Friday, December 29, 2023

Pendidikan Karakter dan Lingkungan Sosial Pendidikan yang Penting

Oleh: Syamsul Kurniawan

Pendidikan karakter adalah sebuah hal penting, dan menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat sekarang. Namun, manfaat dari pendidikan karakter hasilnya jelas tidak instant, hanya bisa dirasakan dampaknya di masa depan pada kehidupan di masyarakat. Pendidikan karakter bertujuan untuk mengembangkan karakter positif diri tiap-tiap individu, sehingga dapat hidup dan melangsungkan kehidupannya secara positif dan bermartabat.

Sejumlah hasil penelitian, mengungkap tentang pentingnya pendidikan karakter. Hasil penelitian Chicago Tribune US Dept of Health & Human Services tentang faktor-faktor resiko “gagal sekolah” pada anak-anak, senyatanya bukan ukurannya pada kemampuan kognitif mereka, melainkan psikososialnya (meliputi: kecerdasan sosial dan emosional), kepercayaan diri, rasa ingin tahu, motivasi, kemampuan mengontrol diri, tidak sulit berkonsentrasi, adanya kemampuan bekerjasama, mudah bergaul, berempati, dan tidak memiliki masalah dalam berkomunikasi.  

Jika masyarakatnya berkarakter oleh karena pendidikannya berkarakter, maka efeknya juga beririsan dengan kemajuan bangsa dan negara ini. Dengan menyadari pentingnya pendidikan karakter ini, selayaknya ia dapatlah diakses oleh semua anggota masyarakat di negara ini tanpa terkecuali. Jika tidak, maka dampaknya juga serius terhadap arah masyarakat, dan lebih luas mempengaruhi kemajuan bangsa dan negara.

Thomas Lickona, seorang pakar pendidikan dari Cortland University mencatat setidaknya sepuluh gejala yang harus diwaspadai akibat dari krisis karakter pada suatu bangsa atau negara: satu, meningkatnya kekerasan di kalangan generasi muda; dua, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk; tiga, pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan; empat, meningkatnya perilaku merusak diri seperti penyalahgunaan narkoba, alkohol dan seks bebas; lima, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; enam, etos kerja masyarakat menurun; tujuh, semakin memudarnya rasa hormat anak muda kepada orang tua dan guru-guru mereka; delapan, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; sembilan, membudayanya ketidakjujuran; sepuluh, adanya rasa saling curiga dan menebar kebencian di antara sesamanya. Tidakkah krisis karakter sebagaimana diungkap oleh Lickona ini agaknya menjadi kecenderungan di Indonesia pada saat ini?

Menyadari tentang ini, pendidikan yang membangun karakter positif adalah sesuatu hal yang penting diwujudkan di semua lingkungan sosial pendidikan yang ada. Lingkungan sosial yang penting dalam konteks pendidikan karakter adalah lingkungan sosial keluarga, kemudian sekolah/perguruan tinggi, dan berikutnya adalah masyarakat. Lazim ketiga lingkungan sosial pendidikan ini disebut dengan tripusat pendidikan karakter.

Di lingkungan sosial pendidikan keluarga, pendidikan karakter bisa diwujudkan oleh orang tua dengan menunjukkan kasih sayangnya pada anak-anaknya. Sebab dengan modal dasar berupa “kasih dan sayang” ini, anak-anak akan merasa disayangi dan menyayangi keluarganya, dan kemudian dengan disengaja atau tidak keluarganya akan menjadi sumber kekuatan yang penting dalam pembangunan karakternya. Dengan demikian pula, muncul situasi saling membantu, saling menghargai, dan saling memberikan pengaruh positif, yang kesemuanya ini mendukung perkembangan positi dari karakter anak. Dengan kata lain, kesediaan anak menerima pendidikan karakter berkembang sejalan dengan berkembangnya perasaan dihargai, diterima, dicintai, dan dihormati tersebut dalam keluarga. Sementara di lingkungan sosial sekolah dan perguruan tinggi, seseorang mendapatkan pengalaman belajar bersama lebih banyak orang terdidik di sekolah atau perguruan tinggi. Kita lazim menyebutnya dengan guru dan dosen. Guru dan dosen membagi ilmunya dan membangun karakter peserta didiknya. Tentu saja, peran fungsional sama pentingnya dengan kerja-kerja membangun karakter di lingkungan sosial keluarga. Terakhir adalah lingkungan sosial pendidikan masyarakat, sebagai lingkungan sosial yang lebih luas cakupannya jika dibandingkan dengan keluarga dan sekolah/kampus. Peran fungsional lingkungan sosial pendidikan masyarakat juga amat menentukan tumbuh dan kembang karakter seseorang.   

Pendidikan yang membangun karakter, hakikatnya meliputi pengembangan karakter seseorang – baik dalam pengertiannya di sini anak (dalam keluarga), siswa/ mahasiswa (sekolah/ perguruan tinggi), dan anggota masyarakat (jika di masyarakat) – baik secara substansi, proses, dan/atau pengkondisian situasi/kondisi di lingkungan sosial pendidikan untuk mengembangkan kebiasaan positif. Pembiasaan ini harus berlangsung secara terus-menerus sehingga pada gilirannya terbangunlah “karakter positif” dari seseorang tersebut.***   

Tuesday, December 5, 2023

Menumbuhkan Motivasi Belajar Agama Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan*)

Menumbuhkan motivasi peserta didik untuk belajar agama Islam dengan serius adalah hal penting yang perlu dilakukan oleh guru agama Islam. Sebab, motivasilah yang mendorong peserta didik untuk melakukan aktifitas belajar dengan serius. Peserta didik termotivasi atau tidak, itu bisa dilihat dari “kesediaannya” untuk melibatkan diri dalam rangkaian proses yang dirancang oleh guru agama Islamnya, demi pencapaian tujuan belajar. Dengan motivasi ini, peserta didik akan lebih mudah memberikan pencerahan kepada peserta didik, dan membantu mereka dalam pencapaian tujuan belajar tersebut. Sehingga, dengan usaha yang minimalpun, jika motivasi belajar siswa dalam belajar agama Islam telah berhasil dibangun, ketercapaian tujuan belajar bisa dimaksimalkan.

Tentu saja, menghadapi peserta didik dengan semangat belajar yang tinggi, bukanlah persoalan yang serius. Namun tidak demikian halnya dengan peserta didik yang cenderung malas untuk belajar. Dalam mata pelajaran agama Islam, seorang guru agama Islam harus menyadari ini, bahwa diperlukan dorongan dari luar yang mampu menyuntikkan motivasi kepada peserta didik untuk terus giat belajar tentang agama Islam. Bisa pula dikatakan, memberikan motivasi adalah langkah awal yang harus dilakukan oleh guru agama Islam, dan terus melakukannya sepanjang proses belajar agama Islam dilakukan oleh peserta didiknya. Namun pekerjaan ini tentu tidaklah mudah. Memberikan motivasi kepada peserta didik, tidak hanya akan menggerakkan peserta didik sehingga bersedia aktif selama pelajaran agama Islam berlangsung, tetapi juga mengarahkan dan menjadikan mereka terdorong untuk belajar secara terus-menerus, walaupun mereka berada di luar jam pelajaran di kelas.

