Tuesday, March 21, 2023

Perguruan Tinggi dan Character Building

Oleh: Syamsul Kurniawan (Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)

Karakter perlu dibangun (character building) dalam kerja-kerja tridharma perguruan tinggi. Untuk itu, seluruh unsur di perguruan tinggi perlu membangun komitmen bersama untuk menjaga arah kebijakan di perguruan tinggi tetap pada koridor yang kondusif dalam membangun karakter mahasiswa-mahasiswanya. Hasil yang diharapkan dari membumikan pendidikan karakter adalah bagaimana alumni-alumni perguruan tinggi di Indonesia kelak nantinya tidak hanya ungul berdaya saing, berkualitas dan mampu menjadi tenaga kerja produktif pada berbagai bidang, tetapi juga mempunyai karakter.

Mencapai kesemuanya itu, tentu bukan perkara mudah. Untuk tujuan tersebut diperlukan langkah-langkah strategis. Salah satunya adalah bagaimana pendidikan karakter dapat menjadi “ruh” dari perguruan tinggi. Ini berarti pula, pada perguruan tinggi, pendidikan karakter mestinya dapat membingkai dan menjiwai kerja-kerja tridharma perguruan tinggi yaitu pembelajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan kata lain, kerja-kerja tridharma perguruan tinggi tersebut hendaknya bisa berkorelasi dengan kerja-kerja membangun karakter.

Mengapa Penting?

Di tengah-tengah masyarakat yang cenderung hedonis, program membangun karakter di perguruan tinggi hendaklah memuat usaha untuk membantu para mahasiswa melihat kenyataan secara kritis. Membangun karakter di perguruan tinggi ini tercakup dalam tri dharma perguruan tinggi, yakni: pertama, pendidikan dan pengajaran; kedua, penelitian dan pengembangan; dan ketiga, pengabdian pada masyarakat. ketiga fungsi perguruan tinggi tersebut hendaknya dapat dikembangkan secara simultan dan bersama-sama.

Kegiatan penelitian dan pengembangan hendaknya menjunjung tinggi kegiatan pendidikan dan pengajaran serta kegiatan pengabdian pada masyarakat. Kegiatan penelitian diperlukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi. Untuk dapat melakukan penelitian diperlukan adanya tenaga-tenaga ahli yang dihasilkan melalui proses pendidikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan yang dikembangkan sebagai hasil pendidikan dan penelitian itu hendaknya dapat diterapkan melalui kegiatan pengabdian pada masyarakat sehingga masyarakat dapat memanfaatkan dan menikmati kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.

Dari sini semakin jelaslah hubungan antara masing-masing tri dharma perguruan tinggi. Kerja-kerja tri dharma perguruan tinggi ini dilakukan tetap berada dalam koridor kepentingan membangun karakter mahasiswa.Dalam menjalankan kerja-kerja tri darma perguruan tinggi tersebut, kegiatan mahasiswa diklasifikasikan ke dalam dua bentuk yaitu intrakurikuler dan ekstrakurikuler.

Kegiatan intrakurikuler adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan program pendidikan yang telah tersusun pada kurikulum program studi. Sementara kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan di luar jam pelajaran biasa (termasuk dalam waktu libur) yang dilakukan di kampus ataupun di luar kampus dengan tujuan menumbuhkan dan meningkatkan kompetensi/ karakter mahasiswa mengenai hubungan antara berbagai mata kuliah, menyalurkan bakat dan minat, meningkatkan kesejahteraan dan menumbuhkan kepekaan sosial serta melengkapi upaya mewujudkan manusia seutuhnya. Sementara kegiatan pada unit kegiatan mahasiswa adalah kegiatan kemahasiswaan yang meliputi: penalaran dan keilmuan, minat dan kegemaran, upaya perbaikan kesejahteraan mahasiswa, dan sosial kemasyarakatan. Tujuan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang dimaksud di sini adalah untuk memperluas wawasan, menyalurkan bakat minat, serta pembentukan karakter seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan tinggi. Kegiatan penalaran merupakan bagian dari kegiatan ekstrakurikuler yang menampung dan membentuk mahasiswa dalam meningkatkan dirinya sebagai mahasiswa pemikir, kreatif dan inovatif dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Contoh: diskusi ilmiah, seminar ilmiah, kegiatan bakti sosial, dan sebagainya.

