Wednesday, April 1, 2020

Ironi Tafsir Cocokologi di Tengah Pandemi

Oleh: Syamsul Kurniawan

Wabah corona saat ini telah mendorong beragam tafsir di tengah-tengah kita. Salah satunya tafsir cocokologi. Belum luput dari ingatan kita tentang bagaimana buku Iqra’ yang biasanya digunakan oleh anak-anak TPA belajar mengaji, ada yang memelintir kata dalam buku tersebut, dan dihubung-hubungkan dengan corona. Menjadi virallah itu di media-media sosial. Kira-kira bunyi pesannya begini: 

“Kata corona disebutkan didalam buku IQRO, buku yang mengajarkan cara membaca Al-Qur‘an (huruf hijaiyah). Di dalam buku IQRO Jilid 1 halaman 28 di situlah terletak kata “Corona”. QO-RO-NA KHO-LA-QO ZA-MA-NA KA-DZA-BA, yang jika diartikan secara bahasa, artinya adalah: Corona Diciptakan (Kholaqo) pada Zaman (Zamana) yang penuh Kebohongan (Kadzaba).

Padahal, yang benar “Qo-Ro-Na” itu artinya menemani, kalau virus yang lagi viral itu mestinya “Kurunaa” (dalam bahasa arab) pakai huruf “kaf” bukan “qaf”. Begitupula “Kholaqo” itu artinya menciptakan bukan diciptakan. Sementara yang bermakna diciptakan itu “khuliqa” dengan memakai fi’il madhi majhul. Kadzaba juga fiil madhi yang artinya berbohong. Kalau mau diartikan sebagai “dusta/bohong” maka harus pakai mashdar “kadzibun”, tidak memakai fiil madhi.

Tetapi begitulah ironinya kita yang hidup di zaman post-truth ini. Informasi yang salahpun bisa diviralkan seolah-olah benar dan diikuti banyak orang. Hal ini karena sebagian orang pengguna media sosial hari ini, memang jarang sekali mengecek kembali kebenaran informasi yang mereka dapat. Yang penting sebuah informasi dianggap mereka menarik dan masuk logika mereka itu sudah cukup; meski informasi tersebut boleh dikatakan menyesatkan dan hanya cocokologi.

Tidak saja fenomena cocokologi buku Iqra’ dengan corona, pengguna media sosialpun mencocok-cocokkan beberapa ayat dari Al-Qur ‘an dengan kemunculan virus corona. Seperti misalnya ada yang mengait-ngaitkan Qs al-Ahzab ayat 33 dengan #stayathome saat masa pendemi. Terjemahan dari Qs al-Ahzab ayat 33, sebagai berikut: “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu (Wa Qarna Fî Buyūtikunna) dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Dalam Tafsir Jalalayn, ayat ini ditafsiri berikut: “(Dan hendaklah kalian tetap) dapat dibaca Qirna dan Qarna (di rumah kalian) lafal Qarna pada asalnya adalah Aqrarna atau Aqrirna, yang diambil dari kata Qararta atau Qarirta. Kemudian harakat Ra dipindahkan kepada Qaf, selanjutnya huruf Ra dan hamzah Washalnya dibuang sehingga jadilah, Qarna atau Qirna (dan janganlah kalian berhias) asalnya berbunyi Tatabarrajna kemudian salah satu huruf Ta dibuang sehingga jadilah Tabarrajna (sebagaimana orang-orang jahiliah yang dahulu) sebagaimana berhiasnya orang-orang sebelum Islam, yaitu kaum wanita selalu menampakkan kecantikan mereka kepada kaum lelaki. Adapun yang diperbolehkan oleh Islam adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya, ".. dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya." (Q.S. An-Nur, 31). (dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian) yakni dosa-dosa, hai (ahlul bait) yakni istri-istri Nabi saw. (dan membersihkan kalian) daripada dosa-dosa itu (sebersih-bersihnya.)”

Sementara Quraish Shihab menafsirkan ayat ini, dengan “Tetaplah berada di rumah. Jangan meninggalkan tempat tinggal kecuali jika ada kepentingan yang dibenarkan oleh Allah yang mengharuskan kalian keluar rumah. Jangan memperlihatkan keindahan dan perhiasan kalian kepada kaum lelaki jika kalian berada di luar, seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Jahiliah dahulu. Laksanakan salat dengan sempurna, tunaikan zakat, laksanakan segala perintah Allah dan Rasul serta tinggalkan segala yang dilarang. Dengan perintah dan larangan itu Allah bermaksud memberikan kehormatan dan kemuliaan kepada kalian.”
Berdasarkan ini jelas bahwa Qs Al-Ahzab ayat 33, ayat ini tidak mengena baik saat dilafadzkan maupun didalami maknanya jika dihubung-hubungkan dengan corona. Qs Al Ahzab ayat 33 dan kata tabarruj jelas-jelas berkaitan dengan pembahasan tentang perempuan-perempuan agar tidak berperilaku liar tanpa kendali agama. Atau dalam bahasa lain, memberikan sinyal tentang pentingnya “menundukkan pandangan” yang dalam Al-Quran dikenal dengan sebuah pernyataan “hendaklah mereka menahan pandangan dan kemaluan” (Surat An Nur ayat 30-31).