Kata motivasi, berasal dari kata yang diserap dari Bahasa Inggris yaitu “motivation” yang akar katanya motive yang berarti menggerakkan. Sehingga motivasi, bisa diartikan “sedang digerakkan” atau “telah digerakkan” oleh sesuatu, dan apa yang menggerakkan itu terwujud ke dalam tindakan. Dari sisi etika, motif didefinisikan dengan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang menjadi sebab seseorang melalukan suatu tindakan. Sehingga motivasi bisa diartikan sebagai dorongan yang menggerakkan, serta mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu berdasarkan apa yang dikehendakinya, yang tertuju pada tujuan yang diinginkannya. Dari sisi psikologi, motivasi dibangun dari motif. Motif berarti daya dorong untuk bertingkah laku, sedangkan motivasi adalah motif yang sudah menjadi aktif pada saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan terasa sangat mendesak.[1]

Dengan demikian, bisa diasumsikan bahwa “motivasi” untuk belajar agama Islam, ini pangkalnya adalah pada “motif”, yaitu daya penggerak yang ada pada diri peserta didik untuk melakukan aktifitas-aktifitas belajar, yang dalam hal ini belajar agama Islam. Motiflah sebagai suatu kondisi internal dari seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling, dan didahului dengan adanya tanggapan terhadap tujuan. Motif ini beririsan dengan kebutuhan. Jika ini dihubungkan dengan motif peserta didik belajar agama Islam, maka sama saja maksudnya dengan apa kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh peserta didik yang belajar agama Islam.

Maslow beranggapan bahwa kebutuhan menjadi alasan terbentuknya motivasi pada diri seorang individu untuk melakukan semua kegiatan yang sekiranya dapat menopang individu tersebut dalam usaha memenuhi kebutuhan mereka. Teori tersebut dikenal sebagai Teori Hierarki Kebutuhan Maslow atau Teori Maslow.[2]

Berikut adalah kebutuhan-kebutuhan dalam Teori Hierarki Kebutuhan Maslow: Satu, Kebutuhan Dasar atau Fisiologi Kebutuhan dasar merupakan hal yang harus terlebih dahulu terpenuhi agar manusia dapat bertahan hidup dan melanjutkan hidupnya. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan manusia akan oksigen, air, makanan, suhu tubuh yang normal, tidur, homeostasis, kebutuhan seksual, dan sebagainya. Walaupun tidak beririsan secara langsung, harus diakui, bahwa belajar agama Islam, menjadikan peserta didik sadar tentang kesemua kebutuhan ini, dan bagaimana memenuhinya secara benar sejalan dengan panduan ajaran agama Islam. Dua, Kebutuhan Akan Rasa Aman Untuk melangkah ke tingkat selanjutnya, seorang individu harus memenuhi kebutuhan pada tingkat ini. Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan akan rasa aman ini meliputi rasa aman secara fisik maupun emosional.   Kebutuhan pada tingkat ini tergantung pada usia dari individu tersebut. Contohnya seperti anak-anak yang lebih membutuhkan pendampingan orangtua karena tingkat kewaspadaan diri anak yang masih rendah. Oleh karena itu, bagaimana guru agama Islam bisa memenuhi kebutuhan ini, dengan bersikap selayaknya orang tua bagi peserta didik mereka yang mendampingi dan mengajar dengan setulus hati. Selayaknya mereka, menghindari kekerasan dalam pendisiplinan, yang membuat rasa aman peserta didik menjadi berkurang. Dari sisi materi yang diberikan, semisal tentang balasan berupa surga dan/atau neraka, juga bagian dari munculnya motivasi belajar agama Islam dari peserta didik. Dengan belajar agama Islam, peserta didik termotivasi dengan pahala dan balasan surga dari Allah Swt, dan menjadi sebab terhindarnya ia dari siksa di neraka. Tiga, Kebutuhan Sosial (Rasa Cinta, Kasih Sayang, serta Hak Kepemilikan) Di tingkat ini, seorang individu membutuhkan cinta, kasih sayang, dan memiliki hak kepemilikan terhadap suatu hal.  Selain itu, seorang individu dapat mendapatkan kebutuhan di tingkat ini dengan menjalin pertemanan dengan individu lain, membentuk keluarga, bersosialisasi dengan suatu kelompok, beradaptasi dengan lingkungan sekitar, serta berada dalam lingkungan masyarakat. Dalam Pelajaran agama Islam, diajarkan tentang bagaimana peserta didik bisa mewujudkan pergaulan sosial yang dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang, serta dihargainya hak-hal asasi berdasarkan panduan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, seorang guru agama Islam tidak saja mengajar, tetapi juga menjadi teladan dalam soalan ini. Empat, Kebutuhan Mendapatkan Penghargaan Maksud penghargaan bagi Maslow adalah harga diri. Setiap individu berhak mendapatkan harga diri mereka masing-masing. Harga diri dapat berasal dari diri sendiri maupun orang lain.  Menurut Maslow, harga diri dibagi menjadi dua bentuk yakni bentuk menghargai diri sendiri dan bentuk penghargaan dari orang lain. Dalam pelajaran agama Islam yang diberikan oleh guru agama Islam, apresiasi yang diberikan kepada peserta didik, bisa beririsan dengan munculnya motivasi ini. Lima, Kebutuhan untuk Mengaktualisasikan Diri. Kebutuhan di tingkat ini merupakan kebutuhan yang paling tertinggi. Aktualisasi diri dapat diartikan sebagai wujud sesungguhnya untuk mencerminkan harapan serta keinginan seorang individu terhadap dirinya sendiri. Sehubungan dengan ini, seorang guru agama Islam harus pandai dalam memilih pendekatan, strategi, dan metode, sehingga peserta didik merasa dapat kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya selama pelajaran agama Islam ia ikuti. Guru agama Islam, mesti merubah paradigmanya, dari yang “berpusat pada guru” menjadi “berpusat ke peserta didik”.