Baik kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang merupakan implementasi dari tri darma perguruan tinggi, diharapkan mahasiswa dapat mengedepankan dan menggunakan rasionalitas dalam berpola pikir, berpola wicara, dan berpola perilaku. Kerja-kerja tri dharma perguruan tinggi sebagaimana di atas positif dalam membangun karakter pada mahasiswa. Karena melalui kerja-kerja tri dharma perguruan tinggi, mahasiswa dapat disiapkan dan diberdayakan agar mampu mempunyai kualitas karakter dan keunggulan daya saing guna menghadapi tuntutan, kebutuhan, serta tantangan dan persaingan dalam kehidupannya.Menilik peran dan fungsi mahasiswa yang begitu strategis, mahasiswa perlu memiliki karakter yang kuat.

Betul bahwa karakter seorang mahasiswa tidaklah dapat dibentuk secara otomatis; sim salabim. Seorang mahasiswa yang mengenyam dan menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi misalnya, tidak serta merta memiliki karakter unggul secara otomatis setelah menyelesaikan pendidikan tinggi mereka. Kata kuncinya adalah proses yang berkelanjutan.Meskipun demikian, bukan berarti karakter mahasiswa tidak dapat berkembang selama mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, karena karakter seseorang dapat ditumbuhkan secara perlahan dan berkelanjutan melalui proses pendidikan.

Mengevaluasi Kurikulum

Agar alumni-alumni perguruan tinggi kita tidak hanya unggul dan berdaya saing, atau mampu menjadi tenaga kerja produktif pada berbagai bidang, tetapi juga mempunyai karakter, maka pada ranah ini perlu diperlukan pembenahan kurikulum. Kerja-kerja untuk membenahi kurikulum pendidikan tinggi ini dalam rangka memuluskan cita-cita membumikan pendidikan karakter di perguruan tinggi. Hal ini penting diperhatikan, baik oleh perguruan tinggi maupun pemerintah (yang dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).

David Joseph Schwartz (1927-1987) mengatakan bahwa perguruan tinggi, dapat menggunakan kekuatan kurikulumnya, khususnya efek baiknya, untuk membentuk pemikiran dan karakter mahasiswanya. Kurikulum ini tidak saja membentuk intelectual habits namun juga moral habits mahasiswa. Saat ini yang diperlukan oleh perguruan tinggi adalah kurikulum pendidikan yang berkarakter; dalam arti kurikulum perguruan tinggi itu sendiri memiliki karakter, dan sekaligus diorientasikan bagi pembangunan karakter mahasiswa.

Perbaikan kurikulum perguruan tinggi dengan demikian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum itu sendiri (inherent), bahwa suatu kurikulum yang berlaku harus secara terus-menerus dilakukan peningkatan dengan mengadopsi kebutuhan yang berkembang. Terpenting pula bagi sebuah kurikulum adalah kemampuan suatu kurikulum dalam mengadaptasi perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dan menerapkannya dalam proses pendidikan.Konsepsi kompetensi mahasiswa yang diharapkan dari suatu kurikulum di perguruan tinggi yang terutama adalah melakukan sesuatu sesuai konteks dan secara kreatif. Isi (content) kurikulum di perguruan tinggi haruslah merupakan usaha-usaha yang terarah dan terpadu untuk membangun sikap mental mahasiswa yang memiliki karakter dan mampu membangun peradaban bangsanya sendiri. Selebihnya adalah pengkondisian nilai-nilai karakter melalui budaya kampus.***

Monday, March 20, 2023

Merenungkan Selera Bangsa

Oleh: Syamsul Kurniawan (Kaprodi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)

Pada hari ini, kita digempur habis-habisan oleh trend fashion dengan merek impor. Buka saja lemari pakaian kita, berapa banyak kemeja, kaos, dan celana yang kita koleksi “made in luar negeri”. Pikiran kita seperti telah mengkondisikan, bahwa mutu pakaian dengan merek luar negeri jauh lebih baik dari pakaian bermerek dalam negeri. Gaya hidup ini seperti telah menjadi bagian dari habitus kita.

