Tuesday, July 2, 2019

Komodifikasi Sekolah Favorit

Oleh: Syamsul Kurniawan

Pada masa pendaftaran peserta didik baru (PPDB) 2019 dengan sistem zonasi ini kembali mencuat istilah sekolah favorit dan sekolah tidak favorit. Kata favorit yang menempel, atau sengaja ditempelkan pada sekolah, diasumsikan sebagai sekolah unggulan, dan menjadi target utama para orang tua mendaftarkan putra atau putri mereka sebagai calon siswa. Sementara sekolah tidak favorit, diasumsikan sepihak sebagai sekolah dengan kualitas guru dan prestasi di bawah rata-rata.Mari kita jujur mencermati. Seringkali favorit atau tidaknya sebuah sekolah, yang kita branding, punya konsekuensi yang tidak sedikit. Salah satu konsekuensi negatif yang penulis ingin sebut adalah komodifikasi.

Bandul Makin Menjauh

Keinginan melepaskan diri dari cengkeraman neoliberalisme semakin mustahil ketika komodifikasi pendidikan tidak pernah dipersoalkan. Persepsi masyarakat yang membelah sekolah menjadi dua yaitu sekolah favorit dan tidak favorit, sesungguhnya tengah membuka kran masuk neoliberalisme itu sendiri. Henry A. Giroux seorang pakar pendidikan kritis pernah mempersoalkan bahaya neoliberalisme di dalam masyarakat moderen dewasa ini. Neoliberalisme menurutnya merupakan suatu ideologi yang sangat berbahaya, sebab pada dasarnya, neoliberalisme menghancurkan segala hal yang merupakan milik publik, merusak nilai-nilai demokratis karena tunduk kepada fundamentalisme pasar.

Jadilah nilai-nilai sosial yang luhur mengalami reduksi sedemikian rupa sehingga nilai-nilai tersebut tunduk kepada pertimbangan-pertimbangan komersial dan privatisasi. Apabila pandangan neoliberalisme menyusup ke dalam dunia pendidikan kita, maka yang pasti akan terjadi orang-orang akan mengasumsikan dunia pendidikan “sama” dengan dunia industri. Terjadilah apa yang sering disebut dengan komodifikasi pendidikan, yang pada konteks ini pendidikan dilihat sebagai komoditi dan tunduk kepada hukum pasar (supply and demand).

Akibatnya bermunculan sekolah-sekolah yang membranding keberadaan mereka sebagai sekolah favorit, yang kemudian menjadi ladang bisnis, masing-masing saling bersaing untuk mendapatkan calon siswa yang bisa membiayai besar kelangsungan proses pendidikan di sekolah.Kita bisa mencermati, berapa banyak sekolah-sekolah favorit, yang bermunculan dengan biaya tinggi. Artinya, semakin tinggi biaya pendidikan yang dikeluarkan selama pendidikan diberikan, sekolah tersebut dianggap favorit dan semakin bergengsi. Apalagi, orang tua yang berduit, merasa naik gengsinya karena bisa membiayai anaknya bersekolah di sekolah tersebut.

Contoh yang lain adalah monopoli buku pelajaran pada sekolah-sekolah favorit (dengan adanya kerjasama dengan penerbit buku pelajaran dan pihak sekolah), yang mengharuskan siswa-siswa di sekolah untuk membeli buku-buku pelajaran, LKS baru, meskipun koleksi di perpustakaan sudah ada dengan isi dan muatan yang cenderung sama. Munculnya monopoli buku pelajaran ini, seringnya berlindung di balik tujuan yang mulia, seperti keinginan sekolah mencetak siswa yang mumpuni. Hanya seringkali ambisi sekolah, mengorbankan orang tua wali siswa, terutama menyusahkan mereka yang berasal dari latar belakang keluarga miskin.

Sekolah seringkali dianggap tidak punya tanggung jawab karena buku-buku pelajaran yang sudah dipakai tahun lalu tidak bisa dipakai lagi untuk tahun depan karena  sudah berganti penerbit. Bahkan, ini sengaja dilakukan agar orang tua siswa membeli buku-buku pelajaran, termasuk “memaksa” membeli di sekolah. Pihak penerbit senang-senang saja, yang penting bukunya laku keras. Bahkan, mereka sangat agresif menembus sekolah-sekolah dengan “iming-iming” tertentu. Sementara itu, pemerintah juga seolah membiarkan hal demikian terjadi. Alasannya, “era otonomi”. Sehingga, sekolah dibiarkan mempunyai kebijakannya tersendiri, termasuk pengadaan buku sekolah yang berganti hampir setiap tahun. Begitupula kebijakan les tambahan di luar jam pelajaran sekolah.

