Thursday, October 22, 2020

Pendidikan Pesantren, Santri dan Jaminan Kesehatan Saat Pandemi

Oleh: Syamsul Kurniawan

Manajemen pada pendidikan pesantren menjadi salah satu hal yang penting karena menjadi acuan dalam menentukan materi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, serta sebagai tolak ukur keberhasilan/ kualitas pendidikan. Termasuk di masa pandemi ini. Apalagi di tengah pandemi ini, pesantren (terutama bagi pesantren-pesantren tradisional dan salafi) yang ada di zona mereha covid-19 mengalami dilema, antara tetap konsisten dengan model pendidikan tradisional kepondokannya, atau beradaptasi ke model pendidikan dalam jaringan (daring) yang lebih relevan. Dan dalam konteks ini, jelas jika pertimbangannya adalah keselamatan santri-santri sehingga tidak terpapar covid-19, model pendidikan dalam jaringan (daring) menemukan relevansinya, meskipun banyak pihak yang akan merasa kuota dan sinyal sebagai kendalanya. Sekali lagi, manajemen pendidikan pesantren harus dipikirkan dan dievaluasi kembali di tengah pandemi covid-19 ini. Pertimbangan kesehatan santri-santri juga adalah suatu hal yang penting. Hal ini tidak boleh disepelekan. Apalagi ini sangat sesuai dengan tema Hari Santri, 22 Oktober 2020 saat ini, “Santri Sehat, Indonesia Kuat”.

Tetapi tentu saja ini tidaklah mudah. Dapat dimafhumi, kendalanya bisa datang dari pihak internal pesantren itu sendiri. Sistem sosial pesantren dengan sistem mondoknya dan pemeliharaan unsur-unsur pesantren telah sedemikian mapan. Prasyarat sebuah sistem sosial mencapai kemapanannya, oleh Talcott Parsons dikatakan karena memenuhi prasyarat adaptasi (adaptation), mekanisme pencapaian tujuan yang jelas (goal attainment), unsur-unsur kelembagaan yang terintegrasi (integration), dan pola-pola yang dirawat dan diperkuat (latency). Kecenderungan ini diamini oleh Nurchalish Madjid. Bahwa kata Nurchalish Madjid, hal itu dapat dilihat dari proses pembelajaran atau praktik belajar mengajar di pesantren. Sejak dulu sebagian pesantren di Indonesia telah mempertahankan karakteristik ketradisionalannya, mempunyai tujuan, dan biasanya dirumuskan oleh kiai selaku pembimbing pertama dan key person di pesantren.

Tantangan yang akan dihadapi
Pesantren pada hari ini dihadapkan pada banyak tantangan dalam banyak hal, terutama karena persoalan pandemi. Apalagi, kasus covid-19 yang ada mengalami kenaikan signifikan. Karena itu ada dua pilihan bagi pesantren di tengah pandemi ini: pertama, apakah mengikuti atau mempertahankan sistem yang telah mengakar, dan ini berarti penerapan protokol kesehatan yang ketat; dan kedua, mencoba melakukan pembaruan pesantren dengan cara melakukan inovasi-inovasi yang lebih relevan seturut kebutuhan masa pandemi covid-19.

Jika pilihan yang nomor dua yang dipilih, bukan berarti pesantren harus mencerabut dari karakter ketradisionalannya. Ini hanya persoalan tentang bagaimana “memindahkan ruang” saja; dari lingkungan pondok sebagai “ruang lama yang luring” ke “ruang digital yang daring”. Sistem pengajaran yang berpusat pada kiai tidak mesti ditinggalkan. Kiai-kiai dan santri-santri hanya perlu beradaptasi dengan model interaksi dalam jaringan. Metode sorogan dan bandongan tetap bisa diterapkan, hanya dengan wadah baru, yaitu daring.

Berpindahnya wadah dari luring ke daring, memang tidak seharusnya mencerabut pesantren dari peran tradisionalnya sebagai lembaga yang banyak bergerak di bidang pendidikan Islam, terutama dalam perannya sebagai lembaga tafaqquh fi al-din. Karena itu di tengah pandemi ini, para ahli pendidikan atau pratisi pendidikan pesantren sebaiknya memikirkan untuk merancang model pendidikan daring yang dapat memperkaya sekaligus mendukung upaya transmisi khazanah pengetahuan Islam tradisional seperti yang dimuat di kitab kuning dan melebarkan jangkauan pelayanan pesantren terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat terutama di bidang pendidkan formal. Dengan ungkapan lain, proses perubahan seperti yang telah dijelaskan di atas, merupakan salah satu bentuk modernisasi pesantren sebagai lembaga pendidikan maupun lembaga sosial yang relevan dengan kebutuhan di tengah masa pandemi ini.
Dalam suatu proses perubahan di tengah pandemi ini, pesantren memang tengah dihadapkan pada keharusan merumuskan kembali sistem pendidikan yang diselenggarakan. Sementara di lain pihak, ia juga harus bersedia membuka diri terhadap sistem pendidikan modern yang bersumber dari luar pesantren.

