Saturday, December 26, 2020

Panoptikon

Oleh: Syamsul Kurniawan

PADA abad ke-17 dan 18, disiplin adalah sarana untuk mendidik tubuh. Rupanya tiga abad setelah ini, kecenderungan masih sama. Praktik disiplin diharapkan melahirkan tubuh-tubuh yang patuh. Hal ini tidak hanya terjadi di penjara, tetapi juga dalam bidang pendidikan, tempat kerja, militer dan sebagainya. Masyarakat selanjutnya berkembang menurut disiplin militer. Michel Foucault beranggapan bahwa di era monarkial tiap proses penghukuman kriminal baru dianggap serius apabila telah melibatkan elemen penyiksaan tubuh dalam pelaksanaannya.

Di masa pandemi covid-19 ini, bagi mereka yang terjaring tidak mengenakan masker oleh aparat misalnya, mendapatkan berbagai bentuk hukuman untuk memberikan efek jera. Kecuali denda, beberapa tempat memberikan hukuman fisik seperti disuruh push-up, lari keliling lapangan beberapa putaran, dan lain-lain. Penerapan hukuman fisik dalam konteks memberikan efek jera di masa covid-19 ini sangat relevan dengan asumsi Foucault dalam konteks ini.

Pelaksanaan disiplin amat berhubungan dengan kuasa yang mengontrol. Foucault menguraikan bahwa fenomena disiplin tubuh selalu dikontrol oleh dua instrumen disiplin yang diterapkan dari disiplin militer dalam masyarakat. Pertama, melalui observasi hirarkis atau kemampuan aparatus untuk mengawasi semua yang berada di bawahnya dengan satu kriteria tunggal. Adanya smartphone dengan berbagai kecanggihan fiturnya, sangat memungkinkan berbagai bentuk pelanggaran diabadikan oleh siapapun dan menjadi jejak digital. Dan, adanya social media, membuat semua bentuk pelanggaran tersebut bisa dengan mudah dibagikan dan diketahui siapa saja.

Memincam teori Foucault tentang panopticon, maka bagi aparat keberadaan fitur-fitur smartphone ini semacam panopticon yang membuat proses penjaringan mereka yang tersalah berlangsung mudah. Berbagai bentuk kerumunan yang tidak dibolehkan di saat pandemi, apalagi tertangkap kamera mereka (yang berkerumun) tidak bermasker atau jaga jarak di tengah pandemi, semakin mudah dibuktikan oleh karena ada jejak digitalnya.

Konon, panopticon yang terungkap dalam teori Foucoault ini terinspirasi dari penjara-penjara yang memiliki menara pengawas untuk mengawasi para tawanan. Dengan adanya panopticon ini kekuasaan sipir menjadi sangat besar sebab para tawanan berusaha menahan diri mereka sendiri. Mereka takut dipantau. Kehadiran struktur itu sendiri sudah merupakan satu mekanisme kekuasaan dan disiplin yang luar biasa. Sekarangpun begitu, smartphone memungkinkan fungsi panopticon berada di tengah-tengah kita.

Instrumen kedua adalah menormalkan penilaian moral dan menghukum para pelanggar moral. Dalam hal ini kekurangan disamakan dengan kejahatan. Selain dipenjarakan, orang-orang yang menyimpang dipertontonkan. Maksudnya adalah menunjukkan kepada masyarakat betapa dekatnya manusia dengan binatang, dan manusia lain akan diperlakukan secara yang sama apabila mereka keluar dari batas-batas yang dipandang waras oleh masyarakat. Dalam keseluruhan penanganan atas penyimpangan-penyimpangan ini, psikiater atau aparat sebenarnya tidak berperan sebagai ilmuwan, tetapi sebagai kekuasaan yang mengadili. Bahkan, dengan adanya smartphone dengan fitur social medianya, kekuasaan yang mengadili itu bahkan menjadi luas lagi berada di kuasa mereka yang bersocial media.

Namun, sebagaimana Foucault membayangkan menara pengawas dalam panoptisme selain dioperasikan oleh petugas, dapat dipergunakan oleh banyak individu dengan pelbagai kepentingan, begitupula smartphone yang mengabadikan kesalahan-kesalahan dari para pelanggar aturan di tengah pandemi ini, tidaklah pernah berlangsung netral. Dalam panoptisme inilah Foucault memperlihatkan adanya kekuasaan yang teselubung. Seperti mereka yang mengabadikan kesalahan-kesalahan dari para pelanggar aturan di tengah pandemi ini, dengan kamera smartphone dan kemudian jejak digitalnya dibagikan di grup-grup social media. Konsekuensinya, kesalahan-kesalahan itu dipertontonkan, dikomentari dan bahkan dibully.*** 

Tuesday, December 22, 2020

Menalar Gagasan Ridwan Kamil tentang Pembangunan Monumen Pahlawan Covid-19

Oleh: Syamsul Kurniawan 

“JAS MERAH” (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), demikian kata-kata profetis ini pernah diucapkan Sukarno, yaitu pada pidatonya yang terakhir saat memperingati HUT RI tahun 1966. Jas Merah, sebuah pesan yang diberikan Sukarno pada bangsannya ini tentunya harus dicamkan benar oleh anak bangsa sepeninggalnya.

Kata profetis dari Sukarno ini tentulah bukan sekedar omong kosong belaka. Filsuf dari Jerman, GWF Hegel misalnya mengemukakan dalam pemikirannya tentang sejarah: “Inilah yang diajarkan oleh sejarah dan pengalaman: bahwa manusia dan pemerintahan tidak pernah belajar apa pun dari sejarah atau prinsip-prinsip yang didapat darinya.” Kalimat ini diulang kembali oleh negarawan dari Inggris Raya, Winston Churchill, katanya: “Satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak benar-benar belajar darinya.”

Dan ini, agaknya disadari betul oleh Gubernur Jawa Barat, Bapak Ridwan Kamil, atau Kang Emil, yang menggagas dibangunnya monumen pahlawan covid-19 yang rencananya akan dibangun setelah pandemi ini berakhir. Monumen ini nantinya akan mengabadikan nama-nama perawat yang gugur dalam tugasnya menangani pasien covid-19. Hal ini disampaikannya pada video konferensi bersama Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jabar di The Akasha, Bali, Senin (21/12/2020).

