Thursday, January 13, 2011

Al-Qur‘an yang “Dibaca” dan “Dipahami” (Bagian Tiga dari Tiga Bagian Tulisan)

Oleh: Syamsul Kurniawan

ANNA M. Gade pada bukunya The Qur‘an: An Introduction mengungkap tentang pentingnya berbagai literatur yang meringkas sejarah kondisi dan keadaan tertentu dari penyataan ayat-ayat Al-Qur'an, khususnya sebagai landasan bagi muslim yang membaca atau mempelajari teks Al-Qur’an. Literatur-literatur tersebut menurutnya sangat membantu dalam memberikan informasi bagi para pembelajar Al-Qur‘an yang katakanlah “baru mengenal Al-Quran” secara akademis, yang dengannya mereka mulai berkeinginan mendalami Al-Qur’an.

Adapun tentang wahyu, sebagaimana yang dipelajari dan dipahami oleh umat Islam kebanyakan, merupakan bagian integral dari makna teks Al-Qur‘an itu sendiri. Meskipun tidak semua ayat-ayat yang diwahyukan kita berhasil temukan konteksnya. Meskipun begitu, sebagian ini juga cukup membantu. Literatur-literatur ini dapat dijadikan sebagai pijakan-pijakan historis dalam kerja-kerja mempelajari dan/atau memahami Al-Qur‘an. Membangun kesadaran tentang pentingnya memeriksa kondisi temporal di seputar turunnya wahyu atau Al-Qur‘an boleh dikatakan adalah langkah pertama yang penting bagi setiap pembelajar atau pengkaji Al-Qur‘an, apalagi bagi yang baru mendalami studi Al Qur'an ini secara akademis. Sebagaimana dikatakan oleh Gade, kesadaran di tengah-tengah umat Islam akan hal ini akan membentuk bagaimana umat Islam dan atau lainnya, menerima, mempelajari dan kemudian menafsirkan Al-Qur'an.

Contohnya adalah kategori-kategori ayat Mekah dan Medinah. Sebutan ini, menurut Gade, bagi sebagian orang mengaitkannya dengan nama-nama tempat turunnya Al-Qur‘an (kota-kota di Mekkah dan Madinah), yang dalam Ulumul Qur'an, menjadi rujukan dalam mempelajari dan memahami makna dari pewahyuan. Secara khusus, mereka menunjukkan apakah sebuah ayat atau bab yang dimaksud dipahami telah diungkapkan sebelum atau sesudah peristiwa hijrah (emigrasi) Nabi dan komunitas Muslim dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 M. Di luar ini, ketentuan temporal juga mungkin digunakan untuk membedakan sifat dari bahasa dan gaya bahasa Al-Qur’an, baik dalam ilmu-ilmu agama Islam klasik serta dalam tradisi akademis Eropa baru-baru ini. Misalnya, ayat-ayat yang dimulai dengan "Hai orang yang beriman" (ya ayyuha alladhina amanu) menjadi ketentuan ayat "Madaniyah" karena ayat-ayat dalam gaya itu semua diperhitungkan sampai saat ini untuk periode selanjutnya dalam sejarah komunitas Muslim pertama.

Idealnya, pembelajar Al-Qur‘an pada hari ini telah terbantu oleh beberapa pendekatan Muslim modern yang membangun konsep "Makkiyah" dan "Madaniyyah", sebagai prinsip hermeneutik untuk menganalisa apa yang dianggap sebagai dimensi "universal" dan "kontekstual" dari perintah etis dan teologis seputar Al-Qur’an.

Menurut Anna M. Gade dalam The Qur‘an: An Introduction (1998), memahami kategori temporal ini bagi umat Islam melalui lensa Ulumul Qur‘an, apakah sebagai jenis ide, gaya retoris, kategori hukum, atau juga mengenai keadaan historis dan tempat, membutuhkan pengetahuan tentang bagaimana mereka sepatutnya bisa mempelajari dan kemudian memahami Al-Qur‘an sebagai sebuah teks yang berhubungan dengan kronologi pewahyuan dalam perjalanan dari pengalaman historis Nabi Saw.

Hubungan interteks dari sejarah komunitas Muslim pertama (dan secara khusus, biografi Nabi Muhammad saw) sebagai teks aktual dari teks Al-Qur'an yang terjadi, setidaknya bisa dirumuskan ke dalam tiga bentuk asumsi: pertama, pengalaman sejarah dipahami menjadi konteks untuk pewahyuan Al-Qur'an dari sejarah kitab suci umat Islam yang universal. Sejarah umat dimulai dengan kisah penciptaan manusia pertama, Nabi Adam, sebagai bagian dari cerita mengenai Nabi yang datang setelah dia, yaitu Muhammad, sebagai Nabi yang terakhir; kedua, banyak konten Al-Qur'an dipahami untuk merujuk langsung pengalaman sejarah spesifik dari komunitas Nabi Saw. Sebagai contoh, ada tokoh-tokoh yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an, tetapi identitas khususnya masih dikatakan dan diketahui oleh umat Islam melalui sejarah komunitas muslim awal; ketiga, sejarah, konteks, dan perubahan adalah dalam diri mereka yang terkandung semua prinsip-prinsip mental untuk menafsirkan teks. Hal ini sangat relevan untuk masalah hukum, seperti dengan "penghapusan" dalam penerapan putusan hukum.

