Saturday, April 6, 2024

Tantangan Pembelajaran Pasca-Pandemi Covid-19 Bagi Lembaga Pendidikan Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

ABAD 21 ditandai dengan berbagai kemajuan teknologi yang demikian pesat, terutama dalam ranah komunikasi dan informasi. Teknologi telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Kemajuan-kemajuan dalam sisi ini memberi dampak yang signifikan terhadap berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Dengan berbagai kemajuan teknologi yang ada saat ini, rasanya mubazir jika tidak bisa dimanfaatkan oleh para praktisi pendidikan, khususnya guru, untuk membantu mewujudkan terciptanya pembelajaran bermutu dan menyenangkan.

Model pembelajaran yang berbasis kecakapan abad 21, adalah model pembelajaran yang dirancang dengan menggabungkan setidaknya kompetensi abad 21, yaitu: satu, learning skills (kemampuan belajar); dua, literacy skills (kemampuan literasi); dan tiga, life skills (keterampilan hidup). Ketiganya ini mesti dibangun dengan semangat “berdamai dengan perubahan”. Hal ini berarti, model pembelajaran abad 21 menghendaki peserta didik, tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga mahir dalam mengembangkannya.

Dalam konteks pembelajaran di lembaga pendidikan Islam, selayaknya ini menjadi masalah, terutama di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang masih cenderung mendikotomikan agama dan sains. Pada kasus lembaga-lembaga pendidikan Islam ini, sikap “anti perubahan” menjadikannya ketinggalan dan sulit beradaptasi dengan tren abad 21. Contohnya, di masa pandemi covid-19.

 

Pengalaman Berharga Saat Pandemi Covid-19

Pengalaman berharga kita dapatkan pada masa pandemi covid-19, yaitu bagaimana sikap resistensi sebagian pesantren terhadap himbauan pemerintah untuk memindahkan pembelajaran, dari yang sebelumnya tatap muka (luring) ke online (daring) mengakibatkan banyaknya korban dari kalangan santri yang terpapar covid-19.

Resistensi yang datang dari pihak internal pesantren itu sendiri sesungguhnya bisa kita mengerti. Sistem sosial pesantren dengan sistem mondoknya dan pemeliharaan unsur-unsur pesantren telah sedemikian mapan. Prasyarat sebuah sistem sosial mencapai kemapanannya, oleh Talcott Parsons dikatakan karena memenuhi prasyarat adaptasi (adaptation), mekanisme pencapaian tujuan yang jelas (goal attainment), unsur-unsur kelembagaan yang terintegrasi (integration), dan pola-pola yang dirawat dan diperkuat (latency).(Parsons, 1987) Kecenderungan ini diamini oleh Nurchalish Madjid. Bahwa kata Nurchalish Madjid, hal itu dapat dilihat dari proses pembelajaran atau praktik belajar mengajar di pesantren. Sejak dulu sebagian pesantren di Indonesia telah mempertahankan karakteristik ketradisionalannya, mempunyai tujuan, dan biasanya dirumuskan oleh kiai selaku pembimbing pertama dan key person di pesantren.(Madjid, 1997)

Tentunya tidak sebagian pesantren an sich yang menunjukkan resistensi terhadap hal ini selama pandemi covid-19, juga ada sebagian madrasah yang ngotot menyelenggarakan pembelajaran secara tatap muka, walaupun kala itu mereka berada di zona merah covid-19, sebab mereka merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan fasilitas yang serba terbatas. Satu sisi ini bisa kita pahami, bagaimana fasilitas pesantren/ madrasah yang mendukung terselenggaranya model pembelajaran online (daring) memang masih banyak yang belum memadahi, dan tambahan lagi munculnya stigma di tengah-tengah masyarakat seputar pandemi yang dinilai sebagai bentuk konspirasi. (Humas UIN Jakarta, 2022)

