Monday, April 8, 2024

Masa Depan Pesantren

Oleh: Syamsul Kurniawan

Mencermati tren yang ada sekarang, nampaknya sebagian besar anak-anak usia sekolah lebih cenderung memilih sekolah-sekolah “umum” dari pada pesantren. Pilihan seperti itu dilatarbelakangi oleh bergesernya nilai, motivasi dan orientasi dalam menuntut ilmu. Pada masa dahulu menuntut ilmu lebih didorong oleh keinginginan luhur dan niat suci semata-mata untuk memiliki ilmu pengetahuan. Akan tetapi pada masa sekarang ini orientasinya berkembang dan terkait erat dengan lapangan dan kesempatan kerja di masa mendatang.

Oleh karena itu dibutuhkan kesediaan pengelola pesantren dalam merencanakan strategi yang tepat akan menentukan prospeknya di masa mendatang. Peluang dan kekuatan yang dimiliki pesantren dalam menjawab tantangan zaman adalah keniscayaan yang mesti jadi bahan perhatian para pengelola pesantren.

Pesantren selanjutnya diharapkan tidak hanya mencetak ulama-ulama di bidang agama saja tetapi juga dituntut untuk memberi bekal kemampuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan ini menjadi tantangan baru bagi pesantren untuk terus melakukan modernisasi dan inovasi agar pendidikan pesantren mampu mengikuti perkembangan zaman. Jika pesantren mampu menjawab tantangan itu, maka eksistensinya akan tetap aktual sebagai benteng pertahanan utama peradaban Islam kini dan sekaligus menentukan prospek perkembangannya pada masa yang akan datang.

Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh pesantren dalam hal ini: satu, sistem kurikulum dari pesantren yang akan didirikan mesti lebih modern dari pesantren tradisional kebanyakan, sehingga pesantren ketinggalan jauh dari sekolah umum; dua, kurangnya anggaran dan sumber pendanaan disebabkan oleh kurang siswa perlu dicarikan solusinya; dan tiga, perlu strategi promosi yang efektif dalam mendekati sebagian orang tua tidak tertarik menyekolahkan anak di pesantren.[1]

Menjawab Tren

Diakui oleh para ahli sejarah bahwa lembaga pendidikan Islam pertama yang didirikan di Indonesia dan masih bertahan sampai sekarang adalah dalam bentuk pondok pesantren. Dengan karakternya yang khas dengan orientasi religus, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.

Pada awal berdirinya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat sederhana. Tidak ada klasifikasi kelas, tidak ada kurikulum, juga tidak ada aturan yang baku di dalamnya. Dalam praktik pembelajarannya, semuanya bergantung pada kyai sebagai poros sistem pembelajaran pesantren. Mulai dari jadwal, metode, bahkan kitab yang hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kyai secara penuh.[2]

Dalam sejarah perkembangan pesantren, disebutkan pula bahwa mulanya pondok pesantren masih berbentuk surau, dan yang pertamakali membuka pendidikan formal adalah Tawalib di Padang Panjang pada tahun 1921, sedangkan di Jawa adalah pesantren Tebu Ireng Jombang pada tahun 1919 menyusul pondok modern Darussalam Gontor pada tahun 1926.[3]

Hal tersebut memberikan gambaran bahwa dalam tubuh pondok pesantren sejak dahulu telah ada upaya untuk mengikuti perkembangan zaman dengan membuka pendidikan formal yang merupakan cikal bakal serta ciri pendidikan modern. Membuka diri untuk menerima modernisasi bagi lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren adalah satu hal yang tidak dapat dihindari. Seiring dengan perkembangan zaman pondok pesantren dituntut untuk mengikuti dinamika perubahan yang begitu kompleks. Pesantren selanjutnya diharapkan tidak hanya mencetak ulama-ulama dibidang agama yang akan berperan aktif dalam penyebaran agama Islam tetapi lebih dari itu juga dituntut untuk memberi bekal kemampuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perubahan ini menjadi tantangan baru bagi pesantren untuk terus melakukan modernisasi dan inovasi agar pendidikan pesantren mampu mengikuti perkembangan global. Jika pesantren mampu menjawab tantangan itu, maka eksistensinya akan tetap aktual sebagai benteng pertahanan utama peradaban Islam kini dan sekaligus menentukan prospek perkembangannya pada masa yang akan datang. Proses perubahan yang terjadi di berbagai pondok pesantren pasca abad ke-19 pada dasarnya merupakan upaya pesantren secara perlahan-lahan dalam rangka membuka diri bagi masuknya modernisasi.

