Oleh: Syamsul Kurniawan (Mantan Pengurus Bidang Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan (PTKM) HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Sekarang Beraktifitas Sebagai Dosen di IAIN Pontianak)
Adalah Ahmad Wahib, seorang
aktifis HMI era 1960-an yang namanya sangat fenomenal dan dikenang hingga
sekarang oleh para aktifis, baik di jajaran elit HMI dan di luar HMI. Dia
dikenal, salah satunya dari catatan-catatan hariannya yang diterbitkan dengan judul
Pergolakan Pemikiran Islam Catatan Harian Ahmad Wahib (LP3ES, 1981). Wahib
lahir pada 9 November 1942 dan meninggal 31 Maret 1973. Ironis, dia meninggal
setelah tertabrak sepeda motor usai keluar dari kantor majalah Tempo, tempatnya
bekerja sebagai calon reporter.
Uniknya, meskipun popular di
dunia aktifis, senyatanya di HMI, Wahib tidak pernah memegang satu jabatan
strategispun di puncak pimpinan elit HMI. Namun Djohan Effendi, dalam pengantar
karya di atas, menyebut Wahib sebagai “orang belakang layar” atau “aktor
intelektual”, yang pengaruhnya besar di dunia aktifis.
Mengapa Demikian?
Wahib sangat pantas disebut
sebagai seorang aktifis, sekalipun dia tidak lebih sebagai aktor di belakang
layar. Orang yang berada di belakang layar dari suatu organisasi sosial, memang
layak disebut sebagai aktifis. Hal ini karena, walaupun hanya sebagai aktor “di
belakang layar”, ia tetap bisa memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
menentukan hitam putihnya arah berjalannya warna organisasi. Tokoh yang berada
di balik layar kerapkali berperan sebagai konseptor, ideolog, dan menjadi
penggerak. Ini merupakan salah satu tipikal dari seorang aktifis ideal yang
dapat ditiru para generasi muda/ mahasiswa. Ahmad Wahib masuk dalam tipikal
aktifis ini.
Sekadar ilustrasi, sekalipun
berada di balik layar, Wahib mempunyai pengaruh yang besar terhadap organisasi
HMI waktu itu. Antara pertengahan tahun 1967 hingga akhir tahu 1971, Wahib dan
beberapa koleganya di HMI menggelar sebuah forum “Lingkaran Diskusi Limited
Group.” Beberapa anggota intinya kini merupakan tokoh-tokoh besar, seperti
Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi. Diskusi tersebut diadakan setiap Jum‘at sore
di kediaman HA Mukti Ali. Sebagai pengantar diskusi sering diundang beberapa
orang, seperti Syu’bah Asa, Saifullah Mahyuddin, Djauhari Muhsin, Kuntowijoyo,
Syamsuddin Abdullah, Muin Umar, Kamal Muchtar, dan Simuh.
Sebagai forum diskusi para
aktifis, forum diskusi yang digagasnya tersebut membicarakan berbagai masalah,
terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, budaya, dan masyarakat.
Melalui lingkaran diskusi ini ataupun berbagai kesempatan, pemikiran-pemikiran
Wahib sangat mewarnai HMI. Singkat kata, Wahib adalah seorang aktifis HMI yang
menonjol, baik itu dalam kegiatan maupun dalam pemikirannya. Sehingga meskipun
tidak menjadi pimpinan puncak, Wahib masuk dalam lingkaran elit HMI.
Kemenonjolannya inilah yang setidaknya menjadikan Wahib pantas dijadikan
teladan para aktifis HMI, yang punya kontribusi besar dalam memperjuangkan
perubahan di HMI, walaupun tidak di pimpinan puncak elit HMI.
Dengan demikian, para aktifis HMI
tidak usah berebut secara “bar-bar” untuk mencapai pimpinan puncak elit di HMI.
Pilihlah cara-cara yang elit untuk mencapai posisi itu. Belajar dari mendiang
Ahmad Wahib ada banyak jalan untuk berkontribusi besar di HMI. Di belakang
layarpun kitab isa berkontribusi untuk HMI. Mari berbahagia dalam ber-HMI.***