Friday, November 24, 2023

Aktifis HMI “Perlu Belajar” dari Ahmad Wahib

Oleh: Syamsul Kurniawan (Mantan Pengurus Bidang Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan (PTKM) HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Sekarang Beraktifitas Sebagai Dosen di IAIN Pontianak)

Adalah Ahmad Wahib, seorang aktifis HMI era 1960-an yang namanya sangat fenomenal dan dikenang hingga sekarang oleh para aktifis, baik di jajaran elit HMI dan di luar HMI. Dia dikenal, salah satunya dari catatan-catatan hariannya yang diterbitkan dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam Catatan Harian Ahmad Wahib (LP3ES, 1981). Wahib lahir pada 9 November 1942 dan meninggal 31 Maret 1973. Ironis, dia meninggal setelah tertabrak sepeda motor usai keluar dari kantor majalah Tempo, tempatnya bekerja sebagai calon reporter.

Uniknya, meskipun popular di dunia aktifis, senyatanya di HMI, Wahib tidak pernah memegang satu jabatan strategispun di puncak pimpinan elit HMI. Namun Djohan Effendi, dalam pengantar karya di atas, menyebut Wahib sebagai “orang belakang layar” atau “aktor intelektual”, yang pengaruhnya besar di dunia aktifis.

Mengapa Demikian?

Wahib sangat pantas disebut sebagai seorang aktifis, sekalipun dia tidak lebih sebagai aktor di belakang layar. Orang yang berada di belakang layar dari suatu organisasi sosial, memang layak disebut sebagai aktifis. Hal ini karena, walaupun hanya sebagai aktor “di belakang layar”, ia tetap bisa memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan hitam putihnya arah berjalannya warna organisasi. Tokoh yang berada di balik layar kerapkali berperan sebagai konseptor, ideolog, dan menjadi penggerak. Ini merupakan salah satu tipikal dari seorang aktifis ideal yang dapat ditiru para generasi muda/ mahasiswa. Ahmad Wahib masuk dalam tipikal aktifis ini.

Sekadar ilustrasi, sekalipun berada di balik layar, Wahib mempunyai pengaruh yang besar terhadap organisasi HMI waktu itu. Antara pertengahan tahun 1967 hingga akhir tahu 1971, Wahib dan beberapa koleganya di HMI menggelar sebuah forum “Lingkaran Diskusi Limited Group.” Beberapa anggota intinya kini merupakan tokoh-tokoh besar, seperti Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi. Diskusi tersebut diadakan setiap Jum‘at sore di kediaman HA Mukti Ali. Sebagai pengantar diskusi sering diundang beberapa orang, seperti Syu’bah Asa, Saifullah Mahyuddin, Djauhari Muhsin, Kuntowijoyo, Syamsuddin Abdullah, Muin Umar, Kamal Muchtar, dan Simuh.

Sebagai forum diskusi para aktifis, forum diskusi yang digagasnya tersebut membicarakan berbagai masalah, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, budaya, dan masyarakat. Melalui lingkaran diskusi ini ataupun berbagai kesempatan, pemikiran-pemikiran Wahib sangat mewarnai HMI. Singkat kata, Wahib adalah seorang aktifis HMI yang menonjol, baik itu dalam kegiatan maupun dalam pemikirannya. Sehingga meskipun tidak menjadi pimpinan puncak, Wahib masuk dalam lingkaran elit HMI. Kemenonjolannya inilah yang setidaknya menjadikan Wahib pantas dijadikan teladan para aktifis HMI, yang punya kontribusi besar dalam memperjuangkan perubahan di HMI, walaupun tidak di pimpinan puncak elit HMI.

Dengan demikian, para aktifis HMI tidak usah berebut secara “bar-bar” untuk mencapai pimpinan puncak elit di HMI. Pilihlah cara-cara yang elit untuk mencapai posisi itu. Belajar dari mendiang Ahmad Wahib ada banyak jalan untuk berkontribusi besar di HMI. Di belakang layarpun kitab isa berkontribusi untuk HMI. Mari berbahagia dalam ber-HMI.***

Pelajaran Pendidikan Agama Islam Non Dikotomik

Oleh: Syamsul Kurniawan

Pelajaran pendidikan agama Islam yang diberikan di sekolah-sekolah hingga kini masih diberikan oleh guru agama Islam secara dikotomik. Seolah-olah ajaran agama Islam hanya melulu pelajaran seputar aqidah, akhlak, al-Qur‘an, hadits, fikih, dan sejarah kebudayaan Islam. Ajaran agama Islam yang diberikan ke murid-murid tersebut pun cenderung bertujuan ukhrawi, dan kurang menyentuh aspek-aspek keduniawian. Guru-guru agama Islam senyatanya masih banyak yang belum mampu mengintegrasikan di materi yang mereka sampaikan tentang agama Islam dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, materi-materi di luar pelajaran pendidikan agama Islam, seperti matematika, biologi, fisika, kimia, sosiologi, kewarganegaraan, ekonomi, kewarganegaan, dan lain sebagainya diberikan oleh guru-guru yang kurang mampu menyisipkan nilai-nilai agama Islam ke dalam materi yang mereka berikan. Disadari atau tidak, demikianlah realita yang terjadi di sebagian sekolah-sekolah kita.  