Berdasarkan ini, maka tantangannya bagi kelembagaan pendidikan pasca pandemi covid-19, adalah: satu, pergeseran orientasi. Selama ini pembelajaran di kelembagaan pendidikan Islam hanya dianggap sebuah teori tanpa harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dalam kasus ini perlunya pembelajaran dan perubahan cara berpikir bahwasanya tujuan pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja melainkan afektif dan psikomotorik yang juga perlu diperhatikan. Tentulah perubahan orientasi ini menyebabkan perubahan metode belajar dan penilaian dalam tercapainya tujuan belajar. Sehingga menghasilkan pribadi yang tidak hanya bertakwa kepada Allah Swt serta dapat menjadi pribadi yang aktif dan sadar akan perubahan teknologi informasi dan komunikasi serta berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Pandemi covid-19, selayaknya membuka mata kita, bahwa pergeseran orientasi tidak hanya mungkin dilakukan, tetapi mendesak untuk dikerjakan.

Dua, pengembangan model pembelajaran. Pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, perlu dikembangkan mengikuti perkembangan zaman dan menjadikan peserta didik tertarik terhadap materi pembelajaran. Kaitan dengan model ini, baik dari segi perencanaan pembelajaran pelaksanaan pembelajaran dan sumber pembelajaran, serta evaluasi, mestinya sejalan dengan kebutuhan pasca-pandemi covid-19. Berdasarkan pengalaman berharga masa pandemi covid-19, selayaknya pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, dirancang dengan menggabungkan tiga kompetensi abad 21, yakni kemampuan belajar (learning skills), kemampuan literasi (literacy skills), keterampilan hidup (life skills), keterampilan dan sikap, serta penguasaan terhadap teknologi. Artinya, di masa pasca-pandemi covid-19 ini peserta didik tidak hanya dituntut untuk mahir dalam ilmu pengetahuan, namu lebih dari itu, peserta didik juga harus terampil dalam menggunakan teknologi, menjadi insan literat, serta memiliki akhlak yang baik.*** 

Thursday, April 4, 2024

Tips Menulis Opini

Oleh: Syamsul Kurniawan

Pada sebuah kegiatan seminar kepenulisan, seorang peserta seminar bertanya pada saya: “Pak, saya kok sulit menuangkan ide-ide ke dalam sebuah Opini?”. “Rasa-rasanya kok menulis Opini susah sekali ya Pak?.” Peserta lain juga ada yang mengeluhkan tentang betapa sulitnya ia mulai kata pertama pada Opini yang ingin ia buat. 

Dulu, sewaktu masih jamannya menulis memanfaatkan mesintik (baca: mesin ketik), entah berapa rim kertas habis disobek-sobek, dan dibuang ke keranjang sampah. Sekarang, jaman serba mudah, apapun yang kita ketik di komputer atau laptop kita dapat dikoreksi dengan mudah dan tidak perlu lagi menyobek kertas. Meski dipemudah oleh kecanggihan teknologi komputer, tapi tidak satupun tulisan yang jadi. Jauh di lubuk pikiran kita, betapa sulitnya memulai menuangkannya dalam tulisan. Kalaupun sebuah tulisan sukses dibuat, yang justru muncul adalah rasa minder untuk mempublikasikannya. Seolah, tulisan yang dibuat begitu jeleknya untuk dibaca orang lain.  

Kasus yang dialami peserta seminat di atas mungkin terjadi pada Anda atau yang lain, yang baru mengemukakan ketertarikannya di dunia kepenulisan Opini. Menurut saya, penyebab paling mendasar dari sulitnya seseorang menulis Opini adalah mindsetnya. Ada perasaan tidak percaya diri, bahwa Opini yang mereka buat begitu jeleknya, sehingga minder jikalau Opini yang dibuatnya itu dibaca oleh orang lain. Atau, lantaran tidak bagus atau takut salah maka malu kalau orang lain membacanya. Daripada menerima malu lebih baik dibatalkan, disobek, tidak disimpan dalam bentuk file, atau apalah namanya. Alam bawah sadar mengkondisikan, bahwa cara tersebut terasa menyelamatkan harga diri dan wibawa. Tapi pendapat saya, proses keterampilan menulis sebuah Opini Anda tidak pernah terujud.

