Tuesday, April 20, 2021

Kartini dan Budaya Literasi yang Dicitakannya

Oleh: Syamsul Kurniawan

Hari ini, di Indonesia, hampir dipastikan tidak ada yang tidak mengenal sosok Kartini. Seorang anak di bangku sekolah atau pernah mengenyam sekolah, paling tidak pernah menghapal lagu “ibu kita Kartini”. Atau, paling tidak di tiap tanggal 21 April – peringatan Hari Kartini – siswi-siswi dan guru-guru berkebaya mengenang sosok tersebut.

Lantas, sebenarnya apa yang membuat Kartini begitu menyejarah? Sebagian menjawab, karena ia pahlawan. Pertanyaannya, “apakah Kartini mengangkat senjata dan berperang dalam rangka mengusir penjajah di negeri ini?”. Tentu tidak. Kartini bukanlah Cut Nyak Dien, Cut Meutia atau pahlawan-pahlawan dari kalangan perempuan lainnya. Kartini tidak berjuang dengan cara seperti itu.

Semua kita tentu setuju, Kartini memperjuangkan emansipasi perempuan untuk Indonesia tanpa diskriminasi. Tidak dengan mengangkat senjata, tetapi melalui tulisan-tulisannya yang berupa surat, yang dikirimkan kepada sahabat penanya (orang Belanda). Perjuangan Kartini bukan pula sebatas memperjuangkan bagaimana anak-anak perempuan bisa bersekolah. Kartini juga mewariskan sebuah ajaran tentang pentingnya budaya literasi.

Habis Gelap Terbitlah Terang

“Habis Gelap Terbitlah Terang”, - demikian judul sebuah buku – yang sejatinya adalah kumpulan surat-surat Kartini pada sahabatnya. Lebih merupakan catatan harian seorang gadis muda dan sekaligus catatan sejarah Indonesia terutama Jawa pada masa itu. Apa yang membedakan remaja putri seusia Kartini pada saat sekarang?.

Remaja-remaja putri seusia Kartini pada hari ini tidak lagi menulis dan menerima surat.Bahkan, tidak lagi banyak remaja-remaja putri sekarang yang menulis curhatnya di buku catatan harian, karena lebih memilih menulis “status” atau “curhat” mereka di twitter, facebook, dan media sosial lainnya. Ini tidak salah. Zaman telah berubah. Teknologi juga semakin maju dari hari ke hari. Sulit, mengharapkan seseorang pada hari ini lebih memilih menulis dengan tinta dan kertas, sementara ada komputer atau internet yang lebih mempermudah mereka dalam mengetik atau menulis.

Tidak apa-apa!. Medianya bisa saja bebeda, karena yang terpenting adalah bagaimana semangat berbagi pengalaman, pengetahuan, bahkan perasaan itu dapat disampaikan melalui tulisan. Tentu itu tak dapat dilakukan dengan sekadar menulis satu atau setengah kalimat status. Mengapa tidak menuliskan 3 atau 4 alinea? Dalam setahun, status di twitter, facebook atau yang lain akan memiliki sebuah cerita panjang, yang mungkin bisa menjadi novel fiksi, renungan evaluasi akhir tahun, kumpulan kisah berhikmah, dan sebagainya. Sama seperti surat-surat Kartini yang menjelma menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Syukurlah kita tidak hidup di zaman, di mana buku-buku dibakar atau dibuang, seperti yang pernah dilakukan tentara mongol pada perpustakaan agung Baghdad pada masa lampau. Diceritakan oleh sejarah, tentang bagaimana Perpustakaan Agung Baghdad, yang menyimpan banyak sekali dokumen sejarah dan buku yang sangat berharga dalam berbagai bidang mulai dari pengobatan sampai astronomi, dihancurkan. Orang-orang yang selamat melaporkan bahwa air sungai Tigris menjadi hitam akibat tinta dari banyak sekali buku yang dibuang ke sungai itu dan juga menjadi merah akibat darah dari para ilmuwan dan filsuf yang dibunuh di sana. Dapatkah Anda membayangkan hidup pada masa ini?. Zaman ketika buku-buku dianggap sebagai racun dan selanjutnya dimusnahkan?.

Syukurlah kita tidak hidup di zaman ini. Hari ini, perayaan Kartini harusnya tidak hanya perayaan tentang emansipasi atau perayaan berkebaya sebagaimana yang nampak dalam perayaan Hari Kartini dari tahun ke tahun. Lebih dari itu, Hari Kartini adalah perayaan tentang literasi. Ketika menyadari hal ini, harusnya, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan literasi marak juga diadakan, seperti beramai-ramai mengunjungi perpustakaan, kompetisi menulis surat, lomba meresensi atau menulis, dan lain-lain.

Hari ini, gairah “baca tulis” seperti barang langka. Dalam beberapa kesempatan penulis bertanya pada beberapa mahasiswa penulis, - sebagian di antaranya perempuan – tidak banyak di antara mereka yang terbiasa membaca buku di tiap harinya. Berbanding terbalik dengan jumlah mereka yang menulis status, terutama di facebook dan bbm. Wajarlah, jika perpustakaan nampak sepi karena kurang peminat. Padahal, ada korelasi antara kemampuan menulis seseorang dengan minat seorang membaca. Karena, sulit bagi seseorang menuangkan gagasan-gagasannya sementara di otaknya tidak punya cukup wawasan. Wawasan ini tentu saja di antaranya bisa diperoleh dari kesediannya meluangkan waktu untuk membaca buku. Mengutip Hernowo, “Penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik”.

Kartini sendiri adalah pembaca dan penulis yang baik. Melaluinya, bangsa ini – terutama kaum perempuan – harusnya dapat belajar tentang pentingnya membudayakan literasi. “Buku ibarat jendela dunia”, demikian pepatah mengatakan. Memang benar, perpindahan pengetahuan dari seorang ahli kepada orang awam adalah melalui buku. Seseorang yang banyak membaca berarti ilmu pengetahuan yang dimiliki juga akan semakin luas. Seorang guru yang malas membaca pengetahuan yang dimiliki juga akan sempit. Sebaliknya yang gemar membaca membuat mereka memiliki cakrawala berpikir yang luas. Tanpa buku, seseorang tidak akan dapat mengerti lebih jauh tentang ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah karya tulis, buku mampu menjaga pemikiran ataupun pesan-pesan tertentu hingga akhir hayat. 

Mengenang Kartini sambil merayakannya dengan membaca dan menulis tentu sangat positif. Semoga semakin banyak anak muda tergerak untuk menulis dan menerbitkan karya-karyanya, belajar dari seorang Kartini. Dengan begitu, penulis yakin, “Habis Gelap Terbitlah Terang” sebagaimana diandaikan Kartini betuk-betul terwujud.***

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...