Tantangan bagi pesantren di masa pandemi ini berkaitan dengan kebijakan-kebijakan strategis, yang jika dirinci seperti: pertama, bagaimana pesantren sebagai lembaga dakwah harus mampu menempatkan dirinya sebagai transformator, motivator, dan pelopor bagi masyarakat dalam pemutusan mata rantai penularan covid-19. Maksudnya ialah bahwa pesantren bisa mentransferkan ilmu, memberikan motivasi, serta mempelopori, minimal pada santri-santri mereka tentang pentingnya menerapkan protokol kesehatan yang ketat untuk memutus mata rantai penularan covid-19 di tengah-tengah masyarakat. Ada fiqh pandemi yang bisa dijadikan acuan, dan pastinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Jika pesantren tetap berpikir dengan pola pikir ketradisionalannya, dikhawatirkan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat, sehingga secara tidak langsung, masyarakat lambat laun akan meninggalkan pesantren.

Kedua, pesantren sebagai lembaga pengkaderan ulama dituntut agar dapat menciptakan lulusannya mempunyai kebutuhan analitis dan antisipatif di tengah pandemi ini. Maksudnya output pesantren hendaknya dapat memberikan contoh tentang bagaimana seseorang yang harus berpikiran luas dan siap menerima konsekuensi perubahan. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan pihak pesantren, jika pesantren bersikeras.

Ketiga, sebagai lembaga ilmu pengetahuan, pesantren dituntut agar secara bertahap dan sistematis dapat mengembalikan Islam sebagai agen ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu medis dan kesehatan, sebagaimana zaman sebelum agen keilmuan dipegang oleh bangsa Barat. Seperti dapat dimafhumi, dulu, banyak pemikir-pemikir Islam seumpama Abū Bakar Muhammad bin Zakariyya al-Razi (854–925 M), Abu Ali Ibnu Sina (980 –1037), Hasan Ibn Al-Haytham (965 – 1040), Abū al-Qāsim Khalaf ibn al-‘Abbās al-Zahrāwī (936–1013 M), dll yang mereka merupakan pemikir-pemikir yang pemikirannya banyak dijadikan sebagai referensi keilmuan baik di barat maupun di timur, termasuk di bidang medis dan ilmu kesehatan.

Keempat, pesantren sebagai lembaga pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat industri. Pesantren dituntut mampu menciptakan, menghasilkan serta membangun dan ikut andil dalam perekonomian. Hal ini tentu saja akan memperbaiki citra pesantren yang dianggap sebagai lembaga yang hanya menghasilkan calon-calon ulama, sementara dalam hidup bermasyarakat ini kita masih mempunyai kebutuhan lain. Dengan terbiasanya santri-santri dengan model aktifitas yang melibatkan media baru (new media), ini tentu akan membuka peluang kerja baru bagi mereka yang sejalan dengan kebutuhan zaman.

Peluang Untuk Berinovasi
Sejalan perkembangan zaman/ perkembangan dunia akibat dampak pandemi, pesantren tentu juga dihadapkan pada beberapa perubahan sosial budaya yang tak terelakkan. Sebagai konsekuensi logis dari perkembangan ini, pesantren harus dapat memberikan respons yang mutualistik. Untuk itu pesantren hendaknya melakukan upaya-upaya inovasi dengan cara:

Pertama, Memperbaiki metode pendidikan pesantren. Metode yang diterapkan pesantren selama ini kelihatannya menggunakan metode induksi. Pesantren mengembangkan kajian-kajian partikuler, khususnya fikih dan berbagai tradisi praktis lainnya untuk menjawab kebutuhan di tengah pandemi ini.Setelah penguasaan memadai, barulah merambah wilayah kajian yang menjadi alat bantu dalam memahami ajaran dasar. Hasilnya akan berbeda bila metodenya lebih difokuskan pada penggunaan metode deduksi, yaitu mengembangkan kajian yang menjadi alat bantu dalam memahami ajaran dasar terlebih dahulu, dan kemudian diimplementasikan dalam kajian partikuler dan fikih pandemi, dan perkembangan dinamika modern.

