Tuesday, October 17, 2023

Modernisasi Kelembagaan Pendidikan Islam di Indonesia: Seberapa Berpengaruh Pemikiran Moderat?

Oleh: Syamsul Kurniawan

Perubahan sosial adalah niscaya dan alamiah terjadi di tengah-tengah masyarakat. Disebut perubahan sosial, oleh karena proses tersebut menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada struktur dan fungsi dari sistem sosial.(Rosana, 2015, hlm. 67) Modernisasi adalah salah satu di antara contoh dari perubahan sosial. Modernisasi mengakibatkan transformasi total kehidupan bersama, dari yang tradisional ke arah pola yang modern.(Sztompka, 2005, hlm. 153)

Meskipun modernisasi adalah konsekuensi dari perubahan sosial, namun demikian, respon seseorang atau kelompok terhadapnya bisa berbeda-beda. Ada yang menerimanya, namun tidak sedikit pula yang menolaknya. Radikalisme agama misalnya, seringkali dikait-kaitkan dengan respon terhadap modernisasi.(Yono, 2016, hlm. 321) Sebabnya, mereka pandangan terdapat irisan antara modernisasi dengan kebarat-baratan (westernisasi). Walaupun, pada ranah ini modernisasi bisa dibedakan dengan westernisasi.(Abdulsyani, 1994, hlm. 177)

Modernisasi jelas tidak mesti “kebarat-baratan”, sebab terlalu berlebih-lebihan jika selalu mengaitkan modernisasi dengan Barat. Betul, bahwa Barat telah mencapai modernisasi tersebut, namun demikian jalan menjadi modern bisa saja tidak sama. Sebab poin penting dari modernisasi adalah berkemajuan bukan pembaratan. Sebagai konsekuensi dari perubahan sosial, modernisasi muncul bisa disebabkan oleh banyak alasan. Jefta Leibo, berpendapat, bahwa setidaknya ada tiga alasan yang relevan terhadap tren ini: satu, immanent change, yaitu suatu bentuk perubahan sosial yang berasal dari sistem itu sendiri dengan sedikit atau tanpa inisiatif dari luar; dua, selective contact change, yang mana outsider secara tidak sadar dan spontan membawa ide-ide baru kepada anggota-anggota daripada sistem sosial; tiga, directed contact change, yaitu apabila ide-ide baru atau cara-cara baru tersebut dibawa dengan sengaja oleh outsider.(Leibo, 1995, hlm. 71) Dalam konteks modernisasi di tubuh umat Islam di Indonesia, ketiganya bisa relevan.

Moderasi beragama di tengah-tengah umat Islam sesungguhnya sangat relevan dengan modernisasi. Mereka yang berpikir moderat, mestinya bisa berdamai dengan modernisasi. Demikian pula sebaliknya, mereka yang mengusahakan modernisasi mestinya dapat berpikir moderat. Termasuk dalam konteks beragama. Oleh karena itu, sulit rasanya memisahkan keduanya, meskipun dua diksi ini berbeda pemaknaannya. Dalam sejarah kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia, hal ini juga menerima imbas. Kebanyakan penolakan-penolakan terhadap kelembagaan pendidikan Islam yang berciri modern itu muncul dari kelompok-kelompok muslim tradisional yang kurang moderat dalam menyikapi modernisasi. Sampai kemudian muncul gagasan-gagasan moderat dari para pembaharu muslim untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar di tubuh kelembagaan pendidikan Islam dan berdamai dengan modernisasi.

Faktor Pembaharu Muslim yang Moderat

Sebagaimana dimafhumi, dalam konteks sejarah pendidikan Islam di Indonesia, pemikiran moderat di tengah-tengah umat Islamlah yang memang menjadi sebab tidak langsung dari berkembangnya gagasan-gagasan untuk memodernisasi kelembagaan pendidikan Islam tradisional. Munculnya madrasah misalnya, ini tidak lain muncul sebagai konsekuensi berpikir moderat para pembaru Islam saat itu, yang mengandaikan pentingnya pesantren, surau, dan lembaga-lembaga pendidikan yang berciri tradisional terbuka terhadap perubahan sosial dan modernisasi. (Saihu, 2015, hlm. 3) Sementara saat itu, trennya memang pengelola pendidikan Islam tradisional, kurang moderat dalam menyikapi tren modernisasi, sehingga mencurigai modernisasi sebagai proyek Barat untuk melemahkan umat Islam.(Kurniawan, 2017, hlm. 2)

Kiprah pelajar muslim alumni timur tengah yang membawa spirit berpikir moderat, sebagai pembaharu, turut memuluskan pergeseran model kelembagaan pendidikan Islam dari yang berciri tradisional ke arah yang modern.(Saihu, 2015, hlm. 3–4) Demikianlah, modernitas tidak seharusnya dipertentangkan dengan sikap hidup umat Islam.  Modernitas, sebagaimana diungkapkan oleh Abuddin Nata, berarti kesediaan sikap dan mentalitas berdamai dengan tuntutan hidup masa kini yang modern.(Nata, 2004, hlm. 87–88) Pendidikan Islampun dari sisi kelembagaan, bisa senafas dengan hal tersebut.(Saihu, 2015, hlm. 24)***

BAHAN BACAAN

Abdulsyani. (1994). Sosiologi: Skematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara.

Kurniawan, S. (2017). Gagasan Pendidikan Kebangsaan Soekarno: Ide Progresif atas Pendidikan Islam Indonesia. Madani.

Leibo, J. (1995). Sosiologi pedesaan (J. Nasikun, Ed.; Ed. 2., cet. 1). Andi Offset.

Nata, A. (2004). Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Raja Grafindo Persada.

Rosana, E. (2015). Modernisasi dalam Perspektif Perubahan Sosial. Al-Adyan: Jurnal Studi Agama, X(1), 67–82. https://doi.org/10.24042/ajsla.v10i1.1423

Saihu, M. (2015). Modernisasi Pendidikan Islam. Al-Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam, 3(1).

Sztompka, P. (2005). Sosiologi Perubahan Sosial (Alimandan, Ed.). Prenada.

Yono. (2016). Menakar Akar-Akar Gerakan Radikalisme Agama Di Indonesia Dan Solusi Pencegahannya. Mizan: Journal of Islamic Law, 4(2), 311–326. https://doi.org/10.32507/mizan.v4i2.185

    

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...