Monday, December 2, 2019

Pemuda, Karpet Merah dan Presiden Jokowi yang Sukarnois

Oleh: Syamsul Kurniawan

Presiden Joko Widodo yang memberi kepercayaan pada tujuh pemuda untuk membersamainya sebagai staff khusus menuai pro dan kontra. Ketujuh staff khusus Presiden tersebut yaitu Putri Indahsari Tanjung (CEO dan Founder Creativepreneur), Adamas Belva Syah Devara (Pendiri Ruang Guru), Ayu Kartika Dewi (Perumus Gerakan Sabang Merauke), Angkie Yudistia (pendiri Thisable Enterprise, Kader PKPI, difabel tunarungu), Gracia Billy Yoshapat Membrasar (pemuda asal Papua, awardee beasiswa kuliah di Oxford), Aminuddin Ma’ruf (Mantan Ketua Umum PMII) dan Andi Taufan Garuda (Pendiri Lembaga Keuangan Amartha).

Saya yang pemuda, secara pribadi mengapresiasi putusan Presiden Jokowi yang terkesan sangat Sukarnois ini. Setelah di periode sebelumnya pernah menggaungkan Revolusi Mental yang juga sebelumnya pernah dicetuskan oleh Sukarno, kali ini Presiden Jokowi terkesan juga berpikir dan memutuskan sebagai seorang Sukarnois. Kita tentu tidak asing dengan sebuah pernyataan dari Sukarno yang terkenal tentang kekuatan pemuda, “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Dalam kesempatan lain, Sukarno mengatakan, “Hai pemuda-pemudi Indonesia, bangkitlah, majulah demi Indonesia mandiri jaya bermartabat, adil dan makmur!

Mengapa pemuda?

Bangsa Indonesia sebagai bangsa besar bukan karena kekayaan alamnya saja, atau posisi geografisnya yang menguntungkan, melainkan juga besar karena jumlah sumber daya manusianya. Indonesia berpenduduk lebih dari 262 juta jiwa dan sebagian besar di antaranya adalah pemuda. Peran atau kiprah pemuda bagi bangsa ini tidak boleh disepelekan, mengingat tanpa adanya campur tangan pemuda dalam sejarah perjuangan bangsa, saat ini kita tidak dapat merasakan nikmatnya dihantarkan ke “gerbang kemerdekaan”. Saya sebut begitu, karena kita memang masih berada di gerbang kemerdekaan. Kita, “belum betul-betul merdeka.” Contohnya, dari masalah kebodohan, kemiskinan, amarah dan kekerasan, radikalisme, terorisme, korupsi dan semacamnya.

Bangsa ini masih memerlukan kontribusi pemuda-pemuda yang mampu membawa bangsa ini pada keadaan merdeka. Mengapa “pemuda”? Sebagaimana halnya Sukarno, founding father bangsa ini yang menaruh kepercayaan atas pemuda, karena ketangguhan dan semangatnya yang tinggi dalam memperjuangkan revolusi dan renovasi peradaban bangsanya menuju arah yang lebih baik. Pemuda jelas merupakan sosok yang penting dalam setiap perubahan, dalam semua sejarah bangsa-bangsa, tak terkecuali Indonesia saat ini sebagaimana keyakinan Presiden Jokowi terhadap tujuh staff khusus pilihannya.

Di antara kelebihan pemuda ialah mereka umumnya bergerak atas karakter idealis mereka khususnya dalam membaca berbagai masalah bangsa yang ada. Jadi, saya kira menjadi kurang produktif jika kita berdebat kusir tentang apakah penunjukan tujuh staff khusus tersebut sebagai sebuah hal yang sia-sia atau tidak. Hemat saya, sebuah terobosan layak dicoba dan sebagai bangsa kita layak mengapresiasi.