Kebijakan ini, tentu saja akan menambah membengkaknya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh orang tua atau wali siswa.Nalar neoliberalisme yang mempengaruhi persepsi orang tua calon siswa tentang sekolah favorit, juga berdampak pada terjadinya erosi terhadap filosofi pendidikan. Orang tua siswa yang menginginkan anaknya bersekolah di sekolah favorit dapat dididik oleh pihak sekolah mengikuti doktrin-doktrin neoliberal, mereka diarahkan pandangan hidupnya pada pencapaian kesuksesan hidup ala kaum neoliberal, diarahkan mengikuti cara berpikir ala borjuis-kapitalis, dan pada gilirannya dapat mengikuti gaya hidup kaum borjuis-kapitalis. Sebagian sekolah yang disebut sebagai sekolah favorit menyambut positif keinginan tersebut. Para siswa kemudian diberikan kompetensi yang sekiranya dibutuhkan oleh dunia industri. Sehingga pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah tersebut diarahkan tunduk pada kemauan pasar, sebagai lembaga pensuplai tenaga kerja untuk dunia industri.

Jelas pada konteks ini, pendidikan tidak lagi sebagaimana ideal konsep filosofi pendidikan sebagai lembaga pencerahan dan pembangun peradaban, menciptakan peradaban manusia, tapi sekadar mengikuti jalan peradaban yang dibangun oleh para kaum kapitalis-borjuis di atas puing-puing humanisme, bersenjatakan legitimasi ilmu pengetahuan yang mereka kendalikan.Pendidikan moral dikesampingkan: yang penting anak cerdas (secara kognitif) di banyak mata pelajaran, soal baik atau tidaknya perilaku anak didik itu (cerdas secara afektif) tidak dipersoalkan. Karena tujuan pendidikan semata-mata untuk memenuhi kecerdasan kognitif – dengan berbagai cara dilakukan – dari mulai bagaimana menyusun muatan kurikulum yang lengkap, pelajaran tambahan, pekerjaan rumah yang menumpuk, dan tuntutan lainnya.Ini juga tidak semata-mata salah sekolah. Pendidikan yang dibuat berjenjang-jenjang, tetapi seringkali di tiap jenjangnya menuntut anak didik bisa ini dan itu yang ukurannya adalah hal-hal di atas, melampaui batas kewajarannya. Tidakkah ini membuat sekolah, sebutlah setingkat SD misalnya, harus memposisikan siswa seperti mesin? Alasan yang diberikan, salah satunya karena sekolah tingkat SMP dan selanjutnya SMA menghendaki seperti itu. 

Akibat dari berkembangnya nalar neoliberalisme ini menyebabkan sekolah-sekolah – sebagaimana pendapat HAR Tilaar dalam bukunya Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (2004), mementingkan apa yang berguna berdasarkan paham pragmatisme – artinya menyediakan pelajaran-pelajaran yang berguna untuk kehidupan yang sekarang. Dengan demikian sekolah bukanlah mengasah kemampuan intelektual untuk hidup secara cerdas tetapi yang dapat memberikan keuntungan yang lebih banyak bagi yang menguasainya. Karena paham ini, academic excellence bukan lagi merupakan tujuan dalam pendidikan, siswa cerdas yang bermoral juga tak lagi penting, sekolah bukan lagi untuk mengasah akal budi dan seni, karena yang terpenting menurut paham ini adalah bagaimana siswa mendapatkan keterampilan atau penguasaan-penguasaan ilmu-ilmu praktis yang segera dapat memberikan manfaat pada yang memilikinya.

Ambisi orang tua yang terlalu besar untuk menyekolahkan siswanya ke sekolah favorit, juga berpotensi melanggengkan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme. Inginnya diterima di sekolah favorit  untuk menaikkan gengsi, sementara mereka sadar bahwa anak mereka tidak punya prestasi yang dipersyaratkan untuk lulus mendaftar di sekolah tersebut. Akibatnya, “uang” solusinya. Kasus “anak titipan” terjadi karena orang tua menganggap bahwa sekolah itu “bisa dibeli”. Tak lain, karena neoliberalisme pendidikan sudah sedemikian membelit pendidikan kita, bukan hanya masalah buku pelajaran saja, tetapi kasus “calon siswa titipan”.

Pentingnya Kedewasaan

Pada masa pendaftaran peserta didik baru (PPDB) 2019 dengan sistem zonasi ini tidak seharusnya orang tua calon siswa resah, apabila anaknya tidak berhasil diterima di sekolah yang mereka anggap favorit. Jangan sampai nalar neoliberalisme membelit pikiran kita. Jangan mudah tertipu dengan sekolah-sekolah yang membranding keberadaan mereka sebagai sekolah favorit, sementara motifnya tak lain dan tak bukan adalah komodifikasi. Apa jadinya jikalau sekolah menjadi “ladang bisnis” dan melupakan fitrahnya sebagai tempat “pendidikan” bagi para siswa?.***

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...