Thursday, September 28, 2023

Kepemimpinan Profetik

Oleh: Syamsul Kurniawan

KEPEMIMPINAN profetik (prophetic leadership) adalah model kepemimpinan yang menerapkan kepemimpinan para Nabi, terutama Nabi Muhammad Saw. Kita semua menyetujui, bahwa setiap Nabi adalah pemimpin, dan penutup para Nabi adalah Nabi Muhammad Saw. Kepemimpinan profetik Nabi Muhammad Saw inilah yang akan didiskusikan pada tulisan ini.

Kepemimpinan profetik yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, tidak bisa dipisahkan dengan fungsi kehadirannya sebagai pemimpin spiritual dan sosial di komunitas sosial masyarakatnya. Prinsip dasar kepemimpinan profetik beliau adalah keteladanan. Dalam kepemimpinan profetiknya, Nabi Muhammad Saw mengutamakan uswatun hasanah, yaitu pemberian contoh kepada para sahabatnya yang dipimpin. Rasulullah SAW memang mempunyai kepribadian yang sangat agung untuk diteladni, seperti yang digambarkan dalam al-Qur‘an: “Dan Sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berada dalam akhlak yang agung.” (QS al-Qalam: 4).

Berdasarkan firman Allah Swt di atas, menunjukkan bahwa ia memang mempunyai kelebihan yaitu berupa akhlak yang mulia, sehingga dalam hal memimpin dan memberikan teladan memang tidak lagi diragukan. Keteladanan Nabi Muhammad Saw ini telah dijamin oleh Allah Swt melalui firman-Nya di dalam Al Qur’an yang berbunyi: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al Ahzab, 21)

Kepemimpinan profetik Nabi Muhammad SAW ini relevan diteladani oleh umatnya (yang beragama Islam) maupun di luar agama Islam. Kepemimpinan profetik yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw mengindikasikan pentingnya menumbuhkan sifat amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya bisa dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga bisa dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt.

 

Merawat esensi

Berikut adalah esensi kepemimpinan profetik, bahwa pertanggungjawaban kepemimpinan tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertikal-moral, yaitu tanggung jawab kepada Allah Swt di akhirat. Seperti sudah diuraikan sebelumnya di atas, Nabi Muhammad Saw pernah bersabda: “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya” (HR Bukhari).

Maka tanggung jawab kepemimpinan sebenarnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan, tetapi merupakan tanggung jawab sekaligus amanah yang amat berat dan harus diemban sebaik-baiknya. Hal tersebut dijelaskan dalam Al Qur‘an, yaitu:  “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji mereka dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Mukminun 8-11)

Selain dalam Al Qur‘an, Nabi Muhammad Saw juga mengingatkan dalam haditsnya agar dapat menjaga amanah kepemimpinan, sebab jika tidak hal itu akan membawa kehancuran. Penjelasan tersebut dijelaskan dalam Hadits beliau: “Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancuran. (Waktu itu) ada seorang sahabat yang bertanya, apa (indikasi) menyia-nyiakan amanah itu ya Rasul? Beliau menjawab: “Apabila suatu perkara diserahkan orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya” (HR. Bukhari).

Dari penjelasan QS al-Mukminun: 8-11 dan hadits di atas dapat diambil suatu benang merah bahwa dalam ajaran Islam seorang pemimpin harus mempunyai sifat amanah, karena seorang pemimpin akan diserahi tanggung jawab. Jika pemimpin tidak memiliki sifat amanah, tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik. Oleh karena itu, dalam perspekjtif kepemimpinan profetik, kursi kepemimpinan sebaiknya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk menguasai, tetapi justru dimaknai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus diemban sebaik-baiknya.

Selain bersifat amanah seorang pemimpin harus mempunyai sifat yang adil. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmannya sebagai berikut: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS al- Nisa’: 58)

Di ayat lainnya, disebutkan: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil Pelajaran.” (QS. al-Nahl: 90)

Berdasarkan perspektif kepemimpinan profetik, kepemimpinan adalah sebuah amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya, dengan penuh tanggung jawab, profesional dan keikhlasan. Sebagai konsekuensinya pemimpin harus mempunyai sifat amanah, profesional dan juga memiliki sifat tanggung jawab. Kepemimpinan bukan kesewenang-wenangan untuk bertindak, tetapi kewenangan melayani untuk mengayomi dan berbuat seadil-adilnya. Kepemimpinan adalah keteladanan dan kepeloporan dalam bertindak yang seadil-adilnya. Kepemimpinan semacam ini hanya akan muncul jika dilandasi dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.

Sebagai penutup tulisan ini, Nabi, Muhammad Saw adalah profil pemimpin yang layak untuk diteladani. Segala macam kualitas yang dibutuhkan untuk tampil sebagai figur kepemimpinan berhimpun pada pribadinya. Kita dapat mencatat umpamanya beberapa hal persyaratan yang telah dimiliki beliau: satu, shiddiq (jujur).