Aneh...! Bagaimana tidak aneh. Mau menjadi penulis Opini, atau paling tidak belajar menjadi penulis Opini yang Opininya diterbitkan di koran-koran dan/atau minimal di blog, tapi kok Anda takut tulisan Opininya dibaca oleh orang? Takut ketiban malu, karena orang menilai tulisan Opini yang Anda buat, begitu jeleknya atau banyak salahnya. Tidak seharusnya begitu!!!.

Begini saja perumpamaannya. Dulu, sewaktu Anda kecil, ketika belajar berjalan. Kala itu Anda jatuh bangun dan menangis. Untungnya, Anda tidak malu untuk terus belajar. Jika Anda malu, sungguh Anda tidak akan mampu berjalan pada hari ini. Betulkan?

Perumpamaan lain, saat Anda belajar bersepeda. Jatuh dan bangun juga. Anda bangun lagi dan bangun lagi walaupun dengkul Anda berlumuran darah dan tambal-tambalan kapas serta obat merah. Sampai pada suatu ketika keseimbangan Anda peroleh, sepeda anda kayuh dengan stabil. Jalanlah sepeda roda dua tersebut. Lupa deh, pada dengkul yang luka-luka. Semuanya lunas terbayar ketika kita bisa menaiki sepeda tadi.

Demikian pula halnya dengan menulis sebuah Opini. Untuk dapat menulis Opini maka langsung saja menulisnya. Satu hal penting yang harus Anda tumbuhkan adalah “KEMAUAN UNTUK MEMULAI”. Jika kemauan belum muncul, padahal tuntutan menghasilkan Opini terus saja ada, Anda perlu MEMOTIVASI DIRI SENDIRI. Bagaimana caranya? Anda yang paling tahu, bagaimana cara memotivasi diri Anda sendiri. Pastinya tergantung motif. Misalnya, Satu, karena ingin cepat menyelesaikan tugas menulis Opini yang disuruh dosen. Sebagaimana dimafhumi, di mata kuliah-mata kuliah tertentu, ada dosen-dosen yang menugasi mahasiswa dengan pekerjaan menulis Opini. Nah itu bisa jadikan sebagai motivasi; Dua, namanya dikenal orang (terkenal) karena Opininya sering nongol di Koran; Tiga, kepuasan pribadi menulis Opini dan menyebarkan gagasan Anda tentang sebuah hal yang belum banyak dibahas orang; Empat, menanggapi tulisan Opini, pendapat, atau mereaksi suatu keadaan; (5) menambah penghasilan. Sebab, ada sebagian koran atau media online yang memberi apresiasi berupa sejumlah uang ketika Opini Anda diterbitkan mereka.

Lazimnya, orang mempunyai kemauan dan termotivasi karena memiliki pengetahuan dan kemampuan. Maka PENGETAHUAN DAN KEMAMPUAN menurut saya sebuah hal lain yang harus terus Anda asah jika berkeinginan menjadi penulis Opini. Dalam hal ini ada hubungannya dengan selera baca dan jam terbang membaca Anda. Semakin Anda meluangkan banyak waktu untuk membaca, pengetahuan Anda akan bertambah. Demikian pula selera bacaan Anda saya selalu percaya akan menentukan kualitas tulisan yang Anda buat. Ingat baik-baik, PENULIS YANG BAIK ADALAH PEMBACA YANG BAIK. Pengetahuan dan kemampuan berkaitan dengan isi tulisan, apa yang diuraikan dalam Opini Anda, ia juga berkaitan dengan cara dan tatacara mengungkapkannya.

Simpulannya, untuk menjadi penulis atau menghasilkan Opini orang harus memiliki KEMAUAN, MOTIVASI, PENGETAHUAN, DAN KEMAMPUAN.