Apalagi, dalam konteks negara-bangsa, masalah kepemudaan merupakan isu sekaligus permasalahan global yang menyentuh tataran nilai sosial dan budaya masyarakat hampir di seluruh belahan bumi ini. Masalah kepemudaan pun saat ini bukan hanya menjadi masalah negara-bangsa kita, melainkan juga telah menyasar sebagai wacana global dalam kurun waktu lebih dari satu dekade terakhir. Pembahasannya cenderung menempati posisi strategis dalam berbagai agenda pertemuan berskala bilateral, regional dan multilateral. Adanya globalisasi membawa berbagai macam konsekuensi dalam karakter pemuda-pemudi kita. Ada yang berdampak positif, namun tidak sedikit pula globalisasi membuat pemuda-pemudi kita terjebak pada gaya hidup kontraproduktif, hedonis, konsumtif dan kehilangan jati diri sebagai bagian dari anak bangsa. Dalam beberapa kasus, ada yang mencebur pada radikalisme dan bahkan aksi terorisme. Semuanya penanda, sedang terjadi krisis di kalangan pemuda kita.

Menunggu hasil

Jika pada masa Sukarno, gelora pemuda untuk berkontribusi pada negara-bangsa begitu terasa, mengapa pada hari ini kita menjadi antipati terhadap putusan Presiden Jokowi yang memberi kesempatan pada tujuh pemuda yang dipandang kompeten dimintai membersamainya dalam pemerintahan. Pada era ini, Presiden Jokowi melihat ada peluang pemuda-pemudi yang dimintai kontribusinya menangani nasib bangsanya dan saya kira itu positif. Ketujuh pemuda-pemudi yang ditunjuk oleh Presiden Jokowipun punya potensi untuk melakukan itu.

Pemuda-pemudi yang berusia produktif di Indonesia sepatutnya tidak menjadi apatis dan mengarah pada apa yang disebut “anti sosial” pada negara-bangsa. Karena ketika pemuda-pemudi menjadi apatis dan anti sosial, akan menjadi sulit mengajak pemuda-pemudi dimaksud, untuk ikut aktif berkontribusi dalam kegiatan produktif kepemudaan, seperti kegiatan sosial-keagamaan, literasi, dan semacamnya untuk negara-bangsa. Tentu kita menyetujui, betapa permasalahan-permasalahan yang dihadapi pemuda-pemuda Indonesia saat ini memanglah sangat kompleks, mulai dari masalah pengangguran, krisis mental, krisis eksistensi, hingga masalah dekadensi moral. Padahal permasalahan yang dihadapi bangsa kita saat ini cukup besar dan sulit diselesaikan apabila pemuda penerus bangsa terus bermasalah. Bahkan, sejak gelora reformasi diteriakkan pada tahun 1998, hingga hari ini krisis multidimensi masih terjadi, seperti krisis ekonomi, moneter, hukum, moral, dan sebagainya. Melihat rupa-rupa masalah yang terjadi di negeri ini belakangan, kita merindukan pemuda-pemudi yang mampu berbuat banyak untuk bangsanya.

Bila Pemuda pada 1908 mampu melahirkan kebangkitan nasional, 1928 melahirkan sumpah pemuda, 1966 menegakkan kedaulatan negara, 1973 membuat Deklarasi Pemuda dan 1998 dengan semangat gigih menegakkan demokrasi, keadilan dan supremasi hukum, maka pemuda di era Jokowi ini, bisa apa? Kerja-kerja ketujuh  staff khusus Presiden Jokowi pada konteks ini tentu akan diawasi oleh panoptik-panoptik yang meliputi ratusan juta mata rakyat Indonesia. Karenanya mereka harus membuktikan apa kontribusi nyata yang betul-betul bisa mereka berikan sebagai orang-orang terpilih yang mewakili suara pemuda-pemudi di tanah air. Kontribusi mereka tentu bukan lagi dengan cara mengangkat senjata, bergerilya, dan berunding sana-sini, namun bagaimana ide atau gagasan mereka bisa bermanfaat dalam memajukan negara-bangsa. 

Mereka juga harus menyadari bahwa sebagai staff khusus Presiden, pada hari ini mereka telah menjadi model dan inspirasi pemuda-pemudi lainnya di Indonesia yang mulai ikut aktif ambil bagian dari kerja-kerja pembangunan. Sehingga tidak ada alasan bagi mereka membuat blunder dan menampilkan sikap-sikap yang kontraproduktif.***

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...