Saturday, September 9, 2023

Modernisasi Kelembagaan Pendidikan Islam, Quo Vadis?

Oleh: Syamsul Kurniawan

PERUBAHAN sosial adalah suatu proses yang lumrah dan alamiah terjadi dalam kehidupan sosial. Disebut perubahan sosial oleh karena proses tersebut menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada struktur dan fungsi dari sistem sosial.[1] Modernisasi sendiri merupakan salah satu dari contoh nyata perubahan sosial. Dalam hal ini, modernisasi mengakibatkan transformasi total kehidupan bersama, dari yang tradisional ke arah pola-pola kemajuan yang modern. Walaupun, modernisasi biasanya cenderung mengacu pada kemajuan Barat, namun di ranah ini modernisasi bisa dibedakan dengan westernisasi.[2]

Modernisasi sendiri, sebagaimana definisi yang berkembang, adalah fenomena sosial yang sering dikontradiksikan dengan kondisi sosial masyarakat yang terbelakang dan/atau tertinggal, dan bagaimana mereka kemudian membangun paradigma dan merancang usaha-usaha untuk mengejar ketertinggalan dari masyarakat modern di belahan peradaban lain dalam periode historis yang sama. Modernisasi bisa dikatakan, menggambarkan suatu gerakan sosial dari pinggiran (yang tradisional) ke inti (yang modern).[3] Seperti tren bangkitnya negara-negara yang baru merdeka di Asia dan Afrika yang tadinya merupakan negara terjajah, yang sadar akan ketertinggalan mereka, mengatasi masalah mereka, dan kemudian berharap bisa mengejar ketertinggalan mereka tersebut, tak terkecuali di Indonesia.[4]

Piotr Sztompka berbagi pandangannya seputar modernisasi ini. Menurut Sztompka, bahwa modernisasi terjadi karena adanya tren sebagai berikut: satu, kecenderungan perubahan yang berlangsung secara unilinear, yang berarti masyarakat yang kurang modern mesti menyelaraskan jalannya dengan jalan modern negara-negara modern, mengikuti Langkah yang sama, atau berdiri di tangga lebih rendah di eskalator yang sama; dua, arah perubahan tidak dapat dirubah, tanpa terelakkan akan bergerak ke modernitas sebagai tujuan akhir dari proses perkembangan yang dipandang menyamai masyarakat Barat yang industrialis-kapitalis dan demokratis; tiga, perubahan terjadi secara bertahap, meningkat, damai, dan tanpa gangguan; empat, proses perubahan melalui tahapan berurutan, dan tidak ada satu tahapanpun yang dapat dilompati; lima, terpusatnya perhatian pada faktor penyebab dari dalam dan menggambarkan kekuatan yang menggerakkan perubahan di lihat dari sudut diferensiasi  struktural dan fungsional; enam, progresifitas, yaitu munculnya keyakinan bahwa proses modernisasi menciptakan perbaikan kehidupan sosial universal dan meningkatkan taraf hidup.[5]

Modernisasi sebagai bentuk dari perubahan sosial terjadi oleh karena faktor-faktor yang datang dari sebab internal maupun eksternal.[6] Berdasarkan ini, faktor-faktor tersebut bisa diklasifikasikan menjadi tiga: satu, immanent change, yang merupakan suatu bentuk perubahan sosial yang berasal dari sistem sosial itu sendiri, dengan sedikit atau tanpa inisiasi dari luar; dua, selective contact change, yaitu pihak luar secara tidak disadari secara spontanitas telah memberi pengaruh pada anggota-anggota dari suatu sistem sosial; tiga, directed contact, yaitu apabila ide-ide atau cara-cara baru tersebut dibawa secara sengaja oleh pihak luar.[7] Bagaimana dengan modernisasi kelembagaan pendidikan Islam, yang menjadi poin pembahasan pada artikel ini?.

 

Rasionalisasi

Sulit memungkiri bagaimana di tengah tren modernisasi saat ini, masih cukup banyak lembaga pendidikan Islam puas dengan sisi ketradisionalannya. Padahal, dari sisi kelembagaan, penting bagi lembaga pendidikan Islam bisa berdamai dengan perubahan, dan salah satunya saat ini: modernisasi. Bukan berarti, lembaga pendidikan Islam yang kerap dimaknai sebagai lembaga yang betanggung jawab terhadap upaya pengembangan potensi (fitrah) manusia, menuju terwujudnya manusia seutuhnya berdasarkan nilai-nilai luhur ajaran Islam, yaitu Al-Qur‘an dan Hadits,[8] lantas menjauhi modernisasi yang niscaya saat ini?