***

Dalam masing-masing asumsi ini, terutama untuk memahami masa lampau Islam, "latar belakang sejarah" pewahyuan Al-Qur'an akan membantu menentukan bagaimana makna teks bisa diterima, dipelajari dan dipahami sebagai peristiwa keagamaan oleh umat Islam saat ini. Begitupula para ahli sejarah yang bekerja dalam tradisi akademis Eropa yang meneliti Al-Qur‘an juga telah menanyakan hal-hal terkait, tetapi kadang-kadang juga pada dasarnya berbeda, tentang macam-macam pertanyaan mengenai teks Al-Qur'an dan konteks historisnya. Para ahli sejarah dan filolog dari Al-Quran yang secara umum dikenal sebagai "orientalis" seperti Theodor Nöldeke (1836-1930), dan yang lain yang datang sesudahnya, menjelaskan kepentingan utama mereka yang berkaitan dengan Al Qur'an yaitu adalah bagaimana mereka bisa merumuskan Al-Qur‘an secara kronologi.

Secara umum, para pembelajar Al-Qur‘an yang berasal dari kalangan orientalis Eropa ini menurut Gade, umumnya kurang tertarik untuk belajar tentang cara-cara di mana intertekstualitas yang diterapkan dan/atau dialami. Banyak orang dalam tradisi "orientalis" pada zaman kolonial, dan bahkan sesudahnya, juga tidak menghargai Al-Qur'an secara tulus. Mereka hanya fokus pada "sejarah agama" yang pada konteks ini digunakan mereka untuk mempelajari dan memahami Al-Qur’an. Sejarah agama ini menurut mereka yang harusnya terbuka bagi siapa pun, dan mestinya jika ingin dipelajari secara obyektif sepatutnya bisa sementara waktu menanggalkan komitmen iman atau bahkan tidak punya komitmen itu sama sekali, sehingga bisa secara objektif menjelaskan “nomena” dari yang ingin dipelajari. Hal ini diperlukan untuk mempelajari misalnya, pandangan-pandangan dalam tradisi Muslim, terutama untuk memahami informasi tentang sistem sosial umat Islam di masa lampau yang bersumber dari (salah satunya) Al-Qur‘an.

Untuk tujuan akademis ini, menurut para orientalis bahkan seorang yang sekuler, dapat saja bagi pengkaji Al-Qur‘an menjadi sumber data primer, apalagi kadang-kadang mereka memang memberikan informasi yang kontras atau konteks baru untuk kemudian diklaim sebagai kebenaran dalam bingkai kepentingan "orientalisme" (yang membayangkan Timur Muslim) dan "oksidentalisme (sebuah khayalan yang dimaksudkan untuk mengetahui non-Muslim-Barat). Selain itu, dalam banyak kasus sebenarnya ada dasar untuk menerima laporan historiografis yang berasal dari tradisi Muslim dalam konteks ini. Seperti inilah konsekuensi yang harus diterima jika pembaca dan pengkaji Al-Qur’an mengikuti alur metodologis dari disiplin ilmu sejarah agama-agama, untuk menelaah teks wahyu atau Al-Qur‘an.

Metode dan pendekatan dalam disiplin ilmu sejarah agama-agama memang memiliki klaim-klaim semacam itu, yang pada saat yang sama ada keharusan untuk melakukan "epoche” atau mengumpulkan fakta fenomenologis tentang kebenaran, untuk kepentingan menganalisis kehadiran dan penerimaan Al-Qur’an yang berkembang di tengah-tengah umat Islam. Sebagai contoh, sebagian sejarawan muslim yang enggan menerima "isra’ dan mi’raj" Nabi sebagai peristiwa yang betul-betul terjadi. Mereka-mereka ini merasa cukup memahami maksud ayat dari sudut signifikansi dan dampak dari kisah tersebut. Di sinilah, teks-teks Sirah menurut Gade, akan sangat membantu menjelaskan tentang bagaimana tradisi-tradisi yang bertumbuh dan berkembang yang berpusat di sekitar kehidupan Nabi Muhammad. Ini penting dikaji dan dipahami lebih dulu, sebelum Al-Qur‘an diselami lebih dalam makna kandungannya.

