Wednesday, April 10, 2019

Pilkades dan Kesadaran Politik Kita

Oleh: Syamsul Kurniawan

Jabatan kepala desa, tidak datang begitu saja, atau bukan pula kekuasaan tunggal nan absolut yang datang dari Tuhan seperti dalam dongeng Arabian Nights. Setidaknya itu yang saya pahami dari model demokrasi yang kita anut. Kesempatan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, datang dari prosedur yang disepakati bersama serta dijabat dalam rentang waktu yang dapat dihitung. Oleh karena itu, sebuah “kursi” kepala desa, seperti di negeri ini misalnya, mengisyaratkan pentingnya pemilihan yang "demokratis". 


Dalam pilkades misalnya, calon kepala desa, umumnya jual diri, memamerkan rancangan program—dan dalam kadar tertentu, - ia mengobral janji. Si calon berbuat demikian karena tahu bahwa “kursi” yang sedang ia inginkan, adalah sebuah rebutan dan suatu saat, mau tak mau, ia akan dicopot jika pemilih sebelumnya tidak menaruh kepercayaan lagi padanya. Mengapa rebutan, ini karena anggaran desa yang mereka kelola cukup menjadi alasan untuk diperebutkan. 


Maka tidak heran, banyak calon kepala desa yang berpikir menjumputi satu persatu suara-suara pemilih dari bawah. Pada aras ini, suara yang ia peroleh, kalaupun berhasil merebut kursi jabatan kepala daerah, bisa efektif, karena dipilih berdasarkan kesadaran pemilih.


Kepala desa yang dibutuhkan

Yang dibutuhkan paska pemilihan kepala desa adalah, kepala desa yang berkarakter pemimpin. Berdasarkan kamus bahasa Indonesia, “pemimpin” identik dengan penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah “memimpin” digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara. Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin ini, pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama “pimpin”. Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.


Tetapi seringkali dalam konteks di Indonesia, pemimpin tidak ubahnya sebagai sebuah lakon/ peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki keterampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah kepemimpinan dalam konteks ini pada dasarnya berhubungan dengan keterampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang. Dengan demikian pula,  kepala desa.


Pada era pasar yang kian asosial, kita layak bermimpi hadirnya kepala desa yang tidak hanya sekedar punya keterampilan dan kecakapan memimpin tapi juga pro masyarakat. Konkretnya, kita butuh figur pemimpin yang bukan cuma sanggup berkata-kata, namun juga siap mendengar dan memberi teladan hidup pada masyarakat. Bukan sekadar soal pencitraan diri, atau cuma obral janji. Dalam konteks menjamin hak-hak warganya untuk hidup sehat misalnya.


Karenanya, masyarakat sebagai pemilih, mesti cerdas. Jangan sampai terjebak pada obral janji, dan pada gilirannya memilih kepala daerah yang hanya sanggup berperan seperti "aktor drama", yang tampak baik dan loyal pada masyarakat hanya ketika ia berkampanye. Kepala desa ideal, setidaknya versi saya sebagai calon pemilih tentulah kepala desa yang tak sekedar obral janji. Kepala desa, yang betul-betul peduli pada masyarakat, bersedia berbuat lebih untuk masyarakat desa yang ia pimpin. Dengan pemimpin seperti ini masyarakat desa tentu lebih siap bersama-sama berperan serta dalam setiap tindakan nyata.


Menjelang Pemilihan Kepala Desa serentak yang tak lama lagi,  mari bermimpi akan hadirnya kepala desa yang betul-betul bisa memajukan daerah kita, dan bukan hanya sekedar obral janji. Tetapi sepasang pemimpin yang bisa mengapresiasi kebutuhan masyarakat desa. 


Karena semuanya kembali pada pilihan kita masing-masing, bagi kita yang punya hak suara. Jangan jadikan perbedaan kriteria dalam memilih figur pemimpin, sebagaimana di atas, membuat kita berkonflik satu sama lain. Cerdas berpolitik berarti berpolitik dengan pikiran jernih dan kepala dingin.***

Masa Depan Pesantren

Oleh: Syamsul Kurniawan Mencermati tren yang ada sekarang, nampaknya sebagian besar anak-anak usia sekolah lebih cenderung memilih sekolah...