dapat merumuskan dan mengarahkan serta memberikan contoh pelaksanaan dari sosialisasinya di tengah masyarakat agar segala persoalan-persoalan kehidupan baik pribadi, masyarakat, bangsa dan negara dapat terpecahkan, serta dapat menjawab tantangan-tantangan kehidupan kehidupan di masa yang akan datang.

Peran “merubah” inilah yang menjadi fungsi “change maker” seorang intelektual dapat berjalan dengan baik yang dimulai dari dirinya kemudian dimanfaatkan dan disebarkan kepada masyarakat. Keberadaan intelektual jelas merupakan sebuah hal penting terutama bagi bangsa kita yang sedang membangun. Apalagi, jelas tahun ini bangsa kita sedang berada di masa transisi pasca pandemi. Jelas peran intelektual dalam konteks ini penting, oleh karena intelektual dianggap sebagai golongan masyarakat yang memiliki kecakapan, yang kemudian bertugas merumuskan perubahan msyarakat yang akan membawa pada kemajuan bangsa yang maju dan bermartabat. Dengan demikian, intelektual memiliki peran dan posisi yang sangat penting dalam perjalanan bangsa ini, dalam beberapa hal intelektual bisa diharapkan untuk membangun bangsa ini menjadi lebih baik, dengan segala terobosan-terobosan dan ide-ide cemerlang yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.

Disinilah tantangannya, bagaimana bulan Ramadhan bisa menjadi momentum positif,  dalam menyemai benih-benih intelektualisme, dalam pengertian muncul segolongan umat yang mampu berbuat banyak bagi umat dan bangsanya sehingga berkemajuan dan berkeadaban. Apalagi, pada saat ini, bangsa kita dihadapkan dengan segala permasalahan bangsa yang komplek. Secara sadar ataupun tidak, kita merasakan bahwa saat ini bangsa sedang dalam kondisi sakit. Bangsa kita sedang dilanda krisis multi dimensi yang menghebat.

Dampaknya pada masyarakat misalnya, kehilangan pegangan hidup karena tumbangnya aturan sosial (social order) lama, sedangkan aturan sosial baru belum lahir. Andaikata social order yang baru telah terbentuk, pun belum kokoh untuk dijadikan pegangan hidup masyarakat. Keadaan seperti inilah yang kemudian dalam istilah ilmu sosial sering dinamakan sebagai anomali. Yakni suatu masa di mana masyarakat berada dalam kondisi kebingungan akibat serba ketidakpastian yang kadang-kadang membuatnya menjadi beringas dan tak beradab. Banyak hal yang menyebabkan kondisi demikian, dan salah satunya adalah gagalnya kaum intelektual dalam menjawab permasalahan bangsa yang berkembang dan tidak terselesaikan.

Kaum intelektual memang bukan satu-satunya golongan yang paling bertanggung jawab mengatasi persoalan kebangsaan. Tapi perlu diingat, pengelola negara dan policy maker adalah orang yang rata-rata dapat dipastikan berangkat dari lokus intelektualitas. Jika bangsa ini rusak, kelompok intelektual sudah barang tentu menjadi tertuduh pertama. Mengingat, sosok intelektual senantiasa di-gadang-gadang menjadi pionir utama dalam menapaki perubahan, idealnya umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas di negeri ini, yang menjalani ibadah Ramadhan bisa menjadikan bulan ini sebagai momentum untuk melatih sisi-sisi intelektualitas tersebut. 

Peran intelektual sejatinya juga mampu memberi kritik konstruktif-transformatif di ruang sosial. Sebab, kritik adalah mekanisme efektif untuk menjalankan kontrol. Sasarannya bisa berbagai bentuk keadaan yang tidak ideal sehingga dapat kembali ke kriteria yang dipandang ideal dan wajar. Jika ini mampu mewujud, akan betul-betul berbekas bulan Ramadhan tahun ini. Wallahu A'lam Bishawab.***


Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...