***

Gade mengingatkan umat Islam yang tengah belajar atau mengkaji Al-Qur‘an agar memahami konteks di seputar Nabi Saw. Nabi misalnya, lahir dalam konteks situasi ekonomi dan politik di jantung pusat perdagangan di Jazirah Arabia, tepatnya di Kota Mekah. Wilayah-wilayah di sekitar kota Mekah memang dikenal sebagai pusat perdagangan barang-barang seperti kulit dan kurma. Kecuali itu, Nabi yang berasal dari suku yang dikenal sebagai suku Quraysh, dari salah satu klannya yang disebut "Bani Hasyim".

Jelas ada kontak dan pengaruh timbal balik di antara komunitas Yahudi, Kristen, Zoroastrian, serta ikatan nomaden suku Arab di seluruh wilayah pada saat itu di Arab. Namun demikian, Arabia juga diperhitungkan sebagai sesuatu yang mewakili citra warisan budaya dan politik dari dunia Mediterania dan Persia yang lebih maju. Politik regional ini menurut Gade jangan sampai luput, karena bagaimanapun sulit untuk memungkiri bagaimana ketika Islam tumbuh dan berkembang di Arab, Arab saat itu telah didominasi oleh kekuatan dua kerajaan, Bizantium (Yunani) dan Sassania (Persia). Sampai kemudian keduanya diceritakan dalam sejarah mengalami pergolakan (terutama dalam aspek ekonomi). Bersamaan dengan itu, Islam kemudian mendapatkan momentumnya untuk bangkit.

Mekah menurut Gade, adalah kota yang menjadi tujuan dari ziarah tahunan suku-suku Arab di wilayah itu, dan itu adalah Ka'bah. Sementara Ka’bah sebagaimana diinformasikan dalam sejarah, merupakan tanggungan keluarga Nabi. Kakek Nabi Muhammad sendiri, Abd Al-Muttalib, dikatakan telah menemukan kembali sumur Zamzam di situs Ka’bah tersebut. Dalam sebuah kisah, sumur zam-zam ini adalah sumber air yang sama dengan sumber air yang menyelamatkan Hajar dan anaknya (Nabi Ismail) dari kehausan, setelah mereka ditinggalkan berdua di gurun pasir yang terik oleh ayahnya Ibrahim.

Kaitannya dengan Ka'bah, yang juga disebut sebagai "Rumah Tuhan" (bait Allah), dikabarkan oleh sejarah tentang bagaimana ia kembali dipugar oleh Nabi Saw sendiri, dari bangunan pertamanya yang didirikan oleh Nabi Ibrähim. Bahkan ada pula informasi lain yang percaya bahwa nenek moyang manusia, yaitu Adam dan istrinya, setelah diusir dari surga kembali bertemu di lokasi yang sama dengan lokasi Ka’bah pada hari ini. Saat ini Ka’bah masih menjadi tempat yang di tiap tahunnya selalu ramai dikunjungi oleh umat Islam di seluruh dunia; untuk kepentingan haji dan umrah.

Kecuali itu, istilah-istilah Al-Qur'an sendiri yang telah kita bahas sebelumnya, begitu beragam dan kaya makna, mesti disadari oleh para pembelajar atau pengkaji Al-Qur‘an, sehingga mereka tidak terburu-buru menyimpulkan maksud ayat yang mereka pelajari atau kaji. Sebagai contoh, Qs al-Hujurat (49). Surah ini dalam konteksnya diterima oleh Nabi Saw yang berhadap-hadapan dengan suku-suku Arab yang heterogen. Ayat ini menurut Gade jelas kaya dengan perspektif teologis, di mana pada ayat pada Qs al-Hujurat (49): 14 misalnya, kita bisa membedakan konsep keyakinan (iman) dari ketundukan (Islam). Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah “kami telah tunduk”; karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sediitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sisi lebih dari buku yang ditulis Gade, adalah penjelasan-penjelasannya yang mengalir dan mudah dipahami. Tidak seperti kebanyakan buku-buku Ulumul Qur‘an.***

Wednesday, January 12, 2011

Al-Qur'an yang "Dibaca" dan "Dipahami" (Bagian Dua dari Tiga Bagian Tulisan)

Oleh: Syamsul Kurniawan

KECUALI ayat dan surah, Al-Qur‘an juga terdiri dari juz-juz. Ada tiga puluh juz pada Al-Qur‘an. Juz terakhir dari Al Qur'an disebut "Juz Amma" karena diambil dari kata pertama dari juz tersebut, yaitu "amma". Materi dari juz ke tiga puluh dari Al-Qur'an, "Juz' Ammã," umumnya bagi Muslim menjadi ayat-ayat pilihan untuk dibacakan sebagai doa harian.

Pembagian seluruh Al Qur'an menjadi tiga puluh bagian juz, menurut Gade, memungkinkan bagi umat Islam untuk membaca Al-Qur’an, untuk tujuan menyelesaikan pembacaan lengkap selama sebulan, seperti selama bulan suci Ramadhan, terutama ketika shalat "tarawih." Dengan demikian, seluruh ayat Al Qur'an tuntas dibaca selama sebulan Ramadhan dan final sebelum hari-hari terakhirnya.

