Saturday, March 9, 2024

Khawarij dan Neo-Khawarij

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

SEJARAH radikalisme dalam Islam umumnya memang terjadi berkaitan dengan persoalan politik, yang kemudian berdampak kepada dibawanya simbol-simbol agama. Hal ini adalah fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Walaupun pembunuhan terhadap khalifah telah terjadi ketika Khalifah Umar berkuasa. Namun, gerakan radikalisme yang sistematis dan terorganisir baru dimulai setelah munculnya sebuah gerakan teologis yang cenderung radikalis, yaitu “Khawarij”. Secara etimologis, kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu “kharaja” yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Dari pengertian ini, kata tersebut dapat juga dimaknai sebagai golongan orang Islam atau Muslim yang keluar dari kesatuan umat Islam. Ada pula yang mengatakan bahwa pemberian nama itu di dasarkan pada Q.S. an-Nisa’ [4]: 100 Surat Annisa ayat 100, yang menyatakan: “Keluar dari rumah kepada Allah dan Rasulnya”. Dengan kata lain, golongan “Khawarij” memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah atau kampung halaman untuk “berhijrah” dan mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya. (Gholib, 2005)

Dalam konteks teologi Islam, Khawarij berpedoman kepada kelompok atau aliran kalam yang berasal dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang kemudian keluar dari barisannya, karena ketidaksetujuannya terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) ataupun perjanjian damai dengan kelompok pemberontak Mu’awiyah bin Abi Sufyan mengenai persengketaan kekuasaan (khilafah). Menurut kelompok Khawarij, keputusan yang diambil Ali adalah sikap yang salah dan hanya menguntungkan kelompok pemberontak. Situasi inilah yang melatarbelakangi sebagian barisan tentara Ali keluar meninggalkan barisannya. (Azra, 1996)

Arbitrase terjadi dalam konteks Perang Shiffin antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai hasil dari pertikaian politik pasca kematian Khalifah Usman bin Affan. Sebagaimana di dalam sejarah, ketika Ali terpilih menjadi khalifah, ia mendapatkan tantangan dari beberapa pemuka sahabat yang ingin menjadi khalifah, di antaranya ialah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Damaskus waktu itu. Mu’awiyah tidak mengakui Ali sebagai khalifah, sebagaimana juga Talhah dan Zubair. Mereka menuntut kepada Ali, agar menghukum pembunuh Khalifah Usman bin Affan, bahkan mereka menuduh Ali bin Abi Thalib turut terlibat dalam pembunuhan itu. Salah seorang pemuka pemberontak dari Mesir yang datang ke Madinah, dan kemudian membunuh Usman bin Affan, adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat dari Ali bin Abi Thalib. Selain itu, Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr ditunjuk dan diangkat menjadi Gubernur Mesir. (Nasution, 1986)

Pertikaian politik tersebut mencapai puncaknya dalam perang besar antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Shiffin. Pasaukan Ali dapat mendesak dan memukul mundur tentara Mu’awiyah, sehingga pasukan Mu’awiyah, Amir ibn al-Ash yang terkenal sebagai orang yang licik, meminta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas. Seorang sahabat dari kelompok Ali yang bernama Qurra’ mendesak Ali supaya menerima tawaran itu. Dengan permintaan itu, dicarilah kerangka perdamaian dengan mengadakan arbitrase (tahkim) di antara kedua belah pihak. Sebagai perantara, diangkat dua orang: Amir bin al-Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Sejarah mencatat, bahwa dalam perjanjian damai itu, kedua belah pihak menandatangani kesepakatan untuk tidak menjatuhkan kedua pemuka sahabat yang bertentangan itu. Tetapi, karena kelicikan Amir bin al-Ash, arbitrase tersebut menguntungkan pihak Mu’awiyah, karena ia mengumumkan hanya menyetujui pemakzulan Ali bin Abi Thalib yang diumumkan lebih dulu oleh Abu Musa al-Asy’ari, dan menolak menjatuhkan Mu’awiyah. Akibatnya, kedudukan Mu’awiyah naik menjadi Khalifah yang tidak resmi alias tidak sah. (Rijal, 2010)