Kecuali itu, ada pula yang mengkalisifikasikan motovasi pada dua macam, berdasarkan sumbernya, yaitu: satu, motivasi intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri peserta didik sendiri, tanpa ada paksaan atau dorongan orang lain untuk belajar agama Islam. Seperti seorang peserta didik yang gemar membaca buku-buku agama Islam, makanya tidak lagi perlu disuruh-suruh untuk membaca, oleh karena telah menjadi kesenangannya, dan mungkin menjadi kebutuhannya. Dalam proses belajar agama Islam, jelas motivasi intrinsik ini memiliki pengaruh yang lebih efektif dan bertahan relative lama, serta tidak bergantung ada atau tidaknya motivasi dari luar (ekstrinsik). Meskipun demikian, ketika motif intrinsik tidak cukup potensial untuk mendorong peserta didik belajar serius dalam pelajaran agama Islam, maka guru agama Islam selayaknya bisa merekayasa hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang muncul dari pengaruh dari luar diri peserta didik, apakah karena ajakan, suruhan, dan/atau  paksaan dari orang lain (termasuk: guru agama Islam), sehingga dengan demikian peserta didik mau melakukan sesuatu atau melakukan aktifitas belajar (yaitu belajar agama Islam). Motif-motif ekstrinsik ini bisa dikondisikan melalui: pujian, peraturan/tata tertib, teladan guru, dan lain sebagainya.[3] Namun demikian, motivasi ekstrinsik ini tidak bertahan lama, sebab itu motivasi ekstrinsik hanyalah “pemicu” untuk membangun motivasi intrinsik dari peserta didik.

Dalam pelajaran agama Islam, motivasi belajar peserta didik perlu ditumbuhkan. Sehingga untuk itu, guru agama Islam mestinya memperhatikan hal ini. Termasuk pula dalam hal ini, terus melakukan inovasi-inovasi dalam pelajaran, serta membangun kemitraan dengan orang tua/wali dari peserta didik mengingat tanggung jawab membangun motivasi belajar agama Islam ini jelas tidak hanya oleh guru-guru agama Islam, tetapi juga orang tua/wali dari peserta didik.***

*) Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak






[1] Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 124.

[2] Max Darsono, dkk. Belajar dan Pembelajaran (Semarang: IKIP Semarang Press, 2001), hlm. 20.

[3] Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran  (Yogyakarta: Arruzz Media, 2007), hlm. 23.

Saturday, December 2, 2023

Tren Humanisme: Dari Humanisme-Sekuler ke Humanisme Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan

Macam-macam masalah kemanusiaan pada hari ini muncul dan beririsan dengan dinamika perkembangan zaman. Konsekuensi dari masalah-masalah tersebut jelas tidak semuanya positif. Belajar dari “rekam jejak” perjalanan kehidupan umat manusia di muka bumi, macam masalah yang menghimpit manusia seringkali berkonsekuensi buruk. Manusia sebagai “aktor” di panggung besar kehidupan, suka atau tidak suka mesti menerima konsekuensi terburuk jika tidak mampu mengatasinya. Masalah yang menghimpit kemanusiaan ini lazim dikenal dengan “dehumanisasi”.

Dehumanisasi jelas mengakibatkan rusaknya harkat kemanusiaan, mengusik dan mengakibatkan banyak masalah dalam kehidupan manusia. Dalam sejarah umat manusia di muka bumi, dehumanisasi telah dipertontonkan oleh Qabil (anak keturunan Adam as.) yang membunuh saudaranya Habil. Pembunuhan adalah bentuk dari dehumanisasi, oleh karena pembunuhan telah merenggut hak-hak manusia, yang di antaranya adalah “hak untuk hidup”. Wahbah al-Zuhaili, seorang ahli fikih mengatakan bahwa pembunuhan sebagai tindakan yang mematikan nyawa seseorang, atau perbuatan manusia terhadap manusia lain yang menyebabkan kematian, merupakan perbuatan buruk yang merusak nilai-nilai kemanusia.[1]

Kecuali itu, gaya hidup manusia sekarang yang hedonis juga bisa dikategorikan dehumanisme. Sebagaimana dimafhumi, kaum hedonis seringkali mendewakan kesenangan duniawi dan terkadang mengabaikan sisi kemanusiaannya, dan bahkan menjadikan sisi kemanusiaannya tersebut sebagai subordinat dari gaya hedonisme yang mereka anut. Konsekuensi dari gaya hidup yang hedonistik ini, perlahan tapi pasti menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan dan mengacau harmonisasi kehidupan sosial umat manusia. Sebab lain, bahwa gaya hidup yang hedonistik mengakibatkan ketimpangan sosial dan memperlebak jarak stratifikasi sosial di tengah kehidupan umat manusia.

Bentuk lainnya dari dehumanisasi adalah teralienasinya manusia dari kehidupannya. Di alam modern sebagaimana saat ini misalnya, dehumanisasi mengakibatkan manusia merasa terasing dari kehidupan sosial dan budayanya, hilang kepekaan sosial dan budayanya, yang jelas semakin menjauhkan dirinya dari prinsip-prinsip kemanusiaan yang bersosial dan berbudaya. Sebagaimana dimafhumi, bahwa manusia disebut manusia, oleh karena melekat pada dirinya fungsi “makhluk sosial” (homo socius) dan “makhluk berbudaya” (homo legatus), yang mustahil bisa hidup sendirian, membutuhkan sosialisasi, serta mewarisi dan mewariskan kebudayaannya. Keterasingan manusia ini, mencederai harkat kemanusiaannya sebagai predikat mulia yang melekat era dalam dirinya.

Sebagai lawan kata dari dehumanisasi ini adalah humanisasi. Humanisasi ini muncul sebagai konsekuensi dari munculnya humanisme di masa renaissans, yang mengajarkan tentang pentingnya membumikan ajaran kemanusiaan secara simultan, dan sayangnya menjadi anti-tesis dari ajaran agama.

Muncul pandangan kala itu yang menilai agama telah merongrong kebebasan manusia dan akal budinya, dan itu dianggap pendukung paham ini merusak nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini tidak mengherankan, sebab humanisme kala itu memang muncul sebagai konsekuensi dari ajaran filsafat dan sains yang pada masa itu “naik daun”, sehingga muncul anggapan bahwa agama tidak konkret dan empiris. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi humanisme masa renaisans sebagai humanisme sekuler, yaitu humanisme yang memisahkan diri dari hal-hal yang bersifat spiritual-transedental.

