Friday, April 8, 2022

Fatwa MUI dan Kesuksesan Program Vaksinasi Covid-19

 Oleh: Syamsul Kurniawan

DALAM konteks negara-bangsa yang heterogen sebagaimana di Indonesia, kondisinya yang heterogen dari sisi agama-agama bisa bermakna dua hal: produktif dan/atau kontraproduktif. Produktif manakala, antara pemeluk dari agama-agama yang berbeda-beda ini bisa saling menyatu, tetapi menjadi kontraproduktif manakala antara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama yang lain tercerai berai dan saling berkonflik. Jangankan berbeda agama, dalam satu agamapun, kemungkinan konflik ini sangat mungkin terjadi, oleh karena perbedaan mazhab atau cara dalam beragama.

Elizabeth K. Nothingham dalam bukunya Religion and Society (1964) mengisyaratkan kemungkinan terjadinya hal tersebut, di mana menurutnya ajaran dari agama-agama yang berbeda antara pemeluk agama satu atau dengan yang lain, bisa berkonotasi positif atau negatif, berpeluang menjadi konflik atau tidak, amat bergantung dari bagaimana sebagai ajaran ia fungsional mengikat dan menjadi alasan persatuan, atau sebaliknya justru mencerai-beraikan. Begitupun dengan fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) seputar kehalalan dan kesucian vaksin, ketika ia telah berada di ruang publik sebagaimana saat ini, ia tidak hanya sebagai diskursus yang pelu disepakati (paling tidak oleh sebagian besar umat Islam), tetapi juga semestinya bisa menjadi perekat dari umat di tengah pandemi ini.

Hal ini karena menurut penulis, fatwa MUI sebagai konsensus, penting secara politis dan juga penting secara sosiologis. Fatwa MUI seputar vaksinasi di ruang publik saat ini jelas-jelas telah menjadi hukum yang hidup (living law) di tengah-tengah umat Islam Indonesia saat ini. Sebab fatwa MUI seputar vaksinasi ini menjadi living law di tengah-tengah umat Islam saat ini, maka jadi sulit memisahkan keberadaannya dari kehidupan umat secara keseluruhan; apakah itu dari konteks wacana dan atau pengetahuan masyarakat itu sendiri. Keduanya penting, karena baik wacana atau pengetahuan adalah citra dari kehendak hukum ideal di tengah-tengah umat Islam Indonesia saat ini, sebagai konstruksi pemeluk agama yang dominan yang akan amat menentukan sukses atau tidaknya program vaksinasi di lapangan.

Apalagi sebagaimana dimafhumi, jelang lebaran tahun ini, atas alasan untuk mengantisipasi melonjaknya angka kasus terpaparnya virus covid-19, terasa sekali geliat pemerintah mengampanyekan seputar pentingnya vaksinasi. Dalam logika struktural-fungsionalnya Talcott Parsons sebagaimana penjelasannya dalam buku berjudul The Social Systems (1991), terdapat empat fungsi untuk semua sistem tindakan. Pada konteks ini, fungsi yang dimaksud adalah sekumpulan hal yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dalam konteks fatwa MUI seputar vaksinasi inipun demikian, persyaratan atau kebutuhan fungsional inilah yang mensupport fatwa MUI sehingga bisa mensukseskan program vaksinasinya pemerintah.

Keempatnya antara lain: pertama, adaptasi (adaptation). Sebuah program bisa berjalan secara sistemik manakala ia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada, harus mampu bertahan ketika situasi eksternal sedang tidak mendukung. Isu-isu hoax, berbagai teori konspirasi, dan sikap politis dari public figure yang kontraproduktif bisa saja menjadi “batu sandungan” dari kerja-kerja tokoh agama dalam mensosialisasikan fatwa MUI di tengah-tengah masyarakat. Wacana dan pengetahuan yang ada jelas akan mempengaruhi persepsi dan tindakan masyarakat terhadap fatwa MUI seputar kehalalan dan kesucian vaksin. Hemat penulis, di bawah puncak gunung es, jelas masih cukup banyak persepsi miring di tengah-tengah masyarakat seputar vaksinasi ini.

Kedua, pencapaian tujuan (goal attaintment). Sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya. Artinya, fatwa MUI seputar kehalalan dan kesucian vaksin selayaknya bisa mengerucutkan pemikiran individu-individu yang ada agar dapat membentuk sikap dan tindakan individu dalam mencapai tujuan dari kesuksesan program vaksinasi itu sendiri. Contohnya, kiyai-kiyai di pesantren, ustadz-ustadz di majelis ta’lim dan seterusnya menjadi profil yang penting dalam konteks mengarahkan jamaahnya untuk mensukseskan program vaksinasi. Jika umat tidak lagi khawatir atau ragu untuk divaksin, otomatis kerja-kerja sosialisasi yang dilakukan oleh kiyai dan ustadz ini bisa dikatakan telah berhasil.

Ketiga, pemeliharaan pola (latensi). Sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut. Hal ini berarti fatwa MUI seputar kehalalan dan kesucian vaksin menjadi konsensus yang diakui dan menjadi alasan bersedianya umat untuk divaksinasi.

Keempat, integrasi (integration). Sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Ia pun harus mengatur hubugan antar ketiga imperative fungsional, yakni adaptation, goal, dan latency. Secara politik ini berarti, mesti ada support dari semua unsur agar fatwa MUI seputar kehalalan dan kesucian vaksin bisa fungsional dalam mensukseskan program vaksinasi. Tanpa ketercukupan prasyarat ini semua, pesimis fatwa ini akan fungsional dalam mensupport program vaksinasi. Apalagi, jika negara terhalang untuk memaksa warganya atas alasan Hak Asasi Manusia (HAM).***

 

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...