Monday, December 2, 2019

Pemuda, Karpet Merah dan Presiden Jokowi yang Sukarnois

Oleh: Syamsul Kurniawan

Presiden Joko Widodo yang memberi kepercayaan pada tujuh pemuda untuk membersamainya sebagai staff khusus menuai pro dan kontra. Ketujuh staff khusus Presiden tersebut yaitu Putri Indahsari Tanjung (CEO dan Founder Creativepreneur), Adamas Belva Syah Devara (Pendiri Ruang Guru), Ayu Kartika Dewi (Perumus Gerakan Sabang Merauke), Angkie Yudistia (pendiri Thisable Enterprise, Kader PKPI, difabel tunarungu), Gracia Billy Yoshapat Membrasar (pemuda asal Papua, awardee beasiswa kuliah di Oxford), Aminuddin Ma’ruf (Mantan Ketua Umum PMII) dan Andi Taufan Garuda (Pendiri Lembaga Keuangan Amartha).

Saya yang pemuda, secara pribadi mengapresiasi putusan Presiden Jokowi yang terkesan sangat Sukarnois ini. Setelah di periode sebelumnya pernah menggaungkan Revolusi Mental yang juga sebelumnya pernah dicetuskan oleh Sukarno, kali ini Presiden Jokowi terkesan juga berpikir dan memutuskan sebagai seorang Sukarnois. Kita tentu tidak asing dengan sebuah pernyataan dari Sukarno yang terkenal tentang kekuatan pemuda, “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Dalam kesempatan lain, Sukarno mengatakan, “Hai pemuda-pemudi Indonesia, bangkitlah, majulah demi Indonesia mandiri jaya bermartabat, adil dan makmur!

Mengapa pemuda?

Bangsa Indonesia sebagai bangsa besar bukan karena kekayaan alamnya saja, atau posisi geografisnya yang menguntungkan, melainkan juga besar karena jumlah sumber daya manusianya. Indonesia berpenduduk lebih dari 262 juta jiwa dan sebagian besar di antaranya adalah pemuda. Peran atau kiprah pemuda bagi bangsa ini tidak boleh disepelekan, mengingat tanpa adanya campur tangan pemuda dalam sejarah perjuangan bangsa, saat ini kita tidak dapat merasakan nikmatnya dihantarkan ke “gerbang kemerdekaan”. Saya sebut begitu, karena kita memang masih berada di gerbang kemerdekaan. Kita, “belum betul-betul merdeka.” Contohnya, dari masalah kebodohan, kemiskinan, amarah dan kekerasan, radikalisme, terorisme, korupsi dan semacamnya.

Bangsa ini masih memerlukan kontribusi pemuda-pemuda yang mampu membawa bangsa ini pada keadaan merdeka. Mengapa “pemuda”? Sebagaimana halnya Sukarno, founding father bangsa ini yang menaruh kepercayaan atas pemuda, karena ketangguhan dan semangatnya yang tinggi dalam memperjuangkan revolusi dan renovasi peradaban bangsanya menuju arah yang lebih baik. Pemuda jelas merupakan sosok yang penting dalam setiap perubahan, dalam semua sejarah bangsa-bangsa, tak terkecuali Indonesia saat ini sebagaimana keyakinan Presiden Jokowi terhadap tujuh staff khusus pilihannya.

Di antara kelebihan pemuda ialah mereka umumnya bergerak atas karakter idealis mereka khususnya dalam membaca berbagai masalah bangsa yang ada. Jadi, saya kira menjadi kurang produktif jika kita berdebat kusir tentang apakah penunjukan tujuh staff khusus tersebut sebagai sebuah hal yang sia-sia atau tidak. Hemat saya, sebuah terobosan layak dicoba dan sebagai bangsa kita layak mengapresiasi.