“Untuk menjadi penulis, yang dibutuhkan hanyalah kemauan keras untuk menulis dan kemudian mempraktikkannya, orang yang hanya mempunyai kemauan untuk menulis namun tidak pernah melakukannya maka ia sama saja dengan bermimpi untuk memiliki mobil, tanpa ada usaha dan kerja keras untuk memilikinya”. Demikian tulis Stephen King, seorang penulis Amerika yang terkenal.

Sugesti Buat Anda yang Ingin Menulis Opini
Topik Opini sebaiknya dicari yang sesuai dengan bidang karena masalah itu yang paling Anda kuasai. 

Satu, Banyak-banyak membaca gagasan-gagasan orang,  baik itu jurnal, laporan penelitian, buku, makalah, dan tentu saja Opini yang berkaitan dengan topik yang sedang ingin kita tulis. Tentu saja, “penulis Opini yang baik (sebagaimana telah disinggung di atas) pasti sekaligus pembaca yang rajin.” Cermati bagaimana isi tulisan-tulisan itu: gagasan, pengembangan dan pengorganisasian gagasan, bahasa, dll. Dari kegiatan-kegiatan itu lazimnya akan muncul “ide” di benak kita. Ingat sekali lagi, penulis Opini yang baik adalah pembaca yang baik.
Dua, Dalam membaca, penting Anda mencermati pola pikir pengarang lain. Cermati dan ikuti bagaimana cara: (a) pengembangan gagasan; (b) pengembangan alinea. (c) perujukan acuan; (d) pengarang yang dirujuk; (e) peramuan berbagai gagasan dari berbagai sumber; (f) sikap pengarang; (g) gaya tulisan dan ejaan, dan lain sebagainya. 

Tiga, Aktifitas menulis Anda tidak cukup hanya berbekal teori walau pengetahuan teoretis juga penting. Untuk dapat menulis, Anda harus benar-benar memulai langsung. PRAKTIK MENULIS. Seperti belajar bersepeda: untuk dapat bersepeda Anda harus betul-betul praktik bersepeda dengan resiko terjatuh dari sepeda. 

Empat, Menulislah tanpa merasa takut tulisan Opini Anda dinilai jelek oleh orang yang membacanya. Santai saja, jika ada yang nyinyir. Bentuk tulisan Opini Anda bisa jadi masih berwujud coretan-coretan ekspresif, tidak karuan, tidak saling terkait. Itu tidak masalah, sebab substansinya adalah menuliskan apa saja gagasan dan ide-ide atau pendapat Anda. Selanjutnya, coba Anda kembangkan gagasan-gagasan yang masih tak karuan itu, menjadi sebuah tulisan Opini yang utuh dan enak dibaca. Tidak mesti terburu-buru untuk menghasilkan sebuah Opini yang baik.

Lima, Jika bentuk tulisan Opini kita adalah bentuk ilmiah populer, maka penting Anda menyertakan rujukan atau kutipan, baik dari jurnal, buku-buku, atau sumber kepustakaan yang lain. Namun yang harus dijadikan catatan: “TEKS YANG DIRUJUK HARUS BENAR-BENAR DIBACA (tidak sekadar untuk ‘sok-sok’-an)”. Cara merujuk harus tepat dan konsisten sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Hati-hati terjebak pada plagiasi. Hindari copy paste tanpa menyertakan kutipan sumber.

Enam, Jangan merasa tabu menerima masukan pembaca Opini Anda. Justru masukan atau kritikan pembaca membuka peluang Anda untuk mengevaluasi kembali yang Anda tulis, dan kembali menyempurnakan tulisan Anda. Tidak ada sebuah tulisan yang dibuat oleh manusia, dan betul-betul sempurna, termasuk Opini.