Harus kita pahami, bahwa di tengah-tengah masyarakat, lembaga pendidikan Islam bekerja dalam suatu sistem sosial. Sebab masyarakat bertumbuh dan berkembang secara dinamis, maka menjadi kemestian bagi sistem pendidikan Islam secara kelembagaan menyesuaikannya. Jika saat ini sistem sosial masyarakat polanya telah bergeser dari tradisional ke modern, mestinya dari sisi kelembagaan pendidikan Islam pun demikian.[9]

 

Support System

Telah dipaparkan di atas, bagaimana tiga faktor yang menjadi alasan terjadinya pergeseran kelembagaan pendidikan Islam, dari sisi tradisional ke modern, yaitu: immanent change, selective contact change, dan directed contact. Ketiga faktor ini akan merubah sistem kelembagaan pendidikan Islam, yang berstruktur, meliputi komponen-komponen yang saling memberi pengaruh, yang fungsional masing-masing komponennya, dan secara bersama-sama juga fungsional terhadap kebutuhan sistem.[10] Dengan kata, butuh yang kita sebut dengan support system.

Kata “sistem” yang dimaksudkan di sini, berasal dari Bahasa Yunani yaitu “systema”, yang berarti cara atau strategi. Kata ini, yang dalam Bahasa Inggris “system”, bisa diartikan susunan, jaringan atau cara. Dengan kata lain, sistem modern bisa saja mengarah pada susunan, jaringan atau cara-cara yang modern. Maka definisi sistem seyogyanya mengarah pada susunan atau bagian yang saling beririsan satu dengan yang lain secara teratur antar komponennya secara keseluruhan, baik secara struktur atau fungsi.[11] Jika yang dimaksudkan di sini adalah modernisasi kelembagaan pendidikan Islam, maka sistem kelembagaan pendidikan Islam baik secara struktural maupun fungsinya akan sejalan dengan kebutuhan modernisasi tersebut.

Adapun komponen dari kelembagaan pendidikan Islam yang mesti beririsan dengan kebutuhan kelembagaan modern yang dimaksud di sini: satu, dasar dan tujuan. Dasar adalah fondasi dan sumber di mana digalinya nilai-nilai pendidikan yang memuat nilai-nilai universal, sementara tujuan adalah apapun yang ingin dicapai dari kerja-kerja kelembagaan pendidikan. Kedua, masukan (input), yaitu peserta didik yang akan menjalani proses pendidikan, yang kelak akan menjadi tamatan (output). Ketiga, pendidik dan tenaga kependidikan, kurikulum pendidikan, administrasi pendidikan, prasarana dan sarana pendidikan, anggaran pendidikan, dan seterusnya, yang merupakan masukan instrumental (instrumental input) dan/ atau merupakan sumber daya pendidikan. Keempat, manusia (orang tua dan masyarakat), kondisi alam, ekonomi, sosial, politik, budaya, agama dan lain sebagainya, yang baik langsung atau tidak langsung ikut mempengaruhi proses dan hasil dari pendidikan.[12] Rasionalisasinya bisa dilihat pada gambar 1 di bawah ini:

 


Gambar 1. Kelembagaan Pendidikan Islam Sebagai Sistem yang Modern

Berdasarkan gambar 1 di atas, maka bisa dijelaskan tentang support system kelembagaan pendidikan Islam untuk kebutuhan modernisasi sebagai berikut:

1.      Rumusan tujuan pendidikan Islam, yang digali dari fondasi dan sumber dasar ajaran agama Islam yaitu Al-Qur’an, Hadits, ijtihad, urf, dan seterusnya mestilah berdamai dengan modernisasi. Secara garis besar, tujuan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tujuan akhir dan tujuan sementara. Tujuan akhir atau tujuan tertinggi kelembagaan pendidikan Islam sifatnya abstrak, idealis dan filosofis yaitu untuk mewujudkan manusia seutuhnya yang menghamba kepada Allah Swt (abdullah), dan di sisi lain mencetak profil khalifah di muka bumi (khalifah fi al-ard). Sementara tujuan sementara dari kelembagaan pendidikan Islam sifatnya empiris, realistik, dan pragmatik, yaitu beririsan dengan kebutuhan modernisasi sebagai tren zaman. Sehingga profil peserta didik yang menjadi keluaran dari lembaga pendidikan Islam, harusnya memiliki kapasitas pengetahuan (kognitif), nilai-nilai dan sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik) yang relevan dengan kebutuhan modernisasi.

