Thursday, February 1, 2024

Model Kepemimpinan Pendidikan yang Relevan Bagi Madrasah di Abad 21

Oleh: Syamsul Kurniawan

KEPEMIMPINAN adalah kemampuan yang dipunyai oleh seseorang untuk mempengaruhi orang lain, sehingga dapat bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kepemimpinan juga bisa diartikan sebagai suatu kemampuan dan kesiapan dari seseorang untuk mempengaruhi, membimbing, dan mengarahkan serta mengelola orang lain sehingga mereka mau melakukan sesuatu demi tujuan tertentu. Berdasarkan ini, seseorang yang bisa disebut pemimpin, manakala ia memiliki kelebihan dalam apa yang disebutkan ini, yaitu mampu mempengaruhi, mampu membimbing, dan sampai pada mampu mengelola orang lain yang dipimpinnya.[1]

Kartini Kartono membagi pandangannya tentang ini. Menurutnya, pemimpin adalah seseorang yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan yang memungkinkannya dapat mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktifitas-aktifitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.[2]

Kepemimpinan merupakan motor atau daya penggerak dari semua sumber-sumber daya dan alat yang tersedia di suatu lembaga. Dalam konteksnya di madrasah, kepemimpinan pendidikan bisa dipahami sebagai kemampuan kepala madrasah untuk mendorong atau mempengaruhi bawahan yang dipimpinnya, baik itu guru, staff tata usaha, dan unsur-unsur lain yang ada di madrasah, dalam pencapaian visi, misi dan tujuan madrasah secara efektif dan efisien. Almaydza Pratama Annisa berpendapat bahwa seorang pemimpin memang selayaknya memiliki kekuasaan untuk mengarahkan dan mempengaruhi seluruh bawahannya, sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan mereka.[3]

Namun demikian, kepemimpinan ini bukan semata-mata bakat saja. Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara “pemimpin” dan “yang dipimpin”. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi alamiah antara pemimpin dan yang dipimpinnya, yang mengasah kemampuannya dalam mengajak, mempengaruhi, dan menggerakkan orang lain yang dipimpinnya guna melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan atau beberapa tujuan tertentu.[4] Kepemimpinan pendidikan pun bisa terbentuk secara alamiah, yang muncul muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi alamiah antara pemimpin di suatu lembaga pendidikan dengan yang dipimpinnya, yang mengasah kemampuannya dalam mengajak, mempengaruhi, dan menggerakkan orang lain yang dipimpinnya guna melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan atau beberapa tujuan tertentu. Termasuk dalam konteks ini di madrasah.

Kemampuan seorang kepala madrasah untuk mempengaruhi orang lain biasanya didukung oleh kelebihan yang dimilikinya, baik yang beririsan dengan kepribadiannya yang positif maupun keluasan pengetahuan dan pengalamannya yang mendapat pengakuan dari yang dipimpinnya. Madrasah yang efektif dapat terwujud manakala kepemimpinan yang diterapkan di madrasah tersebut berhasil memberdayakan guru, staff tata usaha, dan unsur-unsur lain yang ada di madrasah. Begitu pula sebaliknya, madrasah yang tidak efektif manakala kepemimpinan yang diterapkan di madrasah tersebut tidak berhasil memberdayakan guru, staff tata usaha, dan unsur-unsur lain yang ada di madrasah.

Di abad 21, masalah kepemimpinan pendidikan kepala madrasah ini dengan demikian penting diperhatikan. Kepala madrasah adalah seorang pemimpin di lembaga pendidikan yang bernama madrasah, yang memiliki tugas untuk memimpin pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial kelembagaan, seperti perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pengawasan, dan penyelesaian seluruh aktifitas atau program di madrasah dalam rangka pencapaian visi, misi dan tujuan. Oleh karena itu, di abad 21 ini, seturut dengan kebutuhan abad ini beserta konsekuensinya, menagih hadirnya kualitas kepala madrasah yang karismatik dan berkualitas. Bahkan, bisa dikatakan kunci keberhasilan pendidikan di madrasah pada hakikatnya ditentukan oleh efisiensi dan efektifitas kepemimpinan pendidikan kepala madrasah, dan demikian pula sebaliknya.[5]