Kejujuran ini sangat melekat dalam kepribadian Nabi Muhammad Saw. Baik kepada dirinya maupun pada para sahabat-sahabatnya, ia selalu mengedepankan kejujuran. Dalam perspektif kepemimpinan profetik, sikap jujur ini hendaknya dipunyai oleh seorang pemimpin. Dua, amanah (bisa dipercaya). Karakter ini juga melekat dalam kepribadiannya. Dalam hal apapun, ia tidak pernah terlintas dalam niat dan perbuatannya untuk melakukan kecurangan. Suatu hal yang menurut penulis sangat memprihatinkan. Tiga, tabligh (menyampaikan yang benar). Nabi Muhammad Saw tidak pernah menyembunyikan informasi yang benar apalagi untuk kepentingan umat dan agama. Tidak pernah sekalipun beliau menyimpan informasi berharga hanya untuk dirinya sendiri. Empat, fathanah (cerdas). Kecuali ketiganya ini, karakteristik kepemimpinan yang melekat pada profil Nabi Muhammad Saw adalah cerdas. Dengan kecerdasannya, ia mengetahui dengan jelas apa akar permasalahan yang dia hadapi serta tindakan apa yang harus dia ambil untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada umat. Cerdas, bukan berarti “sok cerdas”. Walaupun Nabi Muhammad Saw tergolong pemimpin yang cerdas dan berwawasan yang luas, namun Nabi Muhammad Saw tidak meninggalkan musyawarah dan diskusi dengan para sahabatnya dalam memutuskan suatu perkara yang rumit. Bahkan lebih dari itu, terkadang ide orang lain bahkan ide musuh-musunya kalau dianggap baik beliau mengambilnya.

Berkaitan dengan kecerdasan Nabi Muhammad Saw, ada satu cerita tentangnya yang relevan untuk saya kemukakan. Diceritakan dalam sejarah Islam, suatu ketika bangsa Quraisy berselisih tentang siapa yang mendapatkan kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya. Mereka berselisih sampai empat atau lima hari. Perselisihan ini bahkan hampir menyebabkan pertumpahan darah. Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi kemudian memberikan saran kepada mereka agar menyerahkan keputusan kepada orang yang pertama kali lewat pintu masjid. Bangsa Quraisy pun menyetujui ide ini. Allah SWT kemudian menakdirkan bahwa orang yang pertama kali lewat pintu masjid adalah Nabi Muhammad SAW. Orang-orang Quraisy pun ridha dengan diri beliau sebagai penentu keputusan dalam permasalahan tersebut. Nabi Muhammad SAW pun kemudian menyarankan suatu jalan keluar yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka. Bagaimana jalan keluarnya? Beliau mengambil selembar selendang. Kemudian Hajar Aswad itu diletakkan di tengah-tengah selendang tersebut. Beliau lalu meminta seluruh pemuka kabilah yang berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang itu. Mereka kemudian mengangkat Hajar Aswad itu bersama-sama. Setelah mendekati tempatnya, Rasulullah SAW-lah yang kemudian meletakkan Hajar Aswad tersebut. Ini merupakan jalan keluar yang terbaik. Seluruh kabilah setuju dan meridhai jalan keluar ini. Mereka pun tidak jadi saling menumpahkan darah.

Dengan empat karakteristik di atas, kita jadi mengerti kenapa seorang Nabi Muhammad Saw yang ummi (tidak bisa membaca) mampu menjadi seorang Nabi, Rasul, kepala keluarga, ayah, suami, imam shalat, pimpinan umat, pimpinan perang menjadi sangat sukses dalam setiap hal yang beliau geluti. Empat karakteristik kepemimpinan ini barangkali menjadi sesuatu yang sekarang sangat langka, di negeri muslim sekalipun (termasuk: Indonesia).

 

Dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah

Modal kepemimpinan profetik ini akan mengantarkannya pada tipikal pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah sebagaimana yang diperankan Nabi Muhammad Saw. Kemampuan menyelesaikan masalah (problem solving) ini, menjadi bagian penting di dalam kepemimpinan profetik, yaitu sebuah keterampilan berbentuk soft skill (keterampilan lunak) dalam menyelesaikan masalah, yang pada umumnya bisa didapat dari banyaknya “jam terbang” seseorang dalam memimpin, ditambah dengan kematangan pemahamannya tentang manajemen resiko yang terintegrasi dengan hard skill (keterampilan keras)nya. Namun yang jadi persoalan utama di sini bukanlah bagaimana teori memecahkan masalah itu sendiri. Akan tetapi, adalah memahami apa sih sesungguh-nya yang dinamakan dengan problem (masalah)?.