Kedua, memperbaiki kurikulum pendidikan pesantren. Kurikulum yang ada di pesantren hendaknya berorientasi kepada kebutuhan aktual masyarakat dan masa depan santri. Hal ini sesuai dengan tuntutan zaman modern yang mementingkan prestasi bukan prestise. Hal ini tentu bukan bermaksud, agar pesantren mengubah semua sistemnya yang telah mapan, tetapi lebih meningkatkan sistem yang telah ada sehingga relevan dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, Memperbaiki manajemen pendidikan pesantren. Hal ini telah disinggung saya di muka. Hal ini penting mengingat proses keberhasilan sistem pendidikan pesantren sangat dipengaruhi oleh penataan manajerialnya. Menurut Mastuhu, sedikitnya perlu ada tujuh perubahan yang hendaknya dikembangkan dalam manajemen pada pendidikan pesantren. Perubahan yang dimaksud adalah: (a) mengubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar memecahkan masalah. Maksudnya, pesantren yang sejak dulu menerapkan sistem belajar-mengajar yang ditetapkan menurut kebijakan kiyai seperti pengajaran kitab klasik, hendaknya mengubah sistem tersebut dengan mempertimbangkan banyak masalah yang harus dipecahkan oleh generasi muda; (b) pesantren diharapkan tidak tinggal diam atau menjadi sesuatu yang pasif, tapi ikut andil memecahkan masalah tersebut; (c) mengubah sistem dari hapalan ke dialog. Maksudnya, sistem pesantren yang hendak digunakan janganlah monoton. Hal ini diharapkan agar santri tidak hanya mengetahui apa-apa yang hanya disampaikan kiyai, tapi lebih aktif mencari dan progresif dalam menuntut ilmu; (d) menerapkan sistem belajar kepada santri dari yang pasif ke yang aktif. Hal ini relevan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang selalu mengalami perubahan, yang sekarang ini telah menerapkan sistem cara belajar aktif. Metode ini akan menjadikan wawasan santri tidak hanya pandai menerima, tapi mampu memberikan wawasan dan lebih bersifat membiasakan mereka menjadi lebih ingin tahu tentang suatu hal yang baru; (e) dari mekanis menjadi kreatif, maksudnya dari yang sistemnya hanya menerapkan apa yang sudah digariskan menjadi suatu sistem yang lebih kreatif dalam mencari, mengembangkan, dan menghasilkan sesuatu yang lebih inovatif; (f) dari strategi penguasaan materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi yang kuat. Penguasaan materi pembelajaran yang banyak dianggap kurang berhasil, oleh sebab belum mampu menghasilkan output yang mampu menggerakkan/melaksanakan, serta mampu berbaur dengan masyarakat; (g) dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima ilmu dalam dimensi proses. Maksudnya, ilmu yang diberikan hendaknya mampu menjadikan santri lebih meningkat kualitasnya (dalam artian mengalami perubahan) ke arah yang lebih baik. Tentu hal ini tidak lepas dari proses-proses yang dilakukan, karena suatu pendidikan yang baik harus mampu mengubah santri mulai dari proses. Keuntungan mengetahui perkembangan santri mulai dari proses pastinya memudahkan dalam perbaikan peserta didik. Kedelapan, fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, tetapi mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan. Seperti yang kita tahu, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang lebih menekankan pada pembentukan kepribadian muslim, dan harus mampu mengoptimalkan tujuan dasar tersebut, karena santri yang berakhlak adalah santri yang mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Perbaikan manajemen pendidikan pesantren ini hemat saya semestinya relevan dengan kebutuhan di tengah pandemi.

Keempat, Memperbaiki sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana sangat menentukan dalam pencapaian tujuan yang diinginkan, sehingga perlu diprioritaskan dan diisyaratkan agar terpenuhi sarana dan prasarana. Mungkin hal ini lebih dimaksudkan agar masyarakat dapat melihat bahwa pesantren dapat menyediakan fasilitas sesuai dengan apa yang mereka butuhkan sekarang. Termasuk penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung kebutuhan model pembelajaran daring di tengah pandemi.

Mungkinkah? Tentu saja, bukan soal mungkin atau tidak, karena hemat saya perbaikan-perbaikan ini mungkin-mungkin saja sebagai bentuk inovasi. Hanya saja, berani atau tidak pihak pesantren keluar dari zona nyaman mereka selama ini?***

Masa Depan Pesantren

Oleh: Syamsul Kurniawan Mencermati tren yang ada sekarang, nampaknya sebagian besar anak-anak usia sekolah lebih cenderung memilih sekolah...