Selain itu, pembagian teks menjadi tiga puluh juz 'juga membantu umat Islam yang membaca Al-Qur‘an dalam menghapal Al-Qur’an. One day one juz. Satu hari satu juz, maka dengan berlatih dan mengulang Al-Qur'an secara rutin tiap hari selama setiap bulannya, potensi seseorang untuk hapal Al-Qur‘an jadi semakin mungkin.

***

Para pembelajar Al-Qur‘an umumnya mengetahui bahwa dalam penulisan Al-Qur'an umumnya tidak ada ketentuan pengorganisasian materi berdasar pada topik yang memiliki tema atau subjek tertentu, dan Al-Qur'an tidak selalu ditulis dalam narasi atau cerita, seperti halnya Pentateuk oleh Alkitab Ibrani atau Injil Perjanjian Baru (Gade menyebut hanya ada dua sürah dalam Al-Qur'an mewakili model ini, surah Yusuf yang berkisah dengan sangat baik seputar Nabi Josepi [Yüsuf], dan surah Nuh yang mengisahkan Nabi Nuh.)

Sistematika materi Al-Qur'an yang umumnya dipelajari oleh umat Islam sebagaimana diungkap oleh Gade pada bukunya, memang membuat kesan pola-pola-seperti nonlinier, dari pergeseran struktur dan gayanya. Namun, prinsip-prinsip organisasi dan koherensi dari teks yang diterima, telah diakui oleh sebagian umat Islam untuk mendukung klaim teologis dari "kesempurnaan" Al-Qur‘an itu sendiri sebagai mukjizat. Al-Qur‘an juga menjadi sebab umat Islam merenung secara mendalam pada interelasi bagian-bagian teks. Bahwa "Al-Qur'an" dalam menjelaskan dirinya sendiri, telah diulas oleh para sarjana klasik seperti Abü Hämid Al-Ghazäli yang berpengaruh (w. 1111), menjadi aturan pertama penafsiran Al-Qur’an di berbagai macam, dan oleh sebagian orang dianggap menjadi lebih signifikan.

***

Anna M.Gade pada bukunya juga mengulas tentang beragam wajah Al-Qur’an sebagaimana yang diajarkan atau dipelajari oleh umat Islam. Ekspresi Al-Qur’an tersebut seringnya dikenal sebagai “dhu wujuh”, sebuah ungkapan dalam Bahasa Arab yang berarti multifaset (secara harfiah, memiliki banyak wajah). Dalam berbagai sumber klasik, ungkapan ini mengacu pada makna multivalen dari kata-kata dan frasa-frasa partikular dalam Al-Qur'an. Contoh ini akan menjadi cara-cara di mana morfologi (struktur) Bahasa Arab memungkinkan banyak kata yang berbeda untuk diturunkan dari bentuk akar tunggal. Nama-nama Qur‘an, itu sendiri merupakan contoh ekspresi multifaset yang dimaksud oleh Gade.

Banyak nama Qur’an justru diberikan oleh Qur’an itu sendiri. Ini menunjukkan hakikat Quran. Umat Islam jelas menyepakati bahwa Al-Qur‘an berasal dari Bahasa Arab yang dikatakan berasal dari akar kata Arab "q, r", di mana bagian terakhir diberi tanda harakat hamzah. Tiga akar kata ini menandakan bacaan atau bacaan, seperti dalam kata iqra’, perintah untuk membaca yang tertera pada surah 96. Namun ini bukan satu-satunya nama Al-Qur‘an. Al-Qur‘an juga menyebut dirinya sebagai kitab atau buku. Istilah lain Al-Qur‘an yang diberikan Al-Qur'an, seperti bimbingan, pengingat, dan cahaya, menekankan aspek yang berbeda dari arti atau istilah Quran. Sebagai tambahan, Qur'an juga menyebut dirinya dengan banyak pengertian, seperti tanzil, dzikir, nur, burhan, furqan.

Dalam Yünus (10): 57, Al-Qur‘an menawarkan beberapa istilah untuk dirinya sendiri dalam satu ucapan tunggal "Wahai manusia, telah datang kepadamu dari Tuhanmu sebuah nasehat (mauizah), sebuah penyembuhan (syifa) untuk apa yang ada di dalam hati, dan sebuah bimbingan (huda) dan rahmat bagi para orang percaya.”

Al-Qur‘an mengidentifikasi dirinya secara eksplisit sebagai bacaan "Arab" berkali-kali. Bahasa Arab, bahasa Semit, terkait dengan bahasa Ibrani. Qur'an yang berbahasa Arab tidak persis sama dengan dialek vernacular sehari-hari yang didengar di sebagian besar dunia berbahasa Arab hari ini. Namun, Qur'an Arab, atau fushă, jauh seperti Arab standar modern, yang terdengar lebih formal dalam siaran dan komunikasi publik di seluruh dunia berbahasa Arab. Penguasaan fushã telah lama menandai dan perlambang "kefasihan" dalam sistem bahasa Arab. Yang terakhir menjadi makna dasar dari istilah Arab itu sendiri.