Apa yang kita bisa mengerti dari gagasan Kang Emil di sini?. Bahwa monumen ini nantinya akan merawat memori kolektif kita tentang pandemi covid-19 ini, dan mencatatkan nama-nama korban dari kalangan perawat dengan tinta emas. Kelak generasi esok akan mengenang pandemi pada hari ini dan menjadikannya pelajaran, serta mengapresiasi jasa dan jerih payah para perawat yang atas nama kemanusiaan berjibaku menangani pandemi dengan berkorban nyawa.

Penting untuk penghayatan

Bila anak bangsa dengan benar menghayati arti sejarah kepahlawanan para perawat ini, maka dapatlah itu diambil pelajaran kelak di masa depan, ketika menghadapi bencana, seperti pandemi pada hari ini. Di samping itu, hampir semua sejarah dunia menceritakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Orang yang lupa pada sejarah tidak bisa merancang masa depan hidupnya, bahkan bangsanya tidak berjalan dengan normal. Di sinilah letak pentingnya monumen pandemi covid-19 bagi anak bangsa ini kelak.

Dengan monumen ini kita dapat mengetahui jati diri kita sebagai anak bangsa, yang semestinya meniru keteladanan para pahlawan di masa lalu; termasuk pada pahlawan-pahlawan covid-19 pada hari ini. Tanpa sejarah, kita tidak akan tahu nama-nama pahlawan bangsa, atau kenapa kita sebagai anak bangsa masih dibutuhkan kontribusinya oleh bangsa. Begitupula kelak arti pentingnya monumen pahlawan covid-19 yang digagas oleh Kang Emil tersebut.

Seperti yang dikatakan oleh Sukarno; “Jas Merah. Sukarno jelas tidak ingin anak bangsa ini sepeninggalnya menganggap sejarah tak ada bedanya dengan sebuah dongeng belaka. Sukarno tidak ingin, kenangan dalam tiap lembar sejarah yang tertulis nama-nama pahlawan bangsa dihapus oleh anak bangsanya sendiri. Walau tidak dalam lembaran sehelai kertas, nama-nama pahlwan bangsa dan perjalanan bangsa ini ke jembatas emasnya, harusnya dibuat abadi dalam perputaran waktu dari generasi ke generasi anak bangsa. Karena itupula, jangan sampai pahlawan-pahlawan covid-19 ini dilupakan dalam memori kolektif kita sebagai anak bangsa pada hari ini dan esok.

Bahan Evaluasi dan Motivasi

Monumen pahlawan covid-19 yang diharapkan akan menjadi monumen sejarah yang akan merawat memori kolektif kita soal perawat yang berjibaku saat pandemi ini dengan bertaruh nyawanya penting sebagai bahan evaluasi dan motivasi. Menurut bahasa, sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu Asy-Syajaroh, yang berarti Pohon. Menurut istilah, “Sejarah adalah pengetahuan tentang proses-proses berbagai realitas dan sebab-musababnya secara mendalam,” demikian Ibnu Khaldun. Sejarah, baik yang berupa kesuksesan maupun kegagalan anak bangsa di masa lalu, harusnya dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dan motivasi bagi diri kita, anak bangsa saat ini dan esok setelah pandemi.

Saya ambil contoh, bagaimana pentingnya sejarah ini sebagai bahan evaluasi dan motivasi, misalnya ketika Indonesia masih bernama Nusantara, ia pernah menjadi bangsa yang dapat berdiri dengan gagah di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Ingatlah kejayaan Sriwijaya. Ingatlah kejayaan Majapahit. Ingatlah kejayaan Mataram. Bahwa sejarah, menunjukkan betapa besarnya Indonesia saat kerajaan itu berdiri, mestinya memantik gelora nasionalisme yang harusnya bertumbuh pada anak-anak bangsa.

Bila anak bangsa  mau belajar dan mampu memahami sejarah bangsanya, maka padanya akan muncul kekuatan yang dahsyat yang dapat ia gunakan untuk menjalankan perannya sebagai anak bangsa. Di tengah pandemi ini, sayangnya kesadaran akan hal itu kurang. Kesadaran masyarakat untuk mendisiplinkan protokol kesehatan 3 M menyebabkan angka penularan covid-19 di Indonesia terus menanjak naik. Korbannya, para perawat-perawat yang ada di garda terdepan dalam penanganan pandemi.

Oleh karena itu, seperti perawat-perawat yang pada hari ini bertaruh nyawa menangani pandemi covid-19, perawat-perawat di masa depanpun tak sekadar menjalani peran, bahkan harus mempunyai visi kedepan. Jangan sampai apa yang menimpa pada perawat-perawat pada hari ini oleh karena menangung akibat dari kurang menyatunya kita sebagai bangsa dalam memutus mata rantai penularan covid-19 terulang lagi di masa depan. Belum lagi korupsi dana bansos, yang dilakukan segelintir oknum-oknum dengan tanpa empati, juga terjadi saat sebagian dari kita (yaitu: perawat-perawat) ini berjibaku dengan nyawanya menangani pandemi.

Kegagalan bangsa ini memupus dengan cepat pandemi covid-19 ini jangan sampai terulang di masa generasi kita berikutnya; dan mereka harus mengambil pelajaran dari semua yang terjadi pada hari ini. Dan keberhasilan bangsa ini saat pandemi covid-19 ini, untuk generasi kita berkutnya haruslah mampu mempertahankan dan melipatgandakannya di masanya. 

Sama seperti sebuah pesawat untuk dapat lepas landas harus memiliki landasan yang baik dan cukup panjangnya. Begitupula anak bangsa esok, jangan sampai mereka menganggap remeh pandemi, seperti sikap remeh yang pernah bangsa ini tunjukkan saat awal-awal pandemi, yang karenanya membuat jatuh banyaknya korban, tidak hanya masyarakat umum, tetapi juga dari kalangan perawat-perawat, tenaga medis dan dokter.

Salah satu kutipan yang paling terkenal mengenai sejarah dan pentingnya kita belajar mengenai sejarah ditulis oleh seorang filsuf dari Spanyol, George Santayana. Katanya: “Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya.” Apa yang dikatakan Santayanan ini, seolah menguatkan apa yang pernah dikatakan Sukarno pada pidatonya yang terakhir tahun 1966, “Jas Merah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah).”

Ada pepatah yang bilang “Orang cerdas belajar dari sejarah”. Sejak sejarah terbukti dapat mengajari kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, maka hal penting yang mula-mula harus kita kerjakan sebagai anak bangsa dalam kerja-kerja membangun adalah dengan belajar dari sejarah. Monumen pahlawan covid-19 yang digagas oleh Kang Emil pada konteks ini jelas menemukan relevansinya, dan selayaknya menginspirasi kepala-kepala daerah untuk berpikiran membangun monumen serupa di daerahnya masing-masing setelah pandemi.***

Sunday, December 6, 2020

Jangan Berakhir Distopia!