Sebagaimana diungkap oleh Pierre Bourdieau (1977), habitus merupakan nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan terkondisikan melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama dan kemudian mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap dalam diri atau karakter seseorang tersebut. Habitus seseorang yang begitu kuat akan mempengaruhi tubuh fisiknya, dan ketika begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik yang disebut sebagai hexis.

 

Bandul semakin menjauh

Seyogyanya, jika kita cinta Indonesia, mencintai produk-produk buatan anak bangsa hendaknya bisa menjadi habitus kita. Bukan saja pada konteks industri fashion, melainkan dalam industri apapun. Karena siapa lagi yang akan mencintai produksi dalam negeri kalau bukan kita bangsa Indonesia. Dengan mencintai produk dalam negeri kita telah ikut memajukan perekonomian sekaligus membangun negara kita. Apalagi kalau mau objektif soal kualitas, “made in Indonesia” jelas tidak kalah dengan “made in luar negeri”. Karena itu kenapa harus mempersepsikan made in luar negeri jauh lebih baik daripada made in dalam negeri.

Ada banyak produksi dalam negeri yang tidak kalah dengan produk luar, meski tidak dimungkiri produk dalam negeri itu kalah tenar dengan barang luar sementara ini. Contoh, sejumlah kosmetik buatan dalam negeri tidak kalah mutu dan kualitasnya. Untuk itu, kesadaran masyarakat mencintai produk sendiri perlu ditumbuhkan. Sosialisasi tentang cinta pada produksi dalam negeri perlu terus-menerus dikampanyekan. Apalagi saat ini Indonesia tengah dibanjiri merek-merek dagang luar negeri. Tambahan lagi, masyarakat Indonesia seperti terikat menggunakan merek-merek dagang luar negeri.

Tak usah repot-repot untuk membuktikan asumsi ini. Saat penulis berkesempatan mengunjungi sebuah daerah perbatasan Indonesia- Malaysia di Kalimantan Barat, masyarakat mengkonsumsi beras, gula, dan lain-lain buatan impor negara tetangga. Padahal belum tentu produk impor ini aman dan layak konsumsi. Berbagai produk impor bisa saja tidak aman bagi kesehatan. Dengan kata lain merek tidak bisa menjamin kualitas.

Kecuali itu, tidak hanya penting dikampanyekan, perasaan cinta produk-produk anak bangsa ini perlu dididikkan sejak dini pada siswa-siswa di sekolah. Hal ini terutama karena sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, sudah semestinya bertanggung jawab menanamkan kecintaan siswa pada Indonesia. Mendidik siswa sehingga cinta Indonesia seharusnya merupakan bagian dari program pendidikan karakter di sekolah. Apalagi ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, yang mengisyaratkan pentingnya pendidikan karakter.

Kelemahan

Mari merenungi petikan pidato Sukarno pada HUT Proklamasi 1966, “Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah rakyat gotong royong.” Sebelumnya pada Pidato HUT Proklamasi 1963 Soekarno juga mengatakan, “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.”

 

Tidak salah apa yang dikritisi oleh mendiang Sukarno melalui pidatonya tersebut. Hal ini juga seturut dengan ajaran trisakti yang juga pernah diutarakannya, yang mana bangsa kita harus memiliki identitas dan harus memilki kepribadian rasanya harus dibangun kembali, suatu konsekuensi bangsa yang tidak memiliki identitas, adalah selalu dipandang sebelah mata, selain berakibat ketergantungan.

Perjuangan kita saat ini sudah bukan lagi dengan mengangkat senjata, bergerilya, dan berunding sana-sini, seperti pada masa Bung Karno atau pejuang-pejuang kemerdekaan kita dulu, namun masih banyak bentuk perjuangan lain yang dapat kita lakukan untuk memaknai kemerdekaan dan menunjukkan nasionalisme kita. Bangsa ini tidak akan pernah maju, kalau generasi bangsa ini tidak mau peduli. Bangsa ini tidak akan besar kalau generasi bangsa ini tidak punya kreativitas, dan bangsa ini tidak akan berkembang kalau generasi bangsa ini masih ketergantungan dengan produk luar negeri.