Tujuh, perlu saya garusbawahi, MENULIS OPINI ITU SANGATLAH MUDAH (TIDAK TERASA SULIT) DILAKUKAN JIKA KITA “MAU” MELAKUKANNYA. 
Jadi, mengapa Anda tidak mulai memotivasi diri Anda untuk menulis dan menulis. Mulai sekarang juga diputuskan untuk segera menulis Opini, topik apa pun bisa ditulis, tinggal Anda pandai-pandai menemukan sudut pandang.***

Wednesday, April 3, 2024

Menakar Peluang Prodi PAI: Melahirkan Guru Agama Islam yang Mampu Berdakwah

Oleh: Syamsul Kurniawan (Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)

Dari rahim kelembagaan pendidikan Islam, dalam hal ini perguruan tinggi keagamaan Islam, selayaknya bisa dilahirkan juru-juru dakwah, yang tidak hanya mampu menyampaikan pesan-pesan moderasi beragama di tengah-tengah umat, melainkan juga selayaknya bisa menghayati dan mengamalkannya dalam konteks “aksi nyata” di kehidupannya sehari-hari. Dengan kata lain, mereka diharapkan tidak hanya mampu melakukan da’wah bil lisan, tetapi juga da’wah bil hal. Kecenderungan ini mestinya menjadi perhatian dari Program Studi (Prodi) Pendidikan Agama Islam (PAI) di suatu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam terhadap bakal alumni-alumninya.

Bisa dimafhumi, pada masa Nabi Muhammad Saw hidup, model dakwah semacam ini telah dipraktikkan dan diteladankan langsung olehnya. Dalam konteks aksi nyata pun demikian. Dalam suatu hadits, diriwayatkan tentang bagaimana Nabi Muhammad Saw pernah memberikan izin kepada Asma binti Abi Bakar untuk berbuat baik kepada ibunya yang tidak memeluk agama Islam. Berdasarkan ini, Nabi Saw menunjukkan keteladanannya dalam aksi nyata seputar moderasi beragama. Darinya kita belajar bahwa dalam agama Islam, sikap toleransi dan mengedepankan kasih sayang harus diutamakan, bahkan dalam hubungan suatu keluarga yang anggota-anggotanya relatif berbeda dari sisi agama yang dipeluk.

Contoh yang lain adalah tentang kisah Nabi Muhammad Saw yang memperlakukan seorang pengemis tunanetra di suatu sudut Pasar Medinah, yang walaupun sehari-harinya pengemis tersebut mencaci-makinya, Nabi Saw memperlakukannya dengn sangat baik. Pengemis Yahudi tersebut merasa jijik dan muak bila mendengar orang menyebut nama Muhammad. Bahkan, ia menuduh Nabi Muhammad sebagai tukang sihir dan pembohong besar. Pengemis itu sering berkata bahwa siapa pun mesti mewaspadai sosok bernama Muhammad.

Nabi Muhammad Saw sama sekali tak membenci dan dendam kepadanya. Beliau hanya tersenyum dan selalu bersikap lembut terhadapnya. Nabi Saw juga rela meluangkan waktu setiap pagi untuk menyuapkan makanan kepada pengemis buta tersebut. Kebiasaan tersebut terus berlanjut, dan si pengemis itu tidak tahu bahwa yang menyuapinya makanan setiap hari ialah Nabi Muhammad Saw, orang yang ia benci.

Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, senyatanya tidak ada lagi yang datang menyuapkan makanan kepada si pengemis tunanetra tersebut. Selang beberapa waktu, Abu Bakar bin Shiddiq menggantikan kebiasaan Nabi tersebut, berkat informasi yang diberikan oleh Aisyah ra. Sesampainya di sana, di tempat di mana seorang pengemis tunanetra biasanya berada, Abu Bakar mencoba mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhamaad Saw kepada si pengemis tunanetra, yaitu menyuapkan makanan kepada si pengemis. Namun, siapa sangka, ia malah dapat teguran kerasa dari si pengemis. "Siapakah Engkau?". Abu Bakar menjawab, "Aku orang yang biasa". Pengemis itu berkata lagi, "Bukan. Pasti engkau bukan orang yang biasa mendatangiku. Apabila ia datang, tak usah tangan ini memegang dan tak usah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku. Dan, ia terlebih dahulu dihaluskan makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku". Mendengar ucapan si pengemis, Abu Bakar menangis terharu dan berkata, "Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku merupakan salah satu sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia merupakan Nabi Muhammad, Rasulullah Saw, yang sehari-harinya engkau caci maki di sini". Seketika, si pengemis pun menyesal dan menangis mendengar penjelasan dari Abu Bakar. "Benarkah demikian?, tanya si pengemis. “Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikit pun, ia mendatangiku dengan membawa makanan tiap pagi, ia begitu mulia", demikian katanya. Orang yang membenci Nabi SAW itu lantas bersyahadat di hadapan Abu Bakar ra.

Berdasarkan kisah ini, jelas Nabi Muhammad Saw, sangat bisa diteladani dalam soal aksi nyata. Ia tidak hanya mendakwahkannya secara lisan (bil lisan), namun juga mempraktikkannya dalam perbuatannya sehari-hari (bil hal). Dalam dua kisah tentang Nabi Muhammad Saw di atas, bahwa dalam dakwah, khususnya dalam membumikan moderasi beragama, selayaknya para juru dakwah memahami bahwa da’wah bil lisan tidaklah cukup, perlu diikuti dengan da’wah bil hal sebagaimana yang diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw. Justru, sebagian besar dari model dakwah Nabi Saw banyak dengan perbuatan nyata.

Berdasarkan ini, praktik dakwah yang senyatanya telah ada sejak lama di tengah-tengah umat Islam, selayaknya bisa menyentuh pada ranah isu-isu strategis kekinian. Tidak hanya, pada ranah da’wah bi lisan, dalam konteks ranah da’wah bil hal juga relevan dilakukan. Aksi nyata, membuat dan mengembangkan model kelembagaan pendidikan Islam yang moderat dan modern, yang walaupun demikian berbiaya murah sehingga dapat diakses oleh siapapun, dan bahkan bisa diakses tidak hanya kalangan umat Islam tetapi pula mereka yang non muslim. Apakah ini berlebihan? Saya kira tidak! Justru, dengan cara demikianlah da’wah Islamiyah bisa betul-betul diterima di tengah-tengah masyarakat kita, yang faktanya plural dari sisi agama.Juru-juru dakwah yang selayaknya dilahirkan dari rahim Prodi PAI adalah juru-juru dakwah yang memperhatikan betul tentang hal ini. Oleh sebab itulah, Prodi PAI, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, di IAIN Pontianak tidak hanya menginsersikan moderasi beragama di materi-materi kuliah (pada semua mata kuliah yang diberikan) yang relevan tidak hanya untuk mencetak profil seorang guru agama Islam, tetapi juga dengan profil tambahan bisa berdakwah di tengah-tengah masyarakat baik secara lisan maupun aksi nyata. Bahkan, ada mata kuliah pilihan, yaitu khitabah yang sangat relevan dalam konteks ini diberikan di semester akhir.

Fokus dari esei ini adalah untuk mendeskripsikan seputar relevansi Prodi PAI dalam melahirkan juru-juru dakwah yang beraksi nyata. Tulisan ini bisa menjadi masukan kritis, terutama soal dikotomi di perguruan tinggi keagamaan Islam yang menganggap bahwa Prodi PAI hanya sebatas mengurusi calon-calon guru agama Islam, dan sementara untuk menjadi juru-juru dakwah mereka bisa berkuliah di prodi-prodi yang ada di Fakultas Dakwah. Tentu, dikotomi semacam ini tidak selayaknya terjadi.