Oleh: Syamsul Kurniawan

Pilkada yang akan tetap digelar di tengah pandemi covid-19 pada 9 Desember 2020 menuai kritik. Pasalnya, momen sebelum dan saat Pilkada jelas potensial memancing terjadinya kerumunan. Sementara kerumunan disebut-sebut rentan menaikkan angka kasus covid-19 di Indonesia. Karena itulah di tengah-tengah masyarakat berkembang opini yang mempertanyakan komitmen Negara terhadap penanganan pandemi.

Sebagaimana kluster-kluster covid-19 dari aksi demonstrasi, acara resepsi pernikahan, konser, acara seremonial keagamaan, dan lain-lain, pilkadapun jelas rentan menjadi kluster covid-19 karena potensial membuat masyarakat berkerumun. Tetapi Negara konon telah menyiapkan mekanisme protokol kesehatan covid-19 yang membuat pilkada pada 9 Desember 2020 berlangsung lancar tanpa resiko terpapar covid-19.

Selera Kekuasaan

Dalam konteks ini saya tidak begitu sependapat dengan keyakinan sebagian politisi, soal tidak adanya potensi pilkada besok menjadi kluster. Tetapi, saya juga bisa memafhumi bahwa benar atau tidaknya, tepat atau tidaknya menggelar pilkada di tengah pandemi ini sangat berhubungan dengan apa yang disebut Michel Foucault dengan faktor ‘kekuasaan’. Kekuasaan yang dimiliki oleh Negara bisa mendominasi kebenaran, dan ia bisa ada di mana-mana, karena menurut Foucault Negara dapat mengkondisikan dan bahkan mewajibkan semua orang untuk mematuhinya. Namun menurut Foucault, kekuasaan adalah salah satu dimensi dengan relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan. (Bertens, 2001, p. 319) Dalam konteks ini, kebijakan tentang digelarnya Pilkada jelas telah merupakan konsensus dari banyak aktor yang memegang kekuasaan, terutama di ranah politik praktis; antara penyelenggara negara dan para politikus.

Begitulah cara kerjanya kekuasaan. Di zaman Yunani kuno, para filsuf juga menyadari betapa kekuasaan berhubungan dengan klaim kebaikan, kebajikan, keadilan, dan kebebasan. Karena itulah menurut Foucault, benar atau tidaknya, tepat atau tidaknya suatu klaim, semuanya bisa dilacak dan tidak ada yang ahistoris. Maka benar atau tidaknya ‘kerumunan’ apapun konteksnya, apakah karena aksi demonstrasi, resepsi pernikahan, konser, acara seremonial keagamaan, dan lain-lain termasuk pilkada, interpretasi akan hal itu penentu akhirnya ada di tangan pemegang ‘kekuasaan’.

Misalnya, Foucault mencontohkan bagaimana klaim seorang dokter atas sebab-sebab seseorang sakit, kemungkinan tertular dan bagaimana menanganinya ini menurut Foucault juga tidak ada yang netral. Pandangan seorang dokter mengenai hal ini sungguh sangat dipegaruhi oleh pengetahuan yang ia miliki, latar belakang pendidikannya, organisasi yang ia masuki, relasinya, dan seterusnya. (Bertens, 2001, p. 310) Bukan tidak mungkin, Negara punya andil terhadap berbagai simpulan-simpulan mereka. Jika, para dokter dan ilmuan di dunia kesehatan di masa pandemi ini sepakat bahwa kerumunan bisa potensial untuk menjadi kluster covid-19 dan menaikkan angka kasus covid-19, maka simpulan-simpulan mereka ini bisa saja disertai pengecualian, misalnya: diperkenankan ketika protokol kesehatan seperti menggunakan masker, jaga jarak dan cuci tangan. Tentu saja ini seperti bersayap, satu sisi menutup peluang terjadinya kerumunan, dan di sisi lain membuka peluang walaupun dengan ‘catatan’.

Karena itulah, Foucault mengasumsikan kekuasaan itu ada di mana-mana. Meski Negara dominan, tetapi kuasanya ini mempunyai banyak kepanjangan tangan yang oleh Foucault diasumsikan dengan relasi-relasi. (Bertens, 2001, p. 319) Bagi Foucault, kuasa itu ada di mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara pelbagai kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari sadar atau tidaknya seseorang yang dikuasai. Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung di mana-mana dan di sana jika ditelisik jelas ada faktor sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi. Inilah yang sedang terjadi dalam konteks memahami mengapa Pilkada bisa tetap digelar di tengah pandemi covid-19 ini. (Foucault, 2000, p. 144)

Jangan berakhir distopia

Sementara, tentang menaik atau menurunnya angka kasus covid-19 seringkali adalah persoalan statistik yang tercitrakan dalam angka-angka, grafis dan tabel. Sebagaimana dikatakan Foucault, inilah pengetahuan yang jamak diyakini oleh banyak orang zaman sekarang. Interpretasi orang-orang dibangun berdasarkan pembacaan atas angka-angka statistik, grafis dan tabel ini. Hal ini karena menurut Foucault, angka-angka statistik, grafis dan tabel ini adalah satu sistem tanda, satu bentuk taksonomi umum dan sistematis dari benda-benda. (Foucault, 2000, pp. 421-422) Sehingga dalam konteks sebelum Pilkada, sistem tanda ini yang harus dikawal agar tetap terjaga netralitasnya, dan ketika ada potensi menaiknya angka kasus covid-19 pada daerah-daerah yang akan menggelar Pilkada, sistem tanda ini bisa dijadikan acuan untuk tetap mengelar atau menunda pelaksanaannya. Meskipun telah disiapkan dengan matang persiapan Pilkada ini, sistem tanda berupa angka-angka statistik, grafis dan tabel yang menggambarkan angka kasus covid-19 tidak boleh disepelekan.

