Friday, April 26, 2024

Kelas yang Menyenangkan

 


https://www.facebook.com/catatansyamsulkurniawan

beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis ekonomi berkepanjangan. Sebagian yang lain berpendapat mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan pemerintah sering gonta-ganti kurikulum. Dari KBK, KTSP, pernah Kurikulum 2013, sekarang Kurikulum Merdeka dan besok entah menggunakan nama apa lagi. Pendapat yang lain mengatakan, Indonesia begitu luas, sehingga pendidikan tidak merata.

Semua pendapat di atas ada benarnya. Selainnya, mutu pendidikan juga dapat ditentukan “di dalam kelas”. Di dalam kelas?. Betul, begitulah hemat saya. Konkretnya, kelas menjadi lingkungan yang amat menentukan baik-buruknya mutu pendidikan di sekolah secara keseluruhan.

KESENJANGAN HARAPAN DAN KENYATAAN
Kualitas pendidikan sebuah sekolah dapat diukur dari seberapa berkualitas pembelajaran yang berlangsung di kelas. Kalaulah dalam kelas itu kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung menyenangkan, sehingga anak merasa betah dan nyaman, asyik dan dapat menghasilkan anak yang cerdas dan berbakat, maka barulah guru itu dapat dikatakan sukses dalam mendidik atau mengajar. Dari kelas yang baik, maka akan melahirkan mutu pendidikan yang baik pula.

Ironi, sekolah yang kelas-kelasnya nyaman, tenang, dan asyik itu tak banyak. Bahkan, sebagian sekolah-sekolah saat ini terkesan memberikan beban berat yang menghimpit  siswa, karena jam pelajaran di kelas yang membosankan. Akibatnya, ketika siswa berada di kelas, mereka tidak betah, segera ingin mendengar bel istirahat dan keluar kelas secepatnya. Jika ada pengumuman pulang lebih awal atau libur, mereka bersorak-sorai, gembiranya bukan kepalang, seperti baru saja lepas dari beban psikologis yang berat.

Apa simpulannya?
Hemat saya, kekerasan masih terjadi di kelas-kelas kita. Bukan dalam pengertian “kekerasan fisik”, tapi “kekerasan non fisik”. Ketidakpahaman sebagian besar guru tentang jenis kekerasan non fisik ini telah membuat mereka sering melakukannya terutama pada proses pola asuh. Walaupun tidak ada data pasti mengenai hal ini. Namun mari kita mengaku, tentang banyaknya guru-guru di sekolah yang melakukan tindakan dengan nada mengancam, membentak, berteriak, atau memaki siswa-siswanya.

Contoh lain, pemberian tugas yang berlebihan pada siswa, memaksa para siswa berkompetisi secara berlebihan, memberikan target prestasi yang terlalu tinggi dan tak jarang memaksa siswa-siswa untuk menguasai mata pelajaran tertentu di luar minatnya, hingga mematikan kreatifitas mereka. Otak siswa dijejali dengan berbagai pengetahuan sekehendak hati sang guru atau kurikulum, dengan alasan supaya siswa memperoleh nilai tinggi dan lulus ujian nasional. Sementara itu siswa-siswa tak diberi kesempatan berpikir, mencerna, bereksplorasi apalagi berkreasi. Pantaslah, ketika siswa lulus, mereka pikir sedang keluar dari sebuah “penjara” yang bernama sekolah. Mereka ekspresikan dengan coret-coret baju dan berkonvoy motor di jalan-jalan raya.

KONTRAPRODUKTIF
Mengkondisikan sekolah layaknya sebagai penjara jelas keadaan yang kontraproduktif. Harusnya dimaklumi, jika siswa-siswa pada dasarnya mempunyai bakat, potensi atau kemampuan, dan minat yang berbeda-beda antara satu dan lainnya. Oleh karenanya potensi mereka tidak dapat diseragamkan oleh pihak sekolah bahkan orangtua.

Betul, atas pertimbangan masa depan, seorang guru dan orang tua siswa boleh-boleh saja punya obsesi pribadi yang dibebankan di pundak siswa-siswa atau anak-anak mereka. Namun, harusnya pilihan tetap ada pada pundak siswa-siswa. Seberapapun paham dan tahunya guru-guru terhadap mereka, tentu saja mereka jauh lebih tahu tentang keadaan mereka, potensi dan kemampuan mereka sendiri.

Pendidikan tidak boleh seperti mengisi ember yang kosong. Kepala siswa-siswa bukanlah seperti ember kosong yang boleh seenaknya kita isi apa saja. Dengan kata lain, ketika seorang guru mendidik siswa, mereka harus menyadari bahwa seorang siswa sudah membawa “bekal” mereka masing-masing di dalam pikiran mereka. Mereka sudah memiliki pandangan dan latar belakang pengetahuan dari pengalaman hidup mereka sebelumnya, dan ini harus dihargai guru. Tidak boleh sembarangan mengisi kepala para siswa.

Harusnya, guru-guru di sekolah bisa memanfaatkan “bekal” siswa-siswa dengan baik sehingga semakin berkembang maksimal, seperti api yang dinyalakan kembali. Di suatu “kelas yang menyenangkan”, seorang siswa selayaknya kita kondisikan menjadi dirinya sendiri dan dimotivasi untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Inilah pekerjaan rumah sekolah-sekolah kita, yaitu tentang bagaimana mengadakan kelas-kelas yang menyenangkan bagi siswa. Betul-betul sebuah kelas. Bukan sebuah penjara!.***

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...