Apalagi, dalam konteks negara-bangsa, masalah kepemudaan merupakan isu sekaligus permasalahan global yang menyentuh tataran nilai sosial dan budaya masyarakat hampir di seluruh belahan bumi ini. Masalah kepemudaan pun saat ini bukan hanya menjadi masalah negara-bangsa kita, melainkan juga telah menyasar sebagai wacana global dalam kurun waktu lebih dari satu dekade terakhir. Pembahasannya cenderung menempati posisi strategis dalam berbagai agenda pertemuan berskala bilateral, regional dan multilateral. Adanya globalisasi membawa berbagai macam konsekuensi dalam karakter pemuda-pemudi kita. Ada yang berdampak positif, namun tidak sedikit pula globalisasi membuat pemuda-pemudi kita terjebak pada gaya hidup kontraproduktif, hedonis, konsumtif dan kehilangan jati diri sebagai bagian dari anak bangsa. Dalam beberapa kasus, ada yang mencebur pada radikalisme dan bahkan aksi terorisme. Semuanya penanda, sedang terjadi krisis di kalangan pemuda kita.

Menunggu hasil

Jika pada masa Sukarno, gelora pemuda untuk berkontribusi pada negara-bangsa begitu terasa, mengapa pada hari ini kita menjadi antipati terhadap putusan Presiden Jokowi yang memberi kesempatan pada tujuh pemuda yang dipandang kompeten dimintai membersamainya dalam pemerintahan. Pada era ini, Presiden Jokowi melihat ada peluang pemuda-pemudi yang dimintai kontribusinya menangani nasib bangsanya dan saya kira itu positif. Ketujuh pemuda-pemudi yang ditunjuk oleh Presiden Jokowipun punya potensi untuk melakukan itu.

Pemuda-pemudi yang berusia produktif di Indonesia sepatutnya tidak menjadi apatis dan mengarah pada apa yang disebut “anti sosial” pada negara-bangsa. Karena ketika pemuda-pemudi menjadi apatis dan anti sosial, akan menjadi sulit mengajak pemuda-pemudi dimaksud, untuk ikut aktif berkontribusi dalam kegiatan produktif kepemudaan, seperti kegiatan sosial-keagamaan, literasi, dan semacamnya untuk negara-bangsa. Tentu kita menyetujui, betapa permasalahan-permasalahan yang dihadapi pemuda-pemuda Indonesia saat ini memanglah sangat kompleks, mulai dari masalah pengangguran, krisis mental, krisis eksistensi, hingga masalah dekadensi moral. Padahal permasalahan yang dihadapi bangsa kita saat ini cukup besar dan sulit diselesaikan apabila pemuda penerus bangsa terus bermasalah. Bahkan, sejak gelora reformasi diteriakkan pada tahun 1998, hingga hari ini krisis multidimensi masih terjadi, seperti krisis ekonomi, moneter, hukum, moral, dan sebagainya. Melihat rupa-rupa masalah yang terjadi di negeri ini belakangan, kita merindukan pemuda-pemudi yang mampu berbuat banyak untuk bangsanya.

Bila Pemuda pada 1908 mampu melahirkan kebangkitan nasional, 1928 melahirkan sumpah pemuda, 1966 menegakkan kedaulatan negara, 1973 membuat Deklarasi Pemuda dan 1998 dengan semangat gigih menegakkan demokrasi, keadilan dan supremasi hukum, maka pemuda di era Jokowi ini, bisa apa? Kerja-kerja ketujuh  staff khusus Presiden Jokowi pada konteks ini tentu akan diawasi oleh panoptik-panoptik yang meliputi ratusan juta mata rakyat Indonesia. Karenanya mereka harus membuktikan apa kontribusi nyata yang betul-betul bisa mereka berikan sebagai orang-orang terpilih yang mewakili suara pemuda-pemudi di tanah air. Kontribusi mereka tentu bukan lagi dengan cara mengangkat senjata, bergerilya, dan berunding sana-sini, namun bagaimana ide atau gagasan mereka bisa bermanfaat dalam memajukan negara-bangsa. 