Pilkada jelas hanyalah sebuah instrumen bukan tujuan. Tujuan dari digelarnya Pilkada jelas adalah menjaga masa depan daerah dengan terpilihnya pemimpin yang sejalan dengan aspirasi masyarakat. Sehingga, akan menjadi kontraproduktif dengan tujuan tersebut ketika Pilkada justru mengakibatkan adanya kluster-kluster covid-19 di daerah yang membahayakan masyarakat. Namun, semuanya jelas (jika meminjam logika Foucault) akan mengikuti selera kekuasaan. Toh, Pilkada akan tetap digelar. Sebagai warga negara kita hanya mungkin mengikuti alur yang dimaui negara, sembari berharap pelaksanaan pilkada 9 Desember besok diikuti komitmen untuk menjaga protokol kesehatan dan menghindari kerumunan selama Pilkada digelar. Semua kita tentu berharap pandemi covid-19 ini segera berakhir, dan bukannya berlarut-larut. Tidak menjadi distopia bagi warga-warga di daerah-daerah yang menggelar Pilkada.*** 

Thursday, October 22, 2020

Pendidikan Pesantren, Santri dan Jaminan Kesehatan Saat Pandemi

Oleh: Syamsul Kurniawan

Manajemen pada pendidikan pesantren menjadi salah satu hal yang penting karena menjadi acuan dalam menentukan materi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, serta sebagai tolak ukur keberhasilan/ kualitas pendidikan. Termasuk di masa pandemi ini. Apalagi di tengah pandemi ini, pesantren (terutama bagi pesantren-pesantren tradisional dan salafi) yang ada di zona mereha covid-19 mengalami dilema, antara tetap konsisten dengan model pendidikan tradisional kepondokannya, atau beradaptasi ke model pendidikan dalam jaringan (daring) yang lebih relevan. Dan dalam konteks ini, jelas jika pertimbangannya adalah keselamatan santri-santri sehingga tidak terpapar covid-19, model pendidikan dalam jaringan (daring) menemukan relevansinya, meskipun banyak pihak yang akan merasa kuota dan sinyal sebagai kendalanya. Sekali lagi, manajemen pendidikan pesantren harus dipikirkan dan dievaluasi kembali di tengah pandemi covid-19 ini. Pertimbangan kesehatan santri-santri juga adalah suatu hal yang penting. Hal ini tidak boleh disepelekan. Apalagi ini sangat sesuai dengan tema Hari Santri, 22 Oktober 2020 saat ini, “Santri Sehat, Indonesia Kuat”.

Tetapi tentu saja ini tidaklah mudah. Dapat dimafhumi, kendalanya bisa datang dari pihak internal pesantren itu sendiri. Sistem sosial pesantren dengan sistem mondoknya dan pemeliharaan unsur-unsur pesantren telah sedemikian mapan. Prasyarat sebuah sistem sosial mencapai kemapanannya, oleh Talcott Parsons dikatakan karena memenuhi prasyarat adaptasi (adaptation), mekanisme pencapaian tujuan yang jelas (goal attainment), unsur-unsur kelembagaan yang terintegrasi (integration), dan pola-pola yang dirawat dan diperkuat (latency). Kecenderungan ini diamini oleh Nurchalish Madjid. Bahwa kata Nurchalish Madjid, hal itu dapat dilihat dari proses pembelajaran atau praktik belajar mengajar di pesantren. Sejak dulu sebagian pesantren di Indonesia telah mempertahankan karakteristik ketradisionalannya, mempunyai tujuan, dan biasanya dirumuskan oleh kiai selaku pembimbing pertama dan key person di pesantren.

Tantangan yang akan dihadapi
Pesantren pada hari ini dihadapkan pada banyak tantangan dalam banyak hal, terutama karena persoalan pandemi. Apalagi, kasus covid-19 yang ada mengalami kenaikan signifikan. Karena itu ada dua pilihan bagi pesantren di tengah pandemi ini: pertama, apakah mengikuti atau mempertahankan sistem yang telah mengakar, dan ini berarti penerapan protokol kesehatan yang ketat; dan kedua, mencoba melakukan pembaruan pesantren dengan cara melakukan inovasi-inovasi yang lebih relevan seturut kebutuhan masa pandemi covid-19.

Jika pilihan yang nomor dua yang dipilih, bukan berarti pesantren harus mencerabut dari karakter ketradisionalannya. Ini hanya persoalan tentang bagaimana “memindahkan ruang” saja; dari lingkungan pondok sebagai “ruang lama yang luring” ke “ruang digital yang daring”. Sistem pengajaran yang berpusat pada kiai tidak mesti ditinggalkan. Kiai-kiai dan santri-santri hanya perlu beradaptasi dengan model interaksi dalam jaringan. Metode sorogan dan bandongan tetap bisa diterapkan, hanya dengan wadah baru, yaitu daring.

Berpindahnya wadah dari luring ke daring, memang tidak seharusnya mencerabut pesantren dari peran tradisionalnya sebagai lembaga yang banyak bergerak di bidang pendidikan Islam, terutama dalam perannya sebagai lembaga tafaqquh fi al-din. Karena itu di tengah pandemi ini, para ahli pendidikan atau pratisi pendidikan pesantren sebaiknya memikirkan untuk merancang model pendidikan daring yang dapat memperkaya sekaligus mendukung upaya transmisi khazanah pengetahuan Islam tradisional seperti yang dimuat di kitab kuning dan melebarkan jangkauan pelayanan pesantren terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat terutama di bidang pendidkan formal. Dengan ungkapan lain, proses perubahan seperti yang telah dijelaskan di atas, merupakan salah satu bentuk modernisasi pesantren sebagai lembaga pendidikan maupun lembaga sosial yang relevan dengan kebutuhan di tengah masa pandemi ini.
Dalam suatu proses perubahan di tengah pandemi ini, pesantren memang tengah dihadapkan pada keharusan merumuskan kembali sistem pendidikan yang diselenggarakan. Sementara di lain pihak, ia juga harus bersedia membuka diri terhadap sistem pendidikan modern yang bersumber dari luar pesantren.

Tantangan bagi pesantren di masa pandemi ini berkaitan dengan kebijakan-kebijakan strategis, yang jika dirinci seperti: pertama, bagaimana pesantren sebagai lembaga dakwah harus mampu menempatkan dirinya sebagai transformator, motivator, dan pelopor bagi masyarakat dalam pemutusan mata rantai penularan covid-19. Maksudnya ialah bahwa pesantren bisa mentransferkan ilmu, memberikan motivasi, serta mempelopori, minimal pada santri-santri mereka tentang pentingnya menerapkan protokol kesehatan yang ketat untuk memutus mata rantai penularan covid-19 di tengah-tengah masyarakat. Ada fiqh pandemi yang bisa dijadikan acuan, dan pastinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Jika pesantren tetap berpikir dengan pola pikir ketradisionalannya, dikhawatirkan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat, sehingga secara tidak langsung, masyarakat lambat laun akan meninggalkan pesantren.

