Thursday, January 13, 2011

Al-Qur‘an yang “Dibaca” dan “Dipahami” (Bagian Tiga dari Tiga Bagian Tulisan)

Oleh: Syamsul Kurniawan

ANNA M. Gade pada bukunya The Qur‘an: An Introduction mengungkap tentang pentingnya berbagai literatur yang meringkas sejarah kondisi dan keadaan tertentu dari penyataan ayat-ayat Al-Qur'an, khususnya sebagai landasan bagi muslim yang membaca atau mempelajari teks Al-Qur’an. Literatur-literatur tersebut menurutnya sangat membantu dalam memberikan informasi bagi para pembelajar Al-Qur‘an yang katakanlah “baru mengenal Al-Quran” secara akademis, yang dengannya mereka mulai berkeinginan mendalami Al-Qur’an.

Adapun tentang wahyu, sebagaimana yang dipelajari dan dipahami oleh umat Islam kebanyakan, merupakan bagian integral dari makna teks Al-Qur‘an itu sendiri. Meskipun tidak semua ayat-ayat yang diwahyukan kita berhasil temukan konteksnya. Meskipun begitu, sebagian ini juga cukup membantu. Literatur-literatur ini dapat dijadikan sebagai pijakan-pijakan historis dalam kerja-kerja mempelajari dan/atau memahami Al-Qur‘an. Membangun kesadaran tentang pentingnya memeriksa kondisi temporal di seputar turunnya wahyu atau Al-Qur‘an boleh dikatakan adalah langkah pertama yang penting bagi setiap pembelajar atau pengkaji Al-Qur‘an, apalagi bagi yang baru mendalami studi Al Qur'an ini secara akademis. Sebagaimana dikatakan oleh Gade, kesadaran di tengah-tengah umat Islam akan hal ini akan membentuk bagaimana umat Islam dan atau lainnya, menerima, mempelajari dan kemudian menafsirkan Al-Qur'an.

Contohnya adalah kategori-kategori ayat Mekah dan Medinah. Sebutan ini, menurut Gade, bagi sebagian orang mengaitkannya dengan nama-nama tempat turunnya Al-Qur‘an (kota-kota di Mekkah dan Madinah), yang dalam Ulumul Qur'an, menjadi rujukan dalam mempelajari dan memahami makna dari pewahyuan. Secara khusus, mereka menunjukkan apakah sebuah ayat atau bab yang dimaksud dipahami telah diungkapkan sebelum atau sesudah peristiwa hijrah (emigrasi) Nabi dan komunitas Muslim dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 M. Di luar ini, ketentuan temporal juga mungkin digunakan untuk membedakan sifat dari bahasa dan gaya bahasa Al-Qur’an, baik dalam ilmu-ilmu agama Islam klasik serta dalam tradisi akademis Eropa baru-baru ini. Misalnya, ayat-ayat yang dimulai dengan "Hai orang yang beriman" (ya ayyuha alladhina amanu) menjadi ketentuan ayat "Madaniyah" karena ayat-ayat dalam gaya itu semua diperhitungkan sampai saat ini untuk periode selanjutnya dalam sejarah komunitas Muslim pertama.

Idealnya, pembelajar Al-Qur‘an pada hari ini telah terbantu oleh beberapa pendekatan Muslim modern yang membangun konsep "Makkiyah" dan "Madaniyyah", sebagai prinsip hermeneutik untuk menganalisa apa yang dianggap sebagai dimensi "universal" dan "kontekstual" dari perintah etis dan teologis seputar Al-Qur’an.

Menurut Anna M. Gade dalam The Qur‘an: An Introduction (1998), memahami kategori temporal ini bagi umat Islam melalui lensa Ulumul Qur‘an, apakah sebagai jenis ide, gaya retoris, kategori hukum, atau juga mengenai keadaan historis dan tempat, membutuhkan pengetahuan tentang bagaimana mereka sepatutnya bisa mempelajari dan kemudian memahami Al-Qur‘an sebagai sebuah teks yang berhubungan dengan kronologi pewahyuan dalam perjalanan dari pengalaman historis Nabi Saw.