Yang Harus Diperhatikan

Prodi PAI selayaknya mampu melahirkan dari rahim pendidikannya, alumni-alumni yang mampu berdakwah, tidak hanya secara lisan tetapi juga bil hal. Apalagi jelas, misi mendidikkan agama Islam yang diemban para alumni, beririsan dengan misi dakwah yang harus ia tunaikan. Dengan kata lain, tidak saja alumni dari prodi-prodi di Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah yang mengemban misi dakwah.

Dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti ajakan, seruan, atau panggilan. Sedangkan secara istilah berarti mengajak, atau berusaha dengan cara-cara tertentu untuk mengajak orang seorang atau kelompok manusia agar menganut, menyetujui, mengikuti suatu paham atau konsepsi Islam. Jadi sesungguhnya dalam definisi dakwah seperti ini sudah mencakup pengertian dakwah secara lisan dan dakwah bil hal.

Hanya saja karena dakwah mengalami perkembangan pengertian sehari-hari, menjadi sangat identik dengan tabligh, penyampaian secara lisan, maka da’wah bil hal kurang mendapat perhatian. Pengkajian pengertian dakwah bil hal diperlukan untuk menetralisir pengertian tersebut, yaitu untuk melengkapi pengertian da’wah dalam kehidupan sehari-hari yang cenderung dikonotasikan dengan bil lisan tersebut.

Selain da’wah bil lisan dan da’wah bil hal, dalam masyarakat juga timbul berbagai istilah, seperti dakwah Islamiyah dan dakwah pembangunan, Dari berbagai peristilahan tersebut kata-kata dakwah menurut penulis merupakan istilah yang netral dan umum. Kata ini setelah mendapatkan atribut di belakangnya, maka istilah tersebut sudah menunjuk kepada pengertian tertentu. Bahkan dalam konteks pendidikan agama Islam yang diberikan di sekolah/ madrasah/ pesantren sepatutnya juga mengemban misi dakwah.

Terdapat benang merah yang jelas di sini, yakni bahwa dakwah adalah upaya apapun untuk mempengaruhi atau merubah kondisi orang seorang atau kelompok manusia dari kondisi yang kurang baik menjadi lebih baik sesuai dengan dimensi, ruang dan waktu tertentu. Dakwah (apapun atributnya) dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah mengacu kepada upaya menciptakan keadaan orang-seorang dan kelompok manusia untuk dapat meningkatkan taraf kehidupannya yang sesuai, selaras dan seimbang antara kehidupan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah, yang diridhoi oleh Allah SWT.

Da’wah bil lisan merupakan penyadaran diri dalam konteks hubungan seseorang dengan dunia sekitarnya, sementara da’wah bil hal adalah dakwah untuk menciptakan perubahan dalam dataran struktural, politik, ekonomi dan sebagainya melalui prosedur kelembagaan. Sementara da’wah bil lisan merupakan penyadaran diri dalam konteks hubungan seseorang dengan dunia sekitarnya. Sedangkan dakwah bil hal adalah dakwah untuk menciptakan perubahan dalam level praktis, politik, ekonomi dan sebagainya melalui prosedur kelembagaan. Maka da’wah bil hal adalah dakwah yang lebih mementingkan atau menekankan pada dimensi kemasyarakatan, motivasinya lebih dekat kepada pengertian rahmatan lil‘alamin.

Namun demikian pengertian-pengertian di atas bukan pengertian yang menyeluruh yang dapat mewakili pengertian da’wah bil hal secara keseluruhan. Jika pengertian da’wah bil hal motivasinya lebih dekat kepada pengertian rahmatan lil’alamin, demikian pula da’wah bil lisan yang memberikan motivasi kepada pengertian rahmatan lil‘alamin. Seyogyanya dakwah bil lisan lebih ditujukan kepada penanggulangan awal, merintis dan penyadaran pertama, sedangkan da’wah bil hal meneruskan.