Mereka juga harus menyadari bahwa sebagai staff khusus Presiden, pada hari ini mereka telah menjadi model dan inspirasi pemuda-pemudi lainnya di Indonesia yang mulai ikut aktif ambil bagian dari kerja-kerja pembangunan. Sehingga tidak ada alasan bagi mereka membuat blunder dan menampilkan sikap-sikap yang kontraproduktif.***

Wednesday, September 4, 2019

Pesantren Daring, Mungkinkah?

Oleh: Syamsul Kurniawan

Untuk menjawab tantangan dan kebutuhan santri-santri pesantren saat masa pandemi covid-19 ini, semestinya pesantren dapat mengambil langkah-langkah pembaruan. Di antara yang dapat dilakukan pesantren adalah dengan melakukan pembaruan kurikulum dan kelembagaan yang berorientasi pada konteks kekinian sebagai respons dari perubahan sosial yang terjadi akibat pandemi.

Tetapi tidak semua cara-cara pendidikan pesantren yang pada masa normal bisa relevan di tengah pandemi ini. Sebab bukan tidak mungkin orientasi semacam itu akan menimbulkan efek negatif terhadap eksistensi dan fungsi pondok pesantren di tengah masa pandemi ini. Ketika para santri kembali ke pesantren, sementara kondisi pandemi belum memungkinkan, yang terjadi justru kekhawatiran pesantren menjadi episentrum baru covid-19.


Kemungkinan pesantren menjadi episentrum covid-19 jangan dianggap remeh. Apa yang menimpa pesantren temboro dan gontor, saya kira bisa dijadikan acuan.


Yang perlu dilakukan

Agar tidak terjadi ledakan jumlah korban yang tertular covid-19 dari kalangan santri, pesantren hanya perlu menumbuhkan apresiasi terhadap semua perkembangan yang terjadi. Perubahan sosial yang luar biasa terjadi di tengah pandemi ini, jelas tidak mungkin dihindari oleh pihak pesantren. Oleh karenanya pesantren juga mesti membuat terobosan-terobosan agar santri-santri tidak “ketinggalan kereta” dalam proses belajar mengajar mereka. Pesantren pada konteks ini mestinya tidak bersikukuh dengan model pendidikan konservatif.


Selama ini pesantren dikenal sebagai lembaga “pengkaderan ulama”. Fungsi ini mestinya tidak akan tereduksi oleh karena pesantren menerapkan model pendidikan daring. Justru, dengan daring, santri-santri pesantren yang tengah disiapkan sebagai ulama masa depan, mereka jadi terbiasa dengan tantangan masa depan yang mengharuskan mereka mempunyai kemampuan lebih, kapasitas intelektual yang memadai, wawasan, akses pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan teknologi.


Kecuali sebagai lembaga pengkaderan ulama, pesantren sebelumnya dikenal sebagai tempat santri belajar dan mendalami ilmu pengetahuan agama, khususnya agama Islam. Akibat dari stigma ini, santri-santri dianggap lemah dalam penguasaan ilmu dan metodologi. Karena stigma ini pula, telah banyak pesantren yang berbenah; menyiapkan langkah-langkah antisipasi. Semisal dengan menyusun pola kurikulum yang terencanakan dan sistematis dan dengan target pencapaian yang jelas sesuai dengan kebutuhan zaman. Tidak masalah ketika sebagian pesantren dalam sistem pengajarannya masih menggunakan standar acuan kitab-kitab kuning klasik, tetapi kitab-kitab ini mesti mampu diajarkan secara optimal ketika santri-santri ngaji dari rumah mereka masing-masing. Saya kira kegiatan-kegiatan diskusi atau musyawarah, bahtsul masail, dan pola-pola pembelajaran yang dipandang bisa menumbuhkan daya inisiatif, kreatif dan kritis di kalangan para santri selama di lingkungan pondok, masih bisa relevan ketika kesemuanya itu dilakukan secara daring. Ini seperti tengah memindahkan air dari gelas satu ke gelas yang lain; hanya soal wadah saja.


