Saturday, December 2, 2023

Tren Humanisme: Dari Humanisme-Sekuler ke Humanisme Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan

Macam-macam masalah kemanusiaan pada hari ini muncul dan beririsan dengan dinamika perkembangan zaman. Konsekuensi dari masalah-masalah tersebut jelas tidak semuanya positif. Belajar dari “rekam jejak” perjalanan kehidupan umat manusia di muka bumi, macam masalah yang menghimpit manusia seringkali berkonsekuensi buruk. Manusia sebagai “aktor” di panggung besar kehidupan, suka atau tidak suka mesti menerima konsekuensi terburuk jika tidak mampu mengatasinya. Masalah yang menghimpit kemanusiaan ini lazim dikenal dengan “dehumanisasi”.

Dehumanisasi jelas mengakibatkan rusaknya harkat kemanusiaan, mengusik dan mengakibatkan banyak masalah dalam kehidupan manusia. Dalam sejarah umat manusia di muka bumi, dehumanisasi telah dipertontonkan oleh Qabil (anak keturunan Adam as.) yang membunuh saudaranya Habil. Pembunuhan adalah bentuk dari dehumanisasi, oleh karena pembunuhan telah merenggut hak-hak manusia, yang di antaranya adalah “hak untuk hidup”. Wahbah al-Zuhaili, seorang ahli fikih mengatakan bahwa pembunuhan sebagai tindakan yang mematikan nyawa seseorang, atau perbuatan manusia terhadap manusia lain yang menyebabkan kematian, merupakan perbuatan buruk yang merusak nilai-nilai kemanusia.[1]

Kecuali itu, gaya hidup manusia sekarang yang hedonis juga bisa dikategorikan dehumanisme. Sebagaimana dimafhumi, kaum hedonis seringkali mendewakan kesenangan duniawi dan terkadang mengabaikan sisi kemanusiaannya, dan bahkan menjadikan sisi kemanusiaannya tersebut sebagai subordinat dari gaya hedonisme yang mereka anut. Konsekuensi dari gaya hidup yang hedonistik ini, perlahan tapi pasti menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan dan mengacau harmonisasi kehidupan sosial umat manusia. Sebab lain, bahwa gaya hidup yang hedonistik mengakibatkan ketimpangan sosial dan memperlebak jarak stratifikasi sosial di tengah kehidupan umat manusia.

Bentuk lainnya dari dehumanisasi adalah teralienasinya manusia dari kehidupannya. Di alam modern sebagaimana saat ini misalnya, dehumanisasi mengakibatkan manusia merasa terasing dari kehidupan sosial dan budayanya, hilang kepekaan sosial dan budayanya, yang jelas semakin menjauhkan dirinya dari prinsip-prinsip kemanusiaan yang bersosial dan berbudaya. Sebagaimana dimafhumi, bahwa manusia disebut manusia, oleh karena melekat pada dirinya fungsi “makhluk sosial” (homo socius) dan “makhluk berbudaya” (homo legatus), yang mustahil bisa hidup sendirian, membutuhkan sosialisasi, serta mewarisi dan mewariskan kebudayaannya. Keterasingan manusia ini, mencederai harkat kemanusiaannya sebagai predikat mulia yang melekat era dalam dirinya.

Sebagai lawan kata dari dehumanisasi ini adalah humanisasi. Humanisasi ini muncul sebagai konsekuensi dari munculnya humanisme di masa renaissans, yang mengajarkan tentang pentingnya membumikan ajaran kemanusiaan secara simultan, dan sayangnya menjadi anti-tesis dari ajaran agama.

Muncul pandangan kala itu yang menilai agama telah merongrong kebebasan manusia dan akal budinya, dan itu dianggap pendukung paham ini merusak nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini tidak mengherankan, sebab humanisme kala itu memang muncul sebagai konsekuensi dari ajaran filsafat dan sains yang pada masa itu “naik daun”, sehingga muncul anggapan bahwa agama tidak konkret dan empiris. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi humanisme masa renaisans sebagai humanisme sekuler, yaitu humanisme yang memisahkan diri dari hal-hal yang bersifat spiritual-transedental.

