Tuesday, December 5, 2023

Menumbuhkan Motivasi Belajar Agama Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan*)

Menumbuhkan motivasi peserta didik untuk belajar agama Islam dengan serius adalah hal penting yang perlu dilakukan oleh guru agama Islam. Sebab, motivasilah yang mendorong peserta didik untuk melakukan aktifitas belajar dengan serius. Peserta didik termotivasi atau tidak, itu bisa dilihat dari “kesediaannya” untuk melibatkan diri dalam rangkaian proses yang dirancang oleh guru agama Islamnya, demi pencapaian tujuan belajar. Dengan motivasi ini, peserta didik akan lebih mudah memberikan pencerahan kepada peserta didik, dan membantu mereka dalam pencapaian tujuan belajar tersebut. Sehingga, dengan usaha yang minimalpun, jika motivasi belajar siswa dalam belajar agama Islam telah berhasil dibangun, ketercapaian tujuan belajar bisa dimaksimalkan.

Tentu saja, menghadapi peserta didik dengan semangat belajar yang tinggi, bukanlah persoalan yang serius. Namun tidak demikian halnya dengan peserta didik yang cenderung malas untuk belajar. Dalam mata pelajaran agama Islam, seorang guru agama Islam harus menyadari ini, bahwa diperlukan dorongan dari luar yang mampu menyuntikkan motivasi kepada peserta didik untuk terus giat belajar tentang agama Islam. Bisa pula dikatakan, memberikan motivasi adalah langkah awal yang harus dilakukan oleh guru agama Islam, dan terus melakukannya sepanjang proses belajar agama Islam dilakukan oleh peserta didiknya. Namun pekerjaan ini tentu tidaklah mudah. Memberikan motivasi kepada peserta didik, tidak hanya akan menggerakkan peserta didik sehingga bersedia aktif selama pelajaran agama Islam berlangsung, tetapi juga mengarahkan dan menjadikan mereka terdorong untuk belajar secara terus-menerus, walaupun mereka berada di luar jam pelajaran di kelas.

Kata motivasi, berasal dari kata yang diserap dari Bahasa Inggris yaitu “motivation” yang akar katanya motive yang berarti menggerakkan. Sehingga motivasi, bisa diartikan “sedang digerakkan” atau “telah digerakkan” oleh sesuatu, dan apa yang menggerakkan itu terwujud ke dalam tindakan. Dari sisi etika, motif didefinisikan dengan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang menjadi sebab seseorang melalukan suatu tindakan. Sehingga motivasi bisa diartikan sebagai dorongan yang menggerakkan, serta mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu berdasarkan apa yang dikehendakinya, yang tertuju pada tujuan yang diinginkannya. Dari sisi psikologi, motivasi dibangun dari motif. Motif berarti daya dorong untuk bertingkah laku, sedangkan motivasi adalah motif yang sudah menjadi aktif pada saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan terasa sangat mendesak.[1]

Dengan demikian, bisa diasumsikan bahwa “motivasi” untuk belajar agama Islam, ini pangkalnya adalah pada “motif”, yaitu daya penggerak yang ada pada diri peserta didik untuk melakukan aktifitas-aktifitas belajar, yang dalam hal ini belajar agama Islam. Motiflah sebagai suatu kondisi internal dari seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling, dan didahului dengan adanya tanggapan terhadap tujuan. Motif ini beririsan dengan kebutuhan. Jika ini dihubungkan dengan motif peserta didik belajar agama Islam, maka sama saja maksudnya dengan apa kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh peserta didik yang belajar agama Islam.

Maslow beranggapan bahwa kebutuhan menjadi alasan terbentuknya motivasi pada diri seorang individu untuk melakukan semua kegiatan yang sekiranya dapat menopang individu tersebut dalam usaha memenuhi kebutuhan mereka. Teori tersebut dikenal sebagai Teori Hierarki Kebutuhan Maslow atau Teori Maslow.[2]