Di sinilah letak pentingnya, kemampuan menafsirkan Al-Qur‘an; bukan sekedar cocokologi. Toshihiko Isutzu dalam bukunya yang berjudul God and Man in the Koran: Semantics of the Qoranic Weltanschaung (2002) mengusulkan pendekatan semantik dalam menafsirkan Al-Qur'an.

Toshihiko Isutzu yang saya maksud di sini adalah seorang profesor pada institut studi kebudayaan dan bahasa di Universitas Keiyo, Tokyo. Ia pernah menjadi professor tamu di Institute of Islamic Studies, McGill University Montreal Kanada dan mengajar mata kuliah Teologi dan Filsafat Islam. Pada waktu di sinilah, sebuah buku ia susun, yang merupakan kuliah-kuliah yang diberikannya pada Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal Kanada pada musim semi tahun 1962 dan 1963 atas permintaan Wilferd Cantwell Smith, direktur institute waktu itu, mengusulkan pentingnya pendekatan semantik dalam menafsirkan Al-Qur'an.

Mengapa pendekatan semantik lebih relevan?
Pada dasarnya, Al-Qur’an dapat didekati dengan sejumlah cara pandang yang beragam seperti teologi, psikologi, sosiologi, tata bahasa, tafsir dan lain sebagainya termasuk “semantik”. Dapat dipahami pula, semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna/ arti yang terkandung dalam bahasa, kode, atau jenis lain dari representasi. Dengan kata lain, semantik adalah studi tentang makna. Semantik biasanya berhubungan dengan dua aspek lain: sintaks, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, dan pragmatis atau penggunaan praktis simbol dalam konteks tertentu. Singkatnya, semantik adalah disiplin linguistik yang mempelajari arti kata atau makna kata.

Melalui pendekatan semantik, Izutsu menganalisis istilah-istilah kunci dalam bahasa yang digunakan Al-Qur’an dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat, di mana bahasa itu digunakan, tidak sebatas perangkat bicara dan berfikir, tetapi lebih penting lagi, yaitu konsep dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Menurut Izutsu kata-kata atau konsep dalam Al-Qur’an itu tidak sederhana, sebab meski saling terpisah tetapi juga sangat saling terkait dan menghasilkan makna konkrit dari sistem hubungan itu. Artinya, sistem itu menghasilkan keteraturan yang menyeluruh, sangat kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja gabungan konseptual.

Secara umum, Izutsu menjelaskan bagaimana kehadiran Islam di Jazirah Arab, yang mentransformasi bangsa Arab ke dalam pandangan dunia Islam, atau yang lebih dikenal dengan islamisasi. Menariknya, proses islamisasi ini bermula dari bahasa dengan pendekatan semantik Al-Quran dan menganalisis kata-kata kunci yang terkandung di dalamnya, seperti kata: Allah, Iman, Syukur, Taqwa, dan sebagainya. Sebab kata kunci itu dipandang memegang peranan sentral dalam ajaran dan ideologi Islam. Menariknya lagi, kata-kata kunci itu sebenarnya telah dikenal oleh bangsa Arab pra-Islam, yang kemudian mengalami proses islamisasi. Misal kata “Allah”, bangsa Arab pra-Islam telah mengenal Allah sebagai Tuhan Maha Tinggi di antara tuhan-tuhan lokal, bahkan sebagian kecil dari mereka meyakini keesaan Allah. Mereka meyakini bahwa Allah sebagai pencipta alam semesta, pemberi hujan, dan pelindung Ka’bah. Namun demikian, mereka menolak ketika Al-Quran memposisikan Allah sebagai pengatur kehidupan manusia. Bangsa Arab lebih takut pada kematian ketimbang kepada Allah, karena secara umum mereka menganggap bahwa kematian merupakan akhir segalanya. Sementara, Islam memandang kematian sebagai proses menuju keabadian kehidupan berikutnya.