Kini saatnya kita harus merubah sikap, merubah pandangan dan merubah pola pikir. Bagaimana kita harus menjadi negara yang maju, seperti yang juga sudah dialami oleh bangsa-bangsa lain seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Jangan lagi kita ketergantungan dengan kedelai luar negeri lagi, beras Malaysia, Thailand atau Vietnam, serta berbagai peralatan elektronik dari Amerika, Jepang, maupun Korea. Demikian pula dalam soal pakaian, merek lokal tidak kalah bagusnya dibandingkan merek luar. Batik buatan luar negeri jelas dapat kita banggakan.

Saatnya kita bangkit. Itulah cita-cita yang pernah ditumbuhkan generasi bangsa ketika meneriakan reformasi. Usia reformasi sudah berjalan 20 tahun, namun kita belum beranjak keluar dari persoalan krisis ekonomi. Persoalannya adalah, karena kita kalah bersaing dan kita sendiri masih mencintai produk luar negeri. Untuk itu, mari kita mulai mencintai produk dalam negeri.

Tidaklah dapat dipungkiri, sejumlah merek terkenal luar negeri telah masuk ke Indonesia. Ditambah lagi Masyarakat Ekonomi ASEAN telah diberlakukan. Barang luar negeri dapat dengan mudah kita dapatkan, meski harganya mungkin relatif tinggi. Tak dimungkiri pula memakai barang-barang luar bisa jadi hanya sebatas gengsi dan biar dikatakan keren, meski belum dapat dipastikan barang yang dipakai punya kualitas yang bagus dan terjamin mutunya. Seperti paparan di atas, merek lokal belum tentu kalah kualitasnya jika dibandingkan dengan merek luar.

“Jangan tanya apa yang negara bisa berikan padamu, tapi, tanyakanlah apa yang kamu bisa berikan pada negaramu”. Begitulah kutipan yang dipopulerkan Presiden John F Kennedy, sahabat Presiden Bung Karno, suatu ketika. Sementara Bung Karno dalam Suluh Indonesia Muda, 1928 mengatakan begini: “Dan dengan lebih teguh keyakinan kita, bahwa nasib kita ada di dalam genggaman kita sendiri…; dengan lebih teguh keinsyafan kita, bahwa kita harus percaya akan kepandaian dan tenaga kita sendiri.”*

Sunday, March 19, 2023

Model Pendidikan Multikultural Bagi Madrasah

Oleh: Syamsul Kurniawan (Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak) 

PADA Qs al-Hujurat/49: 13, Allah Swt menekankan pentingnya umat Islam memiliki kesadaran multikultural, sehingga ia tidak merasa hidup sendirian di menara gading. Dalam Qs al-Hujurat/49: 13, Allah Swt menginformasikan tentang maksudnya menciptakan manusia dalam jenis kelamin laki-laki dan perempuan, berbeda bangsa dan suku, dan termasuk budayanya, adalah untuk saling kenal-mengenal dan/atau dengan kata lain saling memahami antar satu dengan yang lain.

Hal ini bisa kita mafhumi, bahwa dengan saling memahami antar satu dengan yang lain, akan terwujud kehidupan yang harmonis. Sebaliknya, tanpa kesediaan untuk saling memahami antara satu dengan yang lain, umat Islam yang hidup di tengah-tengah kondisi multikultural tersebut rentan terhadap konflik kekerasan. Hal ini karena konflik muncul, seringnya dari situasi ekslusifitas, intoleransi, siap merasa benar sendiri, bereaksi secara berlebihan dalam merespon persoalan, dan termasuk mengedepankan kekerasan dalam mengatasi persoalan yang ada. Maka, sebisa mungkin kecenderungan ke arah yang demikian ini bisa diminimalkan (Muzakkir, 2018, hlm. 96)