Kedua, pesantren sebagai lembaga pengkaderan ulama dituntut agar dapat menciptakan lulusannya mempunyai kebutuhan analitis dan antisipatif di tengah pandemi ini. Maksudnya output pesantren hendaknya dapat memberikan contoh tentang bagaimana seseorang yang harus berpikiran luas dan siap menerima konsekuensi perubahan. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan pihak pesantren, jika pesantren bersikeras.

Ketiga, sebagai lembaga ilmu pengetahuan, pesantren dituntut agar secara bertahap dan sistematis dapat mengembalikan Islam sebagai agen ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu medis dan kesehatan, sebagaimana zaman sebelum agen keilmuan dipegang oleh bangsa Barat. Seperti dapat dimafhumi, dulu, banyak pemikir-pemikir Islam seumpama Abū Bakar Muhammad bin Zakariyya al-Razi (854–925 M), Abu Ali Ibnu Sina (980 –1037), Hasan Ibn Al-Haytham (965 – 1040), Abū al-Qāsim Khalaf ibn al-‘Abbās al-Zahrāwī (936–1013 M), dll yang mereka merupakan pemikir-pemikir yang pemikirannya banyak dijadikan sebagai referensi keilmuan baik di barat maupun di timur, termasuk di bidang medis dan ilmu kesehatan.

Keempat, pesantren sebagai lembaga pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat industri. Pesantren dituntut mampu menciptakan, menghasilkan serta membangun dan ikut andil dalam perekonomian. Hal ini tentu saja akan memperbaiki citra pesantren yang dianggap sebagai lembaga yang hanya menghasilkan calon-calon ulama, sementara dalam hidup bermasyarakat ini kita masih mempunyai kebutuhan lain. Dengan terbiasanya santri-santri dengan model aktifitas yang melibatkan media baru (new media), ini tentu akan membuka peluang kerja baru bagi mereka yang sejalan dengan kebutuhan zaman.

Peluang Untuk Berinovasi
Sejalan perkembangan zaman/ perkembangan dunia akibat dampak pandemi, pesantren tentu juga dihadapkan pada beberapa perubahan sosial budaya yang tak terelakkan. Sebagai konsekuensi logis dari perkembangan ini, pesantren harus dapat memberikan respons yang mutualistik. Untuk itu pesantren hendaknya melakukan upaya-upaya inovasi dengan cara:

Pertama, Memperbaiki metode pendidikan pesantren. Metode yang diterapkan pesantren selama ini kelihatannya menggunakan metode induksi. Pesantren mengembangkan kajian-kajian partikuler, khususnya fikih dan berbagai tradisi praktis lainnya untuk menjawab kebutuhan di tengah pandemi ini.Setelah penguasaan memadai, barulah merambah wilayah kajian yang menjadi alat bantu dalam memahami ajaran dasar. Hasilnya akan berbeda bila metodenya lebih difokuskan pada penggunaan metode deduksi, yaitu mengembangkan kajian yang menjadi alat bantu dalam memahami ajaran dasar terlebih dahulu, dan kemudian diimplementasikan dalam kajian partikuler dan fikih pandemi, dan perkembangan dinamika modern.

Kedua, memperbaiki kurikulum pendidikan pesantren. Kurikulum yang ada di pesantren hendaknya berorientasi kepada kebutuhan aktual masyarakat dan masa depan santri. Hal ini sesuai dengan tuntutan zaman modern yang mementingkan prestasi bukan prestise. Hal ini tentu bukan bermaksud, agar pesantren mengubah semua sistemnya yang telah mapan, tetapi lebih meningkatkan sistem yang telah ada sehingga relevan dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, Memperbaiki manajemen pendidikan pesantren. Hal ini telah disinggung saya di muka. Hal ini penting mengingat proses keberhasilan sistem pendidikan pesantren sangat dipengaruhi oleh penataan manajerialnya. Menurut Mastuhu, sedikitnya perlu ada tujuh perubahan yang hendaknya dikembangkan dalam manajemen pada pendidikan pesantren. Perubahan yang dimaksud adalah: (a) mengubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar memecahkan masalah. Maksudnya, pesantren yang sejak dulu menerapkan sistem belajar-mengajar yang ditetapkan menurut kebijakan kiyai seperti pengajaran kitab klasik, hendaknya mengubah sistem tersebut dengan mempertimbangkan banyak masalah yang harus dipecahkan oleh generasi muda; (b) pesantren diharapkan tidak tinggal diam atau menjadi sesuatu yang pasif, tapi ikut andil memecahkan masalah tersebut; (c) mengubah sistem dari hapalan ke dialog. Maksudnya, sistem pesantren yang hendak digunakan janganlah monoton. Hal ini diharapkan agar santri tidak hanya mengetahui apa-apa yang hanya disampaikan kiyai, tapi lebih aktif mencari dan progresif dalam menuntut ilmu; (d) menerapkan sistem belajar kepada santri dari yang pasif ke yang aktif. Hal ini relevan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang selalu mengalami perubahan, yang sekarang ini telah menerapkan sistem cara belajar aktif. Metode ini akan menjadikan wawasan santri tidak hanya pandai menerima, tapi mampu memberikan wawasan dan lebih bersifat membiasakan mereka menjadi lebih ingin tahu tentang suatu hal yang baru; (e) dari mekanis menjadi kreatif, maksudnya dari yang sistemnya hanya menerapkan apa yang sudah digariskan menjadi suatu sistem yang lebih kreatif dalam mencari, mengembangkan, dan menghasilkan sesuatu yang lebih inovatif; (f) dari strategi penguasaan materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi yang kuat. Penguasaan materi pembelajaran yang banyak dianggap kurang berhasil, oleh sebab belum mampu menghasilkan output yang mampu menggerakkan/melaksanakan, serta mampu berbaur dengan masyarakat; (g) dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima ilmu dalam dimensi proses. Maksudnya, ilmu yang diberikan hendaknya mampu menjadikan santri lebih meningkat kualitasnya (dalam artian mengalami perubahan) ke arah yang lebih baik. Tentu hal ini tidak lepas dari proses-proses yang dilakukan, karena suatu pendidikan yang baik harus mampu mengubah santri mulai dari proses. Keuntungan mengetahui perkembangan santri mulai dari proses pastinya memudahkan dalam perbaikan peserta didik. Kedelapan, fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, tetapi mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan. Seperti yang kita tahu, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang lebih menekankan pada pembentukan kepribadian muslim, dan harus mampu mengoptimalkan tujuan dasar tersebut, karena santri yang berakhlak adalah santri yang mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Perbaikan manajemen pendidikan pesantren ini hemat saya semestinya relevan dengan kebutuhan di tengah pandemi.