Padahal, dalam ajaran agama Islam, dikotomi antara ukhrawi dan duniawi, agama dan ilmu pengetahuan, jelas sama sekali tidak dikenal, kecuali melalui tafsiran-tafsiran. Dengan demikian, tafsiran yang mendikotomikan tujuan ukhrawi dan duniawi terhadap pendidikan agama Islam, dan antara agama dan ilmu pengetahuan sifatnya sangat subjektif dari penafsir. Rasulullah Saw saja pernah menyampaikan, “barang siapa yang menginginkan dunia maka haruslah dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan akhirat maka juga harus dengan ilmu.” Berdasarkan hadits ini, tidak ada prioritas dan/atau dominasi salah satu di antara keduanya.

Pelajaran pendidikan agama Islam yang non dikotomik adalah pelajaran pendidikan agama Islam yang berkonotasi tidak semata-mata ukhrawi, tetapi juga duniawi. Justru guru-guru agama Islam perlu membangun pemahaman pada murid-muridnya tentang dunia sebagai ladang amal untuk kehidupan akhirat.

Menurut Zakiyah Daradjat, pelajaran pendidikan agama Islam selayaknya dipahami sebagai proses untuk mengembangkan fitrah manusia. (Daradjat 1992, 25) Syed Naquib al-Attas memberi titik tekan pada pembentukan kepribadian muslim. (al-Attas 1979, ix) Selanjutnya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany berpendapat bahwa terpenting dalam prosesnya, pelajaran pendidikan agama Islam bisa relevan untuk memberi pengalaman belajar, dan juga berdampak positif terhadap perubahan perilaku murid, sehingga memberi pengaruh yang signifikan terhadap kualitas interaksinya dengan masyarakat dan alam lingkungannya. (al-Syaibany 1979, 399)

Berikutnya Yusuf al-Qardhawi memahami pelajaran pendidikan agama Islam sebagai upaya menyiapkan murid-murid yang mencapai derajat “manusia seutuhnya”, yang baik akal dan hatinya, baik jasmani dan ruhaninya, baik pengetahuan, keterampilan serta akhlaknya. Pelajaran pendidikan agama Islam selayaknya bisa menyiapkan murid-murid, yang tidak hanya berkarakter baik namun juga bisa eksis di tengah-tengah masyarakat. (al-Qardhawi 1980, 39) Sementara Hasan Langgulung mengatakan pelajaran pendidikan agama Islam semestinya bisa menyiapkan murid-murid untuk mampu berperan fungsional di tengah-tengah masyarakatnya, dan untuk itu pengetahuan tentang ajaran agama Islam dan nilai-nilainya bisa sejalan dengan amal perbuatannya sehari-hari. Amal perbuatannya di dunia, hasilnya akan diganjar setimpal di akhirat. (Langgulung 1995, 94)

Berdasarkan paparan di atas, pelajaran pendidikan agama Islam selayaknya bisa diberikan secara terintegrasi, agar dapat mengembangkan fitrah manusia, membentuk kepribadiannya yang positif yang pengetahuan, sikap dan kepribadiannya baik, menjadikannya bisa eksis dan berperan fungsional di tengah-tengah masyarakat, dan sadar bahwa dunianya adalah ladang bagi kehidupannya kelak di akhirat.

Di abad 21 sebagaimana realita di tengah-tengah kita saat ini, murid-murid di sekolah yang mendapatkan pelajaran pendidikan agama Islam yang dikotomik akan membuatnya sulit beradaptasi. Oleh karena itulah dalam penyusunan kurikulum pelajaran pendidikan agama Islam, hal-hal semacam ini mesti diperhatikan. Apalagi mengingat betapa pentingnya kurikulum dalam menentukan arah pelajaran pendidikan agama Islam, yang dalam konteks ini: berkembang secara dikotomik atau non dikotomik. (Fathonah 2018, 72) Jika Hilda Taba memulai analisis tentang krisis sebelum membahas lebih dalam seputar kurikulum, ini bukannya tidak mungkin ia yakin karena jika terjadi krisis di dunia pendidikan sebab utamanya berakar dari kurikulum pendidikannya. Dalam skala masalah yang lebih kecil, di kelas, bukannya tidak mungkin pula, Ketika terjadi malpraktik pembelajaran di kelas, akar masalahnya juga adalah kurikulum pendidikannya. (Lihat: Taba 1962, 1–3)