2.     Masukan (input peserta didik), yaitu individu-individu yang memiliki potensi dasar (fithrah) yang kemudian dikembangkan melalui proses yang dinamakan pendidikan. Masukan berupa peserta didik ini akan bertemu dengan pengalaman belajar di lembaga pendidikan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan modernisasi.

3.     Proses (transformasi) kelembagaan pendidikan Islam, yang meliputi kerja-kerja memindahkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), memindahkan nilai-nilai (transfer of values) dan/atau internalisasi nilai-nilai (internalization of values) untuk menghasilkan keluaran (output) yang sejalan dengan kebutuhan modernisasi. Keseluruhan proses atau kerja-kerja dari komponen-komponen di lembaga pendidikan Islam selayaknya bisa berorientasi pencapaian tujuan (goal-attainment) yang modern. Selanjutnya proses tersebut akan terlaksana dengan baik, efisien, dan efektif manakala diberi support dari dua komponen lain yang juga penting dan saling berhubungan, yaitu: satu, instrumental input berupa pendidik dan tenaga kependidikan yang modern, kurikulum yang modern, prasarana dan sarana yang modern, serta anggaran yang mencukupi. Dua, environmental input, yaitu lingkungan yang mencakup apapun yang mempengaruhi eksistensi kelembagaan pendidikan Islam, apakah orang tua/ wali, masyarakat di sekitar lembaga pendidikan Islam berdiri yang dilihat dari kondisi sosial, ekonomi, politik dan budayanya yang bisa menerima modernisasi.

4.     Keluaran (output) yaitu tamatan, yang diharapkan menjadi profil muslim yang modern, yang diharapkan sejalan dengan tujuan kelembagaan pendidikan Islam.***



[1] Ellya Rosana, ‘Modernisasi dalam Perspektif Perubahan Sosial’, Al-Adyan: Jurnal Studi Agama, vol. X, no. 1 (2015), p. 67.

[2] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, ed. by Alimandan (Jakarta: Prenada, 2005), p. 153; Abdulsyani, Sosiologi: Skematika, Teori dan Terapan (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), p. 177.

[3] Rosana, ‘Modernisasi dalam Perspektif Perubahan Sosial’, p. 71.

[4] Irma Sulistiowati, ‘Gejolak Politik dan Ekonomi Afrika Pasca Perang Dunia II’, ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah, vol. 16, no. 2 (2020), p. 5; Abdullah, ‘Studi Tentang Modernisme Indonesia’, Sulesana: Jurnal Wawasan Keislaman, vol. 8, no. 2 (2013), p. 18; Bandingkan dengan: Mansour Fakih, Runtuhnya teori pembangunan dan globalisasi, Cetakan pertama edition (Yogyakarta: Insist Press, 2009), p. 47.

[5] Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, p. 151.

[6] Rosana, ‘Modernisasi dalam Perspektif Perubahan Sosial’, p. 76.

[7] Jefta Leibo, Sosiologi pedesaan, Ed. 2., cet. 1 edition, ed. by J. Nasikun (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), p. 71.

[8] A. Jamin, “Pendidikan Islam Sebagai Sebuah Sistem: Transformasi Input Menuju Output yang Berkarakter”, Jurnal Islamika, Volume 15 , Nomor 2 (2015), p. 173-186.

[9] Suriadi, “Analisis Filosofis Tentang Pendidikan Islam Sebagai Suatu Sistem”, Ta’dib: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Nomor 2 (2011), 299-307.

[10] U. Tirtarahardja dan L. Sula, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), p. 58.

[11] Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), p. 26. Tatang Saripudin, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008), p. 84.

[12] U. Tirtarahardja dan L. Sula, Pengantar Pendidikan, p. 181.

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...