Secara sederhana dapat kita pahami, masalah adalah jarak yang membentang antara keadaan sekarang dengan tujuan yang hendak dicapai.  Semakin jauh jarak antara “keadaan sekarang” dengan “tujuan yang hendak dicapai”, itu artinya semakin banyak pula permasalahan yang sedang dihadapi. Dalam memecahkan masalah (to solve the problem), seorang pimpinan yang arif dan bijaksana, biasanya akan menggunakan langkah-langkah antara lain sebagai berikut: satu, memahami masalah dan menentukan tujuan; dua, mengumpulkan informasi yang relevan; tiga, mengidentifikasi alternatif-alternatif solusi yang layak dan membuat estimasi yang realistis; empat, merumuskan kegiatan-kegiatan yang akan ditempuh dalam menyelesaikan masalah; lima, mengevaluasi setiap alternatif dengan menggunakan analisis sensitivitas untuk meningkatkan akurasi; enam, memilih alternatif terbaik; tujuh, mengimplementasikan solusi dan kemudian memonitoring hasilnya.

Dalam mendefinisikan masalah, seorang pimpinan, apakah itu Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati, Anggota Dewan, dan seterusnya perlu memahami bagaimana bergerak mengatasi masalah dari tingkat sistem ke subsistem dan menganalisis bagian-bagian sistem menurut suatu urutan masalah tertentu. Dalam memecahkan masalah ini, seorang pimpinan mengidentifikasi berbagai solusi altenatif, mengevaluasinya, memilih yang terbaik, menerapkannya, dan membuat tindak lanjut untuk memastikan bahwa solusi itu berjalan sebagai mana mestinya. Dalam perspektif kepemimpinan profetik, kesemuanya dilakukan dengan adanya komitmen pertanggungjawaban yang sifatnya tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertikal-moral, yaitu tanggung jawab kepada Allah Swt di akhirat.

Di tahun politik ini, kita tentu mendamba munculnya profil-profil pemimpin yang memiliki karakteristik kepemimpinan profetik selayaknya Nabi Muhammad Saw. Walaupun tidak sesempurna Nabi Saw, namun setidaknya rekam jejaknya mencontohkan semua perbuatan baik, dan padanya berhimpun komitmen untuk selalu menjauhkan diri dari melakukan perbuatan buruk.***

Wednesday, September 27, 2023

Penguatan Moderasi Beragama di Madrasah: Support Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Madrasah yang Dibutuhkan

Oleh: Syamsul Kurniawan 

SEHUBUNGAN dengan optimalisasi kebijakan pro penguatan moderasi beragama di madrasah, diperlukan kerja-kerja manajemen yang baik dan support kepemimpinan kepala madrasah. Mengapa demikian? Fokus tulisan ini adalah seputar penguatan moderasi beragama di madrasah, dan seberapa dibutuhkannya support manajemen dan kepemimpinan kepala madrasah untuk mewujudkannya.

Support Manajemen yang Dibutuhkan

Dengan manajemen yang baik, peluang sesuatu dikerjakan dengan baik lebih besar. Sebabnya karena, manajemen yang baik membuka peluang terjadinya kerjasama yang baik pula dalam pencapaian tujuan.[1]

Joseph L. Massie dalam bukunya Essential of Management mentengarai bahwa kerja manajemen amat beririsan dengan proses di mana suatu kelompok secara bersama-sama membangun kerjasama, mengarah tindakan ke arah pencapaian tujuan bersama. Proses yang dimaksudkan di sini mencakup apapun kerja-kerja teknis yang digunakan pimpinan selaku manajerial, untuk mengkoordinasikan kegiatan dan orang-orang dalam terwujudnya tujuan bersama.[2] Mereka yang mengelola semuanya ini, menjalankan fungsi-fungsi manajerial.[3]

Dalam konteks mengoptimalkan kebijakan-kebijakan pro penguatan moderasi beragama di madrasah, manajemen diperlukan untuk menjaga proses dengan memaksimalkan pemanfaatan seluruh sumber daya yang tersedia, baik dalam pengertian orang-orang yang bekerja untuk ini, pendanaan atau sumber keuangan, perangkat kerja, dan/atau termasuk pula di dalamnya teknologi, metode dan bahan-bahan yang tersedia dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Dalam Islam, kerja-kerja manajerial yang diharapkan optimal, mesti berlandaskan niat tulus untuk mendapatkan ridha Allah Swt, dan tujuan-tujuan yang selayaknya juga diridhainya. Sebab itu, tidak diperkenankan, fungsi-fungsi manajemen dibangun dari prinsip-prinsip yang berseberangan dengan akidah, syariah, dan akhlak dalam Islam.[4] Kerja-kerja manajerial untuk kebijakan yang pro penguatan moderasi beragama di madrasah keagamaan Islam tentu tidak akan menyimpang dari prinsip yang asasi ini, dan bahkan justru sangat sejalan.

