Oleh: Syamsul Kurniawan
SEJARAH radikalisme dalam Islam
umumnya memang terjadi berkaitan dengan persoalan politik, yang kemudian
berdampak kepada dibawanya simbol-simbol agama. Hal ini adalah fakta sejarah
yang tidak terbantahkan. Walaupun pembunuhan terhadap khalifah telah terjadi
ketika Khalifah Umar berkuasa. Namun, gerakan radikalisme yang sistematis dan
terorganisir baru dimulai setelah munculnya sebuah gerakan teologis yang
cenderung radikalis, yaitu “Khawarij”. Secara etimologis, kata khawarij berasal
dari bahasa Arab, yaitu “kharaja” yang berarti keluar, muncul, timbul, atau
memberontak. Dari pengertian ini, kata tersebut dapat juga dimaknai sebagai
golongan orang Islam atau Muslim yang keluar dari kesatuan umat Islam. Ada pula
yang mengatakan bahwa pemberian nama itu di dasarkan pada Q.S. an-Nisa’ [4]:
100 Surat Annisa ayat 100, yang menyatakan: “Keluar dari rumah kepada Allah dan
Rasulnya”. Dengan kata lain, golongan “Khawarij” memandang diri mereka sebagai
orang yang meninggalkan rumah atau kampung halaman untuk “berhijrah” dan
mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya. (Gholib, 2005)
Dalam konteks teologi Islam,
Khawarij berpedoman kepada kelompok atau aliran kalam yang berasal dari
pengikut Ali bin Abi Thalib yang kemudian keluar dari barisannya, karena
ketidaksetujuannya terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim)
ataupun perjanjian damai dengan kelompok pemberontak Mu’awiyah bin Abi Sufyan
mengenai persengketaan kekuasaan (khilafah). Menurut kelompok Khawarij,
keputusan yang diambil Ali adalah sikap yang salah dan hanya menguntungkan
kelompok pemberontak. Situasi inilah yang melatarbelakangi sebagian barisan
tentara Ali keluar meninggalkan barisannya. (Azra, 1996)
Arbitrase terjadi dalam konteks
Perang Shiffin antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah bin
Abi Sufyan sebagai hasil dari pertikaian politik pasca kematian Khalifah Usman
bin Affan. Sebagaimana di dalam sejarah, ketika Ali terpilih menjadi khalifah,
ia mendapatkan tantangan dari beberapa pemuka sahabat yang ingin menjadi
khalifah, di antaranya ialah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Damaskus waktu
itu. Mu’awiyah tidak mengakui Ali sebagai khalifah, sebagaimana juga Talhah dan
Zubair. Mereka menuntut kepada Ali, agar menghukum pembunuh Khalifah Usman bin
Affan, bahkan mereka menuduh Ali bin Abi Thalib turut terlibat dalam pembunuhan
itu. Salah seorang pemuka pemberontak dari Mesir yang datang ke Madinah, dan
kemudian membunuh Usman bin Affan, adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat
dari Ali bin Abi Thalib. Selain itu, Ali tidak mengambil tindakan keras
terhadap pemberontak, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr ditunjuk dan diangkat
menjadi Gubernur Mesir. (Nasution, 1986)
Pertikaian politik tersebut
mencapai puncaknya dalam perang besar antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan
pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Shiffin. Pasaukan Ali dapat mendesak dan
memukul mundur tentara Mu’awiyah, sehingga pasukan Mu’awiyah, Amir ibn al-Ash
yang terkenal sebagai orang yang licik, meminta berdamai dengan mengangkat
al-Qur’an ke atas. Seorang sahabat dari kelompok Ali yang bernama Qurra’
mendesak Ali supaya menerima tawaran itu. Dengan permintaan itu, dicarilah
kerangka perdamaian dengan mengadakan arbitrase (tahkim) di antara kedua belah
pihak. Sebagai perantara, diangkat dua orang: Amir bin al-Ash dari pihak
Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Sejarah mencatat, bahwa dalam
perjanjian damai itu, kedua belah pihak menandatangani kesepakatan untuk tidak
menjatuhkan kedua pemuka sahabat yang bertentangan itu. Tetapi, karena
kelicikan Amir bin al-Ash, arbitrase tersebut menguntungkan pihak Mu’awiyah,
karena ia mengumumkan hanya menyetujui pemakzulan Ali bin Abi Thalib yang diumumkan
lebih dulu oleh Abu Musa al-Asy’ari, dan menolak menjatuhkan Mu’awiyah.