Eksistensi humanisme sekuler beserta dinamikanya berlangsung mulai abad ke 14 hingga awal abad 20, yang kemudian di awal abad ke 20 lahirlah humanisme jenis baru yang menyandingkan dan melihat perihal kemanusiaan dengan sudut pandang ajaran agama. Humanisme pada awal abad 20 menjelma menjadi humanisme religius, yang bersanding mesra dengan agama. Pada abad ini, muncul sebagai tandingan terhadap cara pandang humanisme sekuler yang menjauhi agama, yaitu cara pandang humanisme yang berangkat dari ajaran keagamaan.[2]

Sehubungan dengan humanisme religius ini, penting bagi kita menelusuri genealoginya, sebab sebagaimana telah disampaikan, paham ini muncul belakangan setelah masyarakat di awal abad 20 setelah merasa jenuh dengan humanisme sekuler yang menjauhi agama. Secara kebahasaan (etymology), kata humanisme dibangun dari dua kata (dari bahasa latin) yang membentuknya, yaitu humanus yang berarti manusia, dan ismus yang berarti paham.[3] Dalam Bahasa Inggris, kita mengenal ada istilah “humanism” dan dalam Bahasa Indonesia “humanisme”, yang dalam Bahasa Arab “insaniyyah”.  Sementara jika ditinjau secara istilah (terminology), bahwa kata humanisme bisa didefinisikan menjadi: satu, paham yang berujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mengandaikan pergaulan sosial dalam kehidupan umat manusia yang lebih baik; dua, paham yang menilai manusia sebagai objek material yang penting untuk dikaji; dan tiga, kemanusiaan.[4] Berdasarkan definisi terhadap humanisme ini, humanisme adalah paham yang menjadikan manusia sebagai objek material yang penting menjadi pusat kajian, dengan lokus perhatian pada ranah kemanusiaan dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita pergaulan hidup yang lebih baik sesuai dengan harkat kemanusiaannya.

Dalam sejarahnya, humanisme tercitrakan sebagai salah satu aliran yang muncul di masa zaman renaissans. Pada masa renaissans, gema humanisme terdengar sangat kencang di suarakan di penjuru-penjuru benua Eropa. Humanisme menjadi ajaran yang dapat menarik banyak orang untuk membicarakan, mengkaji, dan mengkampanyekan. Hal ini dapat terjadi, sebab pada abad pertengahan, yang dikenal dengan abad kegelapan Kristen itu, humanisme menjadi solusi bagi kegelapan tersebut.[5] Humanisme kemudian menjadi alasan kebangkitan Barat, terutama di Eropa.[6] Berangkat pula pada catatan sejarah ini, zaman renaissans adalah milik humanisme.[7]

Sebagai suatu istilah, humanisme dikait-kaitkan dengan zaman renaissans, akan tetapi humanisme sebagai konstruksi filosofis seyogyanya bisa dilacak hingga ke masa filsafat Yunani dan Romawi kuno. Sebagaimana halnya pada masa Yunani kuno dikenal dengan paidea[8] yang digadang-gadang dapat mengolah bakat kodrati manusia, serta masa Romawi kuno beserta gagasannya yang menganggap manusia sebagai animal rationale. Berangkat dari hal itu, kedua imperium kuno tersebut kemudian menyandang predikat sebagai peletak dasar humanisme.[9]

Hanya saja, dasar humanisme ini hingga abad 19, masih diterjemahkan dalam pengertiannya yang sekuler. Walaupun bisa diakui bagaimana humanisme yang berkembang saat ini (masa renaisans), telah berhasil melancarkan jalan bagi modernisasi di Eropa.[10] Namun demikian, renaissans juga telah mendorong berbagai bentuk eksploitasi terhadap nalar budi manusia, yang di kemudian hari berkonsekuensi pada lahirnya gerakan-gerakan pencerahan di Eropa. Gerakan-gerakan tersebut, lazim kita ingat dengan aufklarung (enlightment), hingga revolusi industri yang terjadi di abad ke 18 di Eropa. Pada periode ini modernisasi melacu demikian kencang, hingga menyebabkan kemajuan perkembangan Barad dalam berbagai bidang.[11]

Jika humanisme (yang sekuler) bisa dikatakan muncul sebagai counter attack terhadap paham, pemikiran, dan ajaran di Eropa kala itu yang ditandai oleh fanatisme terhadap ajaran agama dan otoritas gereja yang berlebihan, maka humanisme religius bisa dikatakan muncul sebagai counter attack terhadap paham, pemikiran dan ajaran humanisme yang berkembang secara sekuler dan menghindari agama.[12]