Keempat, Memperbaiki sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana sangat menentukan dalam pencapaian tujuan yang diinginkan, sehingga perlu diprioritaskan dan diisyaratkan agar terpenuhi sarana dan prasarana. Mungkin hal ini lebih dimaksudkan agar masyarakat dapat melihat bahwa pesantren dapat menyediakan fasilitas sesuai dengan apa yang mereka butuhkan sekarang. Termasuk penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung kebutuhan model pembelajaran daring di tengah pandemi.

Mungkinkah? Tentu saja, bukan soal mungkin atau tidak, karena hemat saya perbaikan-perbaikan ini mungkin-mungkin saja sebagai bentuk inovasi. Hanya saja, berani atau tidak pihak pesantren keluar dari zona nyaman mereka selama ini?***

Wednesday, April 1, 2020

Ironi Tafsir Cocokologi di Tengah Pandemi

Oleh: Syamsul Kurniawan

Wabah corona saat ini telah mendorong beragam tafsir di tengah-tengah kita. Salah satunya tafsir cocokologi. Belum luput dari ingatan kita tentang bagaimana buku Iqra’ yang biasanya digunakan oleh anak-anak TPA belajar mengaji, ada yang memelintir kata dalam buku tersebut, dan dihubung-hubungkan dengan corona. Menjadi virallah itu di media-media sosial. Kira-kira bunyi pesannya begini: 

“Kata corona disebutkan didalam buku IQRO, buku yang mengajarkan cara membaca Al-Qur‘an (huruf hijaiyah). Di dalam buku IQRO Jilid 1 halaman 28 di situlah terletak kata “Corona”. QO-RO-NA KHO-LA-QO ZA-MA-NA KA-DZA-BA, yang jika diartikan secara bahasa, artinya adalah: Corona Diciptakan (Kholaqo) pada Zaman (Zamana) yang penuh Kebohongan (Kadzaba).

Padahal, yang benar “Qo-Ro-Na” itu artinya menemani, kalau virus yang lagi viral itu mestinya “Kurunaa” (dalam bahasa arab) pakai huruf “kaf” bukan “qaf”. Begitupula “Kholaqo” itu artinya menciptakan bukan diciptakan. Sementara yang bermakna diciptakan itu “khuliqa” dengan memakai fi’il madhi majhul. Kadzaba juga fiil madhi yang artinya berbohong. Kalau mau diartikan sebagai “dusta/bohong” maka harus pakai mashdar “kadzibun”, tidak memakai fiil madhi.

Tetapi begitulah ironinya kita yang hidup di zaman post-truth ini. Informasi yang salahpun bisa diviralkan seolah-olah benar dan diikuti banyak orang. Hal ini karena sebagian orang pengguna media sosial hari ini, memang jarang sekali mengecek kembali kebenaran informasi yang mereka dapat. Yang penting sebuah informasi dianggap mereka menarik dan masuk logika mereka itu sudah cukup; meski informasi tersebut boleh dikatakan menyesatkan dan hanya cocokologi.

Tidak saja fenomena cocokologi buku Iqra’ dengan corona, pengguna media sosialpun mencocok-cocokkan beberapa ayat dari Al-Qur ‘an dengan kemunculan virus corona. Seperti misalnya ada yang mengait-ngaitkan Qs al-Ahzab ayat 33 dengan #stayathome saat masa pendemi. Terjemahan dari Qs al-Ahzab ayat 33, sebagai berikut: “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu (Wa Qarna Fî Buyūtikunna) dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Dalam Tafsir Jalalayn, ayat ini ditafsiri berikut: “(Dan hendaklah kalian tetap) dapat dibaca Qirna dan Qarna (di rumah kalian) lafal Qarna pada asalnya adalah Aqrarna atau Aqrirna, yang diambil dari kata Qararta atau Qarirta. Kemudian harakat Ra dipindahkan kepada Qaf, selanjutnya huruf Ra dan hamzah Washalnya dibuang sehingga jadilah, Qarna atau Qirna (dan janganlah kalian berhias) asalnya berbunyi Tatabarrajna kemudian salah satu huruf Ta dibuang sehingga jadilah Tabarrajna (sebagaimana orang-orang jahiliah yang dahulu) sebagaimana berhiasnya orang-orang sebelum Islam, yaitu kaum wanita selalu menampakkan kecantikan mereka kepada kaum lelaki. Adapun yang diperbolehkan oleh Islam adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya, ".. dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya." (Q.S. An-Nur, 31). (dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian) yakni dosa-dosa, hai (ahlul bait) yakni istri-istri Nabi saw. (dan membersihkan kalian) daripada dosa-dosa itu (sebersih-bersihnya.)”

Sementara Quraish Shihab menafsirkan ayat ini, dengan “Tetaplah berada di rumah. Jangan meninggalkan tempat tinggal kecuali jika ada kepentingan yang dibenarkan oleh Allah yang mengharuskan kalian keluar rumah. Jangan memperlihatkan keindahan dan perhiasan kalian kepada kaum lelaki jika kalian berada di luar, seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Jahiliah dahulu. Laksanakan salat dengan sempurna, tunaikan zakat, laksanakan segala perintah Allah dan Rasul serta tinggalkan segala yang dilarang. Dengan perintah dan larangan itu Allah bermaksud memberikan kehormatan dan kemuliaan kepada kalian.”
Berdasarkan ini jelas bahwa Qs Al-Ahzab ayat 33, ayat ini tidak mengena baik saat dilafadzkan maupun didalami maknanya jika dihubung-hubungkan dengan corona. Qs Al Ahzab ayat 33 dan kata tabarruj jelas-jelas berkaitan dengan pembahasan tentang perempuan-perempuan agar tidak berperilaku liar tanpa kendali agama. Atau dalam bahasa lain, memberikan sinyal tentang pentingnya “menundukkan pandangan” yang dalam Al-Quran dikenal dengan sebuah pernyataan “hendaklah mereka menahan pandangan dan kemaluan” (Surat An Nur ayat 30-31).

Di sinilah letak pentingnya, kemampuan menafsirkan Al-Qur‘an; bukan sekedar cocokologi. Toshihiko Isutzu dalam bukunya yang berjudul God and Man in the Koran: Semantics of the Qoranic Weltanschaung (2002) mengusulkan pendekatan semantik dalam menafsirkan Al-Qur'an.