Hubungan interteks dari sejarah komunitas Muslim pertama (dan secara khusus, biografi Nabi Muhammad saw) sebagai teks aktual dari teks Al-Qur'an yang terjadi, setidaknya bisa dirumuskan ke dalam tiga bentuk asumsi: pertama, pengalaman sejarah dipahami menjadi konteks untuk pewahyuan Al-Qur'an dari sejarah kitab suci umat Islam yang universal. Sejarah umat dimulai dengan kisah penciptaan manusia pertama, Nabi Adam, sebagai bagian dari cerita mengenai Nabi yang datang setelah dia, yaitu Muhammad, sebagai Nabi yang terakhir; kedua, banyak konten Al-Qur'an dipahami untuk merujuk langsung pengalaman sejarah spesifik dari komunitas Nabi Saw. Sebagai contoh, ada tokoh-tokoh yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an, tetapi identitas khususnya masih dikatakan dan diketahui oleh umat Islam melalui sejarah komunitas muslim awal; ketiga, sejarah, konteks, dan perubahan adalah dalam diri mereka yang terkandung semua prinsip-prinsip mental untuk menafsirkan teks. Hal ini sangat relevan untuk masalah hukum, seperti dengan "penghapusan" dalam penerapan putusan hukum.

***

Dalam masing-masing asumsi ini, terutama untuk memahami masa lampau Islam, "latar belakang sejarah" pewahyuan Al-Qur'an akan membantu menentukan bagaimana makna teks bisa diterima, dipelajari dan dipahami sebagai peristiwa keagamaan oleh umat Islam saat ini. Begitupula para ahli sejarah yang bekerja dalam tradisi akademis Eropa yang meneliti Al-Qur‘an juga telah menanyakan hal-hal terkait, tetapi kadang-kadang juga pada dasarnya berbeda, tentang macam-macam pertanyaan mengenai teks Al-Qur'an dan konteks historisnya. Para ahli sejarah dan filolog dari Al-Quran yang secara umum dikenal sebagai "orientalis" seperti Theodor Nöldeke (1836-1930), dan yang lain yang datang sesudahnya, menjelaskan kepentingan utama mereka yang berkaitan dengan Al Qur'an yaitu adalah bagaimana mereka bisa merumuskan Al-Qur‘an secara kronologi.

Secara umum, para pembelajar Al-Qur‘an yang berasal dari kalangan orientalis Eropa ini menurut Gade, umumnya kurang tertarik untuk belajar tentang cara-cara di mana intertekstualitas yang diterapkan dan/atau dialami. Banyak orang dalam tradisi "orientalis" pada zaman kolonial, dan bahkan sesudahnya, juga tidak menghargai Al-Qur'an secara tulus. Mereka hanya fokus pada "sejarah agama" yang pada konteks ini digunakan mereka untuk mempelajari dan memahami Al-Qur’an. Sejarah agama ini menurut mereka yang harusnya terbuka bagi siapa pun, dan mestinya jika ingin dipelajari secara obyektif sepatutnya bisa sementara waktu menanggalkan komitmen iman atau bahkan tidak punya komitmen itu sama sekali, sehingga bisa secara objektif menjelaskan “nomena” dari yang ingin dipelajari. Hal ini diperlukan untuk mempelajari misalnya, pandangan-pandangan dalam tradisi Muslim, terutama untuk memahami informasi tentang sistem sosial umat Islam di masa lampau yang bersumber dari (salah satunya) Al-Qur‘an.

Untuk tujuan akademis ini, menurut para orientalis bahkan seorang yang sekuler, dapat saja bagi pengkaji Al-Qur‘an menjadi sumber data primer, apalagi kadang-kadang mereka memang memberikan informasi yang kontras atau konteks baru untuk kemudian diklaim sebagai kebenaran dalam bingkai kepentingan "orientalisme" (yang membayangkan Timur Muslim) dan "oksidentalisme (sebuah khayalan yang dimaksudkan untuk mengetahui non-Muslim-Barat). Selain itu, dalam banyak kasus sebenarnya ada dasar untuk menerima laporan historiografis yang berasal dari tradisi Muslim dalam konteks ini. Seperti inilah konsekuensi yang harus diterima jika pembaca dan pengkaji Al-Qur’an mengikuti alur metodologis dari disiplin ilmu sejarah agama-agama, untuk menelaah teks wahyu atau Al-Qur‘an.

Metode dan pendekatan dalam disiplin ilmu sejarah agama-agama memang memiliki klaim-klaim semacam itu, yang pada saat yang sama ada keharusan untuk melakukan "epoche” atau mengumpulkan fakta fenomenologis tentang kebenaran, untuk kepentingan menganalisis kehadiran dan penerimaan Al-Qur’an yang berkembang di tengah-tengah umat Islam. Sebagai contoh, sebagian sejarawan muslim yang enggan menerima "isra’ dan mi’raj" Nabi sebagai peristiwa yang betul-betul terjadi. Mereka-mereka ini merasa cukup memahami maksud ayat dari sudut signifikansi dan dampak dari kisah tersebut. Di sinilah, teks-teks Sirah menurut Gade, akan sangat membantu menjelaskan tentang bagaimana tradisi-tradisi yang bertumbuh dan berkembang yang berpusat di sekitar kehidupan Nabi Muhammad. Ini penting dikaji dan dipahami lebih dulu, sebelum Al-Qur‘an diselami lebih dalam makna kandungannya.