Eksistensi humanisme sekuler beserta dinamikanya berlangsung mulai abad ke 14 hingga awal abad 20, yang kemudian di awal abad ke 20 lahirlah humanisme jenis baru yang menyandingkan dan melihat perihal kemanusiaan dengan sudut pandang ajaran agama. Humanisme pada awal abad 20 menjelma menjadi humanisme religius, yang bersanding mesra dengan agama. Pada abad ini, muncul sebagai tandingan terhadap cara pandang humanisme sekuler yang menjauhi agama, yaitu cara pandang humanisme yang berangkat dari ajaran keagamaan.[2]

Sehubungan dengan humanisme religius ini, penting bagi kita menelusuri genealoginya, sebab sebagaimana telah disampaikan, paham ini muncul belakangan setelah masyarakat di awal abad 20 setelah merasa jenuh dengan humanisme sekuler yang menjauhi agama. Secara kebahasaan (etymology), kata humanisme dibangun dari dua kata (dari bahasa latin) yang membentuknya, yaitu humanus yang berarti manusia, dan ismus yang berarti paham.[3] Dalam Bahasa Inggris, kita mengenal ada istilah “humanism” dan dalam Bahasa Indonesia “humanisme”, yang dalam Bahasa Arab “insaniyyah”.  Sementara jika ditinjau secara istilah (terminology), bahwa kata humanisme bisa didefinisikan menjadi: satu, paham yang berujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mengandaikan pergaulan sosial dalam kehidupan umat manusia yang lebih baik; dua, paham yang menilai manusia sebagai objek material yang penting untuk dikaji; dan tiga, kemanusiaan.[4] Berdasarkan definisi terhadap humanisme ini, humanisme adalah paham yang menjadikan manusia sebagai objek material yang penting menjadi pusat kajian, dengan lokus perhatian pada ranah kemanusiaan dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita pergaulan hidup yang lebih baik sesuai dengan harkat kemanusiaannya.

Dalam sejarahnya, humanisme tercitrakan sebagai salah satu aliran yang muncul di masa zaman renaissans. Pada masa renaissans, gema humanisme terdengar sangat kencang di suarakan di penjuru-penjuru benua Eropa. Humanisme menjadi ajaran yang dapat menarik banyak orang untuk membicarakan, mengkaji, dan mengkampanyekan. Hal ini dapat terjadi, sebab pada abad pertengahan, yang dikenal dengan abad kegelapan Kristen itu, humanisme menjadi solusi bagi kegelapan tersebut.[5] Humanisme kemudian menjadi alasan kebangkitan Barat, terutama di Eropa.[6] Berangkat pula pada catatan sejarah ini, zaman renaissans adalah milik humanisme.[7]

Sebagai suatu istilah, humanisme dikait-kaitkan dengan zaman renaissans, akan tetapi humanisme sebagai konstruksi filosofis seyogyanya bisa dilacak hingga ke masa filsafat Yunani dan Romawi kuno. Sebagaimana halnya pada masa Yunani kuno dikenal dengan paidea[8] yang digadang-gadang dapat mengolah bakat kodrati manusia, serta masa Romawi kuno beserta gagasannya yang menganggap manusia sebagai animal rationale. Berangkat dari hal itu, kedua imperium kuno tersebut kemudian menyandang predikat sebagai peletak dasar humanisme.[9]

Hanya saja, dasar humanisme ini hingga abad 19, masih diterjemahkan dalam pengertiannya yang sekuler. Walaupun bisa diakui bagaimana humanisme yang berkembang saat ini (masa renaisans), telah berhasil melancarkan jalan bagi modernisasi di Eropa.[10] Namun demikian, renaissans juga telah mendorong berbagai bentuk eksploitasi terhadap nalar budi manusia, yang di kemudian hari berkonsekuensi pada lahirnya gerakan-gerakan pencerahan di Eropa. Gerakan-gerakan tersebut, lazim kita ingat dengan aufklarung (enlightment), hingga revolusi industri yang terjadi di abad ke 18 di Eropa. Pada periode ini modernisasi melacu demikian kencang, hingga menyebabkan kemajuan perkembangan Barad dalam berbagai bidang.[11]

Jika humanisme (yang sekuler) bisa dikatakan muncul sebagai counter attack terhadap paham, pemikiran, dan ajaran di Eropa kala itu yang ditandai oleh fanatisme terhadap ajaran agama dan otoritas gereja yang berlebihan, maka humanisme religius bisa dikatakan muncul sebagai counter attack terhadap paham, pemikiran dan ajaran humanisme yang berkembang secara sekuler dan menghindari agama.[12]

Belakangan, humanisme religius yang muncul sebagai lawan dari humanisme sekuler, selayaknya diterjemahkan menurut pandangan masing-masing agama. Sebagaimana para pemikir-pemikir Islam, mengenalkan istilah humanisme Islam. Humanisme Islam, berarti paham humanis yang dibangun dengan mempedomani Al-Qur‘an dan Hadits.[13] Dari sini, bisa dipahami bahwa humanisme Islam berbeda dengan humanisme Barat, walaupun dekat dan beririsan dengan sejarah kemunculan humanisme-religius di Barat. Humanisme Islam adalah paham humanis yang berciri dekat dan mempedomani Al-Qur‘an dan Hadits. Oleh karena itu, humanisme Islam yang dimaksudkan di sini adalah humanisme Islam yang bercorak Islam, yang bagi pemeluknya diterjemahkan dengan pemikiran dan amal perbuatan yang menjunjung tinggi kemanusiaan, merawat tradisi dan budaya, dengan Al-Qur‘an dan Hadits.***


[1] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adilatuhu, Jilid 6 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 217.

[2] Merujuk ke Bernard Muchland, humanisme memang bisa diklasifikasikan kepada dua macam: satu, humanisme yang jejaknya bisa ditelusuri dari Framcis Bacon hingga John Locke dan Adam Smith sampai kepada Jeremy Bentham serta John Stuart Mill, dekat dengan sains modern, kapitalisme, dan demokrasi; dan dua, humanisme yang jejaknya bisa ditelusuri dari para humanis masa renaissans seperti Petrach dan Erasmus, serta berlanjut pada garis sejarah yang terhubung misalnya dengan pemikir idealis Jerman Carlyle, Ruskin, dan Matthew Arnold yang tidak menolak religiusitas, dan bahkan menolak model humanism yang kapitalis di masa itu. Baca: Bernard Muchland, Humanism and Capitalism: A Survey of Thought on Morality (Washington DC & London: American Enterprise Institute for Public Policy Research, 1984), hlm. 1-2.  

[3] Zulfan Taufik, Dialektika Islam dan Humanisme: Pembacaan Ali Shari‘ati (tanggerang Selatan: Onglam Books, 2015), hlm. 23.

[4] Muklas Ridoi, “Nilai Humanisme dalam Qs Al-Balad”, Al-Mada, Volume 6, Nomor 1, 2023, hlm. 49.

[5] Sebagai pemikiran, paham, dan ajaran yang lahir di Eropa, pada abad pertengahan, humanism lahir mulanya sebagai counter attack terhadap fenomena yang terjadi di Eropa kala itu. Sebagaimana yang terdapat di berbagai literatur tentang Sejarah, Eropa abad pertengahan dikenal sebagai abad yang fanatic terhadap agama dan tunduk pada otoritas gereja, dan tenggelam dalam kemunduran, sampai kemudian bangkit kembali dengan humanisme. M. Basri, Sejarah Eropa (Yogyakarta: Suluh Media, 2016), hlm. 5.