Dalam konteks masyarakat Indonesia, kondisinya sangat multikultural, terutama dari suku dan budaya yang dimilikinya, walaupun mayoritasnya berdasarkan perhitungan statistik memeluk ajaran agama Islam. Kondisi yang sangat multikultural ini jika tidak berhasil dikelola dengan baik, seperti yang telah disinggung, jelas rentan memicu konflik. Konflik seyogyanya adalah sesuatu yang alamiah. Hanya saja, konflik menjadi masalah serius manakala ia berlangsung kontraproduktif dan mengarah pada kekerasan dan bahkan anarkis. Kasus konflik kekerasan di Ambon, Poso, Sanggau Ledo, Sambas, Sampit, dan lain-lain pada akhir 1990-an dan jelang tahun 2000-an, adalah contoh bahwa bangsa ini rentan terhadap konflik kekerasan dan bahkan anarkis, dan sekaligus menyiratkan pentingnya pendidikan multikultural.(Mahfud, 2008, hlm. xix)

Pendidikan multikultural, mestinya bisa dibangun dari potensi-potensi budaya Indonesia yang banyak, dalam pengertian memberi tempat dan hak bagi budaya-budaya tersebut dalam pendidikan untuk berkembang, diwariskan, dan dikomunikasikan kepada peserta didik. Harapannya, pada peserta didik muncul kesadaran multikultural, yang mana dengan terbitnya kesadaran tersebut, antar budaya bisa saling berinteraksi, saling melengkapi dan mengisi satu dengan yang lain. Unsur-unsur dari kebudayaan lokal yang berbeda-beda ini, oleh agen-agen terdidik dari hasil pendidikan multikultural akan merawatnya sehingga menjadi kebudayaan nasional dan memperkayanya. (Muzakkir, 2018, hlm. 97–98)

Menimbang kondisi pendidikan di tanah air saat ini yang kurang mengadaptasikan kebutuhan multikulturalisme, maka pembaruan model pendidikan jelas menjadi sangat penting. Dengan pembaruan model pendidikan, pendidikan lebih adaptif dalam mengatasi persoalan-persoalan kekinian dan sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Tujuan pendidikan pun dengan demikian bisa dibuat beririsan dengan kebutuhan tersebut. Demikian pula pembaruan pendidikan ke arah model pendidikan multikultural, diharapkan mampu untuk mengatasi persoalan-persoalan kekinian dan sejalan dengan kebutuhan masyarakat, termasuk salah satunya dalam meredam konflik. Sebab ada keyakinan bahwa melalui model pendidikan multikultural, membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku peserta didik sehingga lebih inklusif terhadap kondisi masyarakatnya yang multikultural.(Muzakkir, 2018, hlm. 102)

 

Peluangnya di Madrasah

Dalam konteks madrasah sebagai wadah tempat di mana multikulturalisme disosialisasikan kepada peserta didik, yang tentunya mesti sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, sumber ajarannya mesti dari ayat-ayat Al-Qur‘an, Hadits, dan tafsiran-tafsiran ulama. Namun, tugas mensosialisasikan multikulturalisme ini pada peserta didik, selayaknya tidak bisa dilimpahkan begitu saja kepada guru mata pelajaran tertentu, melainkan pada semua guru yang ada di madrasah tanpa terkecuali, dalam pengertian nilai-nilai dari multikulturalisme bisa terintegrasi dan terinterkoneksikan pada mata pelajaran apapun yang diberikan kepada peserta didik. Kecuali itu, juga penting guru-guru mengajak peserta didik mendiskusikan isu-isu seputar multikulturalisme, dan menjadi teladan dalam bersikap yang sejalan dengan multikulturalisme. Maka, selayaknya guru tidak lagi menunjukkan sikap yang tidak memerdekakan peserta didik, seperti dengan menunjukkan sikap menghargai gagasan peserta didik dan mengapresiasi kreatifitas apapun yang selama itu baik dari mereka.