Berikut adalah kebutuhan-kebutuhan dalam Teori Hierarki Kebutuhan Maslow: Satu, Kebutuhan Dasar atau Fisiologi Kebutuhan dasar merupakan hal yang harus terlebih dahulu terpenuhi agar manusia dapat bertahan hidup dan melanjutkan hidupnya. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan manusia akan oksigen, air, makanan, suhu tubuh yang normal, tidur, homeostasis, kebutuhan seksual, dan sebagainya. Walaupun tidak beririsan secara langsung, harus diakui, bahwa belajar agama Islam, menjadikan peserta didik sadar tentang kesemua kebutuhan ini, dan bagaimana memenuhinya secara benar sejalan dengan panduan ajaran agama Islam. Dua, Kebutuhan Akan Rasa Aman Untuk melangkah ke tingkat selanjutnya, seorang individu harus memenuhi kebutuhan pada tingkat ini. Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan akan rasa aman ini meliputi rasa aman secara fisik maupun emosional.   Kebutuhan pada tingkat ini tergantung pada usia dari individu tersebut. Contohnya seperti anak-anak yang lebih membutuhkan pendampingan orangtua karena tingkat kewaspadaan diri anak yang masih rendah. Oleh karena itu, bagaimana guru agama Islam bisa memenuhi kebutuhan ini, dengan bersikap selayaknya orang tua bagi peserta didik mereka yang mendampingi dan mengajar dengan setulus hati. Selayaknya mereka, menghindari kekerasan dalam pendisiplinan, yang membuat rasa aman peserta didik menjadi berkurang. Dari sisi materi yang diberikan, semisal tentang balasan berupa surga dan/atau neraka, juga bagian dari munculnya motivasi belajar agama Islam dari peserta didik. Dengan belajar agama Islam, peserta didik termotivasi dengan pahala dan balasan surga dari Allah Swt, dan menjadi sebab terhindarnya ia dari siksa di neraka. Tiga, Kebutuhan Sosial (Rasa Cinta, Kasih Sayang, serta Hak Kepemilikan) Di tingkat ini, seorang individu membutuhkan cinta, kasih sayang, dan memiliki hak kepemilikan terhadap suatu hal.  Selain itu, seorang individu dapat mendapatkan kebutuhan di tingkat ini dengan menjalin pertemanan dengan individu lain, membentuk keluarga, bersosialisasi dengan suatu kelompok, beradaptasi dengan lingkungan sekitar, serta berada dalam lingkungan masyarakat. Dalam Pelajaran agama Islam, diajarkan tentang bagaimana peserta didik bisa mewujudkan pergaulan sosial yang dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang, serta dihargainya hak-hal asasi berdasarkan panduan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, seorang guru agama Islam tidak saja mengajar, tetapi juga menjadi teladan dalam soalan ini. Empat, Kebutuhan Mendapatkan Penghargaan Maksud penghargaan bagi Maslow adalah harga diri. Setiap individu berhak mendapatkan harga diri mereka masing-masing. Harga diri dapat berasal dari diri sendiri maupun orang lain.  Menurut Maslow, harga diri dibagi menjadi dua bentuk yakni bentuk menghargai diri sendiri dan bentuk penghargaan dari orang lain. Dalam pelajaran agama Islam yang diberikan oleh guru agama Islam, apresiasi yang diberikan kepada peserta didik, bisa beririsan dengan munculnya motivasi ini. Lima, Kebutuhan untuk Mengaktualisasikan Diri. Kebutuhan di tingkat ini merupakan kebutuhan yang paling tertinggi. Aktualisasi diri dapat diartikan sebagai wujud sesungguhnya untuk mencerminkan harapan serta keinginan seorang individu terhadap dirinya sendiri. Sehubungan dengan ini, seorang guru agama Islam harus pandai dalam memilih pendekatan, strategi, dan metode, sehingga peserta didik merasa dapat kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya selama pelajaran agama Islam ia ikuti. Guru agama Islam, mesti merubah paradigmanya, dari yang “berpusat pada guru” menjadi “berpusat ke peserta didik”.

Kecuali itu, ada pula yang mengkalisifikasikan motovasi pada dua macam, berdasarkan sumbernya, yaitu: satu, motivasi intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri peserta didik sendiri, tanpa ada paksaan atau dorongan orang lain untuk belajar agama Islam. Seperti seorang peserta didik yang gemar membaca buku-buku agama Islam, makanya tidak lagi perlu disuruh-suruh untuk membaca, oleh karena telah menjadi kesenangannya, dan mungkin menjadi kebutuhannya. Dalam proses belajar agama Islam, jelas motivasi intrinsik ini memiliki pengaruh yang lebih efektif dan bertahan relative lama, serta tidak bergantung ada atau tidaknya motivasi dari luar (ekstrinsik). Meskipun demikian, ketika motif intrinsik tidak cukup potensial untuk mendorong peserta didik belajar serius dalam pelajaran agama Islam, maka guru agama Islam selayaknya bisa merekayasa hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang muncul dari pengaruh dari luar diri peserta didik, apakah karena ajakan, suruhan, dan/atau  paksaan dari orang lain (termasuk: guru agama Islam), sehingga dengan demikian peserta didik mau melakukan sesuatu atau melakukan aktifitas belajar (yaitu belajar agama Islam). Motif-motif ekstrinsik ini bisa dikondisikan melalui: pujian, peraturan/tata tertib, teladan guru, dan lain sebagainya.[3] Namun demikian, motivasi ekstrinsik ini tidak bertahan lama, sebab itu motivasi ekstrinsik hanyalah “pemicu” untuk membangun motivasi intrinsik dari peserta didik.

Dalam pelajaran agama Islam, motivasi belajar peserta didik perlu ditumbuhkan. Sehingga untuk itu, guru agama Islam mestinya memperhatikan hal ini. Termasuk pula dalam hal ini, terus melakukan inovasi-inovasi dalam pelajaran, serta membangun kemitraan dengan orang tua/wali dari peserta didik mengingat tanggung jawab membangun motivasi belajar agama Islam ini jelas tidak hanya oleh guru-guru agama Islam, tetapi juga orang tua/wali dari peserta didik.***

*) Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak






[1] Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 124.

[2] Max Darsono, dkk. Belajar dan Pembelajaran (Semarang: IKIP Semarang Press, 2001), hlm. 20.

[3] Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran  (Yogyakarta: Arruzz Media, 2007), hlm. 23.

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...