Pesantren juga hendaknya mampu menempatkan dirinya sebagai sarana transformasi, motivasi sekaligus inovasi. Kehadiran sebagian pesantren dewasa ini diakui memang telah memainkan perannya dalam fungsi itu sebelum pandemi, meskipun boleh dikatakan masih dalam tahapan yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Karena itu pesantren mesti mengembangkan wawasan pengetahuan agama santri-santrinya dengan mengintegrasikan materi seperti ilmu-ilmu al-Quran, hadits, ushul fiqh, dan lain-lain dengan materi-materi umum seperti sejarah, sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Pesantren jangan dibuat terkesan fiqh-oriented, tapi menjadi pusat pengkajian segala macam disiplin ilmu. Kini di tengah pesantren, mungkinkah materi-materi yang terkesan fiqh oriented tersebut dibahas secara konstektual sejalan dengan kebutuhan wacana di tengah pandemi?.


Begitupula sebagai salah satu komponen penting dalam pembangunan sumber daya masyarakat, pondok pesantren juga mesti memiliki kekuatan dan daya tawar untuk melakukan perubahan yang berarti di masyarakat. Seorang santri hendaknya dapat dididik untuk dapat menjadi pionir dalam usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya, bukan malah menjadi beban masyarakat. Selama study from home ini di terapkan pesantren, santri-santri dari pesantren justru dapat memgambil pelajaran di tengah-tengah masyarakatnya; menjadi pionir dalam usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat yang terpukul akibat dampak pandemi.


Terobosan-terobosan progresif memang menjadi suatu konsekuensi dari akibat perubahan sosial yang niscaya bagi pesantren. Namun pesantren juga tidak perlu kehilangan batasan-batasan yang kongkret bahwa pembaruan yang dilakukan tidaklah mengubah atau mereduksi orientasi dan idealisme suatu pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan yang khas Indonesia. Ini saya kira, hanya perkara mengubah wadah belajar saja, dari sebelumnya yang terlalu mengandalkan “pondok” sebagai tempat belajar, kini sangat mungkin wadah belajar tersebut digeser secara daring di masing-masing rumah santri (study from home).


Sehingga dengan demikian pendidikan pesantren tidak sampai terombang-ambing oleh dampak perubahan sosial akibat pandemi covid-19 ini. Dengan daring, pesantren tetap bisa memberlangsungkan proses belajar mengajar selayaknya di pesantren. Hikmahnya, santri-santri jadi beradaptasi dengan kecanggihan media baru yang membantu mereka belajar. Adaptasi ini akan membantu santri-santri belajar menempatkan diri dalam posisi apapun, kapanpun dan di manapun.***

Tuesday, July 2, 2019

Komodifikasi Sekolah Favorit

Oleh: Syamsul Kurniawan

Pada masa pendaftaran peserta didik baru (PPDB) 2019 dengan sistem zonasi ini kembali mencuat istilah sekolah favorit dan sekolah tidak favorit. Kata favorit yang menempel, atau sengaja ditempelkan pada sekolah, diasumsikan sebagai sekolah unggulan, dan menjadi target utama para orang tua mendaftarkan putra atau putri mereka sebagai calon siswa. Sementara sekolah tidak favorit, diasumsikan sepihak sebagai sekolah dengan kualitas guru dan prestasi di bawah rata-rata.Mari kita jujur mencermati. Seringkali favorit atau tidaknya sebuah sekolah, yang kita branding, punya konsekuensi yang tidak sedikit. Salah satu konsekuensi negatif yang penulis ingin sebut adalah komodifikasi.

Bandul Makin Menjauh

Keinginan melepaskan diri dari cengkeraman neoliberalisme semakin mustahil ketika komodifikasi pendidikan tidak pernah dipersoalkan. Persepsi masyarakat yang membelah sekolah menjadi dua yaitu sekolah favorit dan tidak favorit, sesungguhnya tengah membuka kran masuk neoliberalisme itu sendiri. Henry A. Giroux seorang pakar pendidikan kritis pernah mempersoalkan bahaya neoliberalisme di dalam masyarakat moderen dewasa ini. Neoliberalisme menurutnya merupakan suatu ideologi yang sangat berbahaya, sebab pada dasarnya, neoliberalisme menghancurkan segala hal yang merupakan milik publik, merusak nilai-nilai demokratis karena tunduk kepada fundamentalisme pasar.