Menurut Muzakkir (2018: 105) guru-guru perlu memerdekakan peserta didik, mengapresiasi gagasan dan kreatifitas mereka yang baik, sehingga mereka merasa dihargai dan diperlakukan sebagai sosok yang amat dibutuhkan saat mereka menempuh pendidikan. Guru-guru penting sekali memberikan penguatan agar pengalaman belajar yang mereka peroleh bisa dikonstruksi sejalan dengan kebutuhan multikultural.

Hakikatnya, model pendidikan multikultural adalah model pendidikan yang mengakui dan menghargai keragaman. Kaitannya dengan ini, ada dua prinsip yang mesti diperhatikan dalam memperbarui model pendidikan ke arah modelnya yang multikultural: pertama, adanya dialog dalam prosesnya. Mustahil pendidikan multikultural diberikan, sementara dalam prosesnya tidak ada sama sekali dialog. Dengan dialog, maka peserta didik belajar untuk menerima perbedaan, mengakui serta memahaminya, dan bahkan berbagi perbedaan dengan sesamanya. Kedua, Toleransi. Toleransi adalah sikap mengakui dan menerima perbedaan yang ada. Baik dialog dan toleransi ini, kedua prinsip ini mesti ada pada model pendidikan multikultural. Bila dialog itu bentuknya, maka toleransi adalah isinya. Toleransi jelas diperlukan tidak saja pada ranah konseptual-teoritis, tetapi juga mesti teknis operasional-praktis. Kecenderungan inilah yang sering diabaikan dalam sistem pendidikan nasional kita di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pula di madrasah.(Syafiq A Mughni dalam: Mahfud, 2008, hlm. xiv)

Tentu saja ini gampang-gampang susah bagi madrasah, sebab ini berarti madrasah mesti mengorientasikan program apapun untuk kebutuhan multikulturalisme yang tidak mengesampingkan prinsip dialog dan toleransi dalam pengimplementasiannya. Berdasarkan prinsip ini, setidaknya ada lima karakteristik yang akan ada dari modelnya: pertama, belajar hidup dalam perbedaan; kedua, membangun tiga aspek mutual (mutual trust, mutual understanding, dan mutual respect); ketiga, terbuka dalam berpikir; keempat, adanya apresiasi dan interdependensi; dan kelima, adanya pengalaman belajar seputar resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.(Muzakkir, 2018, hlm. 107–109).

Kesadaran multikultural jelas merupakan bekal penting bagi peserta didik yang belajar di madrasah, agar mereka menghargai perbedaan, mengapresiasi perbedaan tersebut dengan tulus, bersikap dan berperilaku komunikatif dan terbuka dengan sesamanya, dan tidak saling curiga. Model pendidikan multikultural di madrasah, juga selayaknya mengajarkan peserta didik menampilkan wajah agama yang moderat dan ramah. Sehingga dalam konteks mereka sebagai pemeluk Islam, mereka menghargai kemajemukan dan menjalin kebersamaan.(Ali, 2008, hlm. 99–100)

Terakhir, model pendidikan multikultural perlu terimplementasikan di madrasah, apalagi mengingat posisi madrasah yang sama pentingnya dengan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Model ini mesti dilihat sebagai bagian dari ikhtiar untuk meminimalkan konflik kekerasan di tengah-tengah kita di masa-masa mendatang. Sebab, walaupun hasilnya tidak instan, tetapi model pendidikan multikultural sangat menjanjikan untuk mengatasi masalah tersebut. Seperti telah penulis singgung di muka, bangsa ini memiliki memori konflik berdarah-darah di masa lalu yang berlatarbelakang masalah etnis dan agama. Singkat kata, penulis ingin mengaris bawahi, bahwa konflik serupa bisa saja berulang, jika kesadaran multikultural ini luput dibangun di lembaga-lembaga pendidikan kita, termasuk madrasah.***

 

Bahan Bacaan

Ali, M. (2008). Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Kompas.

Mahfud, C. (2008). Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar.

Muzakkir. (2018). Perspektif Islam Tentang Pendidikan Multikultural. Inspiratif Pendidikan, 7(1), 96–112. https://doi.org/10.24252/ip.v7i1.4937

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...