Wednesday, June 1, 2016

Pancasila, Dinamika Perumusannya dan Cita-Cita Umat Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan 

Di tengah ramainya perdebatan mengenai rancangan Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila, rumusan dasar negara versi Sukarno kembali mencuat. Sejarah mencatat Ir. Sukarno menyampaikan gagasannya tentang lima dasar Negara Indonesia merdeka pada tanggal 1 Juni 1945 dalam rangkaian sidang pertama BPUPKI. Lima dasar negara yang diusulkan oleh Sukarno itulah kemudian dikenal dengan nama Pancasila. Usul penamaan Pancasila ini kemudian diterima secara bulat oleh seluruh anggota sidang. Oleh karena itu, pada tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

Pancasila dan Dinamika Perumusannya   

Berikut ini rumusan dasar negara menurut Ir. Sukarno: Pertama, Kebangsaan Indonesia; kedua, Internasional atau Peri Kemanusiaan; ketiga, Mufakat atau Demokrasi; keempat, Kesejahteraan Sosial; dan kelima, Ketuhanan Yang Maha Esa

Setelah menyampaikan lima gagasan tentang dasar negara Indonesia merdeka, Ir Sukarno mengusulkan bahwa kelima sila tersebut dapat diringkas menjadi Tri Sila yang rumusannya sebagai berikut: pertama, Sosio Nasionalisme, yaitu Nasionalisme dan Internasionalisme; kedua, Sosio Demokrasi, yaitu Demokrasi dengan Kesejahteraan Rakyat, dan ketiga, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tri sila ini pun dapat diringkas lagi menjadi Eka Sila atau satu sila yang intinya adalah “gotong-royong”.

Rumusan dasar negara yang diusulkan oleh Ir. Sukarno mengandung beberapa pengertian: pertama, Kebangsaan, artinya kehendak untuk bersatu dalam satu wilayah yang luas, yaitu wilayah kesatuan dan Sabang sampai Merauke; kedua, Nasionalisme dan internasionalisme merupakan dua hal yang saling berhubungan. Berdirinya sebuah negara tidak terlepas dan Negara lain. Hubungan dengan negara lain harus berakar dalam nasionalisme; ketiga, Mufakat atau demokrasi, artinya sebuah negara dibentuk bukan untuk satu orang, melainkan didirikan untuk semua orang. Oleh karena itu, dibentuklah badan permusyawaratan perwakilan; keempat, Kesejahteraan sosial, artinya sebuah negara didirikan untuk mencapai kemakmuran bersama sehingga tidak terdapat kemiskinan; dan kelima, Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya setiap orang hams ber-Tuhan. Setiap pemeluk agama dan kepercayaannya dengan cara saling menghormati satu sama lain.

Namun, rumusan dasar negara yang diusulkan oleh Sukarno saat itu, terkesan cukup berbeda dengan Pancasila yang kita kenal saat ini. Perbedaan itu, terutama dalam hal susunan redaksi, sistematika , atau urutan sila-silanya. Pancasila yang kita kenal pada saat ini, yaitu: Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa; kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab; ketiga, Persatuan Indonesia; keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan perwakilan; dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Naskah resmi Pancasila ini baru disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, satu hari setelah Indonesia merdeka melalui rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), bersamaan dengan disahkannya UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara.

Mengapa Pancasila disahkan bersamaan dengan UUD 1945 ? Karena, naskah Pancasila tersebut terdapat dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Pengesahan UUD 1945 berarti pula pengesahan atas Pancasila sebagai dasar negara. Tanggal 1 Juni 1945 pun bukan pertama kali sebuah gagasan mengenai lima dasar negara diungkapkan. Tanggal 29 Mei 1945 pada rapat BPUPKI pula, dua hari sebelum Sukarno berpidato, Muh. Yamin pun telah mengusulkan gagasan mengenai lima dasar negara dalam pidatonya, meski tanpa menyebut secara eksplisit mengenai usulan nama Pancasila. Berikut ini adalah usulannya mengenai lima sila yang dijadikan dasar negara: pertama, 1. Peri Kebangsaan; kedua, Peri Kemanusiaan; ketiga, Peri Ketuhanan; keempat, Peri Kerakyatan; dan kelima, Kesejahteraan Rakyat.