Jadilah nilai-nilai sosial yang luhur mengalami reduksi sedemikian rupa sehingga nilai-nilai tersebut tunduk kepada pertimbangan-pertimbangan komersial dan privatisasi. Apabila pandangan neoliberalisme menyusup ke dalam dunia pendidikan kita, maka yang pasti akan terjadi orang-orang akan mengasumsikan dunia pendidikan “sama” dengan dunia industri. Terjadilah apa yang sering disebut dengan komodifikasi pendidikan, yang pada konteks ini pendidikan dilihat sebagai komoditi dan tunduk kepada hukum pasar (supply and demand).

Akibatnya bermunculan sekolah-sekolah yang membranding keberadaan mereka sebagai sekolah favorit, yang kemudian menjadi ladang bisnis, masing-masing saling bersaing untuk mendapatkan calon siswa yang bisa membiayai besar kelangsungan proses pendidikan di sekolah.Kita bisa mencermati, berapa banyak sekolah-sekolah favorit, yang bermunculan dengan biaya tinggi. Artinya, semakin tinggi biaya pendidikan yang dikeluarkan selama pendidikan diberikan, sekolah tersebut dianggap favorit dan semakin bergengsi. Apalagi, orang tua yang berduit, merasa naik gengsinya karena bisa membiayai anaknya bersekolah di sekolah tersebut.

Contoh yang lain adalah monopoli buku pelajaran pada sekolah-sekolah favorit (dengan adanya kerjasama dengan penerbit buku pelajaran dan pihak sekolah), yang mengharuskan siswa-siswa di sekolah untuk membeli buku-buku pelajaran, LKS baru, meskipun koleksi di perpustakaan sudah ada dengan isi dan muatan yang cenderung sama. Munculnya monopoli buku pelajaran ini, seringnya berlindung di balik tujuan yang mulia, seperti keinginan sekolah mencetak siswa yang mumpuni. Hanya seringkali ambisi sekolah, mengorbankan orang tua wali siswa, terutama menyusahkan mereka yang berasal dari latar belakang keluarga miskin.

Sekolah seringkali dianggap tidak punya tanggung jawab karena buku-buku pelajaran yang sudah dipakai tahun lalu tidak bisa dipakai lagi untuk tahun depan karena  sudah berganti penerbit. Bahkan, ini sengaja dilakukan agar orang tua siswa membeli buku-buku pelajaran, termasuk “memaksa” membeli di sekolah. Pihak penerbit senang-senang saja, yang penting bukunya laku keras. Bahkan, mereka sangat agresif menembus sekolah-sekolah dengan “iming-iming” tertentu. Sementara itu, pemerintah juga seolah membiarkan hal demikian terjadi. Alasannya, “era otonomi”. Sehingga, sekolah dibiarkan mempunyai kebijakannya tersendiri, termasuk pengadaan buku sekolah yang berganti hampir setiap tahun. Begitupula kebijakan les tambahan di luar jam pelajaran sekolah.

Kebijakan ini, tentu saja akan menambah membengkaknya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh orang tua atau wali siswa.Nalar neoliberalisme yang mempengaruhi persepsi orang tua calon siswa tentang sekolah favorit, juga berdampak pada terjadinya erosi terhadap filosofi pendidikan. Orang tua siswa yang menginginkan anaknya bersekolah di sekolah favorit dapat dididik oleh pihak sekolah mengikuti doktrin-doktrin neoliberal, mereka diarahkan pandangan hidupnya pada pencapaian kesuksesan hidup ala kaum neoliberal, diarahkan mengikuti cara berpikir ala borjuis-kapitalis, dan pada gilirannya dapat mengikuti gaya hidup kaum borjuis-kapitalis. Sebagian sekolah yang disebut sebagai sekolah favorit menyambut positif keinginan tersebut. Para siswa kemudian diberikan kompetensi yang sekiranya dibutuhkan oleh dunia industri. Sehingga pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah tersebut diarahkan tunduk pada kemauan pasar, sebagai lembaga pensuplai tenaga kerja untuk dunia industri.

