Oleh: Syamsul Kurniawan
ISLAM adalah agama yang amat menekankan pentingnya pendidikan. Di kota kelahirannya, di Mekah belasan abad silam, pendidikan agama Islam terbukti berhasil tidak hanya menembus batas dinding kejahiliyahan masyarakatnya kala itu, tetapi juga melampaui zamannya (shalihun li kulli zaman wa makan). Hingga kini, pendidikan agama Islam jelas masih resilien dengan zaman, sekaligus menjawab pesimisme sejumlah sosiolog seputar masa depan yang suram pendidikan agama.
Pesimisme
ini beririsan dengan munculnya asumsi di kalangan sosiolog, bahwa agama dinilai tidak lagi mampu memahami
dan menjelaskan dunia yang semakin kompleks, maka peran dan masa depan agama
kembali dipertanyakan oleh mereka. Emile Durkheim, Max Weber, Georg
Simmel—untuk menyebut beberapa nama—adalah orang-orang yang percaya bahwa dunia
masa kini akan semakin terasionalisasikan, dan karena itu agama sebagai sesuatu
yang irrasional, akan makin tersingkir dari panggung kehidupan modern. (Lebih lanjut baca: Durkheim, 1984; Simmel, 1959;
Weber, 1956)
Hal ini mudah dipahami, manakala kita menyadari
betapa dekatnya agama dengan kehidupan manusia. Dalam ajaran agama Islam, kita
mengenalnya dengan fithrah. Yusron Masduki dan Idi Warsah membagi
pandangan tentang ini. Kata fithrah menurutnya berasal dari Bahasa Arab
yang bentuk fi‘il madi-nya adalah fitara dengan bentuk Masdar
yaitu fitrun atau fitratan, yang berarti memegang dengan erat,
memecahkan, membelah, mengoyakkan, meretakkan, dan menciptakan. Maka kalimat fitrahu
artinya Dia menciptakannya, yakni yang menyebabkan ada secara baru dan untuk
pertama kalinya. Fitrah manusia diciptakan adalah untuk menyembah Allah
Swt, Tuhan yang telah menciptakan dan juga memberikan segala-galanya untuknya.
Sebab alasan inilah, pendidikan agama Islam jadi kebutuhan, khususnya mereka
yang memeluk ajaran agama Islam. (Masduki & Warsah, 2020)
Sejalan dengan ini, firman Allah SWT mengatakan, “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)
Dari ayat di atas dapat diambil suatu simpulan, bahwa fithrah
manusia diciptakan untuk beragama. Agama dapat dikatakan pedoman dan tuntutan
hidup manusia yang mengandung perintah yang harus dilaksanakan dan larangan
yang harus ditinggalkan. Fithrah ini yang menjadikan manusia mampu menerima taklif
(penerapan hukum syara’), beban tanggung jawab atas predikatnya sebagai
khalifah.
Oleh karena itu, manusia dilahirkan dengan fithrahnya
tersebut. Mereka yang memeluk agama Islam, juga berada dalam fithrahnya
tersebut, sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW, “Tiada seorangpun
yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari no.
1358 dan Muslim no. 6697) Dengan demikian, sudah jelas, mengapa pendidikan
agama Islam selalu relevan, melampaui zamannya belasan abad lalu.
Pendidikan agama Islam berdasarkan ayat
Al-Qur‘an dan hadits di atas memang selalu relevan, namun bukan berarti semua kita
relevan mendidikkannya. Dalam kaitannya dengan ini, mereka yang relevan
mendidikkan ajaran agama Islam ini, adalah mereka yang memiliki kemampuan
mengajak manusia ke jalan Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, mampu
berdiskusi dengan baik, dan bisa diteladani oleh anak-anak didiknya. Dalam QS
an Nahl ayat 125 dijelaskan: “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Demikianlah, isyarat Allah Swt bagaimana selayaknya pendidikan agama Islam diberikan.
Jelas Nabi Muhammad Saw adalah teladannya dalam hal
ini. Pada Qs al-Ahzab ayat 21 pandangan ini
terkonfirmasi, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”***