Al-Qur'an yang berbahasa Arab inilah yang kemudian dipelajari dan dipahami karena merupakan dialek yang digunakan oleh Nabi Muhammad Saw, salah satu dari beberapa model Bahasa Arab yang digunakan di jazirah Arab di jaman itu (awal abad ketujuh M). Gagasan tentang ekspresi "Arab" pada aras ini menurut Gade adalah bagian penting dari bagaimana Al Qur'an disampaikan.

Dalam banyak contoh ayat, dipaparkan Alquran sebagai sebuah kitab yang bersumber dari bahasa Arab yang murni. Contohnya adalah ayat berikut: "Sesungguhnya orang fana mengajarkannya [Nabi Muhammad]." Lidahnya yang mereka curigai adalah orang asing, padahal ini adalah bahasa Arab yang jelas. (Qs Al-Nahl (16): 103). Ayat-ayat Al-Qur'an yang lain mengaitkan gagasan bahasa Arab dengan "pemahaman," seperti QS  Al-Zukhruf (43): 3, "Kami telah menjadikannya Al-Quran dalam Bahasa Arab yang mungkin Anda pahami. Pengantar untuk sürah yang lain, Qs Yüsuf (12): 1-2, mengungkapkan gagasan serupa: “Bismillah Al-Rahmán Al-Rahim.  Alif Lăm Ră. Ini adalah ayat-ayat yang tertulis dengan jelas (al-kitab al-mubin). Kami telah mengungkapkannya sebagai Qur'än yang berbahasa Arab (al-qur’anan 'arabiyyan) yang mungkin Anda mengerti” (Qs Yüsuf (12): 1-2).

Pendapat tentang Al-Qur‘an yang  "Arabian" juga berhubungan dengan pernyataan teks tentang kekhususan dan keumuman dari pesan yang ingin “dipahami” (Qs Fussilat (41): 44). Dalam ayat ini, Al-Qur'an telah memberikan alasan, yang dinyatakan dalam bentuk hipotetis, yang kemudian menegaskan tentang sifat Al-Qur'än yang berbahasa Arab dan juga aksesibilitasnya yang universal dari keseluruhan pesan yang disampaikan. Di sini, kebenaran agama oleh umat Islam diklaim, baik untuk diterima atau tidak, didasarkan terutama pada kemampuan batin pendengar untuk menegaskannya, daripada ekspresi yang dapat dimengerti dalam sistem bahasa tertentu. Sebagai perkataan Tuhan (kalam Allāh), ayat-ayat Al-Qur‘an secara keseluruhan dipelajari dan dipahami dari perspektif agama untuk menjadi narasi suara Tuhan, bahkan ketika diungkapkan dengan suara oleh suara orang-orang yang mempercayainya semisal saat pengajian.

Suara "yang digambarkan” dalam Al-Qur'an diklaim dari Tuhan, tetapi gaya retorik Al-Qurãn jelas telah diekspresikan melalui interpretasi-interpretasi yang diberikan melalui sejumlah diskusi internal dan ceramah-ceramah, sifatnya relatif, bergantung pada ekspresi yang terus bergeser dalam struktur dan gayanya. Bentuk dari beberapa jenis model ayat dari Al-Qur‘an menandakan jenis pesan yang mereka ungkapkan. Misalnya, apakah ayat Al-Qur‘an di alamatkan langsung kepada Nabi Saw atau kepada orang yang beriman, dari sekian banyak ayat Al-Quran yang diinterpretasikan.

Al-Qur'an sebagaimana umumnya yang dipelajari oleh umat Islam umumnya menunjukkan bahwa isi teologis atau instruksional dalam beberapa contoh ayat dimulai dengan perintah "Say" (Qul), kasus-kasus ini mewakili perintah ilahi yang mendikte, namun diucapkan oleh Nabi, dan juga oleh mereka yang mengikutinya. Dalam banyak kasus, tokoh-tokoh dan bahkan seluruh makhluk dalam Al-Qur'an, digambarkan tidak oleh apa yang mereka pikirkan atau apa yang dilakukan, melainkan oleh apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berbicara.

Suara-suara sindiran dari orang-orang yang beriman, orang-orang yang tidak beriman, dan orang-orang munafik mungkin bisa menggambarkan karakter-karakter penutur dengan cara ini, dan itu berarti bahwa dalam kasus-kasus seperti ini, pernyataan orang pertama dapat berfungsi sebagai identifikasi moral. Contoh kasus ini dan banyak mode retorik lainnya dalam Al-Qur'an semuanya bisa dianggap sebagai aspek-aspek yang perlu dipahami untuk menangkap maksud dari kalamullah.