Jelas pada konteks ini, pendidikan tidak lagi sebagaimana ideal konsep filosofi pendidikan sebagai lembaga pencerahan dan pembangun peradaban, menciptakan peradaban manusia, tapi sekadar mengikuti jalan peradaban yang dibangun oleh para kaum kapitalis-borjuis di atas puing-puing humanisme, bersenjatakan legitimasi ilmu pengetahuan yang mereka kendalikan.Pendidikan moral dikesampingkan: yang penting anak cerdas (secara kognitif) di banyak mata pelajaran, soal baik atau tidaknya perilaku anak didik itu (cerdas secara afektif) tidak dipersoalkan. Karena tujuan pendidikan semata-mata untuk memenuhi kecerdasan kognitif – dengan berbagai cara dilakukan – dari mulai bagaimana menyusun muatan kurikulum yang lengkap, pelajaran tambahan, pekerjaan rumah yang menumpuk, dan tuntutan lainnya.Ini juga tidak semata-mata salah sekolah. Pendidikan yang dibuat berjenjang-jenjang, tetapi seringkali di tiap jenjangnya menuntut anak didik bisa ini dan itu yang ukurannya adalah hal-hal di atas, melampaui batas kewajarannya. Tidakkah ini membuat sekolah, sebutlah setingkat SD misalnya, harus memposisikan siswa seperti mesin? Alasan yang diberikan, salah satunya karena sekolah tingkat SMP dan selanjutnya SMA menghendaki seperti itu. 

Akibat dari berkembangnya nalar neoliberalisme ini menyebabkan sekolah-sekolah – sebagaimana pendapat HAR Tilaar dalam bukunya Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (2004), mementingkan apa yang berguna berdasarkan paham pragmatisme – artinya menyediakan pelajaran-pelajaran yang berguna untuk kehidupan yang sekarang. Dengan demikian sekolah bukanlah mengasah kemampuan intelektual untuk hidup secara cerdas tetapi yang dapat memberikan keuntungan yang lebih banyak bagi yang menguasainya. Karena paham ini, academic excellence bukan lagi merupakan tujuan dalam pendidikan, siswa cerdas yang bermoral juga tak lagi penting, sekolah bukan lagi untuk mengasah akal budi dan seni, karena yang terpenting menurut paham ini adalah bagaimana siswa mendapatkan keterampilan atau penguasaan-penguasaan ilmu-ilmu praktis yang segera dapat memberikan manfaat pada yang memilikinya.

Ambisi orang tua yang terlalu besar untuk menyekolahkan siswanya ke sekolah favorit, juga berpotensi melanggengkan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme. Inginnya diterima di sekolah favorit  untuk menaikkan gengsi, sementara mereka sadar bahwa anak mereka tidak punya prestasi yang dipersyaratkan untuk lulus mendaftar di sekolah tersebut. Akibatnya, “uang” solusinya. Kasus “anak titipan” terjadi karena orang tua menganggap bahwa sekolah itu “bisa dibeli”. Tak lain, karena neoliberalisme pendidikan sudah sedemikian membelit pendidikan kita, bukan hanya masalah buku pelajaran saja, tetapi kasus “calon siswa titipan”.

Pentingnya Kedewasaan

Pada masa pendaftaran peserta didik baru (PPDB) 2019 dengan sistem zonasi ini tidak seharusnya orang tua calon siswa resah, apabila anaknya tidak berhasil diterima di sekolah yang mereka anggap favorit. Jangan sampai nalar neoliberalisme membelit pikiran kita. Jangan mudah tertipu dengan sekolah-sekolah yang membranding keberadaan mereka sebagai sekolah favorit, sementara motifnya tak lain dan tak bukan adalah komodifikasi. Apa jadinya jikalau sekolah menjadi “ladang bisnis” dan melupakan fitrahnya sebagai tempat “pendidikan” bagi para siswa?.***