Dengan pengertian ini, betapa pentingnya posisi kurikulum pendidikan di sekolah, sehingga dalam pengembangannya harus betul-betul bisa sejalan dengan kebutuhan murid-murid. Sebagaimana saat ini di abad 21, kurikulum pendidikan yang dikembangkan mesti bisa dirancang secara non dikotomik agar murid-murid bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi sekecil apapun di abad ini. Seluruh pelajaran yang mereka terima mesti diberikan non dikotomik dalam memberi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang relevan dengan kebutuhan mereka beradaptasi di abad ini. Pelajaran pendidikan agama Islam pun selayaknya begitu, mesti diberikan secara non dikotomik, sehingga relevan dengan kebutuhan murid-murid yang belajar agama Islam di abad ini.***

 

Bahan Bacaan

Attas, Syed Muhammad Naquib al-. 1979. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University.

Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Fathonah, Parisaktiana. 2018. “Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman dan Kontribusinya Terhadap Pengembangan Teori Pendidikan Islam.” Jurnal Pendidikan Agama Islam 15 (1): 70–87. https://doi.org/10.14421/jpai.2018.151-05.

Langgulung, Hasan. 1995. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.

Qardhawi, Yusuf al-. 1980. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna. Diterjemahkan oleh B.A Ghani dan Z.A Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang.

Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy al-. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Diterjemahkan oleh Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.

Taba, Hilda. 1962. Curriculum Development: Theory and Practice. New York: Harcount, Brace & World. Inc.

Monday, November 20, 2023

Lingkungan Sosial Ramah Anak

Oleh: Syamsul Kurniawan*) 

TUJUAN dari perlindungan anak sebagaimana tertera pada UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah untuk menggaransi hak-hak dari anak Indonesia sehingga bisa hidup, bertumbuh dan berkembang, berpartisipasi optimal sejalan dengan harkat dan martabatnya, kemanusiaannya, serta memperoleh perlindungan baik diskriminasi maupun kekerasan, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (lihat: Pasal 3). Dengan demikian, setiap anak di Indonesia berhak hidup, bertumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara adil sejalan dengan harkat dan martabat kemanusiaannya, dan mendapat perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan (lihat: Pasal 4).

Namun demikian, hak-hak anak sebagaimana dimaktub dalam UU Nomor 23 tahun 2002 di atas senyatanya masih jauh panggang dari api. Realitas belum terpenuhinya hak-hak anak ini, tercitrakan dari banyaknya kasus baik di rumah dan di masyarakat serta sekolah, yang belum menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi anak buat mendapatkan hak-haknya tersebut. Di rumah dan di masyarakat, misalnya, terjadi kasus-kasus kekerasan baik fisik, psikis dan bahkan seksual yang dialami anak. Pelakunya adalah orang-orang terdekat mereka di rumah dan orang-orang dewasa di tengah-tengah masyarakat.

Demikian pula di sekolah, yang mana guru kerap menjadi profil yang menciderai hak-hak mereka di atas, sebagai pelaku kekerasan terhadap mereka. Guru-guru yang seharusnya melindungi hak-hak mereka dalam soalan ini, banyak yang menjadi tersangka sebagai pelaku kekerasan terhadap anak-anak didik mereka, tidak hanya fisik dan psikis tetapi juga seksual. Miris?!. Berbagai kasus kekerasan yang terjadi di rumah, sekolah dan di sekolah ini, adalah semacam puncak gunung es yang meniscayakan pentingnya komitmen dari banyak pihak, untuk mendorong lingkungan sosialnya menjadi “lingkungan sosial ramah anak”.