[6] Muhaemin Latif, Perkembangan Teologi Modern (Gowa: Alauddin University Press, 2020), hlm. 15.

[7] Muliadi, Filsafat Umum (Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020), hlm. 209.

[8] Paidea bisa dipahami sebagai sistem kehidupan dari umat manusia, yang menjadi pedoman dalam mewujudkan kondisi yang dianggap ideal bagi umat manusia. Lihat Muklas Ridoi, “Nilai Humanisme…”, hlm. 49.

[9] F. Budi Hardiman, Humanisme dan Sesudahnya (Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia, 2012), hlm. 8.

[10] Baca: Bertrand Russell, History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, terj. Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, dan Muhammad Shodiq dengan judul Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021), hlm. 651-661.

[11] Gregor Neonbasu, Sketsa Dasar: Mengenal Manusia dan Masyarakat (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2020), hlm. 26.

[12] Muliadi, Filsafat Umum, hlm. 209.

[13] Muklas Ridoi, “Nilai Humanisme…”, hlm. 52.

Friday, November 24, 2023

Aktifis HMI “Perlu Belajar” dari Ahmad Wahib

Oleh: Syamsul Kurniawan (Mantan Pengurus Bidang Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan (PTKM) HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Sekarang Beraktifitas Sebagai Dosen di IAIN Pontianak)

Adalah Ahmad Wahib, seorang aktifis HMI era 1960-an yang namanya sangat fenomenal dan dikenang hingga sekarang oleh para aktifis, baik di jajaran elit HMI dan di luar HMI. Dia dikenal, salah satunya dari catatan-catatan hariannya yang diterbitkan dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam Catatan Harian Ahmad Wahib (LP3ES, 1981). Wahib lahir pada 9 November 1942 dan meninggal 31 Maret 1973. Ironis, dia meninggal setelah tertabrak sepeda motor usai keluar dari kantor majalah Tempo, tempatnya bekerja sebagai calon reporter.

Uniknya, meskipun popular di dunia aktifis, senyatanya di HMI, Wahib tidak pernah memegang satu jabatan strategispun di puncak pimpinan elit HMI. Namun Djohan Effendi, dalam pengantar karya di atas, menyebut Wahib sebagai “orang belakang layar” atau “aktor intelektual”, yang pengaruhnya besar di dunia aktifis.

Mengapa Demikian?

Wahib sangat pantas disebut sebagai seorang aktifis, sekalipun dia tidak lebih sebagai aktor di belakang layar. Orang yang berada di belakang layar dari suatu organisasi sosial, memang layak disebut sebagai aktifis. Hal ini karena, walaupun hanya sebagai aktor “di belakang layar”, ia tetap bisa memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan hitam putihnya arah berjalannya warna organisasi. Tokoh yang berada di balik layar kerapkali berperan sebagai konseptor, ideolog, dan menjadi penggerak. Ini merupakan salah satu tipikal dari seorang aktifis ideal yang dapat ditiru para generasi muda/ mahasiswa. Ahmad Wahib masuk dalam tipikal aktifis ini.

Sekadar ilustrasi, sekalipun berada di balik layar, Wahib mempunyai pengaruh yang besar terhadap organisasi HMI waktu itu. Antara pertengahan tahun 1967 hingga akhir tahu 1971, Wahib dan beberapa koleganya di HMI menggelar sebuah forum “Lingkaran Diskusi Limited Group.” Beberapa anggota intinya kini merupakan tokoh-tokoh besar, seperti Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi. Diskusi tersebut diadakan setiap Jum‘at sore di kediaman HA Mukti Ali. Sebagai pengantar diskusi sering diundang beberapa orang, seperti Syu’bah Asa, Saifullah Mahyuddin, Djauhari Muhsin, Kuntowijoyo, Syamsuddin Abdullah, Muin Umar, Kamal Muchtar, dan Simuh.

Sebagai forum diskusi para aktifis, forum diskusi yang digagasnya tersebut membicarakan berbagai masalah, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, budaya, dan masyarakat. Melalui lingkaran diskusi ini ataupun berbagai kesempatan, pemikiran-pemikiran Wahib sangat mewarnai HMI. Singkat kata, Wahib adalah seorang aktifis HMI yang menonjol, baik itu dalam kegiatan maupun dalam pemikirannya. Sehingga meskipun tidak menjadi pimpinan puncak, Wahib masuk dalam lingkaran elit HMI. Kemenonjolannya inilah yang setidaknya menjadikan Wahib pantas dijadikan teladan para aktifis HMI, yang punya kontribusi besar dalam memperjuangkan perubahan di HMI, walaupun tidak di pimpinan puncak elit HMI.

Dengan demikian, para aktifis HMI tidak usah berebut secara “bar-bar” untuk mencapai pimpinan puncak elit di HMI. Pilihlah cara-cara yang elit untuk mencapai posisi itu. Belajar dari mendiang Ahmad Wahib ada banyak jalan untuk berkontribusi besar di HMI. Di belakang layarpun kitab isa berkontribusi untuk HMI. Mari berbahagia dalam ber-HMI.***

Pelajaran Pendidikan Agama Islam Non Dikotomik

Oleh: Syamsul Kurniawan

Pelajaran pendidikan agama Islam yang diberikan di sekolah-sekolah hingga kini masih diberikan oleh guru agama Islam secara dikotomik. Seolah-olah ajaran agama Islam hanya melulu pelajaran seputar aqidah, akhlak, al-Qur‘an, hadits, fikih, dan sejarah kebudayaan Islam. Ajaran agama Islam yang diberikan ke murid-murid tersebut pun cenderung bertujuan ukhrawi, dan kurang menyentuh aspek-aspek keduniawian. Guru-guru agama Islam senyatanya masih banyak yang belum mampu mengintegrasikan di materi yang mereka sampaikan tentang agama Islam dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, materi-materi di luar pelajaran pendidikan agama Islam, seperti matematika, biologi, fisika, kimia, sosiologi, kewarganegaraan, ekonomi, kewarganegaan, dan lain sebagainya diberikan oleh guru-guru yang kurang mampu menyisipkan nilai-nilai agama Islam ke dalam materi yang mereka berikan. Disadari atau tidak, demikianlah realita yang terjadi di sebagian sekolah-sekolah kita.  

Padahal, dalam ajaran agama Islam, dikotomi antara ukhrawi dan duniawi, agama dan ilmu pengetahuan, jelas sama sekali tidak dikenal, kecuali melalui tafsiran-tafsiran. Dengan demikian, tafsiran yang mendikotomikan tujuan ukhrawi dan duniawi terhadap pendidikan agama Islam, dan antara agama dan ilmu pengetahuan sifatnya sangat subjektif dari penafsir. Rasulullah Saw saja pernah menyampaikan, “barang siapa yang menginginkan dunia maka haruslah dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan akhirat maka juga harus dengan ilmu.” Berdasarkan hadits ini, tidak ada prioritas dan/atau dominasi salah satu di antara keduanya.