Wednesday, April 10, 2019

Pilkades dan Kesadaran Politik Kita

Oleh: Syamsul Kurniawan

Jabatan kepala desa, tidak datang begitu saja, atau bukan pula kekuasaan tunggal nan absolut yang datang dari Tuhan seperti dalam dongeng Arabian Nights. Setidaknya itu yang saya pahami dari model demokrasi yang kita anut. Kesempatan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, datang dari prosedur yang disepakati bersama serta dijabat dalam rentang waktu yang dapat dihitung. Oleh karena itu, sebuah “kursi” kepala desa, seperti di negeri ini misalnya, mengisyaratkan pentingnya pemilihan yang "demokratis". 


Dalam pilkades misalnya, calon kepala desa, umumnya jual diri, memamerkan rancangan program—dan dalam kadar tertentu, - ia mengobral janji. Si calon berbuat demikian karena tahu bahwa “kursi” yang sedang ia inginkan, adalah sebuah rebutan dan suatu saat, mau tak mau, ia akan dicopot jika pemilih sebelumnya tidak menaruh kepercayaan lagi padanya. Mengapa rebutan, ini karena anggaran desa yang mereka kelola cukup menjadi alasan untuk diperebutkan. 


Maka tidak heran, banyak calon kepala desa yang berpikir menjumputi satu persatu suara-suara pemilih dari bawah. Pada aras ini, suara yang ia peroleh, kalaupun berhasil merebut kursi jabatan kepala daerah, bisa efektif, karena dipilih berdasarkan kesadaran pemilih.


Kepala desa yang dibutuhkan

Yang dibutuhkan paska pemilihan kepala desa adalah, kepala desa yang berkarakter pemimpin. Berdasarkan kamus bahasa Indonesia, “pemimpin” identik dengan penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah “memimpin” digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara. Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin ini, pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama “pimpin”. Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.


Tetapi seringkali dalam konteks di Indonesia, pemimpin tidak ubahnya sebagai sebuah lakon/ peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki keterampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah kepemimpinan dalam konteks ini pada dasarnya berhubungan dengan keterampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang. Dengan demikian pula,  kepala desa.


Pada era pasar yang kian asosial, kita layak bermimpi hadirnya kepala desa yang tidak hanya sekedar punya keterampilan dan kecakapan memimpin tapi juga pro masyarakat. Konkretnya, kita butuh figur pemimpin yang bukan cuma sanggup berkata-kata, namun juga siap mendengar dan memberi teladan hidup pada masyarakat. Bukan sekadar soal pencitraan diri, atau cuma obral janji. Dalam konteks menjamin hak-hak warganya untuk hidup sehat misalnya.


Karenanya, masyarakat sebagai pemilih, mesti cerdas. Jangan sampai terjebak pada obral janji, dan pada gilirannya memilih kepala daerah yang hanya sanggup berperan seperti "aktor drama", yang tampak baik dan loyal pada masyarakat hanya ketika ia berkampanye. Kepala desa ideal, setidaknya versi saya sebagai calon pemilih tentulah kepala desa yang tak sekedar obral janji. Kepala desa, yang betul-betul peduli pada masyarakat, bersedia berbuat lebih untuk masyarakat desa yang ia pimpin. Dengan pemimpin seperti ini masyarakat desa tentu lebih siap bersama-sama berperan serta dalam setiap tindakan nyata.


Menjelang Pemilihan Kepala Desa serentak yang tak lama lagi,  mari bermimpi akan hadirnya kepala desa yang betul-betul bisa memajukan daerah kita, dan bukan hanya sekedar obral janji. Tetapi sepasang pemimpin yang bisa mengapresiasi kebutuhan masyarakat desa. 


Karena semuanya kembali pada pilihan kita masing-masing, bagi kita yang punya hak suara. Jangan jadikan perbedaan kriteria dalam memilih figur pemimpin, sebagaimana di atas, membuat kita berkonflik satu sama lain. Cerdas berpolitik berarti berpolitik dengan pikiran jernih dan kepala dingin.***

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...