Friday, October 28, 2011

Merawat Ruhnya Sumpah Pemuda

Oleh: Syamsul Kurniawan 

Tertulis dengan tinta emas, tanggal 28 Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioscoop, Jakarta diselenggarakan Kongres Pemuda II. Pada penutupan Kongres II ini, selain diperdengarkan sebuah lagu ciptaan WR Supratman, “Indonesia Raya”, juga dibacakan rumusan hasil kongres tersebut. Kita akrab menyebutnya dengan Sumpah Pemuda, untuk menyebut sumpah setia generasi muda yang kala itu diikat oleh perasaan menyatu dalam hal tanah air, bahasa dan bangsa. Jelas, sumpah pemuda yang menyejarah kala itu, bukanlah pencitraan, melainkan memang karena pemuda saat itu memang tengah menguat kesadaran dan tanggung jawab mereka yang tinggi kepada bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Musuh merekapun sama: kolonialisme dan imperialisme.

Kemudian kini, setiap tanggal 28 Oktober, jamak kita memperingati momen Sumpah Pemuda tersebut. Namun sulit memungkiri bagaimana perayaan Hari Sumpah Pemuda diperingati, kebanyakan hanyalah seremonial belaka. Tidak memberi inspirasi. Sebutlah, upacara bendera dalam rangka memperingati hari sumpah pemuda. Itupun kalau ada. Di beberapa lembaga pemerintah dan pendidikan misalnya, para peserta upacara berkumpul di halaman, lalu ada momen di mana seorang petugas upacara membacakan butir-butir sumpah pemuda yang diikuti seluruh peserta yang hadir, lalu kata sambutan dari pimpinan upacara, dan selesai. Tidak ada kesan setelahnya. 

Penulis tidak mengatakan bahwa upacara bendera dalam rangka memperingati perayaan sumpah pemuda itu tidak penting. Seremonial semacam ini dalam beberapa hal tetap penting. Tetapi jauh lebih penting, di momen tersebut kita mengevaluasi. Tidakkah sumpah pemuda yang kita peringati sampai hari ini tidak membekaskan apa-apa?. 

Rentan Terpapar Radikalisme

Saat ini ada kondisi di mana sebagian generasi muda saat ini rapuh, kehilangan jati diri, bahkan nyaris mencapai titik kelumpuhan sosialnya. Wawasan kebangsaan dinilai menurun, dan generasi muda kian terkesan mengalami krisis identitas. Perkembangan generasi muda dirasakan cukup mengkhawatirkan dan perlu mendapatkan perhatian serius. Seperti ada kesan menguatnya pemikiran keagamaan yang konservatif dan fundamentalis di beberapa perguruan tinggi yang kemudian dikhawatirkan akan melemahkan nasionalisme. 

Ini bukannya tanpa data. Setara Institute misalnya, melaporkan survey mereka tentang “Tipologi Beragama Mahasiswa di 10 Perguruan Tinggi Negeri” (30 Juni 2019). Sebagaimana berita yang dirilis https://news.detik.com/berita/d-4606304/survei-setara-institute-sebut-mahasiswa-kampus-kampus-ini-fundamentalis, mahasiswa dari 10 kampus negeri yang diteliti dapat diklasifikasikan kepada tipe konservatif-fundamentalis hingga inklusif. Setidaknya ada 1.000 mahasiswa S1 yang dijadikan responden. Masing-masing kampus punya 100 responden. 84% Dari responden adalah muslim. 

Dari hasil survey Setara Institute menyimpulkan mahasiswa dari disiplin ilmu eksakta cenderung lebih konservatif-fundamentalis ketimbang mahasiswa yang kuliah di bidang ilmu sosial-humaniora yang lebih kasual dalam beragama. Kecenderungan mahasiswa di kampus-kampus perguruan tinggi umum (PTU) menjadi konservatif dan fundamentalis ini sepatutnya menjadi bahan evaluasi karena mereka rentan terpapar radikalisme dan pada gilirannya ini menjadi batu sandungan terutama bagi negara kita yang tengah membangun.

Nasionalisme, rasa persatuan dan persatuan di kalangan generasi muda kita saat ini barangkali masih ada, tapi jika tidak dibina dan diberdayakan sehingga yang menonjol malahan nantinya adalah sikap-sikap yang kontraproduktif seperti konservatif-fundamentalis dalam beragama dan atau terpapar radikalisme. Kondisi ini jelas kontraproduktif. 

