Monday, October 2, 2023

Lulusan Perguruan Tinggi dan Kecerdasan Sosial

Oleh: Syamsul Kurniawan

DARI sekian banyak lulusan perguruan tinggi, yang dicari oleh dunia kerja, sebutlah perusahaan biasanya adalah mereka yang tidak hanya bisa bekerja dengan baik, tetapi juga yang mampu meningkatkan kinerja perusahaan tempatnya bekerja lebih baik lagi. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu saja lulusan-lulusan perguruan tinggi, tidak hanya dituntut untuk menjadi cerdas dari sisi intelektualnya, tetapi juga sosialnya.  

Kecerdasan sosial yang dimaksud di sini adalah bagaimana kecerdasan mereka memiliki orientasi untuk berkontribusi terhadap lingkungan sosial sekitarnya. Kecerdasan sosial juga berarti adanya kemampuan untuk menghasilkan kreasi, karya, dan kontribusi nyata untuk mewujudkan lingkungan sosial sekitarnya ke arah yang lebih baik. Betul, bahwa saat ini, banyak dari lulusan-lulusan perguruan tinggi yang berprestasi di bidang akademik, namun demikian kualitas karakter mereka senyatanya belum matang untuk bersaing.[1]

Ada anggapan bahwa, modal sukses lulusan perguruan tinggi ada dua: satu, kompetensi akademik (hard skills) yang menyumbang 20 persen; dan dua, kompetensi non akademik (soft skiils) yang menyumbang 80 persen. Secara umum soft skills adalah kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal. Beberapa contoh soft skills di antaranya adalah kemampuan beradaptasi, berkomunikasi, memimpin, mengambil putusan, dan memecahkan masalah.

Berbeda dengan hard skills, soft skills ini jelas membutuhkan kecerdasan sosial. Sayangnya, pengajaran di perguruan tinggi cenderung masih berfokus pada penguatan akademis, ketimbang penguatan kecerdasan sosial ini. Bukannya penguatan akademis ini tidak penting, tetapi kemampuan non akademik berupa soft skills jelas akan menentukan level sukses mereka di dunia kerja.[2]

Peran Dosen yang Visioner?

Dalam mencetak lulusan-lulusan perguruan tinggi yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tapi juga sosial, dibutuhkan lebih banyak dosen-dosen yang visioner. Terma visioner yang dimaksudkan di sini biasanya berhubungan kemampuan dosen membaca kebutuhan masa depan dari mahasiswa-mahasiswanya. Dalam polesan kerja-kerja terukur dosen-dosen yang visioner inilah lulusan-lulusan perguruan tinggi yang cerdas intelektual dan sosialnya mungkin terwujud.

Dosen yang visioner, dalam pengertian yang sederhana sama dengan fungsi guru-guru di sekolah yang juga selayaknya visioner, berwawasan jauh ke depan, mampu menyusun strategi pencapaian dan secara berkelanjutan melakukan evaluasi terhadap kerja-kerja yang ia lakukan demi mewujudkan visinya tersebut. Kecuali itu, ia punya kemampuan untuk meyakinkan mahasiswa-mahasiswanya terhadap visinya. Dalam membangun jejaring, penting pula baginya membangun hubungan baik dengan berbagai pihak yang dibutuhkan untuk pencapaian visinya.[3]

Menjadi dosen yang visioner sangat berhubungan dengan pola pikir sekaligus tindakan yang akan ia lakukan sesuai rencananya. Dengan demikian, kerja visioner seorang dosen bukan berarti kerja serabutan melainkan kerja-kerja terukur. Kerja-kerja terukur ini dituntut untuk mampu menjawab kebutuhan mahasiswanya yang kelak menjadi lulusan-lulusan perguruan tinggi yang akan berkontestasi di dunia kerja. Mereka yang tergolong dosen visioner, terus bergerak, kreatif, dan optimistik. Dosen yang visioner adalah mereka yang proaktif, bukannya reaktif dan apalagi inaktif.

Kembali ke kerja-kerja mencetak lulusan-lulusan perguruan tinggi yang tidak hanya cerdas intelektual tapi juga sosial, seorang dosen perlu mencari terobosan-terobosan. Terkadang, mereka harus “think out the box” untuk kebutuhan ini. Sebagaimana telah diulas di atas, pangsa pasar pada hari ini membutuhkan lebih dari sekedar lulusan-lulusan perguruan tinggi yang pintar (dalam pengertian hanya sisi intelektualnya saja yang cerdas), tetapi mereka yang juga mempunyai kecepatan membangun pertemanan, jejaring dan kepercayaan (baca: kecerdasan sosial). Pemenang kontestasi di masa depan adalah mereka yang dengan kecerdasan sosialnya mampu membangun kolaborasi. Betul, bahwa masa depan dibangun di atas fondasi kolaborasi dan sinergi.***



[1] Kompas, “Menjadi Generasi Cerdas Sosial”, Kompas (Oktober 2012), p. 51.

[2] Ibid.

[3] Eva Solina, “Guru Sang Visioner”, Pontianak Post (Pontianak, 28 Sep 2019), p. 10.

No comments:

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...