Belakangan, humanisme religius yang muncul sebagai lawan dari humanisme sekuler, selayaknya diterjemahkan menurut pandangan masing-masing agama. Sebagaimana para pemikir-pemikir Islam, mengenalkan istilah humanisme Islam. Humanisme Islam, berarti paham humanis yang dibangun dengan mempedomani Al-Qur‘an dan Hadits.[13] Dari sini, bisa dipahami bahwa humanisme Islam berbeda dengan humanisme Barat, walaupun dekat dan beririsan dengan sejarah kemunculan humanisme-religius di Barat. Humanisme Islam adalah paham humanis yang berciri dekat dan mempedomani Al-Qur‘an dan Hadits. Oleh karena itu, humanisme Islam yang dimaksudkan di sini adalah humanisme Islam yang bercorak Islam, yang bagi pemeluknya diterjemahkan dengan pemikiran dan amal perbuatan yang menjunjung tinggi kemanusiaan, merawat tradisi dan budaya, dengan Al-Qur‘an dan Hadits.***


[1] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adilatuhu, Jilid 6 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 217.

[2] Merujuk ke Bernard Muchland, humanisme memang bisa diklasifikasikan kepada dua macam: satu, humanisme yang jejaknya bisa ditelusuri dari Framcis Bacon hingga John Locke dan Adam Smith sampai kepada Jeremy Bentham serta John Stuart Mill, dekat dengan sains modern, kapitalisme, dan demokrasi; dan dua, humanisme yang jejaknya bisa ditelusuri dari para humanis masa renaissans seperti Petrach dan Erasmus, serta berlanjut pada garis sejarah yang terhubung misalnya dengan pemikir idealis Jerman Carlyle, Ruskin, dan Matthew Arnold yang tidak menolak religiusitas, dan bahkan menolak model humanism yang kapitalis di masa itu. Baca: Bernard Muchland, Humanism and Capitalism: A Survey of Thought on Morality (Washington DC & London: American Enterprise Institute for Public Policy Research, 1984), hlm. 1-2.  

[3] Zulfan Taufik, Dialektika Islam dan Humanisme: Pembacaan Ali Shari‘ati (tanggerang Selatan: Onglam Books, 2015), hlm. 23.

[4] Muklas Ridoi, “Nilai Humanisme dalam Qs Al-Balad”, Al-Mada, Volume 6, Nomor 1, 2023, hlm. 49.

[5] Sebagai pemikiran, paham, dan ajaran yang lahir di Eropa, pada abad pertengahan, humanism lahir mulanya sebagai counter attack terhadap fenomena yang terjadi di Eropa kala itu. Sebagaimana yang terdapat di berbagai literatur tentang Sejarah, Eropa abad pertengahan dikenal sebagai abad yang fanatic terhadap agama dan tunduk pada otoritas gereja, dan tenggelam dalam kemunduran, sampai kemudian bangkit kembali dengan humanisme. M. Basri, Sejarah Eropa (Yogyakarta: Suluh Media, 2016), hlm. 5.

[6] Muhaemin Latif, Perkembangan Teologi Modern (Gowa: Alauddin University Press, 2020), hlm. 15.

[7] Muliadi, Filsafat Umum (Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020), hlm. 209.

[8] Paidea bisa dipahami sebagai sistem kehidupan dari umat manusia, yang menjadi pedoman dalam mewujudkan kondisi yang dianggap ideal bagi umat manusia. Lihat Muklas Ridoi, “Nilai Humanisme…”, hlm. 49.

[9] F. Budi Hardiman, Humanisme dan Sesudahnya (Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia, 2012), hlm. 8.

[10] Baca: Bertrand Russell, History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, terj. Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, dan Muhammad Shodiq dengan judul Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021), hlm. 651-661.

[11] Gregor Neonbasu, Sketsa Dasar: Mengenal Manusia dan Masyarakat (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2020), hlm. 26.

[12] Muliadi, Filsafat Umum, hlm. 209.

[13] Muklas Ridoi, “Nilai Humanisme…”, hlm. 52.

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...