Menurut Izutsu, bangsa Arab tidak seperti bangsa Yunani yang senang berfilosofi dan berpikir global. Bangsa Arab pra-Islam adalah bangsa pragmatis, fatalis, dan partikularis, yang lebih senang mengungkap hal-hal detail ketimbang global. Izutsu memberikan ilustrasi apik, jika seorang Arab mendapati pohon, maka ia lebih senang menceritakan dahannya sedetail mungkin, daunnya serinci mungkin, atau keindahan bunganya dengan beragam ungkapan. Mungkin inilah penyebab mengapa bahasa Arab kaya dengan istilah untuk sebuah benda yang tampak sama. Namun, di sisi lain, mereka cenderung tidak melihat pohon sebagai sebuah sistem.

Kedatangan Al-Qur’an di tengah bangsa Arab menyebabkan kata-kata dan terminologi tertentu yang semula tidak berhubungan menjadi saling terkait erat serta membentuk sistem dan pandangan dunia baru, yang bertolak dari konsep Allah. Seperti kata “taqwa”, yang semula bermakna sikap manusia atau hewan yang berupaya mempertahankan diri dari serangan musuh, kemudian diubah oleh Islam menjadi “takut kepada Allah dengan mematuhinya”. Kata “taqwa” kini terhubung pada kata “Allah”. Kata “taqwa” yang semula bukan merupakan kata penting dalam bahasa Arab, menjadi kata kunci dalam pandangan dunia Al-Quran. Demikian halnya dengan kata-kata kunci lainnya. Dengan demikian, Islam telah mengubah paradigma bangsa Arab yang semula berpusat pada manusia (antroposentris) menjadi pandangan yang menyatakan secara tegas akan sentralitas Allah (teosentris) dalam kehidupan, meskipun tanpa menafikan peran manusia. Keduanya terhubung oleh relasi tertentu.

Memahami relasi Tuhan dan manusia
Kembali pada fokus, bagaimana seorang penafsir ingin memahami relasi antara Tuhan dan manusia dengan analisis semantik Al-Qur'an?. Dalam mendekati Al-Qur’an, Isutzu mengusulkan konsep segitiga relasi Tuhan dan manusia, yaitu relasi ontologis, relasi komunikatif dan relasi etis. 

Pertama, Relasi Ontologis, di mana Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia yang utama dan manusia sebagai representasi wujud yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Salah satu pertanyaan dasar dan selalu mengusik pikiran manusia dalam weltanschauung religius dan filosofis adalah eksistensi manusia. Pertanyaan abadi dan berulang-ulang adalah: Dari mana manusia berasal? Apa sumber wujudnya di dunia ini? Menurut Al-Qur‘an, Allah adalah pencipta manusia, sumber wujud yang menganugerahkan eksistensi manusia. Jadi secara ontologis, relasi antara Allah dan manusia adalah relasi antara sang pencipta (khâliq) dan yang diciptakan (makhlûq). Manusia sebagaimana diasumsikan bukanlah satu-satunya ciptaan Allah, sebab ada juga ciptaan lainnya, seperti malaikat, jin, langit dan bumi, matahari, bulan, siang dan malam, gunung dan sungai, pohon-pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan, hingga semua jenis binatang, dan bahkan segala yang ada di alam semesta ini yang tak dapat disebutkan satu persatu. Hal ini menunjukkan bahwa ada sebuah kekuatan yang dapat menciptakan segala hal dan juga menjaganya, pencipta itulah Allah Tuhan semesta alam.

Kedua, Relasi Komunikatif. Menurut Isutzu, antara Tuhan dan manusia harusnya dapat dibawa ke dalam korelasi yang dekat, melalui komunikasi timbal balik. Relasi ontologis memperjelas adanya hubungan komunikatif yang bersifat langsung dan bertimbal balik antara Pencipta dan manusia yang diciptakan. Komunikasi itu terjadi melalui dua cara, yaitu melalui penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak, dan melalui penggunaan tanda-tanda alam oleh Tuhan dan isyarat-isyarat atau gerakan tubuh oleh manusia. Dengan demikian komunikasi tipe pertama bersifat linguistik atau verbal, sedang komunikasi tipe kedua bersifat non linguistik atau non verbal. Namun problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai dzat yang ghaib atau supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non-natural, sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa alamiah atau sistem bahasa natural. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam konteks ini Fazlur Rahman berpendapat bahwa proses pewahyuan bukan merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian inspirasi ke dalam hati Nabi Muhammad.

Izutsu menilai problem itu dapat diatasi dengan mengemukakan teori perantara yang bertugas menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan manusia. Artinya, wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu, yaitu Tuhan, Perantara dan manusia. Dalam hal ini ada tiga cara pengiriman wahyu yang berbeda-beda, yaitu komunikasi misterius, berbicara dari balik tabir, dan mengirimkan seorang utusan.