Modernisasi dalam tubuh pesantren berarti sebuah proses menuju perubahan. Modernisasi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.[4] Tantangan zaman modern pada hakekatnya adalah tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa awalnya implikasi dari kemodernan itu jelas positif, yaitu berupa kemajuan-kemajuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam dunia pesantren, wawasan santri terhadap dunia luar kian terbuka. Pesantren bukan lagi komunitas eksklusif seperti dirasakan pada zaman-zaman pra kemerdekaan, namun setelah masa kemerdekaan hingga dewasa ini telah banyak lulusan output dari pesantren yang telah memiliki bekal untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan pemikiran baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren.

Di tengah harapan dan tuntutan yang begitu tinggi bagi pondok pesantren, untuk menyambut modernisasi kelembagaannya yang tidak kunjung berakhir, dihadapkan pula implikasi negatif kemoderenan berupa merosotnya nilai-nilai kehidupan rohani, tercabutnya budaya-budaya lokal, dan degradasi moral (terutama) yang melanda generasi muda. Dampak sistemik lainnya adalah terjadi kemerosotan terhadap kualitas output produk sistem pesantren, termasuk terjadinya kelangkaan out put yang dapat disebut ulama dengan predikat sebagai “Pewaris Nabi” (warastsatul Anbiya).

Kini, sebagaimana tren yang telah disinggung di muka, minat terhadap pesantren semakin menurun. Hal ini selayaknya menjadi perhatian dari sebagian pesantren untuk berdamai dengan perubahan. Kini, tantangannya adalah pesantren selayaknya tidak lagi hanya sebagai lembaga yang kaku dan melulu mengkaji kitab-kitab klasik. Akan lebih baik, jika pesantren saat ini juga turut serta membangun kehidupan masyarakat sekitar, tidak hanya dalam bidang keagamaan tapi juga hal lain misalnya ekonomi, sosial, pendidikan maupun politik. Jika ini mampu dilakukan, tentu saja pesantren akan tetap eksis sampai kapanpun dalam kondisi yang bagaimanapun.***



[1] Yunus, “Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Kecamatan Malangke Kabupaten Luwu”, Jurnal Ilmiah Iqra’, Volume 12 Nomor 2 2018, 88-105.

[2] Haedari, A., & Dkk. (2004). Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern. Jakarta: Diva Pustaka.

[3] Zuhairini. (2002). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

[4] Dalyono, M. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Mencegah Radikalisme Berkedok Agama

Oleh: Syamsul Kurniawan

Gerakan penyebaran paham radikal berkedok agama di Indonesia kian mengkhawatirkan karena mulai digiatkan pada kelompok-kelompok strategis, seperti mahasiswa, Pegawai Negeri Sipil, dan bahkan anggota TNI dan Polri. Indikasi ini kemudian direspon oleh Presiden Jokowi dengan memberikan perhatian khusus pada gerakan radikalisme berkedok agama ini, dengan menginstruksikan, bahwa pemerintah akan melibatkan banyak pihak untuk melakukan deradikalisasi. Presiden meminta jajarannya melakukan upaya serius mencegah gerakan yang mengkhawatirkan itu.

Ciri khas gerakan radikalisme ini, yaitu menolak Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI; mempraktikan sikap takfiri yang mengafirkan rekan-rekan seagama yang berbeda pandangan; dan terakhir menolak toleransi dan kerja sama dengan penganut agama lain. Secara menyeluruh radikalisme agama adalah gerak keagamaan berbasis kepada tafsiran literal hukum agama demi pemahaman dan praksis keagamaan yang lurus dan murni, dan karena itu menolak Pancasila dan toleransi. 