Usai pidato, Muh. Yamin menyampaikan usulan tertulis mengenai Rancangan UUD Republik Indonesia. Dalam pembukaan Rancangan tersebut, terdapat rumusan lima asas dasar negara yang redaksinya agak berbeda dengan usulan Moh. Yamin secara lisan saat berpidato, yakni: pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa; kedua, Kebangsaan Persatuan Indonesia; ketiga, Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab; keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan dasar negara versi Muh. Yamin, hemat saya tampaknya agak lebih mendekati kemiripan dengan naskah resmi Pancasila saat ini, bila dibandingkan dengan rumusan Pancasila yang diusulkan dalam pidato Sukarno. Selanjutnya, pada tanggal 22 Juni 1945 sejumlah sembilan tokoh bangsa mengadakan pertemuan untuk membahas berbagai usulan yang muncul pada rapat BPUPKI tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945. Kesembilan tokoh itu adalah Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. AA. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Absoel Kahar Muzakir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Soebardjo, K.H. Wachid Hasyim, dan Mr. Muh. Yamin. Dari pertemuan tersebut, kesembilan tokoh berhasil menyusun sebuah piagam, yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta, yang didalamnya terdapat perumusan dan sistematika Pancasila, yaitu: pertama, Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab; ketiga, Persatuan Indonesia; keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan perwakilan; dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada sidang atau rapat kedua BPUPKI (14-16 Juli 1945), Piagam Jakarta diterima, tepatnya pada tanggal 14 Juli 1945. Akan tetapi, rumusan Pancasila yang tercantum dalam Piagam Jakarta belumlah final, dan bukan persis sama seperti rumusan Pancasila yang kita kenal saat ini. Rumusan Pancasila masih mengalami pembahasan, hingga pada rapat-rapat pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945 terbentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan Sukarno sebagai Ketua dan Moh. Hatta sebagai Wakil Ketuanya. Setelah melalui berbagai pembahasan dan negosiasi, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, atau satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara Republik Indonesia. Dalam Pembukaan UUD 1945 itulah, rumusan Pancasila tercantum dalam alinea ke-4, yang susunan redaksi, sistematika atau urutannya, sama persis dengan Pancasila yang kita kenal hingga saat ini hanya dengan tidak terteranya kalimat, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Inilah yang sering dibentur-benturkan selama Pancasila kita genggam sebagai dasar negara di negara ini. Bahkan ketika RUU HIP mencuat dalam perdebatan saat ini, lagi-lagi Pancasila vis a vis Islam. Padahal, perdebatan ini seharusnya sudah selesai. Pancasila sudah final sebagai dasar negara. Tokoh-tokoh bangsa yang terlibat dalam perumusan dasar negara juga sudah menggaransi bahwa Pancasila sebagai dasar negara tidak bertentangan dengan ajaran semua agama yang diakui di Indonesia, terutama Islam.

Relevansinya dengan cita-cita umat Islam Indonesia

Sejarah mencatat bagaimana umat Islam telah terlibat pada aktifitas yang sifatnya politis sejak era penjajahan. Berbagai gerakan dan peperangan yang dipelopori oleh Imam Bonjol dalam Perang Paderi, Pangeran Diponegoro, Perang Aceh dan lain sebagainya, dapat dijadikan indikator. Karena itu, kebijakan pemerintah Belanda seringkali tidak menguntungkan umat Islam. Penjajah Belanda sengaja membatasi kegiatan atau aktifitas umat Islam, terutama dalam bidang politik.

Aktifitas umat Islam kala itu bercirikan lokal. Hal ini karena secara politis, umat Islam masih terbelah-belah menjadi beberapa kerajaan, di samping nasionalisme yang “belum menjadi” di Indonesia kala itu. Meskipun demikian, Islam telah menjadi identitas rakyat Indonesia, untuk membedakannya  dengan orang Belanda, atau penjajah asing yang lain. Islam menjadi ikatan pemersatu, bukan saja di kalangan rakyat Indonesia, tapi juga bagi umat Islam di Asia Tenggara. Belakangan hari, muncul organisasi-organisasi nasional umat Islam seperti SDI, PERSIS, Muhammadiyah, dan NU yang turut meramaikan bursa pemimpin-pemimpin Islam. Di Jawa misalnya, keadaan ini mengondisikan pemimpin Islam mesti bersaing dengan kaum cendekiawan sekuler baru yang berpendidikan Barat, terutama dalam merebut tampuk kepemimpinan dalam bisang politik.

Keadaan ini dipicu oleh dua sebab: pertama, muslim Jawa dikelompokkan ke dalam tiga varian berdasarkan klasifikasi Geertz (1976), yaitu santri, priyayi, dan abangan. Golongan yang kedua lebih banyak menikmati pendidikan barat, baik di dalam maupun luar negeri, dan kemudian tampil sebagai tokoh politik; kedua, karena kebangkitan gerakan modern dalam Islam dan kebangkitan nasional terjadi pada waktu yang hampir bersamaan.