Saatnya merenungkan kembali perjalanan bangsa ini, bagaimana generasi muda di masa lalu bisa bersatu dalam kondisinya yang terbatas, belum ada lagi tanda-tanda kemerdekaan tapi mereka menyadari pentingnya persatuan guna memperkuat pegangan menghadapi masa depan yang lebih baik. Lahirnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 tidak terlepas dari perjuangan sebelumnya yaitu tahun 1908, di mana konsep dasar dari “Roh” sumpah pemuda itu sendiri adalah persatuan dan kesatuan demi terwujudnya kemerdekaan Bangsa Indonesia. 

Munculnya konsep dasar tersebut didasari oleh adanya patriotisme dan nasionalisme dari rakyat dan pemimpin bangsa Indonesia. Tumbuhnya jiwa kepahlawanan antara para pemimpin saat itu didasari dengan keikhlasan dan ketulusan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, hal ini tidak dalam bentuk kata-kata, tetapi dalam bentuk karya nyata yang dibeli dengan darah dan air mata, serta rasa tanggung jawab serta rasa memiliki terhadap rakyat dan negara Republik Indonesia. Mereka wujudkan semua itu dalam bentuk perjuangan “tanpa pamrih” sehingga menghasilkan generasi militan dalam perjuangannnya, baik itu perjuangan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya. 

Dalam bidang politik kita kenal yang namanya Soekarno-Hatta, Muhammad Yamin, Sutan Syahrir, dan lain-lain. dalam bidang Sosial dan Budaya kita kenal tokoh militan seperti HAMKA. Mereka juga dikenal sebagai figur-figur yang taat beragama, namun kokoh nasionalismenya. Mereka tidak menjadi konservatif dan fundamentalis dalam beragama, dan justru dengan dasar keagamaan yang mereka anut mereka sadar pentingnya merawat nasionalisme.

Kita juga bisa melihat bagaimana para generasi muda Indonesia di masa lalu dalam memaknai sumpah pemuda; sekalipun mereka datang/ berasal dari berbagai daerah tapi bisa menyatukan visi dan misi pentingnya kemajemukan, bukan untuk menampilkan ego masing-masing tapi bersatu meraih cita-cita. Meskipun suku bangsa kalangan pemuda kita berbeda, dari Jong Ambon, Jong Sumatra, Jong Selebes, Jong Java dan lain-lain namun mereka dapat bersatu untuk masa depan negerinya. Itu sebabnya mengapa makna sumpah pemuda menjadi bukti pengakuan kemajemukan perlu kita kembalikan, kita perkuat, kita kokohkan kita isi kembali agar tetap melekat erat dan tidak kian memudar, khususnya di era di mana kita tengah membangun ini.

Perlu Diselamatkan

“Ruh” Sumpah Pemuda pada hari ini perlu kembali disuarakan; perlu dihidupkan lagi dalam artian menghidupkan nilai-nilai persatuan, kesatuan bangsa Indonesia dalam bentuk “komitmen” terhadap “ruh-nya” sumpah pemuda tersebut. Bagi generasi muda saat ini nilai ruhnya Sumpah Pemuda memiliki makna yang berarti untuk dihayati, dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dengan tidak berusaha membuat “kotak-kotak” dalam lingkup pemikiran kebangsaan, melainkan harus memiliki visi dan misi yang jelas bagi terciptanya “moralitas bangsa Indonesia sejati”. Ini berarti tidak ada ruang bagi radikalisme dalam pikiran dan sikap generasi muda Indonesia.


Sebagai penutup, mari kita mengingat pesan profetik dari mendiang Sukarno.
“Oleh karena itu, maka kita pertama-tama haruslah mengabdi pada roh dan semangat itu. Roh muda dan semangat muda yang harus meresapi dan mewahyui segenap kita punya perbuatan. Jikalau roh ini sudah bangkit maka tiadalah kekuatan duniawi yang dapat menghalang-halangi bangkit dan geraknya, tiadalah kekuatan duniawi yang dapat memadamkan nyalanya,” demikian sebutnya dalam Suluh Indonesia Muda, 1928.***

Masa Depan Pesantren

Oleh: Syamsul Kurniawan Mencermati tren yang ada sekarang, nampaknya sebagian besar anak-anak usia sekolah lebih cenderung memilih sekolah...