Beragam ekspresi yang ada dalam Al-Quran ini, menurut Gade mengkarakterisasikan Al Qur'an secara keseluruhan, yang berarti struktur dan gaya Al-Qur'an sepatutnya bisa dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Seperti kebanyakan ilmu agama yang berusaha melihatnya, sebagai "dhù wujüh." Pola-pola ini bersifat rekursif, bukan berulang-ulang, mereka dinamis, tidak statis, mereka bukan "satu-ke-satu tetapi sebaliknya mereka “multifaset”.

***

Menurut Gade dalam bukunya, saat ini banyak umat Islam yang telah melakukan kajian terhadap Al-Qur‘an, namun sayangnya kerja-kerja demikian datang bukan dari pembelajaran yang dilatarbelakangi studi formal melainkan hanya berdasarkan dari pengalaman mereka setelah mendengar dan membaca Al-Qur‘an berkali-kali, dan dalam banyak kesempatan.

Umat ​​Muslim menerima Al-Qur'an sebagai wahyu dari Tuhan yang "diturunkan" kepada Nabi Muhammad Saw selama periode dua puluh dua tahun matahari (610-632), yang berhubungan dengan periode sekitar dua puluh tiga tahun oleh lunar Islam. Menurut kalender Islam, Al-Qur'an yang berasal dari wahyu-wahyu yang turun pada mulanya terpisah-pisah, dan kemudian disusun setelah Nabi wafat. Beberapa ayat dipandang memiliki makna khusus yang ditujukan pada komunitas Musiim pada masa Nabi Muhammad Saw, sementara yang lain diakui memiliki lebih banyak ruang lingkup umum. Umat Muslim memahami Al-Qur‘an menjadi "multifaset" (sebagaimana yang telah didiskusikan), dan kemudian menyandarkannya pada Nabi Saw dan komunitasnya, dan, dengan perluasan, ayat-ayat Al-Qur‘an yang kontekstual itu ditarik sehingga kontekstual pula dengan kehidupan umat Islam dewasa ini.

Anna M. Gade juga menyinggung tentang Al-Qur‘an yang oleh umat Islam diperlakukan sebagai kitab sejarah atau sirah. Sebagian umat Islam yang memahami Al-Qur‘an semacam ini, menjadi sebuah kemestian dalam kerja-kerja memahami maksud (ayat-ayat) Al-Qur‘an, yaitu memeriksa "latar belakang sejarah"; konteks saat wahyu Al-Qur'an diturunkan. Latar belakang sejarah dari Al-Quran penting bagi sebagian umat Islam ini,  dalam kerja-kerja memahami maksud (menginterpretasi) Al-Qur’an. Kecuali itu, ikhtisar dari beberapa "tema" Qur'ani juga kerap diperlukan umat Islam untuk memudahkan pemahaman terhadap isi kandungan Al-Qur‘an. Dalam diskusi tentang ini, Gade mewakili apa yang dianggap Muslim sebagai aspek universal dari makna teks. Perkembangan disiplin ulumul Qur’an pada hari ini yang pesat menjadi sebuah keuntungan tersendiri, karena para sarjana muslim telah mengembangkan banyak kerangka kerja untuk menganalisis berbagai jenis konten tematik dan teologis dari Al-Qur‘an. Pada hari ini bahkan, telah banyak buku yang menghimpun "tema-tema utama" Qur'an. Yang berarti, isi Al-Qur‘an telah dikelompokkan ke dalam beberapa topik utama yang relevan, seperti: Tuhan dan wahyu-Nya, makhluk-makhluk yang Dia ciptakan, seperti malaikat, jin dan manusia, dengan yang terakhir termasuk para Nabi yang menerima wahyu; eskatologi, atau "hal-hal terakhir"; dan elemen hukum dan teologis, seperti pertanyaan, apakah orang menentukan tindakan mereka dan / atau apakah Tuhan?.***

Tuesday, January 11, 2011

Al-Qur‘an yang “Dibaca” dan "Dipahami" (Bagian Satu dari Tiga Bagian Tulisan)

Oleh: Syamsul Kurniawan

JIKA Anda sedang mengambil mata kuliah Ulumul Qur‘an, salah satu buku yang menurut saya penting Anda baca adalah buku yang ditulis Anna M. Gade, The Qur‘an an Introduction (2010). Buku ini membahas beberapa isu seperti, The Written Qur’an, The Multifaceted Qur‘an, Readings of the Qur‘an, The Qur‘an Guiidance, The Present Qur‘an, dan Space, Time, and the Boundaries of Knowledge.  