Kecuali itu, kita juga perlu memahami bahwa juga ada kecenderungan relasi Tuhan dan manusia dalam bentuk komunikasi sebagaimana tuan dan hamba. Maksudnya, Tuhan sebagai tuan (Rabb), dan manusia sebagai hamba (abd). Tuhan sebagai Tuhan (Rabb), maka semua konsep tentang Tuhan berhubungan dengan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan mutlak-nya dan lain sebagainya. Sedangkan di pihak manusia sebagai hamba (‘abd), seluruh konsep merepresentasikan kerendahan, kepatuhan mutlak, dan sifat-sifat serupa lainya yang tercakup di dalam dan terkait dengan kata jahiliyyah. Al-Qur‘an mencatat Allah adalah penguasa mutlak, sebagai satu-satunya Tuhan yang berkuasa di alam semesta, sementara manusia adalah hamba (‘abd). Sebagai hamba (‘abd), manusia harus bersikap berserah diri sepenuhnya, merendah, dan menghinakan diri di hadapan-Nya tanpa syarat.
Ketiga. Relasi Etik; yakni adanya perbedaan yang paling mendasar antara keduanya. Etika terkait erat dengan apa yang harus dilakukan manusia terhadap Tuhan tentang perintah dan larangan Tuhan, maupun bagaimana Tuhan berkehendak terhadap makhluk-Nya.

Analisis semantik yang dilakukan ketika menafsirkan Al-Qur'an berarti melakukan analisis unsur-unsur dasar dan relasional terhadap istilah kunci Al-Qur'an, sehingga pada akhirnya membantu pembaca merekonstruksi struktur keseluruhan budaya sebagai konsepsi masyarakat yang sungguh-sungguh ada. Dengan demikian tidak sebatas mencomoti ayat-ayat yang dicocok-cocokkan dengan kondisi yang tengah dialami atau cocokologi, sebagaimana contoh yang sebelumnya telah saya bahas.

Berkaitan dengan model analisis semantik ini yang disebut Izutsu sebagai weltanschauung semantik budaya, didalamnya terdapat upaya mencari makna dasar suatu kata, kemudian mencari hubungan antara kata itu dengan kata yang lain yang disebut makna relasional. Makna relasional ini secara tidak langsung akan menggambarkan budaya pada masa dimana kata dalam Al-Qur'an itu digunakan, dan pemahaman ini akan mewujud proses rekonstruksi budaya yang bisa membentuk konsepsi masyarakat pada masanya.

Hal ini bisa dipahami bahwa bahasa merupakan kunci sebuah kebudayaan manusia. Setiap bagian dari belahan dunia memiliki bahasanya masing-masing yang itu bukan hanya menunjukkan bahasa, melainkan konsepsi yang berisi kepercayaan dan hal-hal lainya dalam komunitas tersebut. Wajar bila Izutsu ingin mengetahui budaya dan konsepsi masyarakat pada zaman itu dengan menggunakan analisis bahasa dengan makna dasar dan relasionalnya.

Pendekatan semantik atas Al-Qur'an yang diusulkan Isutzu yang mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya, tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan dan makna konsep yang satu dengan lainnya sekaligus mengetahui posisi konsep yang dibahas dalam sistem konsep yang lebih luas, serta untuk mendapatkan pemahaman secara komprehensif. Karena itu, perhatian terhadap aspek-aspek sinkronik dan diakronik perlu diwujudkan. 

Inilah yang jangan sampai luput dari perhatian kita yang ingin menafsiri Al-Qur‘an dengan pendekatan semantik. Aspek sinkronik adalah aspek yang tidak berubah dari sebuah konsep atau kata, sementara aspek diakronik adalah aspek yang selalu berubah/berkembang dari masa ke masa. Perkembangan konsep dalam kajian Al-Qur’an dimulai dari masa pra-Qur’anik (jahiliyah), berlanjut ke masa Qur’anik dan Pasca-Qur’anic. Masa demi masa mengalami perkembangannya sendiri melalui konteks yang terjadi. Intinya, dengan meneliti semantik bahasa serta hal-hal yang melingkupinya, diharapkan dapat menemukan pandangan suatu teks Al-Qur’an tentang ‘sesuatu’ (Being) sebagaimana makna Al-Qur’an itu sendiri.

Sekali lagi, tidak elok rasanya jika ayat-ayat Al-Qur‘an dicocok-cocokkan untuk sebuah pembahasan yang tidak ada hubungannya sama sekali. Ketimbang mempercayai sebuah tafsiran yang cocokologi, mengapa tidak mengambil tafsiran-tafsiran yang lebih otoritatif dari ulama-ulama yang menafsirkan Al-Qur‘an dengan metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan; seperti misalnya ulama-ulama yang menafsiri Al-Qur‘an dengan pendekatan semantik sebagaimana usulan Isutzu.*** 

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...