Tren Abad 21 dan Model Kepemimpinan Pendidikan yang Relevan Bagi Madrasah

Dewasa ini kita hidup di abad 21 dengan beserta konsekuensinya. Ciri abad 21 salah satunya ditandai dengan tren globalisasi yang meniscayakan terjadinya interdependensi, yaitu keadaan “saling bergantung” dengan dukungan kecanggihan sarana berinteraksi dan berkomunikasi. Oleh sebab itu, setiap kelembagaan yang ada di abad ini menjadi niscaya baginya untuk menyesuaikan dengan kebutuhan abad ini, tak terkecuali di bidang pendidikan.[6]

Di abad 21, pergeseran kebutuhan bidang pendidikan jelas perlu diikuti oleh perubahan model kepemimpinan pendidikan. Kaitannya dengan ini, akan sangat positif jika relasi atasan dan bawahan di suatu lembaga pendidikan, dalam kaitannya dengan ini bergeser dari yang semula modelnya otoriter menuju model kepemimpinan yang demokratis. Pada kepemimpinan yang otoriter, semua kebijakan dasar diputuskan oleh pimpinan sendiri dan pelaksanaan selanjutnya didelegasikan kepada bawahannya. Seluruh perintah dan/atau delegasi tugas, semuanya dilakukan tanpa meminta persetujuan dan pertimbangan dari bawahan yang dipimpinnya. Pemimpin yang menganut model ini mengasumsikan bahwa maju mundurnya lembaga yang dipimpinnya bergantung pada dirinya. Adapun model kepemimpinan demokratis, memungkinkan terwujudnya atmosfer yang demokratis dalam hubungan pimpinan dan yang dipimpin. Pada model kepemimpinan ini, seorang pemimpin biasanya akan mengikutsertakan seluruh individu yang dipimpinnya dalam pengambilan putusan. Dalam konteksnya di lembaga pendidikan, sebutlah di madrasah, kepala madrasah yang menganut model kepemimpinan ini akan selalu menghargai pendapat yang dipimpinnya, apakah itu guru-guru, staff tata usaha, dan unsur-unsur lain di madrasah, dalam rangka mengajak bersama-sama dalam memajukan mutu pendidikan di lembaga yang dipimpinnya.[7]

Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa pada model kepemimpinan yang sifatnya otoriter, seringkali menempatkan bawahan sebagai semata-mata pesuruh yang tidak punya kuasa apapun. Pada model kepemimpinan semacam ini rentan mengakibatkan terbelenggunya kemampuan bawahan dalam melakukan inovasi dan berkreasi terhadap pekerjaannya. Konsekuensinya, mereka akan bekerja cenderung apriori, pragmatis, dan bertindak atas dasar suruhan dari atasan saja, serta minim inisiasi. Dengan kondisi demikian, jelas ini akan menjadi “batu sandungan” terhadap pencapaian tujuan-tujuan pendidikan.[8]

Dalam konteks kepemimpinan pendidikan di madrasah pun hal ini relevan. Model kepemimpinan yang demokratis perlu diwujudkan dalam konteksnya di madrasah, sehingga terjadi proses pemberdayaan. Larry Lashway yang dirujuk Isti Fatonah dalam publikasinya menyinggung seputar facilitative leadership yang menekankan pada aspek collaboration dan empowerment dalam kepemimpinan.[9] Dua kata kunci ini, mempertegas bahwa kepemimpinan yang relevan dibangun adalah kepemimpinan demokratis yang menekankan penting saling berkolaborasi dan memberdayakan. Sebab, pencapaian tujuan pendidikan tidak boleh lagi diterjemahkan sebagai karya perseorangan, namun buah dari hasil team work yang telah bekerja keras dan cerdas dalam mencapainya.