Abad ke-19 dan awal abad ke-20 memang ditandai dengan kebangkitan gerakan-gerakan nasional di negeri-negeri jajahan, termasuk negeri-negeri Islam. Negeri-negeri Islam sendiri masa itu juga ditandai dengan kebangkitan umat Islam dan pembaru-pembaru dalam bidang keislaman yang banyak bermunculan. Pembaruan Islam dalam bidang politik misalnya, dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani, yang terkenal dengan seruan Pan-Islamismenya. Nasution mengungkapkan bahwa Pan-Islamisme adalah sebuah gerakan yang bermaksud memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa Islam pada kemajuan. Pada aras ini, Al-Afghani mengimpikan terwujudnya persatuan di kalangan umat Islam di seluruh dunia, di bawah komando seorang pemimpin, dengan usaha memperbaiki sitem politik dalam Islam yang lebih disesuaikan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.

Bukan hanya seruan al-Afghani yang senyatanya mendapat sahutan dari organisasi-organisasi Islam di Indonesia melainkan juga sistem politik umat Islam klasik, seperti khilafah, meskipun masih sebatas simbol persatuan umat Islam sedunia. Sebagai indikator adalah timbulnya niatan mengibarkan bendera Turki pada pawai Kongres Nasional Sarikat Islam di Bandung pada 1916, didirikannya Central Committee Chilafah (CCC) pada 1924 di Surabaya dengan anggota berpuluh-puluh organisasi Islam Indonesia (Amelz tth.: 163), dan Komite Hijaz yang merupakan usaha mengimbangi CCC sebagai jawaban terhadap jatuhnya Khilafah Islamiyah di Turki  dan jawaban terhadap imbauan Raja Ibnu Saud dan Al-Azhar di Mesir.

Di sini jelas bahwa persatuan Islam yang disimbolkan dengan khilafah menjadi perhatian umat Islam dunia, terkecuali Turki dan Iran yang Syiah. Untuk memenuhi panggilan tersebut, Indonesia diwakili HM.Suja’ dan H. Abdul Karim Amrullah ke Mesir serta Mas Mansoer ke Mekah. Bahkan pada 1966 CCC resmi menjadi cabang muktamar alam Islami di Mekah dengan nama Mu’tamar Alam Islamy Far‘ul Hisdis Syarqiyah (MAIHS) yang berpusat di Surabaya.

Hingga di sini, Sukarno pada 1926 melihat bahwa gerakan Islam yang dipelopori oleh al-Afghani merupakan gerakan internasionalisme. Bagi Sukarno, gerakan Islam hakikatnya adalah  gerakan lintas bangsa. Karena itu ia menunjukkan sikap persetujuannya terhadap keikutsertaan umat Islam Indonesia dalam Muktamar Alam Islami di Mekah. Sukarno melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi di Indonesia saat itu, di mana konflik ideologis terjadi antara golongan Islam, nasionalis, dan komunis.

Karena itu, Sukarno mengharapkan agar umat Islam Indonesia dapat bergandengan tangan dengan golongan nasionalisme dan marxisme terutama dalam menantang kapitalisme dan imperialisme Barat. Himbauan itu bukan saja diperuntukkan kepada golongan Islam, tetapi juga golongan nasionalis dan marxis. Persatuan antara tiga golongan yang dikampanyekannya ini, menjadi cikal-bakal Pancasila yang dicetuskannya pada tahun 1945.

Pada 1 Juni 1945, Sukarno menyampaikan pidatonya di hadapan siding BPUPKI. Pidatonya itu berisi pandangan atau usulan seputar dasar negara, yang kemudian kita kenal dengan nama Pancasila, sebagaimana kita telah diskusikan sepintas di muka.

Pertama, Kebangsaan Indonesia. Sukarno mengatakan, “Saudara-saudara. Tetapi... tetapi... memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvimisme, sehingga berpaham ‘indonesia uber alles’. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bagian kecil daripada dunia! Ingatlah akan hal itu! Gandhi berkata, ‘Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity. Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvimisme, sebagaimana dikobar-kobarkan oleh orang di Eropa, yang mengatakan ‘Deutschland uber alles.’ Tidak ada yang setinggi Germania, yang katanya bangsa minulya, berambut jagung dan bermata biru. ‘Bangsa Aria’ dianggapnya bangsa tertinggi di atas dunia. Sedang bangsa-bangsa lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian. Tuan-tuan jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.”