***

Gade mengingatkan umat Islam yang tengah belajar atau mengkaji Al-Qur‘an agar memahami konteks di seputar Nabi Saw. Nabi misalnya, lahir dalam konteks situasi ekonomi dan politik di jantung pusat perdagangan di Jazirah Arabia, tepatnya di Kota Mekah. Wilayah-wilayah di sekitar kota Mekah memang dikenal sebagai pusat perdagangan barang-barang seperti kulit dan kurma. Kecuali itu, Nabi yang berasal dari suku yang dikenal sebagai suku Quraysh, dari salah satu klannya yang disebut "Bani Hasyim".

Jelas ada kontak dan pengaruh timbal balik di antara komunitas Yahudi, Kristen, Zoroastrian, serta ikatan nomaden suku Arab di seluruh wilayah pada saat itu di Arab. Namun demikian, Arabia juga diperhitungkan sebagai sesuatu yang mewakili citra warisan budaya dan politik dari dunia Mediterania dan Persia yang lebih maju. Politik regional ini menurut Gade jangan sampai luput, karena bagaimanapun sulit untuk memungkiri bagaimana ketika Islam tumbuh dan berkembang di Arab, Arab saat itu telah didominasi oleh kekuatan dua kerajaan, Bizantium (Yunani) dan Sassania (Persia). Sampai kemudian keduanya diceritakan dalam sejarah mengalami pergolakan (terutama dalam aspek ekonomi). Bersamaan dengan itu, Islam kemudian mendapatkan momentumnya untuk bangkit.

Mekah menurut Gade, adalah kota yang menjadi tujuan dari ziarah tahunan suku-suku Arab di wilayah itu, dan itu adalah Ka'bah. Sementara Ka’bah sebagaimana diinformasikan dalam sejarah, merupakan tanggungan keluarga Nabi. Kakek Nabi Muhammad sendiri, Abd Al-Muttalib, dikatakan telah menemukan kembali sumur Zamzam di situs Ka’bah tersebut. Dalam sebuah kisah, sumur zam-zam ini adalah sumber air yang sama dengan sumber air yang menyelamatkan Hajar dan anaknya (Nabi Ismail) dari kehausan, setelah mereka ditinggalkan berdua di gurun pasir yang terik oleh ayahnya Ibrahim.

Kaitannya dengan Ka'bah, yang juga disebut sebagai "Rumah Tuhan" (bait Allah), dikabarkan oleh sejarah tentang bagaimana ia kembali dipugar oleh Nabi Saw sendiri, dari bangunan pertamanya yang didirikan oleh Nabi Ibrähim. Bahkan ada pula informasi lain yang percaya bahwa nenek moyang manusia, yaitu Adam dan istrinya, setelah diusir dari surga kembali bertemu di lokasi yang sama dengan lokasi Ka’bah pada hari ini. Saat ini Ka’bah masih menjadi tempat yang di tiap tahunnya selalu ramai dikunjungi oleh umat Islam di seluruh dunia; untuk kepentingan haji dan umrah.

Kecuali itu, istilah-istilah Al-Qur'an sendiri yang telah kita bahas sebelumnya, begitu beragam dan kaya makna, mesti disadari oleh para pembelajar atau pengkaji Al-Qur‘an, sehingga mereka tidak terburu-buru menyimpulkan maksud ayat yang mereka pelajari atau kaji. Sebagai contoh, Qs al-Hujurat (49). Surah ini dalam konteksnya diterima oleh Nabi Saw yang berhadap-hadapan dengan suku-suku Arab yang heterogen. Ayat ini menurut Gade jelas kaya dengan perspektif teologis, di mana pada ayat pada Qs al-Hujurat (49): 14 misalnya, kita bisa membedakan konsep keyakinan (iman) dari ketundukan (Islam). Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah “kami telah tunduk”; karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sediitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sisi lebih dari buku yang ditulis Gade, adalah penjelasan-penjelasannya yang mengalir dan mudah dipahami. Tidak seperti kebanyakan buku-buku Ulumul Qur‘an.***

No comments:

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...