***

Di awal pembahasannya, buku Gade mengajak pembaca bukunya meninjau kembali pengertian Al-Qur‘an di tengah-tengah pembaca Al-Qur‘an pada hari ini, dari apa yang disebut dengan “membaca Al-Qur‘an”. Sebagaimana umumnya yang berkembang di tengah-tengah umat Islam, bahwa yang dimaksud dengan membaca Al-Qur‘an adalah membaca secara aktif; baik dalam pengertian Al-Qur'an sebagai objek material atau visual.

Kata Gade, bahwa yang dimaksud Al-Qur‘an pada hari ini adalah Al-Qur‘an yang dicetak itu, yang berbahasa Arab, dan berbentuk mushaf. Maka dengan demikian, buku terjemahan Al-Qur‘an yang meskipun dialihbahasakan langsung dari Al-Qur‘an, tetap tidaklah bisa disebut Al-Qur‘an. Karena sebagaimana konsensus umat Islam, bahwa Al-Qur‘an adalah yang dibukukan dalam sebuah mushaf dan ditulis atau dicetak dalam bahasa Arab; bukan selainnya. Pengertian ini memang pada hari jadi kabur, mengingat banyak yang membaca Al-Qur‘an dari smartphone mereka.  

Sebagaimana ulasan Gade pada bukunya, Al-Qur‘an yang dipelajari oleh umat Islam, adalah Al-Qur‘an yang mencakup 114 surahnya. Cetakan-cetakan Al-Qur‘an di tangan kita pada hari ini juga mengikuti aturan ini. Salah ketik saja bisa memancing protes keras dari umat Islam yang membacanya, apalagi jika aturan baku tentang Al-Qur‘an dikesampingkan ketika ia dicetak. Bisa dibayangkan?.

Sebagai kitab suci umat Islam, penamaan surah dalam Al-Qur‘an umumnya di ambil dari kata kunci (keyword), yang biasanya muncul pada beberapa baris pertama dari sebuah surah. Penamaan surah yang dalam Bahasa Arab ini bisa pula berbeda, untuk sebuah surah yang sama. Semisal, surah nomor 96 kadang disebut “surah al-‘Alaq”, dan ada pula yang menyebutnya dengan “surah Iqra’”. Tentu saja, nama-nama surah ini tidak merepresentasikan secara tematis isi sebagian atau keseluruhan surah. Sebutlah Qs An-Nisa’ (04) (para wanita), tidaklah bicara tentang perempuan atau jenis kelamin dalam keseluruhan pembahasan pada ayat-ayatnya.

Dari 114 surah Al-Qur‘an ini, ada 6.230 ayat, di mana pada akhir ayat selalu dibubuhi tanda; biasanya penomoran ayat. Menurut Gade, sebagaimana yang berkembang dalam pembelajaran Al-Qur‘an di kalangan umat Islam, penomoran surah umumnya tidak digunakan sebagai identifikasi. Namun, penomoran ini menjadi penting secara referensial bagi pembaca Al-Qur’an pemula. Setidaknya untuk dua alasan: pertama,  pembaca dari kalangan orang non Arab membutuhkan penomoran tersebut sebagai penanda, semisal dia orang Inggris atau selainnya; kedua, sarjana yang sama sekali tidak akrab dengan tradisi tulis  Arab, yang seringkali mengalami kesulitan untuk mentransliterasi nama-nama surah, tanpa membuat semacam sistem indeksasi. Apalagi, transliterasi dibuat seringkali berbeda, tergantung bahasa dan kesepakatan.

***

Kecuali itu dibukunya Gade juga dibahas tentang betapa problematisnya terjemahan Al-Qur‘an. Contohnya terjemahan bahasa Inggris dari Qs Al- Balad (90), yang maknanya bisa jadi berbeda, tergantung mud penerjemah. Sejumlah terjemahan yang ada (dari ayat Al-Qur'an) ini menghasilkan kemungkinan berbagai pilihan terjemahan Al-Balad, seperti: The City (ini adalah terjemahan paling umum), The Countryside, The Earth, The Ground, The Land, The Soil, dan The Town. Rentang semantik yang lebar ini mencerminkan berbagai terjemahan yang mungkin dari kata "Balad". Ketika menerjemahkan kata ini, mungkin terbayang oleh penerjemah: sebuah kota atau ruang universal?, Atau, bisa pula lebih spesifik lagi, kota Mekkah (dari mana Nabi Muhammad berasal)?

Kata-kata Al-Qur'an yang “kaya makna” dan mengandung sisi “kontekstual”, memberikan tantangan bagi siapapun yang berniat menerjemahkannya (ke dalam bahasa selain Arab) dan/atau menginterpretasikannya. Ini menurut Gade, bisa menjadi pertimbangan praktis bagi sarjana baru yang mungkin bahkan tidak menyadari sejak awal bahwa surah bernama "The Countryside" pada satu sisi sebenarnya bermakna sama dengan "The City", tetapi pada kasus lain bisa jadi tidak. Meskipun kedua kata ini sama-sama merupakan terjemahan bahasa Inggris untuk kata Al-Balad; sebuah sürah dari Al-Qur‘an (yang berbahasa Arab).

