Saturday, March 18, 2023

Jual Janji Jelang Pemilu dan Kita

Oleh: Syamsul Kurniawan (Kaprodi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)

Barangkali saja orang akan mengingat tulisanku ini: Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik. (Pramoedya Ananta Toer)

Seperti diketahui bersama, Pemilu 2024 akan dilangsungkan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD dan Presiden, pada 14 Februari 2024. Otomatis, tahun ini akan menjadi tahun politik. Apa buktinya?

GEGAP-gempita Pemilu 2024 sudah terasa. Tidak hanya porsi pemberitaan media massa yang memberi ruang pada berita-berita seputar pemilu serentak tahun depan. Atau, baliho atau banner yang menginformasikan figur calon Presiden dan profil-profil anggota dewan yang memadati sudut-sudut jalan. Perbincangan masyarakat di warung kopi, di tempat kerja, dan tempat-tempat strategis lainnya, belakangan banyak seputar ini. Pertimbangan yang digunakan juga tidak seragam, mulai dari pertimbangan politik, etnis, bahkan agama.

Namanya juga Pemilu, yang digadang-gadang sebagai pesta demokrasi, trennya masih sama yaitu jual janji. Ini bisa kita mengerti, bahwa politik dan janji seperti dua sisi koin yang berbeda namun satu kesatuan. Seperti itupula, politik dan janji-janji, pada hari ini menjadi dua hal yang saling berkaitan erat, tak terpisahkan. Belakangan, janji-janji politik dianggap sebagai bagian yang melekat dalam sebuah rangkaian dari proses politik yang demokratis.

Jelang dan pada saat Pemilu nanti, janji-janji calon Presiden-Wakil :Presiden, dan demikian pula calon anggota dewan menjadi sesuatu yang seksi diperhatikan. Karena bagaimanapun, setiap pilihan masyarakat yang jatuh pada calon-calon pemimpin kita tersebut jelas punya konsekuensi tersendiri, dan amat menentukan bagaimana masa depan daerah kita ke depan. “Baik” yang kita pilih maka boleh jadi “baiklah” masa depan daerah kita, dan begitupula sebaliknya. Oleh sebab itu janji-janji yang seksi dalam Pemilu ke depan sementara dalam pengamatan saya, masih seputar pemenuhan hak-hak dasar seperti pendidikan, pengurangan pengangguran, kesehatan, infrastruktur jalan, dan sebagainya.

Pendidikan di Indonesia walaupun ada perbaikan, namun secara keseluruhan masih rendah dan terbelakang. Saya tidak ingin membandingkan dengan kota-kota besar. Sekolah-sekolah di pelosok-pelosok Kalbar saja kita ambil contoh, masih banyak yang berjalan alakadarnya dan minim fasilitas. Pembangunan bidang kesehatan di Kalbar juga belum ideal. Layanan kesehatan masih mahal sehingga tidak banyak masyarakat Kalbar memperoleh haknya untuk mendapatkan pengobatan murah dan bahkan gratis. Fasilitas dan tenaga-tenaga kesehatan di daerah-darah juga amat terbatas. Pembangunan dan pemeliharaan jalan di Kalbar juga masih jadi masalah. Kebijakan pembangunan asal jadi membuat jalan-jalan yang dibangun tidak dapat bertahan lama. Tentu saja keluhan soal jalan ini tidak akan pernah sepi, karena jika jalan rusak, transportasi terhambat dan mahal, dan akibatnya harga barang-barang ikut-ikutan naik. Hal ini tentu berdampak buruk pada kesejahteraan masyarakat Kalbar. Belum lagi jika kita melihat banyaknya pengangguran (baik terdidik maupun yang tidak terdidik) di Kalbar, yang sedikit banyak juga berpengaruh pada meningkatnya kasus kejahatan di provinsi ini. Saya kira ini hanyalah puncak gunung es dari provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Cerdas Berpolitik

Dalam hal ini,masyarakat harus cerdas berpolitik. Jangan terlalu percaya pada janji calon Presiden-Wakil Presiden atau calon-calon anggota dewan yang terlalu muluk-muluk. Janji yang baik biasanya realistis dan betul-betul menyentuh pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Janji-janji yang baik mudah dilihat hasilnya, didesak realisasinya, mudah diawasi dan dituntut pertanggungjawabannya.

Secara teoritis, sekurang-kurangnya ada tiga teori kebenaran yang bisa kita pinjam untuk membincangkan hal ini.

Pertama, teori kebenaran korespondensi yang mengasumsikan bahwa sesuatu dianggap benar bilamana arti pernyataan seseorang atau kelompok, sesuai dengan kenyataannya. Artinya, terdapat keselarasan antara pernyataan yang diucapkan atau yang dijanjikan dengan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dalam ranah politik teori ini memegang peranan penting untuk melihat seberapa jauh kebenaran para elite politik terhadap janji yang di ucapkannya selama kampanye berlangsung.

Kedua, teori konsistensi. Teori ini mengasumsikankan bahwa kebenaran dapat diukur dengan melihat konsistensi hubungan antara pernyataan yang baru dan pernyataan lainnya yang kebenarannya telah kita ketahui dan telah disepakati bersama. Ada pula yang mengasumsikan bahwa kebenaran dianggap benar bila pernyataan yang diucapkan saat ini konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Berdasarkan ini, kita dapat mengukur sejauhmana konsistensi para politisi dengan janji-janji politiknya. Jika ia adalah seorang mantan Menteri atau pejabat maka lihatlah dari kinerjanya selama menjadi Menteri atau pejabat. Jika dia mantan kepala daerah atau wakil rakyat maka lihatlah keberpihakannya dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Jika dia politisi, lihatlah apakah dia seorang politisi baik ataukah politisi busuk. Jika dia seorang pengusaha maka lihatlah rekam jejaknya, dan lain-lain.  

Ketiga, teori pragmatisme. Teori ini menyatakan bahwa suatu ucapan, hukum atau sebuah teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar bila mendatangkan keuntungan. Teori ini jamak kita jumpai dalam konstelasi perpolitikan kontemporer Indonesia di segala level tingkatan.  Betapa tidak, masyarakat pemilih dibutuhkan sebatas untuk memuluskan jalan meraih kursi kekuasaan. Setelah kampanye usai dan telah mendapatkan kekuasaan politik dan kepemilikan ekonomi yang menjadi sasaran utamanya, masyarakatpun tak dipedulikan. Karena itu, jelang Pemilu serentak, masyarakat jangan asal pilih, namun juga jangan golput. Terpenting, masyarakat mesti cerdas melihat figur pasangan calon Presiden-Wakil Presiden dan calon-calon anggota dewan.

Pemilu memang selalu syarat dengan “jual janji”, dan karena itulah kita harus cerdas layaknya seorang pembeli. Harus waspada terhadap janji-janji politik calon Presiden-Wakil Presiden dan calon-calon anggota dewan yang muluk-muluk. Perhelatan Pemilu tahun depan jangan dianggap sepele, karena tentu saja masa depan daerah ini dipertaruhkan dalam ajang ini. Atau, paling tidak, Pemilu tahun depan nanti jadi momentum pembelajaran politik bagi masyarakat sehingga cerdas berpolitik. Semoga masa depan bangsa ini lebih baik lagi ke depannya. Aamiin.***

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...