Pada model kepemimpinan demokratis, bahkan diharapkan seorang pemimpin sebagai atasan dapat mendorong seluruh bawahannya untuk mampu memberdayakan diri mereka sendiri dan membagun perasaan bertanggung jawab terhadap pekerjaan-pekerjaan yang diembannya. Pemberdayaan sendiri pada hakikatnya adalah proses “pemerdekaan”, yang mana setiap individu dinilai sebagai sosok manusia yang memiliki kemampuan cipta, rasa dan karsa, dan tentu saja jika ketiganya ini diberi ruang untuk berkembang selayaknya akan menjadi kekuatan tersendiri dalam kerja-kerja memajukan lembaga. Termasuk, dalam konteks ini madrasah sebagai lembaga pendidikan.

Sebabnya karena, kemampuan cipta, rasa dan karsa setiap individu pengelola pendidikan di madrasah yang mendapat ruang untuk berkembang, berkonsekuensi pada ruang yang lebih terbuka dalam pengambilan putusan-putusan yang strategis di madrasah. Semua individu bisa terlibat dalam pengambilan putusan. Sehingga pada gilirannya juga akan terbentuk rasa tanggung jawab bersama dalam memajukan pendidikan madrasah, oleh karena semua individu telah dilibatkan baik dalam pengambilan putusan maupun kesempatan berpartisipasi.

Paul M. Terry yang dikutip Isti Fatonah, mensinyalir tentang bagaimana untuk dapat memberdayakan semua bawahan yang ada di lembaga pendidikan, maka seorang pimpinan sebagai atasan (jika di madrasah kita menyebutnya: kepala madrasah), seyogyanya bisa menciptakan atmosfer kerja yang kondusif terhadap pemberdayaan, seperti menunjukkan idealisme terhadap bawahan dan mengapresiasi setiap bentuk usaha positif yang dilakukan oleh bawahan dalam pencapaian tujuan. Pandangan ini jelas menunjukkan bahwa dalam pemberdayaan hal ini tidaklah mudah dan sederhana, sebab kecuali membutuhkan kerja keras dan pemimpin untuk mendorong bawahannya menjadi individu-individu yang berdaya, juga perlu membangun kemitraan untuk memuluskannya. Jika ini berhasil dibangun, selayaknya akan tumbuh dinamika kerja yang positif, yang didukung oleh pemikiran kreatif dan inovatif pimpinan dan yang dipimpin (baca: atasan dan bawahan), yang kesemuanya merasa sebagai mitra dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya secara leluasa, tanpa hambatan sosio-psikologis yang membelenggu dalam pencapaian tujuan. Jelas ini positif bagi atmosfer kerja di madrasah, sebab semua akan merasa bekerja dengan disertai rasa tanggung jawab.[10] Kecenderungan ini hanya mungkin terwujud manakala model kepemimpinan yang dibangun oleh kepala madrasah adalah model kepemimpinan yang demokratis dan bukannya yang otoriter.

Kaitannya dengan model kepemimpinan yang demokratis ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang kepala madrasah: satu, kepala madrasah selayaknya lebih banyak mengarahkan ketimbang memaksa bawahan yang dipimpinnya; dua, kepala madrasah lebih bersandar pada prinsip kerjasama dalam menjalankan tugas ketimbang bersandarkan pada kekuasaan yang ia miliki; tiga, kepala madrasah senantiasa menanamkan kepercayaan pada diri guru, staff tata usaha dan unsur-unsur lain yang ada di madrasah ketimbang menciptakan rasa takut di tengah-tengah mereka; empat, kepala madrasah senantiasa menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu ketimbang menunjukkan bahwa bahwa ia tahu sesuatu; lima, kepala madrasah senantiasa mengembangkan suasana antusias dan bukannya mengembangkan suasana yang menjemukan; dan keenam, kepala madrasah selayaknya bersedia mengevaluasi atau memperbaiki kesalahannya dan bukannya hanya bisa menyalah-nyalahkan bawahan yang dipimpinnya, bekerja dengan penuh kesungguhan dan bukannya hanya mengandalkan bawahan yang dipimpinnya. Agar ini bisa terwujud, Isti Fatonah, menyebutkan setidaknya enam belas moral positif yang perlu dimiliki seorang pemimpin, tak terkecuali dalam konteks ini kepala madrasah: satu, memberi contoh; dua, berorientasi pada kualitas; tiga, bekerja dengan landasan hubungan kemanusiaan yang baik; empat, memahami masyarakat di sekitarnya; lima, memiliki sikap dan mentalitas yang baik; enam, berkepentingan dengan unsur-unsur yang dipimpinnya; tujuh, melakukan kompromi untuk mencapai kesepakatan; delapan, mempertahankan stabilitas; sembilan, mampu mengelola stress; sepuluh, menciptakan struktur agar sesuatu bisa terjadi; sebelas, mentolerir adanya kesalahan; dua belas, tidak menciptakan konflik pribadi; tiga belas, memimpin melalui pendekatan yang positif; empat belas, selalu mengedepankan musyawarah sehingga tidak terkesan mendahului dalam pengambilan putusan; lima belas, mudah dihubungi; dan enam belas, memiliki keluarga yang harmonis sehingga meninggalkan kesan positif di mata orang-orang yang dipimpinnya.[11]