Seperti disinggung oleh Lukman Hakim Saifuddin, moderasi beragama sama sekali bukan mendangkalkan kualitas beragama atau menjauhkan umat dari agamanya. Sebaliknya moderasi beragama justru meningkatkan kualitas beragama dengan mengusahakan internalisasi inti pokok ajaran agama secara utuh dengan disertai sikap menghargai keragaman keyakinan dan tafsir keagamaan. Internalisasi inti pokok ajaran agama ini dimaksudkan supaya agama senantiasa menjadi landasan spiritual, moral, dan etika dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara penghargaan terhadap keragaman beragama dalam konteks Indonesia ditujukan untuk mendorong kehidupan keagamaan yang moderat demi memperkuat komitmen kebangsaan. Moderasi beragama akan membuka umat lebih dekat dengan Tuhan sekaligus lebih erat dengan sesama.[5] Hal ini tentu positif, dan kerja-kerja manajerial untuk hal ini tentu sama sekali tidak dengan akidah, syariah, dan akhlak dalam Islam.

Support Kepemimpinan yang Dibutuhkan

Untuk optimalisasi kerja-kerja manajerial terhadap kebijakan-kebijakan yang pro penguatan moderasi beragama di madrasah, tidak hanya diperlukan support manajemen yang baik, tetapi juga dibutuhkan sosok kepala madrasah yang memiliki jiwa kepemimpinan yang support terhadap hal ini.

Kata kepemimpinan, akar katanya adalah “pemimpin”, yang berarti suatu keadaan memberikan arahan, bimbingan, perintah kepada orang lain dalam memilih dan/atau melakukan kerja-kerja untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Moh. Haitami Salim yang mengutip Tannabaum, Weschler, dan Nassarick, kepemimpinan adalah kemampuan memberi pengaruh, terhadap orang lain, dalam situasi tertentu, melalui interaksi dan komunikasi langsung, untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. Hal ini berarti pula, kepemimpinan adalah kemampuan menbujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama.[6] Berdasarkan ini, maka ada tiga indikator dari kepemimpinan, dan ini penting dalam mendorong kebijakan-kebijakan yang pro penguatan moderasi beragama: satu, kepemimpinan berhubungan dengan konsep tentang relasi; dua, kepemimpinan bermakna adanya proses; dan tiga, kepemimpinan berarti mempengaruhi orang lain untuk mengambil suatu tindakan berdasarkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.[7]

Sayangnya, kebijakan-kebijakan yang pro penguatan moderasi beragama di madrasah seringkali “mentah” dan tidak optimal hasil pencapaiannya, disebabkan oleh motivasi dari pemimpin itu sendiri, yang seringkali tidak tulus. Hal ini bisa dipahami, sebab secara umum, orang menjadi pemimpin dengan dua motivasi utama: satu, ingin mendapatkan sesuatu (misalnya fasilitas, tunjangan, dan sebagainya); dan dua, ingin memberikan sesuatu atau dengan kata lain melayani/ mengabdi. Selama ini tidak kontraproduktig, menurut penulis “sah-sah”saja. Namun akan menjadi masalah, manakala ini mempengaruhi optimalisasi pencapaian tujuan, yang dalam hal ini penguatan moderasi beragama di madrasah.

Kaitan dengan ini, kepala madrasah selayaknya membangun kepemimpinannya dengan berprinsip SERVE. SERVE yang dimaksudkan di sini, tidak saja bermakna “melayani” (dalam konotasinya yang positif) tetapi juga merupakan akronim dari: S (see the future), E (engange and develop others), R (reinvet continuously), V (value results and relationship), dan E (embody the value).***



[1] Moh. Haitami Salim, “Manajemen Kepemimpinan dalam Islam: Upaya Meningkatkan Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah”, Makalah, disampaikan pada Halaqah Kepala Madrasah Diniyah Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Barat, tanggal 29 Maret 2012 di Asrama Haji Pontianak, hlm. 1.

[2] Joseph L. Massie, Essential of Management (Englewood Cliffs, N.J, Printice Hall, Inc., 1987), hlm. 3.

[3] Moh. Haitami Salim, “Manajemen Kepemimpinan dalam Islam, hlm. 1.  

[4] Fuad Rumi, dkk. Manajemen dalam Islam (Ujung Pandang: LSI Universitas Muslim Indonesia, 1994), 14.

[5] Lukman Hakim Saifuddin, Moderasi Beragama: Tanggapan Atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2023), hlm. 20

[6] Moh. Haitami Salim, “Manajemen Kepemimpinan dalam Islam, hlm. 2-3.  

[7] Ibid, hlm. 3.  

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...