Pelajaran pendidikan agama Islam yang non dikotomik adalah pelajaran pendidikan agama Islam yang berkonotasi tidak semata-mata ukhrawi, tetapi juga duniawi. Justru guru-guru agama Islam perlu membangun pemahaman pada murid-muridnya tentang dunia sebagai ladang amal untuk kehidupan akhirat.

Menurut Zakiyah Daradjat, pelajaran pendidikan agama Islam selayaknya dipahami sebagai proses untuk mengembangkan fitrah manusia. (Daradjat 1992, 25) Syed Naquib al-Attas memberi titik tekan pada pembentukan kepribadian muslim. (al-Attas 1979, ix) Selanjutnya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany berpendapat bahwa terpenting dalam prosesnya, pelajaran pendidikan agama Islam bisa relevan untuk memberi pengalaman belajar, dan juga berdampak positif terhadap perubahan perilaku murid, sehingga memberi pengaruh yang signifikan terhadap kualitas interaksinya dengan masyarakat dan alam lingkungannya. (al-Syaibany 1979, 399)

Berikutnya Yusuf al-Qardhawi memahami pelajaran pendidikan agama Islam sebagai upaya menyiapkan murid-murid yang mencapai derajat “manusia seutuhnya”, yang baik akal dan hatinya, baik jasmani dan ruhaninya, baik pengetahuan, keterampilan serta akhlaknya. Pelajaran pendidikan agama Islam selayaknya bisa menyiapkan murid-murid, yang tidak hanya berkarakter baik namun juga bisa eksis di tengah-tengah masyarakat. (al-Qardhawi 1980, 39) Sementara Hasan Langgulung mengatakan pelajaran pendidikan agama Islam semestinya bisa menyiapkan murid-murid untuk mampu berperan fungsional di tengah-tengah masyarakatnya, dan untuk itu pengetahuan tentang ajaran agama Islam dan nilai-nilainya bisa sejalan dengan amal perbuatannya sehari-hari. Amal perbuatannya di dunia, hasilnya akan diganjar setimpal di akhirat. (Langgulung 1995, 94)

Berdasarkan paparan di atas, pelajaran pendidikan agama Islam selayaknya bisa diberikan secara terintegrasi, agar dapat mengembangkan fitrah manusia, membentuk kepribadiannya yang positif yang pengetahuan, sikap dan kepribadiannya baik, menjadikannya bisa eksis dan berperan fungsional di tengah-tengah masyarakat, dan sadar bahwa dunianya adalah ladang bagi kehidupannya kelak di akhirat.

Di abad 21 sebagaimana realita di tengah-tengah kita saat ini, murid-murid di sekolah yang mendapatkan pelajaran pendidikan agama Islam yang dikotomik akan membuatnya sulit beradaptasi. Oleh karena itulah dalam penyusunan kurikulum pelajaran pendidikan agama Islam, hal-hal semacam ini mesti diperhatikan. Apalagi mengingat betapa pentingnya kurikulum dalam menentukan arah pelajaran pendidikan agama Islam, yang dalam konteks ini: berkembang secara dikotomik atau non dikotomik. (Fathonah 2018, 72) Jika Hilda Taba memulai analisis tentang krisis sebelum membahas lebih dalam seputar kurikulum, ini bukannya tidak mungkin ia yakin karena jika terjadi krisis di dunia pendidikan sebab utamanya berakar dari kurikulum pendidikannya. Dalam skala masalah yang lebih kecil, di kelas, bukannya tidak mungkin pula, Ketika terjadi malpraktik pembelajaran di kelas, akar masalahnya juga adalah kurikulum pendidikannya. (Lihat: Taba 1962, 1–3)

Dengan pengertian ini, betapa pentingnya posisi kurikulum pendidikan di sekolah, sehingga dalam pengembangannya harus betul-betul bisa sejalan dengan kebutuhan murid-murid. Sebagaimana saat ini di abad 21, kurikulum pendidikan yang dikembangkan mesti bisa dirancang secara non dikotomik agar murid-murid bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi sekecil apapun di abad ini. Seluruh pelajaran yang mereka terima mesti diberikan non dikotomik dalam memberi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang relevan dengan kebutuhan mereka beradaptasi di abad ini. Pelajaran pendidikan agama Islam pun selayaknya begitu, mesti diberikan secara non dikotomik, sehingga relevan dengan kebutuhan murid-murid yang belajar agama Islam di abad ini.***

 

Bahan Bacaan

Attas, Syed Muhammad Naquib al-. 1979. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University.

Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Fathonah, Parisaktiana. 2018. “Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman dan Kontribusinya Terhadap Pengembangan Teori Pendidikan Islam.” Jurnal Pendidikan Agama Islam 15 (1): 70–87. https://doi.org/10.14421/jpai.2018.151-05.

Langgulung, Hasan. 1995. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.

Qardhawi, Yusuf al-. 1980. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna. Diterjemahkan oleh B.A Ghani dan Z.A Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang.

Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy al-. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Diterjemahkan oleh Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.

Taba, Hilda. 1962. Curriculum Development: Theory and Practice. New York: Harcount, Brace & World. Inc.

Monday, November 20, 2023

Lingkungan Sosial Ramah Anak

Oleh: Syamsul Kurniawan*) 

TUJUAN dari perlindungan anak sebagaimana tertera pada UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah untuk menggaransi hak-hak dari anak Indonesia sehingga bisa hidup, bertumbuh dan berkembang, berpartisipasi optimal sejalan dengan harkat dan martabatnya, kemanusiaannya, serta memperoleh perlindungan baik diskriminasi maupun kekerasan, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (lihat: Pasal 3). Dengan demikian, setiap anak di Indonesia berhak hidup, bertumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara adil sejalan dengan harkat dan martabat kemanusiaannya, dan mendapat perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan (lihat: Pasal 4).

Namun demikian, hak-hak anak sebagaimana dimaktub dalam UU Nomor 23 tahun 2002 di atas senyatanya masih jauh panggang dari api. Realitas belum terpenuhinya hak-hak anak ini, tercitrakan dari banyaknya kasus baik di rumah dan di masyarakat serta sekolah, yang belum menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi anak buat mendapatkan hak-haknya tersebut. Di rumah dan di masyarakat, misalnya, terjadi kasus-kasus kekerasan baik fisik, psikis dan bahkan seksual yang dialami anak. Pelakunya adalah orang-orang terdekat mereka di rumah dan orang-orang dewasa di tengah-tengah masyarakat.