Akibatnya, kedudukan Mu’awiyah naik menjadi Khalifah yang tidak resmi alias
tidak sah. (Rijal, 2010)
Jadi Khawarij, sebagai sebuah
kelompok sempalan dalam Islam yang berpikir radikal, merupakan sebuah bentuk
yang lahir dari kekecewaan politik terhadap arbitrase yang merugikan kelompok
Ali bin Abi Thalib. Akhirnya, sebagain dari pendukung Ali keluar, dan
berpendapat ekstrim bahwa perang tersebut tidak dapat diselesaikan dengan
tahkim manusia. Tetapi putusan hanya datang dari Allah swt dengan cara kembali
kepada hukum yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Semboyan mereka
adalah la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah).
Mereka, yang keluar dari kelompk Ali bin Abi Thalib ini, yang kemudian
menamakan dirinya golongan “Khawarij” memnadnag dan mencap bahwa Ali bin Abi
Thalib, Amir bin al-Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan Mu’awiyah, serta yang lainnya
yang setuju atau menerima arbitrase atau tahkim adalah sebagai kafir, karena
tidak Kembali kepada Al-Qur‘an dalam penyelesaian pertikaian tersebut.
Persoalan kafir ini menjadi dasar awal persoalan teologis dalam Islam, di mana
kelompok “khawarij” adalah pendirinya. karena mereka memandang sahabat yang
terlibat dalam arbitrase itu adalah kafir, maka mereka diklaim keluar dari
Islam alias murtad, dan dianggap “halal darahnya” untuk dibunuh. terbukti, Ali
bin Abi Thalib menjadi korban pembunuhan dari salah satu pengikut paham ini. (Abdullah, 2016)
Pilihan Khawarij sebagai
pemberontak melalui aksi-kasi radikal terekam oleh sejarah, tidak hanya terjadi
dan berhenti di masa Ali. Khawarij meneruskan perlawanannya terhadap kekuasaan
Islam resmi, baik di zaman Dinasti Bani Umayyah maupun Abbasiyah. Oleh karena
itu, mereka memilih Imam sendiri dan membentuk pemerintahan kaum Khawarij.
Radikalisme gerakan ini bukan saja pada aspek pemahaman, tetapi juga pada aspek
tindakan. Khawarij memahami ajaran Islam secara harfiyah, sebagaimana yang ia
baca secara tekstual dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi; dan mereka merasa wajib
melaksanakannya tanpa perlu penafsiran macam-macam. Alamat kafir dan murtad
dengan demikian bisa diberikan pada siapa saja orang yang tidak sepaham dengan
golongannya, bahkan terdapat orang yang sepaham tetapi tidak mau hijrah ke
daerah mereka, bahkan mereka menyebutnya sebagai “dar al-harb”, sehingga
dapat dibunuh.(Gholib, 2005) Jelas, berdasarkan rekaman
historis ini, bahwa aksi radikalisme agama sangatlah bermuatan politis. Agama
hanya ditunggangi sebatas pembenaran politis dari asumsi yang mereka bangun.
Neo-Khawarij?
Di zaman yang sekarang masih banyak yang menyebut suatu
kelompok tertentu berkarakteristik dan pemikiran mereka hampir sama dengan
khawarij. Sebutan itu dikenal sebagai neo-khawarij atau khawarij masa kini.
Sikap mereka yang keras, mudah mengkafirkan dan tidak berpikir panjang dalam
menyelesaikan permasalahan umat, mengindikasikan keompok ini sebagai penganut
paham khawarij yang muncul di era sekarang.
Untuk konteks Indonesia, kelompok neo-Khawarij berpandangan
bahwa negara ini melaksanakan sistem Taghut karena menerapakan demokrasi.
Kelompok ini juga enggan mengakui UUD dan Pancasila sebagai dasar negara. Sebab
mereka bercita-cita mendirikan negara Islam. Selain politik,
pandangan-pandangan lain dalam hukum Islam yang kurang relevan dengan tuntutan
zaman. Begitu menurut kelompok ini. (Mafazah,
2020)
Sikap yang ditunjukan oleh khawarij maupun neo-Khawarij jelas
sangatlah membuat tidak nyaman semua kalangan umat muslim ataupun yang bukan
muslim. Jelas, apa yang diprakikkan oleh kelompok Khawarij maupun
neo-Khawarij berseberangan prinsip-prinsip moderasi beragama yang mengedepankan
komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi dan akomodatif terhadap
budaya/kearifan lokal. Kemunculannya, patut kita waspadai.***
Bahan Bacaan
Abdullah,
A. (2016). Gerakan Radikalisme dalam Islam: Perspektif Historis. Addin, 10(1),
1–28. http://dx.doi.org/10.21043/addin.v10i1.1127
Azra,
A. (1996). Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.
Gholib,
A. (2005). Teologi dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Mafazah,
N. (2020, November 26). Mengenal Ideologi Khawarij dan Neo-Khawarij.
Nasution,
H. (1986). Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah, Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press.
Rijal,
S. (2010). Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer: Membanding Khawarij dan
Hizbut Tahrir. Al-Fikr, 14(2), 214–231.