Pola penyebaran radikalisme agama umumnya dapat diidentifikasi ke dalam dua pola: Satu, pola penyebaran yang bersifat konvensional, yaitu melalui kegiatan keagamaan yang dilakukan dalam lingkungan masyarakat dalam bentuk pengajian, kajian agama, dan interaksi dengan anggota keluarga/teman yang telah terpengaruh paham radikal; dan dua, pola penyebaran yang bersifat modern, yaitu melalui internet dan media sosial.

Kaitannya dengan ini, strategi pencegahan paham radikalisme agama agar tidak meluas, yaitu dengan penerapan fungsi aparat penegak hukum, yang meliputi secondary prevention (Pre-emtif), primary prevention (Preventif), dan tertiary prevention (Represif). Strategi ini pada dasarnya adalah strategi yang komprehensif dalam mencegah penyebaran radikalisme agama, karena strategi ini mengedepankan 3 (tiga) pendekatan yaitu pendekatan pencegahan dini (pre-emtif), langsung (preventif), dan penegakan hukum (represif) sebagai upaya untuk menimbulkan efek jera. Hanya saja strategi ini dengan tiga pendekatannya, bentuk kegiatan dan program turunanannya, terutama pendekatan pencegahan dini (pre-emtif) dan pencegahan langsung (preventif), kurang adaptif atau kurang kompatibel lagi dengan perkembangan dengan pola penyebaran radikalisme agama yang terjadi saat ini, terutama pola penyebaran melalui internet dan media sosial yang begitu massif.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi strategi pencegahan penyebaran radikalisme agama terhadap anggota Polri di lapangan dapat diidentifikasi sebagai berikut: satu, faktor keterbatasan ruang dan waktu dalam melakukan pengawasan terhadap terhadap oknum-oknum yang terpapar radikalisme berinteraksi dengan lingkungannya; dua, faktor keterbatasan pengawasan terhadap oknum-oknum yang terpapar radikalisme berinteraksi dengan lingkungannya dalam mengakses informasi melalui internet dan media sosial; dan tiga, faktor keterbatasan instrumen yang dapat mengungkap adanya keterpengaruhan paham radikal yang masih bersifat “sel tidur” dalam alam pikir masyarakat.***

Saturday, April 6, 2024

Tantangan Pembelajaran Pasca-Pandemi Covid-19 Bagi Lembaga Pendidikan Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

ABAD 21 ditandai dengan berbagai kemajuan teknologi yang demikian pesat, terutama dalam ranah komunikasi dan informasi. Teknologi telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Kemajuan-kemajuan dalam sisi ini memberi dampak yang signifikan terhadap berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Dengan berbagai kemajuan teknologi yang ada saat ini, rasanya mubazir jika tidak bisa dimanfaatkan oleh para praktisi pendidikan, khususnya guru, untuk membantu mewujudkan terciptanya pembelajaran bermutu dan menyenangkan.

Model pembelajaran yang berbasis kecakapan abad 21, adalah model pembelajaran yang dirancang dengan menggabungkan setidaknya kompetensi abad 21, yaitu: satu, learning skills (kemampuan belajar); dua, literacy skills (kemampuan literasi); dan tiga, life skills (keterampilan hidup). Ketiganya ini mesti dibangun dengan semangat “berdamai dengan perubahan”. Hal ini berarti, model pembelajaran abad 21 menghendaki peserta didik, tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga mahir dalam mengembangkannya.

Dalam konteks pembelajaran di lembaga pendidikan Islam, selayaknya ini menjadi masalah, terutama di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang masih cenderung mendikotomikan agama dan sains. Pada kasus lembaga-lembaga pendidikan Islam ini, sikap “anti perubahan” menjadikannya ketinggalan dan sulit beradaptasi dengan tren abad 21. Contohnya, di masa pandemi covid-19.

 

Pengalaman Berharga Saat Pandemi Covid-19

Pengalaman berharga kita dapatkan pada masa pandemi covid-19, yaitu bagaimana sikap resistensi sebagian pesantren terhadap himbauan pemerintah untuk memindahkan pembelajaran, dari yang sebelumnya tatap muka (luring) ke online (daring) mengakibatkan banyaknya korban dari kalangan santri yang terpapar covid-19.