Demikian pula di sekolah, yang mana guru kerap menjadi profil yang menciderai hak-hak mereka di atas, sebagai pelaku kekerasan terhadap mereka. Guru-guru yang seharusnya melindungi hak-hak mereka dalam soalan ini, banyak yang menjadi tersangka sebagai pelaku kekerasan terhadap anak-anak didik mereka, tidak hanya fisik dan psikis tetapi juga seksual. Miris?!. Berbagai kasus kekerasan yang terjadi di rumah, sekolah dan di sekolah ini, adalah semacam puncak gunung es yang meniscayakan pentingnya komitmen dari banyak pihak, untuk mendorong lingkungan sosialnya menjadi “lingkungan sosial ramah anak”.

Kecuali berdasar pada UU Nomor 23 tahun 2002 yang telah disebutkan di atas, dasar dari Lingkungan Sosial Ramah Anak adalah Convention on the Rights of the Child (CRC) yang ditandatangani di Turki pada tahun 1989. Menurut CRC ini, setiap anak setiap anak, berhak untuk: satu, bertahan hidup yang meliputi kebutuhan dasar hidup mereka seperti berpakaian, makanan, tinggal di tempat yang layak, obat-obatan, dan semacamnya; dua, hak untuk berkembang yang meliputi hak-hak mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara optimal yang meliputi hak untuk dapat dididik, bermain, istirahat, terlibat dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan, mendapat akses terhadap berita dan informasi, dan semacamnya; tiga, hak untuk dilindungi dari segala penyalahgunaan peran mereka, eksploitasi, dan penelantaran, yang dengan demikian anak-anak tidak boleh menderita, mendapat perlakuan tidak menyenangkan, termasuk hukuman yang tidak manusiawi dan menjatuhkan harkat kemanusiaan mereka atas dalih apapun termasuk pendisiplinan; empat, hak untuk berpartisipasi, dengan kebebasan berekspresi di tengah-tengah masyarakat, dalam hal-hal yang mempengaruhi kehidupan mereka, dan dengan cara yang mempersiapkan anak-anak dalam pengambilan peran dan tanggung jawab yang akan kian meningkat sejalan bertumbuh dan berkembangnya mereka di tengah-tengah masyarakat.

Shirley J. Miske dalam makalahnya Child-Friendly Schools-Safe Schools, yang dipresentasikan di Second International Symposium on Children at Risk and in Need of Protection, di Turki, 24 April 2010 (halaman 3), menyebutkan hak-hak anak yang dilindungi oleh CRC adalah, mendapatkan hak berpendidikan yang berpusat pada mereka, mendapatkan lingkungan belajar yang demokratis, inklusif, berkeadilan dan tanpa diskriminasi yang memungkinkan anak-anak bisa belajar tanpa takut berbeda latar belakang budaya dan stratifikasi sosialnya, mendapat pengalaman belajar secara efektif dan protektif, aman dan sehat bagi tumbuh kembang.

Jika kita merujuk ke Child Friendly School Manual yang diterbitkan oleh United Nations Children’s Fund (2006), lingkungan sosial ramah anak membuka peluang: satu, meningkatnya aksesnya dalam berpendidikan; dua, meningkatnya tingkat partisipasinya; tiga, meningkatnya retensi dan penyelesaiannya; empat, terbangunnya atmofer belajar yang positif; lima, tersedianya lingkungan sosial yang aman, inklusif dan ramah bagi semua anak; enam, tersedianya lingkungan sosial pendidikan yang kondusif terhadap kebutuhan belajar, termasuk mengakomodasi anak-anak yang berkebutuhan khusus (disbilitas) baik dari segi fisik dan mental; tujuh, terbangunnya rasa kebersamaan di lingkungan sosial yang positif bagi bertumbuh dan berkembangnya anak; delapan, adanya komunikasi yang edukatif antara sekolah dengan rumah dan masyarakat dalam membangun komitmen bersama terhadap pendidikan; sembilan, terjalinnya relasi yang harmonis antara sekolah, dengan rumah dan masyarakat sebagai tripusat pendidikan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lain; dan sepuluh, adanya dukungan prasarana dan sarana terhadap kebutuhan lingkungan sosial ramah anak.

 

Peluang Kontraproduktif

Lingkungan sosial ramah anak yang dicita-citakan bisa saja kontraproduktif, jika tidak ada komitmen dari hati para orang tua, pendidik di sekolah, dan orang-orang dewasa di tengah-tengah masyarakat untuk mewujudkan dan mengawalnya. Sebab, mewujudkan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang ramah anak tidak bisa cuma bermodal “omongan” saja. Mengaku berkomitmen, padahal tidak?!.

Jika kita mengutip teori Dramaturgi yang diusulkan oleh Erving Goffman, maka ini bisa kita mafhumi, bahwa segala tindakan sosial yang dimainkan oleh individu-individu tidak selalu linier antara panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Mirip seperti pementasan drama. Sebab kebanyakan pula, para aktor yang bermain drama hanya berpura-pura sebatas memainkan perannya dalam lakon yang ditonton oleh banyak orang. Sebagaimana diungkap oleh Margaret Poloma dalam bukunya Sosiologi Kontemporer (2013: 232), memainkan perannya untuk menyenangkan banyak penonton di panggung depan, dan berbeda drastis kala berada di panggung belakang.

Sebab itulah, kita bisa memafhumi tentang bagaimana para orang tua di rumah, guru-guru di sekolah, dan orang-orang dewasa di tengah-tengah masyarakat, yang terlihat “seolah-olah” ramah anak, tetapi tersangkut kasus bullying, penganiayaan, pemerkosaan, dan lain sebagainya terhadap anak-anak di lingkungan mereka. Ketika ini terjadi, maka cita-cita mewujudkan lingkungan sosial yang ramah anak hanya berhenti sebatas “omongan saja”, dan tidak terjadi senyatanya di lingkungan sosial kita. ***     

 

*) Pemerhati Pendidikan, Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam di IAIN Pontianak

Sunday, November 12, 2023

Enam Masalah yang Disoroti dari Sekolah/ Madrasah Kita

Oleh: Syamsul Kurniawan

Sekurang-kurangnya ada enam masalah yang bisa kita soroti dari sekolah/madrasah kita: satu, sekolah/madrasah cenderung membekali siswa/i-nya pengetahuan akademik, dan sementara keterampilan hidup (life skill) kurang diperhatikan. Dua, sekolah/madrasah kita cenderung menjejali siswa/i-nya dengan banyak pelajaran namun serba dangkal. Kecenderungan menjejali siswa/i dengan banyak pelajaran ini senyatanya juga tidak terbukti membawa manfaat positif bagi siswa/i kala melanjutkan studinya di jenjang berikutnya (contoh: Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah ke Perguruan Tinggi Umum/ Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) dan/atau di dunia kerja; tiga, sekolah/ madrasah mengarahkan model pendidikannya untuk mencetak “worker” ketimbang “employee”;[1] empat, sekolah/ madrasah kita mencetak profil lulusan yang menganggur dan suram hidupnya serta menjadi input buruk di Perguruan Tinggi Umum/ Perguruan Tinggi Keagamaan Islam;[2] lima, sekolah (pengecualian: madrasah) membekalkan banyak pengetahuan dan keterampilan, hanya saja waktunya cenderung minimum;[3] enam, pendidikan agama Islam di sekolah/ madrasah kurang membagikan pengetahuan dan keterampilan agama yang sifatnya substantif dan bahkan juga cenderung dikotomik dengan pelajaran-pelajaran yang didapat oleh siswa/i.