Jadi jelas, bahwa prinsip kebangsaan yang dikehendaki Sukarno adalah sebuah prinsip kebangsaan yang di dalamnya terkandung wujud kecintaan pada tanah air, kepada bangsanya sendiri. Sukarno menggarisbawahi pentingnya kecintaan terhadap Indonesia tidaklah boleh menjadi batu penghalang terjalinnya persaudaraan dunia. Sukarno berpegang pada prinsip bahwa semua bangsa, apapun jenis dan warna kulit semuanya berderajat sama, setara dan sejajar. Prinsip kebangsaan yang egaliter inilah yang dimaksudkan Sukarno.

Kedua, Internasionalisme atau perikemanusiaan. Untuk ini, Sukarno mengatakan: “Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofich princip yang nomor dua, yang saya usulkan kepada tuan-tuan, yang boleh saya namakan ‘internasionalisme.’ Tetapi jika kalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika dan lain-lain. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman internasionalisme. Jadi dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.”

Pada konteks ini, Sukarno melihat prinsip internasionalisme sebagai kelanjutan dari prinsip nasionalisme. Sebab dengan prinsip nasionalisme yang dipadu dengan prinsip internasionalisme, Sukarno sedang ingin menunjukkan bahwa nasionalisme tidaklah menjadi batu penghalang terwujudnya persatuan dunia. Justru dengan nasionalismelah, maka persatuan dunia dapat diwujudkan. Kecuali itu, Sukarno juga menolak prinsip kosmopolitanisme yang menolak prinsip kebangsaan, sebagaimana yang dianut oleh orang Tionghua klasik.

Ketiga, Mufakat dan demokrasi. Tentang ini, Sukarno mengatakan: “Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara, ‘semua buat semua, semua buat satu’. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.”

Dalam kaitannya dengan prinsip ketiga ini, Sukarno menambahkan bahwa prinsip mufakat (musyawarah) merupakan peluang bagi umat Islam untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan Islam lewat wakil-wakil mereka di parlemen, apalagi mayoritas rakyat Indonesia memeluk agama Islam. Sukarno menantang para tokoh agama terutama Islam dan Kristen, dan tokoh-tokoh lain di luar kelompok keagamaan, supaya berjuang sekuat tenaga agar kepentingan mereka dapat mereka menangkan melalui mekanisme demokrasi.

Keempat,  Kesejahteraan sosial. Prinsip keempat yang ditawarkan Sukarno adalah prinsip kesejahteraan sosial, yaitu sebuah prinsip yang orientasinya agar tidak ada kemiskinan di negara yang bernama Indonesia. Pada konteks ini, Sukarno mempertegas ketidaksetujuannya dengan prinsip yang mengandalkan politieke democratie, tetapi tidak menyentuh pada economische democratie. Bagi Sukarno, politik yang demokratis hendaklah dibarengi dengan sistem ekonomi yang demokratis pula. Sukarno merasa social rechvaardigheid atau kesejahteraan sosial sebagai sesuatu yang maha penting dalam membangun Indonesia, yaitu kesejahteraab sosial yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Kelima,  Ketuhanan Yang Maha Esa. Sukarno mengatakan: “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja Bangsa Indonesia bertuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri, yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw, orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!.”

Setelah Sukarno mengusulkan lima prinsip dasar negara, selanjutnya ia mengusulkan nama bagi prinsip dasar negara yang berjumlah lima. “... Dasar-dasar negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Saya senang dengan simbolik. Simbolk angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari tangan kita lima setangan. Kita mempunyai panca indera. Apalagi yang lima bilangannya? Pandawapun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan pentunjuk teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.”

Dari lima dasar Pancasila, Sukarno kemudian mencoba mengusulkan Tri Sila, yang merupakan perasan dari Pancasila, yaitu socio-nationalism, socio-demoratie, dan ketuhanan, dan dari Tri Sila ini kemudian Sukarno juga mengusulkan Eka Sila, yaitu gotong royong. Gotong royong menurut Sukarno merupakan paham yang dinamis, lebih dinamis daripada kekeluargaan. Gotong royong menggambarkan sebuah usaha, sebuah amal, sebuah pekerjaan, sebuah karya, sebuah gawe, dan semuanya itu diselesaikan secara bersama-sama. Kata Sukarno, “ho lopis kuntul baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong.” Inilah yang kemudian menjadi bahan debat kusir di seputar RUU HIP saat ini. Padahal fakta sejarah seputar perumusan Pancasila tidak berhenti di gagasan Sukarno ini.

Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan yang dibentuk oleh BPUPKI mulai merumuskan kembali secara bersama-sama atau kolektif tentang konsep Pancasila yang diusulkan Sukarno. Mereka mendiskusikannya dengan penuh kearifan hingga dicapai sebuah kata sepakat bahwa konsep rumusan Pancasila Sukarno perlu disempurnakan sistematika (tata urutan) dan redaksional kandungannya. Pada saat itu juga, Panitia Sembilan berhasil menyusun sebuah naskah piagam yang oleh Mohammad Yamin dinamakan Piagam Jakarta, di mana dalam naskah tersebut bersepakata menetapkan Pancasila hasil rumusan mereka ditetapkan sebagai rancangan dasar dan falsafah negara Indonesia.

Adapun rumusan Pancasila yang termuat di dalam Piagam Jakarta sebagai berikut: Pertama, Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab; Ketiga, Persatuan Indonesia; Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan perjalanan waktu, kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama dari Pancasila diganti dengan “Yang Maha Esa”, suatu anak kalimat yang ketika itu disepakati oleh semua pihak.

Menurut Dahm, pendekatan Sukarno dalam merumuskan Pancasila memang bersifat sinkretis. Ia juga menyebut bahwa pidato Pancasila yang disampaikan Sukarno sebagai “ikhtisar klasik dari gagasan-gagasan politik yang telah dikumandangkan sampai tahun 1945.” Pancasila ini sebagai cara untuk membujuk golongan Islam, yang menjadi kuat selama kependudukan Jepang, untuk melepaskan cita-cita mereka mendirikan Negara Islam. Sementara Onghokham menilai bahwa pidato dan prinsip Pancasila yang menjadi rumusan Sukarno bersifat politis, yakni jalan keluar dari prinsip-prinsip agama. Dilihat dari sudut pandang ini, formula Pancasila jelas adalah kompromi, sebab para pendiri negara baru dan pembentukan negara baru merupakan sebuah tindakan politis yang harus berkompromi dengan kekuatan-kekuatan masyarakat yang ada. Barangkali berdasarkan alasan-alasan itulah maka Sukarno tidak pernah menyinggung keterkaitan antara Islam dengan Pancasila secara terang-terangan. Sukarno rupanya telah mempertimbangkan secara seksama bagaimana Pancasila dirumuskan tanpa harus bertentangan dengan norma agama.

Dalam salah satu ceramahnya, Ruslan Abdul Gani, juru bicara Manipol Usdek di zaman pemerintahan Sukarno pernah bercerita bahwa pada suatu malam sebelum 1 Juni 1945, Sukarno lebih dulu memohon petunjuk kepada Allah SWT, tentang apa yang harus ia ucapkan sehubungan dengan masalah dasar negara dalam sidang BPUPKI esok harinya. Menurut pengakuan Gani, ternyata Sukarno memperoleh petunjuk tersebut, petunjuk yang datang dari Allah SWT berupa ilham yang intinya agar Sukarno menggali dasar negara dari bumi Indonesia sendiri, menggali dar qalbunya rakyat Indonesia.

Di dalam ajaran Islam sendiri tidak dijumpai pertentangan antara Pancasila dan Islam yang pada keduanya dapat berjalan seiring. Pandangan seperti ini dapat kita jumpai dalam pemikiran para tokoh Islam seperti tokoh Islam dari Partai Masyumi yaitu M. Natsir. Natsir pernah mengemukakan dua pengertian tentang Pancasila, yang pertama ketika ia pergi ke Karachi tahun 1952. Ketika itu ia mengaitkan ajaran Pancasila dengan ajaran Al-Qur‘an. Dalam pidatonya ia menyebutkan bahwa Pancasila sesuai dengan ajaran agama Islam. Sementara yang kedua adalah pidato M. Natsir pada tahun 1954 yaitu pada saat peringatan Nuzulul Qur‘an di Jakarta. Dalam pidatonya, M. Natsir menegaskan bahwa Islam tidak berlawanan dengan Pancasila.

Dengan demikian Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Ini berarti Pancasila merupakan dasar negara yang memungkinkan umat Islam mengisinya dengan nilai-nilai Islam. Dengan Pancasila sebagai rumusan dasar negara, cita-cita umat Islam membawa Indonesia menjadi negara yang Islami mungkin saja terwujud meskipun tidak secara formal sebagai negara Islam.

Berdasarkan ini, jelas perdebatan seputar Pancasila vis a vis Islam seharusnya tidak perlu terjadi. Sudah final Pancasila sebagai dasar negara ini. Konsekuensinya, umat Islam Indonesia yang mayoritas ini hanya perlu merawatnya.*** 

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...