Sunday, December 6, 2020

Jangan Berakhir Distopia!

Oleh: Syamsul Kurniawan

Pilkada yang akan tetap digelar di tengah pandemi covid-19 pada 9 Desember 2020 menuai kritik. Pasalnya, momen sebelum dan saat Pilkada jelas potensial memancing terjadinya kerumunan. Sementara kerumunan disebut-sebut rentan menaikkan angka kasus covid-19 di Indonesia. Karena itulah di tengah-tengah masyarakat berkembang opini yang mempertanyakan komitmen Negara terhadap penanganan pandemi.

Sebagaimana kluster-kluster covid-19 dari aksi demonstrasi, acara resepsi pernikahan, konser, acara seremonial keagamaan, dan lain-lain, pilkadapun jelas rentan menjadi kluster covid-19 karena potensial membuat masyarakat berkerumun. Tetapi Negara konon telah menyiapkan mekanisme protokol kesehatan covid-19 yang membuat pilkada pada 9 Desember 2020 berlangsung lancar tanpa resiko terpapar covid-19.

Selera Kekuasaan

Dalam konteks ini saya tidak begitu sependapat dengan keyakinan sebagian politisi, soal tidak adanya potensi pilkada besok menjadi kluster. Tetapi, saya juga bisa memafhumi bahwa benar atau tidaknya, tepat atau tidaknya menggelar pilkada di tengah pandemi ini sangat berhubungan dengan apa yang disebut Michel Foucault dengan faktor ‘kekuasaan’. Kekuasaan yang dimiliki oleh Negara bisa mendominasi kebenaran, dan ia bisa ada di mana-mana, karena menurut Foucault Negara dapat mengkondisikan dan bahkan mewajibkan semua orang untuk mematuhinya. Namun menurut Foucault, kekuasaan adalah salah satu dimensi dengan relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan. (Bertens, 2001, p. 319) Dalam konteks ini, kebijakan tentang digelarnya Pilkada jelas telah merupakan konsensus dari banyak aktor yang memegang kekuasaan, terutama di ranah politik praktis; antara penyelenggara negara dan para politikus.

Begitulah cara kerjanya kekuasaan. Di zaman Yunani kuno, para filsuf juga menyadari betapa kekuasaan berhubungan dengan klaim kebaikan, kebajikan, keadilan, dan kebebasan. Karena itulah menurut Foucault, benar atau tidaknya, tepat atau tidaknya suatu klaim, semuanya bisa dilacak dan tidak ada yang ahistoris. Maka benar atau tidaknya ‘kerumunan’ apapun konteksnya, apakah karena aksi demonstrasi, resepsi pernikahan, konser, acara seremonial keagamaan, dan lain-lain termasuk pilkada, interpretasi akan hal itu penentu akhirnya ada di tangan pemegang ‘kekuasaan’.

Misalnya, Foucault mencontohkan bagaimana klaim seorang dokter atas sebab-sebab seseorang sakit, kemungkinan tertular dan bagaimana menanganinya ini menurut Foucault juga tidak ada yang netral. Pandangan seorang dokter mengenai hal ini sungguh sangat dipegaruhi oleh pengetahuan yang ia miliki, latar belakang pendidikannya, organisasi yang ia masuki, relasinya, dan seterusnya. (Bertens, 2001, p. 310) Bukan tidak mungkin, Negara punya andil terhadap berbagai simpulan-simpulan mereka. Jika, para dokter dan ilmuan di dunia kesehatan di masa pandemi ini sepakat bahwa kerumunan bisa potensial untuk menjadi kluster covid-19 dan menaikkan angka kasus covid-19, maka simpulan-simpulan mereka ini bisa saja disertai pengecualian, misalnya: diperkenankan ketika protokol kesehatan seperti menggunakan masker, jaga jarak dan cuci tangan. Tentu saja ini seperti bersayap, satu sisi menutup peluang terjadinya kerumunan, dan di sisi lain membuka peluang walaupun dengan ‘catatan’.

Karena itulah, Foucault mengasumsikan kekuasaan itu ada di mana-mana. Meski Negara dominan, tetapi kuasanya ini mempunyai banyak kepanjangan tangan yang oleh Foucault diasumsikan dengan relasi-relasi. (Bertens, 2001, p. 319) Bagi Foucault, kuasa itu ada di mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara pelbagai kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari sadar atau tidaknya seseorang yang dikuasai. Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung di mana-mana dan di sana jika ditelisik jelas ada faktor sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi. Inilah yang sedang terjadi dalam konteks memahami mengapa Pilkada bisa tetap digelar di tengah pandemi covid-19 ini. (Foucault, 2000, p. 144)

Jangan berakhir distopia

Sementara, tentang menaik atau menurunnya angka kasus covid-19 seringkali adalah persoalan statistik yang tercitrakan dalam angka-angka, grafis dan tabel. Sebagaimana dikatakan Foucault, inilah pengetahuan yang jamak diyakini oleh banyak orang zaman sekarang. Interpretasi orang-orang dibangun berdasarkan pembacaan atas angka-angka statistik, grafis dan tabel ini. Hal ini karena menurut Foucault, angka-angka statistik, grafis dan tabel ini adalah satu sistem tanda, satu bentuk taksonomi umum dan sistematis dari benda-benda. (Foucault, 2000, pp. 421-422) Sehingga dalam konteks sebelum Pilkada, sistem tanda ini yang harus dikawal agar tetap terjaga netralitasnya, dan ketika ada potensi menaiknya angka kasus covid-19 pada daerah-daerah yang akan menggelar Pilkada, sistem tanda ini bisa dijadikan acuan untuk tetap mengelar atau menunda pelaksanaannya. Meskipun telah disiapkan dengan matang persiapan Pilkada ini, sistem tanda berupa angka-angka statistik, grafis dan tabel yang menggambarkan angka kasus covid-19 tidak boleh disepelekan.

Pilkada jelas hanyalah sebuah instrumen bukan tujuan. Tujuan dari digelarnya Pilkada jelas adalah menjaga masa depan daerah dengan terpilihnya pemimpin yang sejalan dengan aspirasi masyarakat. Sehingga, akan menjadi kontraproduktif dengan tujuan tersebut ketika Pilkada justru mengakibatkan adanya kluster-kluster covid-19 di daerah yang membahayakan masyarakat. Namun, semuanya jelas (jika meminjam logika Foucault) akan mengikuti selera kekuasaan. Toh, Pilkada akan tetap digelar. Sebagai warga negara kita hanya mungkin mengikuti alur yang dimaui negara, sembari berharap pelaksanaan pilkada 9 Desember besok diikuti komitmen untuk menjaga protokol kesehatan dan menghindari kerumunan selama Pilkada digelar. Semua kita tentu berharap pandemi covid-19 ini segera berakhir, dan bukannya berlarut-larut. Tidak menjadi distopia bagi warga-warga di daerah-daerah yang menggelar Pilkada.*** 

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...