Dengan demikian tantangannya adalah bagaimana mencetak lulusan-lulusan sekolah/ madrasah yang tidak hanya berpengetahuan akademik, tapi juga berketerampilan hidup (life skill), tidak hanya menerima pelajaran tetapi pula mendapatkan “pengalaman belajar” dan tahu “caranya bagaimana belajar”, tidak hanya dibekali kemampuan bekerja tetapi juga kemampuan menciptakan lapangan kerja, tidak hanya sekedar lulus tetapi betul-betul lulusan berkualitas yang siap bekerja atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, tidak hanya mumpuni dari sisi akademis tetapi pula mumpuni dalam sisi agamanya, dan tidak hanya tahu agama tetapi juga betul-betul mengamalkannya, dan tidak pernah berpikir memisahkan agama dari kehidupannya.***   



[1] Kedua istilah ini jelas berbeda tekanannya. Jika “worker”, adalah pekerja yang sebatas bekerja berdasarkan perintah dari atasannya dan menerima imbalan yang cenrung tetap, sementara “employee” adalah pekerja-pekerja yang bekerja berdasar pada insiatif dan kreatifitasnya, sehingga penghasilannya yang ia dapatkan pun tidak tetap, yang besarannya ia tentukan sendiri. Jalaluddin Rakhmat, “AFTA Mengancam Lembaga Pendidikan di Indonesia”, dalam Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, dan Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997). Betul, bahwa tidak ada sekolah/madrasah yang terang-terangan mencantumkan dalam brosur-brosur promosinya, bahwa lulusannya bakal siap bekerja di suatu bidang, atau lulus di prodi-prodi tertentu yang ingin disasar, kecuali Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan sekolah-sekolah kedinasan. Namun, dengan menyandang ijazah, lulusan-lulusan dari sekolah/ madrasah cenderung mengejar posisi-posisi sebagai pegawai di dunia kerja, dan nampak segan bekerja di luar jalur tersebut. Kalaupun melanjutkan ke perguruan tinggi, prodi yang dipilihpun adalah prodi-prodi yang mereka percayai bisa mengantarkan mereka sebagai pegawai. Sehingga wajar, saat lulus ijazah mereka seperti jimat yang mereka bawa kemana-mana untuk melamar kerja, sementara mereka minim keterampilan hidup (life skill). Padahal, meminjam istilah Rocky Gerung, “ijazah itu adalah tanda seseorang pernah sekolah, bukan penanda ia berpikir.” Moh. Zen dalam disertasinya meneliti kehidupan “orang laut” di Riau dan membandingkan penghasilan dari mereka yang hanya tamat SD dan tamat SMA. Mereka yang tamat SMA malah menjadi miskin, oleh karena hanya mengidam-idamkan kerja kantoran (yang kalaupun diterima kerja) yang gajinya jauh lebih kecil ketimbang penghasilan mereka yang profesinya melaut walaupun hanya tamatan SD. Tampaknya belum ada penelitian yang baru seputar ini. Lihat Moh.Zen, “DInamika Pendidikan ‘Orang Laut’ Sebagai Suatu Profil Operasionalisasi Pendidikan Nasional”, Disertasi, Pascasarjana, IKIP Bandung, 1994.

[2] Udin Supriadi dan Munawar Rahmat mengungkap hasil penelitiannya mengungkap tentang bagaimana sekitar 50% lulusan SMP yang tidak melanjutkan studinya ke jenjang SMA/MA dan sekitar 70% lulusan SMA yang tidak melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi Umum/ Perguruan Tinggi Keagamaan Islam kurang mampu bersaing di dunia kerja. Di perguruan tinggi ia menjadi input yang buruk. Oleh karenanya keduanya, menyoroti sisi akhlak dan karakter yang kurang diperhatikan di jenjang-jenjang ini, padahal menurut keduanya pintar saja tidak cukup. Udin Supriadi dan Munawar Rahmat, “Urgensi Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Akhlak, dan Pendidikan Karakter di Sekolah”, dalam Prosiding Seminar Nasional Agama Islam 2019: Pendidikan Agama Islam dan Penguatan Karakter Religius dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0, Malang, 14 Maret 2019. ISBN: 978-623-93947-5-2., 6-15 [12]. Sehingga wajar ini beririsan dengan kualitas lulusan perguruan tinggi (baik Perguruan Tinggi Umum/ Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) yang juga buruk, dan bahkan lebih parah. Setidaknya menurut Bimo Ario Tejo. Dalam kolomnya, Tejo mengungkap bagaimana – dalam contoh kasus di Tasik Malaya – pada tahun 2019, tingkat pengangguran lulusan Diploma/ Sarjana berada di kisaran 6% hingga 7%, jauh di atas tingkat pengangguran lulusan SD yang hanya 2,7% dan SMP 5% berdasarkan data BPS tahun 2019. Baca: Bimo Ario Tejo, “Sarjana Menganggur dan Revolusi Pendidikan Tinggi”, Kolom, Detik.com, 30 September 2019,  https://news.detik.com/kolom/d-4727746/sarjana-menganggur-dan-revolusi-pendidikan-tinggi, Akses 12/11/2019.

[3] Udin Supriadi dan Munawar Rahmat menyoroti bagaimana banyak sekolah yang hanya membekalkan siswa/i nya pelajaran agama dua jam dalam satu minggu. Akibatnya, seringkali dari siswa/i tersebut (sebutlah yang beragama Islam) tidak memiliki keterampilan minimum seperti keterampilan membaca Al-Qur‘an. Keterampilan yang seharusnya telah dikuasai oleh siswa SD ini seyogyanya banyak pula yang belum menguasainya meski telah menyandang status mahasiswa. Kalaupun ada dari siswa yang bisa membaca Al-Qur’an dengan baik, biasanya keterampilan tersebut didapat di luar sekolah, seperti di Taman Pendidikan Al-Qur‘an. Hanya berdasarkan penelitian Supriadi dan Rahmat, mereka yang masuk Taman Pendidikan Al-Qur‘an hanya 10%-30% siswa SD. Udin Supriadi dan Munawar Rahmat, “Urgensi Pendidikan Agama Islam…”, 12.

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...