Toshihiko Isutzu yang saya maksud di sini adalah seorang profesor pada institut studi kebudayaan dan bahasa di Universitas Keiyo, Tokyo. Ia pernah menjadi professor tamu di Institute of Islamic Studies, McGill University Montreal Kanada dan mengajar mata kuliah Teologi dan Filsafat Islam. Pada waktu di sinilah, sebuah buku ia susun, yang merupakan kuliah-kuliah yang diberikannya pada Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal Kanada pada musim semi tahun 1962 dan 1963 atas permintaan Wilferd Cantwell Smith, direktur institute waktu itu, mengusulkan pentingnya pendekatan semantik dalam menafsirkan Al-Qur'an.

Mengapa pendekatan semantik lebih relevan?
Pada dasarnya, Al-Qur’an dapat didekati dengan sejumlah cara pandang yang beragam seperti teologi, psikologi, sosiologi, tata bahasa, tafsir dan lain sebagainya termasuk “semantik”. Dapat dipahami pula, semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna/ arti yang terkandung dalam bahasa, kode, atau jenis lain dari representasi. Dengan kata lain, semantik adalah studi tentang makna. Semantik biasanya berhubungan dengan dua aspek lain: sintaks, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, dan pragmatis atau penggunaan praktis simbol dalam konteks tertentu. Singkatnya, semantik adalah disiplin linguistik yang mempelajari arti kata atau makna kata.

Melalui pendekatan semantik, Izutsu menganalisis istilah-istilah kunci dalam bahasa yang digunakan Al-Qur’an dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat, di mana bahasa itu digunakan, tidak sebatas perangkat bicara dan berfikir, tetapi lebih penting lagi, yaitu konsep dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Menurut Izutsu kata-kata atau konsep dalam Al-Qur’an itu tidak sederhana, sebab meski saling terpisah tetapi juga sangat saling terkait dan menghasilkan makna konkrit dari sistem hubungan itu. Artinya, sistem itu menghasilkan keteraturan yang menyeluruh, sangat kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja gabungan konseptual.

Secara umum, Izutsu menjelaskan bagaimana kehadiran Islam di Jazirah Arab, yang mentransformasi bangsa Arab ke dalam pandangan dunia Islam, atau yang lebih dikenal dengan islamisasi. Menariknya, proses islamisasi ini bermula dari bahasa dengan pendekatan semantik Al-Quran dan menganalisis kata-kata kunci yang terkandung di dalamnya, seperti kata: Allah, Iman, Syukur, Taqwa, dan sebagainya. Sebab kata kunci itu dipandang memegang peranan sentral dalam ajaran dan ideologi Islam. Menariknya lagi, kata-kata kunci itu sebenarnya telah dikenal oleh bangsa Arab pra-Islam, yang kemudian mengalami proses islamisasi. Misal kata “Allah”, bangsa Arab pra-Islam telah mengenal Allah sebagai Tuhan Maha Tinggi di antara tuhan-tuhan lokal, bahkan sebagian kecil dari mereka meyakini keesaan Allah. Mereka meyakini bahwa Allah sebagai pencipta alam semesta, pemberi hujan, dan pelindung Ka’bah. Namun demikian, mereka menolak ketika Al-Quran memposisikan Allah sebagai pengatur kehidupan manusia. Bangsa Arab lebih takut pada kematian ketimbang kepada Allah, karena secara umum mereka menganggap bahwa kematian merupakan akhir segalanya. Sementara, Islam memandang kematian sebagai proses menuju keabadian kehidupan berikutnya.

Menurut Izutsu, bangsa Arab tidak seperti bangsa Yunani yang senang berfilosofi dan berpikir global. Bangsa Arab pra-Islam adalah bangsa pragmatis, fatalis, dan partikularis, yang lebih senang mengungkap hal-hal detail ketimbang global. Izutsu memberikan ilustrasi apik, jika seorang Arab mendapati pohon, maka ia lebih senang menceritakan dahannya sedetail mungkin, daunnya serinci mungkin, atau keindahan bunganya dengan beragam ungkapan. Mungkin inilah penyebab mengapa bahasa Arab kaya dengan istilah untuk sebuah benda yang tampak sama. Namun, di sisi lain, mereka cenderung tidak melihat pohon sebagai sebuah sistem.

Kedatangan Al-Qur’an di tengah bangsa Arab menyebabkan kata-kata dan terminologi tertentu yang semula tidak berhubungan menjadi saling terkait erat serta membentuk sistem dan pandangan dunia baru, yang bertolak dari konsep Allah. Seperti kata “taqwa”, yang semula bermakna sikap manusia atau hewan yang berupaya mempertahankan diri dari serangan musuh, kemudian diubah oleh Islam menjadi “takut kepada Allah dengan mematuhinya”. Kata “taqwa” kini terhubung pada kata “Allah”. Kata “taqwa” yang semula bukan merupakan kata penting dalam bahasa Arab, menjadi kata kunci dalam pandangan dunia Al-Quran. Demikian halnya dengan kata-kata kunci lainnya. Dengan demikian, Islam telah mengubah paradigma bangsa Arab yang semula berpusat pada manusia (antroposentris) menjadi pandangan yang menyatakan secara tegas akan sentralitas Allah (teosentris) dalam kehidupan, meskipun tanpa menafikan peran manusia. Keduanya terhubung oleh relasi tertentu.

Memahami relasi Tuhan dan manusia
Kembali pada fokus, bagaimana seorang penafsir ingin memahami relasi antara Tuhan dan manusia dengan analisis semantik Al-Qur'an?. Dalam mendekati Al-Qur’an, Isutzu mengusulkan konsep segitiga relasi Tuhan dan manusia, yaitu relasi ontologis, relasi komunikatif dan relasi etis. 

Pertama, Relasi Ontologis, di mana Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia yang utama dan manusia sebagai representasi wujud yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Salah satu pertanyaan dasar dan selalu mengusik pikiran manusia dalam weltanschauung religius dan filosofis adalah eksistensi manusia. Pertanyaan abadi dan berulang-ulang adalah: Dari mana manusia berasal? Apa sumber wujudnya di dunia ini? Menurut Al-Qur‘an, Allah adalah pencipta manusia, sumber wujud yang menganugerahkan eksistensi manusia. Jadi secara ontologis, relasi antara Allah dan manusia adalah relasi antara sang pencipta (khâliq) dan yang diciptakan (makhlûq). Manusia sebagaimana diasumsikan bukanlah satu-satunya ciptaan Allah, sebab ada juga ciptaan lainnya, seperti malaikat, jin, langit dan bumi, matahari, bulan, siang dan malam, gunung dan sungai, pohon-pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan, hingga semua jenis binatang, dan bahkan segala yang ada di alam semesta ini yang tak dapat disebutkan satu persatu. Hal ini menunjukkan bahwa ada sebuah kekuatan yang dapat menciptakan segala hal dan juga menjaganya, pencipta itulah Allah Tuhan semesta alam.