Jadi Khawarij, sebagai sebuah kelompok sempalan dalam Islam yang berpikir radikal, merupakan sebuah bentuk yang lahir dari kekecewaan politik terhadap arbitrase yang merugikan kelompok Ali bin Abi Thalib. Akhirnya, sebagain dari pendukung Ali keluar, dan berpendapat ekstrim bahwa perang tersebut tidak dapat diselesaikan dengan tahkim manusia. Tetapi putusan hanya datang dari Allah swt dengan cara kembali kepada hukum yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Semboyan mereka adalah la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah). Mereka, yang keluar dari kelompk Ali bin Abi Thalib ini, yang kemudian menamakan dirinya golongan “Khawarij” memnadnag dan mencap bahwa Ali bin Abi Thalib, Amir bin al-Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan Mu’awiyah, serta yang lainnya yang setuju atau menerima arbitrase atau tahkim adalah sebagai kafir, karena tidak Kembali kepada Al-Qur‘an dalam penyelesaian pertikaian tersebut. Persoalan kafir ini menjadi dasar awal persoalan teologis dalam Islam, di mana kelompok “khawarij” adalah pendirinya. karena mereka memandang sahabat yang terlibat dalam arbitrase itu adalah kafir, maka mereka diklaim keluar dari Islam alias murtad, dan dianggap “halal darahnya” untuk dibunuh. terbukti, Ali bin Abi Thalib menjadi korban pembunuhan dari salah satu pengikut paham ini. (Abdullah, 2016)

Pilihan Khawarij sebagai pemberontak melalui aksi-kasi radikal terekam oleh sejarah, tidak hanya terjadi dan berhenti di masa Ali. Khawarij meneruskan perlawanannya terhadap kekuasaan Islam resmi, baik di zaman Dinasti Bani Umayyah maupun Abbasiyah. Oleh karena itu, mereka memilih Imam sendiri dan membentuk pemerintahan kaum Khawarij. Radikalisme gerakan ini bukan saja pada aspek pemahaman, tetapi juga pada aspek tindakan. Khawarij memahami ajaran Islam secara harfiyah, sebagaimana yang ia baca secara tekstual dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi; dan mereka merasa wajib melaksanakannya tanpa perlu penafsiran macam-macam. Alamat kafir dan murtad dengan demikian bisa diberikan pada siapa saja orang yang tidak sepaham dengan golongannya, bahkan terdapat orang yang sepaham tetapi tidak mau hijrah ke daerah mereka, bahkan mereka menyebutnya sebagai “dar al-harb”, sehingga dapat dibunuh.(Gholib, 2005) Jelas, berdasarkan rekaman historis ini, bahwa aksi radikalisme agama sangatlah bermuatan politis. Agama hanya ditunggangi sebatas pembenaran politis dari asumsi yang mereka bangun.

 

Neo-Khawarij?

Di zaman yang sekarang masih banyak yang menyebut suatu kelompok tertentu berkarakteristik dan pemikiran mereka hampir sama dengan khawarij. Sebutan itu dikenal sebagai neo-khawarij atau khawarij masa kini. Sikap mereka yang keras, mudah mengkafirkan dan tidak berpikir panjang dalam menyelesaikan permasalahan umat, mengindikasikan keompok ini sebagai penganut paham khawarij yang muncul di era sekarang.

Untuk konteks Indonesia, kelompok neo-Khawarij berpandangan bahwa negara ini melaksanakan sistem Taghut karena menerapakan demokrasi. Kelompok ini juga enggan mengakui UUD dan Pancasila sebagai dasar negara. Sebab mereka bercita-cita mendirikan negara Islam. Selain politik, pandangan-pandangan lain dalam hukum Islam yang kurang relevan dengan tuntutan zaman. Begitu menurut kelompok ini. (Mafazah, 2020)

Sikap yang ditunjukan oleh khawarij maupun neo-Khawarij jelas sangatlah membuat tidak nyaman semua kalangan umat muslim ataupun yang bukan muslim. Jelas, apa yang diprakikkan oleh kelompok Khawarij maupun neo-Khawarij berseberangan prinsip-prinsip moderasi beragama yang mengedepankan komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi dan akomodatif terhadap budaya/kearifan lokal. Kemunculannya, patut kita waspadai.***

Bahan Bacaan

Abdullah, A. (2016). Gerakan Radikalisme dalam Islam: Perspektif Historis. Addin, 10(1), 1–28. http://dx.doi.org/10.21043/addin.v10i1.1127

Azra, A. (1996). Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.

Gholib, A. (2005). Teologi dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press.

Mafazah, N. (2020, November 26). Mengenal Ideologi Khawarij dan Neo-Khawarij.

Nasution, H. (1986). Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.

Rijal, S. (2010). Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer: Membanding Khawarij dan Hizbut Tahrir. Al-Fikr, 14(2), 214–231.

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...