Baik da’wah bil lisan maupun bil hal, yang harapannya bisa dilahirkan dari rahim pendidikan Prodi PAI, tujuannya adalah mewujudkan manusia berkualitas. Dengan demikian, baik da’wah bil lisan maupun bil hal mengarah pada upaya mengajak orang-seorang atau kelompok orang yang mengikuti prinsip bil hikmah wal mau’izhatil hasanah dan lebih menekankan kepada kegiatan nyata di lapangan, dengan amal perbuatan, memberikan keteladanan, berorientasi kepada pemecahan masalah bersama, melaksanakan hal-hal yang konkrit terutama di bidang ibadah ghairu mahdhah di samping ibadah mahdhah, ia juga lebih menekankan pada action approach di samping oral approach.

Menurut pengertian ini jelas bahwa dakwah bil hal bukan berarti tidak di dahului dengan berbicara antara da‘i dan mad‘i, tetapi dia sama sebagaimana dakwah bil lisan yang menggunakan pendekatan berbicara, dakwah bil hal pun demikian. Hanya saja da’wah bil hal menggunakan perbuatan nyata sebagai fokus usahanya. Da’wah bil hal sebagai dakwah yang memakai pendekatan sosial atau dalam istilah Inggris “society development”, yang mempunyai konotasi baik aspek maupun caranya.

Da’wah bil hal yang boleh dikatakan sama pentingnya dengan da’wah bil lisan, pada dasarnya adalah upaya untuk lebih mendekatkan dakwah dengan masyarakat sebagai objek dakwah, sehingga misi dakwah diharapkan lebih sukses dengan berdaya guna, dan pada akhirnya tercipta kondisi baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Ini berarti dakwah Islam tidak hanya terbatas pada bil lisan dalam bentuk himbauan saja, akan tetapi juga mengajak orang-seorang atau kelompok manusia untuk berbuat nyata (bil hal) di tengah-tengah masyarakat untuk memecahkan masalah konkrit yang sedang dihadapinya.

Berdasarkan paparan di atas, bahwa yang dimaksud dengan da’wah bil lisan maupun dakwah bil hal adalah upaya mengajak orang-perorang maupun kelompok untuk mengembangkan diri dan masyarakat dalam rangka integritas dan sosialisasi ajaran Islam ke dalam semua aspek kehidupan manusia, baik untuk mewujudkan tatanan sosial ekonomi maupun kebutuhan jasmani dan rohani lainnya yang lebih baik, baik disampaikan secara lisan maupun ajakan beraksi nyata. Mungkinkah, ini bisa dilakukan oleh alumni-alumni PAI? Di IAIN Pontianak, sebagaimana telah saya singgung dimuka, kecuali melalui insersi materi-materi yang relevan untuk kebutuhan dakwah di semua mata kuliah yang diberikan, kurikulum di Prodi PAI IAIN Pontianak menyediakan satu mata kuliah khusus sehubungan dengan kebutuhan ini yaitu mata kuliah khitabah.

Maka melalui mata kuliah khitabah ini, karakteristik dari dakwah juga perlu dibekalkan. Tidak hanya seputar tips berdakwah secara lisan, tetapi juga dakwah bil hal. Kaitannya dengan da’wah bil hal, relevan bagi dosen mengajarkan ke mahasiswa seputar: satu, dakwah yang menggunakan pendekatan tindakan nyata; dua, dakwah yang menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan; tiga, dakwah untuk mengembangkan diri dan masyarakat; empat, lebih banyak menggunakan analisis sosial; lima, mengarah kepada gerakan praktis dan pemecahan masalah; enam, berposisi komplementer; tujuh, banyak menggunakan mekanisme gerakan; dan delapan, dakwah yang merupakan manifestasi dari kesadaran keagamaan yang dimiliki seseorang atau kelompok. Dengan demikian, sudah terang-benderang, bahwa tidak hanya lulusan Prodi-Prodi Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah yang mengemban misi dakwah, Prodi PAI di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, juga memiliki peluang yang sama. Tidak selayaknya ini didikotomikan, meminjam istilah M. Amin Abdullah.(Abdullah, 2006).***

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...