Seperti yang telah dibahas Gade di awal bukunya, The Qur‘an an Introduction, salinan Al-Qur'an yang dicetak biasanya mengikuti aturan yang baku, seperti adanya ayat-ayat, yang dihimpun kepada surah-surah tertentu. Memang sulit untuk memastikan, apakah sebagian besar konten yang dipahami telah mampu diungkap oleh Nabi Saw pada saat ia berada di kota kelahirannya Mekah (dalam istilah ulumul Qur‘an disebut ayat-ayat makkiyah) atau segera setelah ia beremigrasi ke kota yang dikenal sebagai Madinah (ayat-ayat yang disebut Madaniyah). Setidaknya ketika ini didiskusikan, ada delapan puluh delapan surah Mekah dan dua puluh enam surah Medinah dalam Al Qur'an.

Gade pada bukunya juga membahas tentang bagaimana semua surah dari Al-Qur’an, kecuali Qs At-Taubah (09), mesti dimulai dengan Basmalah (bismillahirrahmanirrahim). Basmallah ini bahkan dalam aturan “yang tidak tertulis” di tengah-tengah umat Islam, harus dibacakan lebih dulu dari setiap tindakan pembacaan Al-Qur'an, tidak peduli di mana pun berada posisi teksnya. Bukan saja itu, basmallah juga diucapkan sebelum memulai tindakan apapun; seperti makan, minum, atau naik sarana transportasi, dan sebagainya.

***

Jelas tidak hanya ayat atau surah yang penting diperhatikan dari “Al-Qur‘an” (dalam versi cetakannya), karena menurut Gade, tanda-tanda bacaan dari Al-Qur‘an juga penting diperhatikan dalam diskusi seputar “Al-Qur‘an”. Beberapa tanda menunjukkan bagaimana umat Islam yang membaca Al-Qur‘an mesti membunyikan Al-Qur‘an sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat (misalnya, tajwid). Dengan ketentuan yang baku ini, Al-Qur‘an jelas tidaklah boleh dibaca sembarangan; bahkan memenggal ayat-ayatnya juga ada aturan-aturannya. Maka terdengar janggal di telinga mereka yang paham tajwid, ketika ada yang membaca dan kemudian memberhentikan bacaan Al-Qur'annya secara “tidak tepat” di tengah-tengah ayat yang dibacanya. Aturan tajwid jelas dibuat untuk membantu mereka yang membaca Al-Qur‘an; terutama mereka yang berasal dari latar-belakang non Arab, sehingga tidak melakukan kesalahan-kesalahan seperti ini.

Memang tidak ada tanda-tanda melodi pada salinan Al-Qur‘an. Tetapi walaupun demikian, umat Islam membaca Al-Qur‘an dengan melodi-melodi yang khas; bahkan selalu ada improvisasi dalam membunyikannya (seperti ketika seseorang yang membaca Al-Qur‘an dengan tartil atau tilawah). Tentu saja skill ini bisa dipelajari atau dilatih.

Performance menurut Gade adalah isu lain yang juga penting didiskusikan seputar Al-Qur'an, seperti adanya ekspresi tertentu yang ditunjukkan ketika seseorang membaca atau mendengar ayat-ayat tertentu dari Al-Qur'an. Misalnya, seseorang yang membaca atau mendengar sebuah surah dari Al-Qur'an, dan kemudian sampai pada ayat yang menyebutkan, “para hamba Allah bersujud di hadapan Tuhan mereka,” ini dianggap sebagai sinyal agar mereka sujud. Ekspresi ini jamak ditemui saat seseorang membaca atau mendengar ayat 41 dari Qs Fussilat (37). Surat ini, Fussilat, juga dikenal sebagai "Ha Mim", "Al-Sajdah."

Menurut Gade ketika performance ini yang didiskusikan, yang sulit adalah menjelaskan tentang hubungan dari ayat yang “dibaca” atau “didengar” dengan "tindakan sujud" yang dilakukan. Sementara ketika diterjemahkan, fokus pembicaraan ayat ini jelas-jelas bercerita tanda-tanda Ketuhanan; misalnya adanya pergantian siang dan malam, matahari dan bulan. Tidakkah ayat ini mestinya dipahami secara filosofis? Dari petikan ayat ini, intinya sujud tidak boleh dilakukan dalam konteks menyembah kepada selain Allah, seperti pada matahari atau bulan.

Lantas pertanyaannya adalah, mengapa ayat yang kandungannya sangat filosofis ini, di tengah-tengah umat Islam tidak dipahami secara filosofis pula? Mengapa di tengah-tengah umat Islam, ayat ini dipandang sebagai sinyal (bagi mereka yang membaca atau mendengarnya) agar bersujud?. ***

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...