Kecuali berdasar pada UU Nomor 23 tahun 2002 yang telah disebutkan di atas, dasar dari Lingkungan Sosial Ramah Anak adalah Convention on the Rights of the Child (CRC) yang ditandatangani di Turki pada tahun 1989. Menurut CRC ini, setiap anak setiap anak, berhak untuk: satu, bertahan hidup yang meliputi kebutuhan dasar hidup mereka seperti berpakaian, makanan, tinggal di tempat yang layak, obat-obatan, dan semacamnya; dua, hak untuk berkembang yang meliputi hak-hak mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara optimal yang meliputi hak untuk dapat dididik, bermain, istirahat, terlibat dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan, mendapat akses terhadap berita dan informasi, dan semacamnya; tiga, hak untuk dilindungi dari segala penyalahgunaan peran mereka, eksploitasi, dan penelantaran, yang dengan demikian anak-anak tidak boleh menderita, mendapat perlakuan tidak menyenangkan, termasuk hukuman yang tidak manusiawi dan menjatuhkan harkat kemanusiaan mereka atas dalih apapun termasuk pendisiplinan; empat, hak untuk berpartisipasi, dengan kebebasan berekspresi di tengah-tengah masyarakat, dalam hal-hal yang mempengaruhi kehidupan mereka, dan dengan cara yang mempersiapkan anak-anak dalam pengambilan peran dan tanggung jawab yang akan kian meningkat sejalan bertumbuh dan berkembangnya mereka di tengah-tengah masyarakat.

Shirley J. Miske dalam makalahnya Child-Friendly Schools-Safe Schools, yang dipresentasikan di Second International Symposium on Children at Risk and in Need of Protection, di Turki, 24 April 2010 (halaman 3), menyebutkan hak-hak anak yang dilindungi oleh CRC adalah, mendapatkan hak berpendidikan yang berpusat pada mereka, mendapatkan lingkungan belajar yang demokratis, inklusif, berkeadilan dan tanpa diskriminasi yang memungkinkan anak-anak bisa belajar tanpa takut berbeda latar belakang budaya dan stratifikasi sosialnya, mendapat pengalaman belajar secara efektif dan protektif, aman dan sehat bagi tumbuh kembang.

Jika kita merujuk ke Child Friendly School Manual yang diterbitkan oleh United Nations Children’s Fund (2006), lingkungan sosial ramah anak membuka peluang: satu, meningkatnya aksesnya dalam berpendidikan; dua, meningkatnya tingkat partisipasinya; tiga, meningkatnya retensi dan penyelesaiannya; empat, terbangunnya atmofer belajar yang positif; lima, tersedianya lingkungan sosial yang aman, inklusif dan ramah bagi semua anak; enam, tersedianya lingkungan sosial pendidikan yang kondusif terhadap kebutuhan belajar, termasuk mengakomodasi anak-anak yang berkebutuhan khusus (disbilitas) baik dari segi fisik dan mental; tujuh, terbangunnya rasa kebersamaan di lingkungan sosial yang positif bagi bertumbuh dan berkembangnya anak; delapan, adanya komunikasi yang edukatif antara sekolah dengan rumah dan masyarakat dalam membangun komitmen bersama terhadap pendidikan; sembilan, terjalinnya relasi yang harmonis antara sekolah, dengan rumah dan masyarakat sebagai tripusat pendidikan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lain; dan sepuluh, adanya dukungan prasarana dan sarana terhadap kebutuhan lingkungan sosial ramah anak.

 

Peluang Kontraproduktif

Lingkungan sosial ramah anak yang dicita-citakan bisa saja kontraproduktif, jika tidak ada komitmen dari hati para orang tua, pendidik di sekolah, dan orang-orang dewasa di tengah-tengah masyarakat untuk mewujudkan dan mengawalnya. Sebab, mewujudkan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang ramah anak tidak bisa cuma bermodal “omongan” saja. Mengaku berkomitmen, padahal tidak?!.

Jika kita mengutip teori Dramaturgi yang diusulkan oleh Erving Goffman, maka ini bisa kita mafhumi, bahwa segala tindakan sosial yang dimainkan oleh individu-individu tidak selalu linier antara panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Mirip seperti pementasan drama. Sebab kebanyakan pula, para aktor yang bermain drama hanya berpura-pura sebatas memainkan perannya dalam lakon yang ditonton oleh banyak orang. Sebagaimana diungkap oleh Margaret Poloma dalam bukunya Sosiologi Kontemporer (2013: 232), memainkan perannya untuk menyenangkan banyak penonton di panggung depan, dan berbeda drastis kala berada di panggung belakang.

Sebab itulah, kita bisa memafhumi tentang bagaimana para orang tua di rumah, guru-guru di sekolah, dan orang-orang dewasa di tengah-tengah masyarakat, yang terlihat “seolah-olah” ramah anak, tetapi tersangkut kasus bullying, penganiayaan, pemerkosaan, dan lain sebagainya terhadap anak-anak di lingkungan mereka. Ketika ini terjadi, maka cita-cita mewujudkan lingkungan sosial yang ramah anak hanya berhenti sebatas “omongan saja”, dan tidak terjadi senyatanya di lingkungan sosial kita. ***     

 

*) Pemerhati Pendidikan, Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam di IAIN Pontianak

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...