Dalam model kepemimpinan demokratis, seorang kepala madrasah hendaknya mampu memerankan status selayaknya “kepala keluarga” di madrasah. Kepribadian yang dikehendaki dari kepala madrasah sehubungan dengan hal ini: satu, memiliki integritas, yaitu mampu bersikap tegas dan jujur, yang tercitrakan dari sifat-sifat pribadinya maupun dalam moral perilakunya; dua, adil, yaitu kemampuannya untuk menyikapi secara adil terhadap bawahan yang dipimpinnya tanpa ada diskriminasi; tiga, kemampuan, yang ditunjukkan dari mampunya ia melaksanakan pekerjaannya dan membangun relasi dengan bawahan yang dipimpinnya; empat, memiliki intuisi, yaitu kesediannya untuk bersimpati dan berempati terhadap bawahan yang dipimpinnya; dan lima, reliabilitas, yaitu kemampuannya untuk bekerjasama dengan orang lain dalam melaksanakan pekerjaan demi pencapaian tujuan.[12]***

BAHAN BACAAN

Almaydza Pratama Abnisa, “Leadership dalam Pendidikan”, Jurnal Asy-Syukriyyah, vol. 17, 2016, pp. 32–53.

Fatonah, Isti, “Kepemimpinan Pendidikan”, Jurnal Tarbawiyah, vol. 10, no. 2, 2013, pp. 109–25.

Indrafachrudi, Soekarto, Pengantar Kepemimpinan Pendidikan, Surabaya: Usaha Offset Printing, 1983.

Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.

Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Pendidikan, Malang: UIN Maliki Press, 2010.

Rivai, Veithzal and Dedi Mulyadi, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

Ukas, Maman, Manajemen: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, Bandung: Ossa Promo, 1999.



[1] Isti Fatonah, “Kepemimpinan Pendidikan”, Jurnal Tarbawiyah, vol. 10, no. 2 (2013), p. 111.

[2] Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), p. 33.

[3] Almaydza Pratama Abnisa, “Leadership dalam Pendidikan”, Jurnal Asy-Syukriyyah, vol. 17 (2016), p. 36.

[4] Veithzal Rivai and Dedi Mulyadi, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), p. 36.

[5] Fatonah, “Kepemimpinan Pendidikan”, p. 121.

[6] Almaydza Pratama Abnisa, “Leadership dalam Pendidikan”, p. 32.

[7] Soekarto Indrafachrudi, Pengantar Kepemimpinan Pendidikan (Surabaya: Usaha Offset Printing, 1983), p. 49; Maman Ukas, Manajemen: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi (Bandung: Ossa Promo, 1999), pp. 262–3; Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Pendidikan (Malang: UIN Maliki Press, 2010), p. 45.

[8] Fatonah, “Kepemimpinan Pendidikan”, p. 109.

[9] Ibid., p. 110.

[10] Ibid., pp. 110–1.

[11] Ibid., pp. 115–6.

[12] Ibid., p. 120.

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...