Wednesday, September 4, 2019

Pesantren Daring, Mungkinkah?

Oleh: Syamsul Kurniawan

Untuk menjawab tantangan dan kebutuhan santri-santri pesantren saat masa pandemi covid-19 ini, semestinya pesantren dapat mengambil langkah-langkah pembaruan. Di antara yang dapat dilakukan pesantren adalah dengan melakukan pembaruan kurikulum dan kelembagaan yang berorientasi pada konteks kekinian sebagai respons dari perubahan sosial yang terjadi akibat pandemi.

Tetapi tidak semua cara-cara pendidikan pesantren yang pada masa normal bisa relevan di tengah pandemi ini. Sebab bukan tidak mungkin orientasi semacam itu akan menimbulkan efek negatif terhadap eksistensi dan fungsi pondok pesantren di tengah masa pandemi ini. Ketika para santri kembali ke pesantren, sementara kondisi pandemi belum memungkinkan, yang terjadi justru kekhawatiran pesantren menjadi episentrum baru covid-19.


Kemungkinan pesantren menjadi episentrum covid-19 jangan dianggap remeh. Apa yang menimpa pesantren temboro dan gontor, saya kira bisa dijadikan acuan.


Yang perlu dilakukan

Agar tidak terjadi ledakan jumlah korban yang tertular covid-19 dari kalangan santri, pesantren hanya perlu menumbuhkan apresiasi terhadap semua perkembangan yang terjadi. Perubahan sosial yang luar biasa terjadi di tengah pandemi ini, jelas tidak mungkin dihindari oleh pihak pesantren. Oleh karenanya pesantren juga mesti membuat terobosan-terobosan agar santri-santri tidak “ketinggalan kereta” dalam proses belajar mengajar mereka. Pesantren pada konteks ini mestinya tidak bersikukuh dengan model pendidikan konservatif.


Selama ini pesantren dikenal sebagai lembaga “pengkaderan ulama”. Fungsi ini mestinya tidak akan tereduksi oleh karena pesantren menerapkan model pendidikan daring. Justru, dengan daring, santri-santri pesantren yang tengah disiapkan sebagai ulama masa depan, mereka jadi terbiasa dengan tantangan masa depan yang mengharuskan mereka mempunyai kemampuan lebih, kapasitas intelektual yang memadai, wawasan, akses pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan teknologi.


Kecuali sebagai lembaga pengkaderan ulama, pesantren sebelumnya dikenal sebagai tempat santri belajar dan mendalami ilmu pengetahuan agama, khususnya agama Islam. Akibat dari stigma ini, santri-santri dianggap lemah dalam penguasaan ilmu dan metodologi. Karena stigma ini pula, telah banyak pesantren yang berbenah; menyiapkan langkah-langkah antisipasi. Semisal dengan menyusun pola kurikulum yang terencanakan dan sistematis dan dengan target pencapaian yang jelas sesuai dengan kebutuhan zaman. Tidak masalah ketika sebagian pesantren dalam sistem pengajarannya masih menggunakan standar acuan kitab-kitab kuning klasik, tetapi kitab-kitab ini mesti mampu diajarkan secara optimal ketika santri-santri ngaji dari rumah mereka masing-masing. Saya kira kegiatan-kegiatan diskusi atau musyawarah, bahtsul masail, dan pola-pola pembelajaran yang dipandang bisa menumbuhkan daya inisiatif, kreatif dan kritis di kalangan para santri selama di lingkungan pondok, masih bisa relevan ketika kesemuanya itu dilakukan secara daring. Ini seperti tengah memindahkan air dari gelas satu ke gelas yang lain; hanya soal wadah saja.


Pesantren juga hendaknya mampu menempatkan dirinya sebagai sarana transformasi, motivasi sekaligus inovasi. Kehadiran sebagian pesantren dewasa ini diakui memang telah memainkan perannya dalam fungsi itu sebelum pandemi, meskipun boleh dikatakan masih dalam tahapan yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Karena itu pesantren mesti mengembangkan wawasan pengetahuan agama santri-santrinya dengan mengintegrasikan materi seperti ilmu-ilmu al-Quran, hadits, ushul fiqh, dan lain-lain dengan materi-materi umum seperti sejarah, sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Pesantren jangan dibuat terkesan fiqh-oriented, tapi menjadi pusat pengkajian segala macam disiplin ilmu. Kini di tengah pesantren, mungkinkah materi-materi yang terkesan fiqh oriented tersebut dibahas secara konstektual sejalan dengan kebutuhan wacana di tengah pandemi?.


Begitupula sebagai salah satu komponen penting dalam pembangunan sumber daya masyarakat, pondok pesantren juga mesti memiliki kekuatan dan daya tawar untuk melakukan perubahan yang berarti di masyarakat. Seorang santri hendaknya dapat dididik untuk dapat menjadi pionir dalam usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya, bukan malah menjadi beban masyarakat. Selama study from home ini di terapkan pesantren, santri-santri dari pesantren justru dapat memgambil pelajaran di tengah-tengah masyarakatnya; menjadi pionir dalam usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat yang terpukul akibat dampak pandemi.


Terobosan-terobosan progresif memang menjadi suatu konsekuensi dari akibat perubahan sosial yang niscaya bagi pesantren. Namun pesantren juga tidak perlu kehilangan batasan-batasan yang kongkret bahwa pembaruan yang dilakukan tidaklah mengubah atau mereduksi orientasi dan idealisme suatu pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan yang khas Indonesia. Ini saya kira, hanya perkara mengubah wadah belajar saja, dari sebelumnya yang terlalu mengandalkan “pondok” sebagai tempat belajar, kini sangat mungkin wadah belajar tersebut digeser secara daring di masing-masing rumah santri (study from home).


Sehingga dengan demikian pendidikan pesantren tidak sampai terombang-ambing oleh dampak perubahan sosial akibat pandemi covid-19 ini. Dengan daring, pesantren tetap bisa memberlangsungkan proses belajar mengajar selayaknya di pesantren. Hikmahnya, santri-santri jadi beradaptasi dengan kecanggihan media baru yang membantu mereka belajar. Adaptasi ini akan membantu santri-santri belajar menempatkan diri dalam posisi apapun, kapanpun dan di manapun.***

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...