Resistensi yang datang dari pihak internal pesantren itu sendiri sesungguhnya bisa kita mengerti. Sistem sosial pesantren dengan sistem mondoknya dan pemeliharaan unsur-unsur pesantren telah sedemikian mapan. Prasyarat sebuah sistem sosial mencapai kemapanannya, oleh Talcott Parsons dikatakan karena memenuhi prasyarat adaptasi (adaptation), mekanisme pencapaian tujuan yang jelas (goal attainment), unsur-unsur kelembagaan yang terintegrasi (integration), dan pola-pola yang dirawat dan diperkuat (latency).(Parsons, 1987) Kecenderungan ini diamini oleh Nurchalish Madjid. Bahwa kata Nurchalish Madjid, hal itu dapat dilihat dari proses pembelajaran atau praktik belajar mengajar di pesantren. Sejak dulu sebagian pesantren di Indonesia telah mempertahankan karakteristik ketradisionalannya, mempunyai tujuan, dan biasanya dirumuskan oleh kiai selaku pembimbing pertama dan key person di pesantren.(Madjid, 1997)

Tentunya tidak sebagian pesantren an sich yang menunjukkan resistensi terhadap hal ini selama pandemi covid-19, juga ada sebagian madrasah yang ngotot menyelenggarakan pembelajaran secara tatap muka, walaupun kala itu mereka berada di zona merah covid-19, sebab mereka merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan fasilitas yang serba terbatas. Satu sisi ini bisa kita pahami, bagaimana fasilitas pesantren/ madrasah yang mendukung terselenggaranya model pembelajaran online (daring) memang masih banyak yang belum memadahi, dan tambahan lagi munculnya stigma di tengah-tengah masyarakat seputar pandemi yang dinilai sebagai bentuk konspirasi. (Humas UIN Jakarta, 2022)

Berdasarkan ini, maka tantangannya bagi kelembagaan pendidikan pasca pandemi covid-19, adalah: satu, pergeseran orientasi. Selama ini pembelajaran di kelembagaan pendidikan Islam hanya dianggap sebuah teori tanpa harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dalam kasus ini perlunya pembelajaran dan perubahan cara berpikir bahwasanya tujuan pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja melainkan afektif dan psikomotorik yang juga perlu diperhatikan. Tentulah perubahan orientasi ini menyebabkan perubahan metode belajar dan penilaian dalam tercapainya tujuan belajar. Sehingga menghasilkan pribadi yang tidak hanya bertakwa kepada Allah Swt serta dapat menjadi pribadi yang aktif dan sadar akan perubahan teknologi informasi dan komunikasi serta berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Pandemi covid-19, selayaknya membuka mata kita, bahwa pergeseran orientasi tidak hanya mungkin dilakukan, tetapi mendesak untuk dikerjakan.

Dua, pengembangan model pembelajaran. Pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, perlu dikembangkan mengikuti perkembangan zaman dan menjadikan peserta didik tertarik terhadap materi pembelajaran. Kaitan dengan model ini, baik dari segi perencanaan pembelajaran pelaksanaan pembelajaran dan sumber pembelajaran, serta evaluasi, mestinya sejalan dengan kebutuhan pasca-pandemi covid-19. Berdasarkan pengalaman berharga masa pandemi covid-19, selayaknya pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, dirancang dengan menggabungkan tiga kompetensi abad 21, yakni kemampuan belajar (learning skills), kemampuan literasi (literacy skills), keterampilan hidup (life skills), keterampilan dan sikap, serta penguasaan terhadap teknologi. Artinya, di masa pasca-pandemi covid-19 ini peserta didik tidak hanya dituntut untuk mahir dalam ilmu pengetahuan, namu lebih dari itu, peserta didik juga harus terampil dalam menggunakan teknologi, menjadi insan literat, serta memiliki akhlak yang baik.*** 

Masa Depan Pesantren

Oleh: Syamsul Kurniawan Mencermati tren yang ada sekarang, nampaknya sebagian besar anak-anak usia sekolah lebih cenderung memilih sekolah...