Kedua, Relasi Komunikatif. Menurut Isutzu, antara Tuhan dan manusia harusnya dapat dibawa ke dalam korelasi yang dekat, melalui komunikasi timbal balik. Relasi ontologis memperjelas adanya hubungan komunikatif yang bersifat langsung dan bertimbal balik antara Pencipta dan manusia yang diciptakan. Komunikasi itu terjadi melalui dua cara, yaitu melalui penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak, dan melalui penggunaan tanda-tanda alam oleh Tuhan dan isyarat-isyarat atau gerakan tubuh oleh manusia. Dengan demikian komunikasi tipe pertama bersifat linguistik atau verbal, sedang komunikasi tipe kedua bersifat non linguistik atau non verbal. Namun problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai dzat yang ghaib atau supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non-natural, sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa alamiah atau sistem bahasa natural. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam konteks ini Fazlur Rahman berpendapat bahwa proses pewahyuan bukan merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian inspirasi ke dalam hati Nabi Muhammad.

Izutsu menilai problem itu dapat diatasi dengan mengemukakan teori perantara yang bertugas menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan manusia. Artinya, wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu, yaitu Tuhan, Perantara dan manusia. Dalam hal ini ada tiga cara pengiriman wahyu yang berbeda-beda, yaitu komunikasi misterius, berbicara dari balik tabir, dan mengirimkan seorang utusan.

Kecuali itu, kita juga perlu memahami bahwa juga ada kecenderungan relasi Tuhan dan manusia dalam bentuk komunikasi sebagaimana tuan dan hamba. Maksudnya, Tuhan sebagai tuan (Rabb), dan manusia sebagai hamba (abd). Tuhan sebagai Tuhan (Rabb), maka semua konsep tentang Tuhan berhubungan dengan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan mutlak-nya dan lain sebagainya. Sedangkan di pihak manusia sebagai hamba (‘abd), seluruh konsep merepresentasikan kerendahan, kepatuhan mutlak, dan sifat-sifat serupa lainya yang tercakup di dalam dan terkait dengan kata jahiliyyah. Al-Qur‘an mencatat Allah adalah penguasa mutlak, sebagai satu-satunya Tuhan yang berkuasa di alam semesta, sementara manusia adalah hamba (‘abd). Sebagai hamba (‘abd), manusia harus bersikap berserah diri sepenuhnya, merendah, dan menghinakan diri di hadapan-Nya tanpa syarat.
Ketiga. Relasi Etik; yakni adanya perbedaan yang paling mendasar antara keduanya. Etika terkait erat dengan apa yang harus dilakukan manusia terhadap Tuhan tentang perintah dan larangan Tuhan, maupun bagaimana Tuhan berkehendak terhadap makhluk-Nya.

Analisis semantik yang dilakukan ketika menafsirkan Al-Qur'an berarti melakukan analisis unsur-unsur dasar dan relasional terhadap istilah kunci Al-Qur'an, sehingga pada akhirnya membantu pembaca merekonstruksi struktur keseluruhan budaya sebagai konsepsi masyarakat yang sungguh-sungguh ada. Dengan demikian tidak sebatas mencomoti ayat-ayat yang dicocok-cocokkan dengan kondisi yang tengah dialami atau cocokologi, sebagaimana contoh yang sebelumnya telah saya bahas.

Berkaitan dengan model analisis semantik ini yang disebut Izutsu sebagai weltanschauung semantik budaya, didalamnya terdapat upaya mencari makna dasar suatu kata, kemudian mencari hubungan antara kata itu dengan kata yang lain yang disebut makna relasional. Makna relasional ini secara tidak langsung akan menggambarkan budaya pada masa dimana kata dalam Al-Qur'an itu digunakan, dan pemahaman ini akan mewujud proses rekonstruksi budaya yang bisa membentuk konsepsi masyarakat pada masanya.

Hal ini bisa dipahami bahwa bahasa merupakan kunci sebuah kebudayaan manusia. Setiap bagian dari belahan dunia memiliki bahasanya masing-masing yang itu bukan hanya menunjukkan bahasa, melainkan konsepsi yang berisi kepercayaan dan hal-hal lainya dalam komunitas tersebut. Wajar bila Izutsu ingin mengetahui budaya dan konsepsi masyarakat pada zaman itu dengan menggunakan analisis bahasa dengan makna dasar dan relasionalnya.

Pendekatan semantik atas Al-Qur'an yang diusulkan Isutzu yang mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya, tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan dan makna konsep yang satu dengan lainnya sekaligus mengetahui posisi konsep yang dibahas dalam sistem konsep yang lebih luas, serta untuk mendapatkan pemahaman secara komprehensif. Karena itu, perhatian terhadap aspek-aspek sinkronik dan diakronik perlu diwujudkan. 

Inilah yang jangan sampai luput dari perhatian kita yang ingin menafsiri Al-Qur‘an dengan pendekatan semantik. Aspek sinkronik adalah aspek yang tidak berubah dari sebuah konsep atau kata, sementara aspek diakronik adalah aspek yang selalu berubah/berkembang dari masa ke masa. Perkembangan konsep dalam kajian Al-Qur’an dimulai dari masa pra-Qur’anik (jahiliyah), berlanjut ke masa Qur’anik dan Pasca-Qur’anic. Masa demi masa mengalami perkembangannya sendiri melalui konteks yang terjadi. Intinya, dengan meneliti semantik bahasa serta hal-hal yang melingkupinya, diharapkan dapat menemukan pandangan suatu teks Al-Qur’an tentang ‘sesuatu’ (Being) sebagaimana makna Al-Qur’an itu sendiri.

Sekali lagi, tidak elok rasanya jika ayat-ayat Al-Qur‘an dicocok-cocokkan untuk sebuah pembahasan yang tidak ada hubungannya sama sekali. Ketimbang mempercayai sebuah tafsiran yang cocokologi, mengapa tidak mengambil tafsiran-tafsiran yang lebih otoritatif dari ulama-ulama yang menafsirkan Al-Qur‘an dengan metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan; seperti misalnya ulama-ulama yang menafsiri Al-Qur‘an dengan pendekatan semantik sebagaimana usulan Isutzu.*** 

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...