Oleh: Syamsul Kurniawan
PERUBAHAN sosial adalah suatu proses yang lumrah dan alamiah terjadi dalam kehidupan sosial. Disebut perubahan sosial oleh karena proses tersebut menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada struktur dan fungsi dari sistem sosial.[1] Modernisasi sendiri merupakan salah satu dari contoh nyata perubahan sosial. Dalam hal ini, modernisasi mengakibatkan transformasi total kehidupan bersama, dari yang tradisional ke arah pola-pola kemajuan yang modern. Walaupun, modernisasi biasanya cenderung mengacu pada kemajuan Barat, namun di ranah ini modernisasi bisa dibedakan dengan westernisasi.[2]
Modernisasi sendiri, sebagaimana
definisi yang berkembang, adalah fenomena sosial yang sering dikontradiksikan
dengan kondisi sosial masyarakat yang terbelakang dan/atau tertinggal, dan
bagaimana mereka kemudian membangun paradigma dan merancang usaha-usaha untuk
mengejar ketertinggalan dari masyarakat modern di belahan peradaban lain dalam
periode historis yang sama. Modernisasi bisa dikatakan, menggambarkan suatu
gerakan sosial dari pinggiran (yang tradisional) ke inti (yang modern).[3]
Seperti tren bangkitnya negara-negara yang baru merdeka di Asia dan Afrika yang
tadinya merupakan negara terjajah, yang sadar akan ketertinggalan mereka, mengatasi
masalah mereka, dan kemudian berharap bisa mengejar ketertinggalan mereka
tersebut, tak terkecuali di Indonesia.[4]
Piotr Sztompka berbagi pandangannya
seputar modernisasi ini. Menurut Sztompka, bahwa modernisasi terjadi karena
adanya tren sebagai berikut: satu, kecenderungan perubahan yang berlangsung
secara unilinear, yang berarti masyarakat yang kurang modern mesti
menyelaraskan jalannya dengan jalan modern negara-negara modern, mengikuti
Langkah yang sama, atau berdiri di tangga lebih rendah di eskalator yang sama;
dua, arah perubahan tidak dapat dirubah, tanpa terelakkan akan bergerak ke
modernitas sebagai tujuan akhir dari proses perkembangan yang dipandang
menyamai masyarakat Barat yang industrialis-kapitalis dan demokratis; tiga,
perubahan terjadi secara bertahap, meningkat, damai, dan tanpa gangguan; empat,
proses perubahan melalui tahapan berurutan, dan tidak ada satu tahapanpun yang
dapat dilompati; lima, terpusatnya perhatian pada faktor penyebab dari dalam
dan menggambarkan kekuatan yang menggerakkan perubahan di lihat dari sudut
diferensiasi struktural dan fungsional;
enam, progresifitas, yaitu munculnya keyakinan bahwa proses modernisasi
menciptakan perbaikan kehidupan sosial universal dan meningkatkan taraf hidup.[5]
Modernisasi sebagai bentuk dari
perubahan sosial terjadi oleh karena faktor-faktor yang datang dari sebab
internal maupun eksternal.[6]
Berdasarkan ini, faktor-faktor tersebut bisa diklasifikasikan menjadi tiga:
satu, immanent change, yang merupakan suatu bentuk perubahan sosial yang
berasal dari sistem sosial itu sendiri, dengan sedikit atau tanpa inisiasi dari
luar; dua, selective contact change, yaitu pihak luar secara tidak
disadari secara spontanitas telah memberi pengaruh pada anggota-anggota dari
suatu sistem sosial; tiga, directed contact, yaitu apabila
ide-ide atau cara-cara baru tersebut dibawa secara sengaja oleh pihak luar.[7]
Bagaimana dengan modernisasi kelembagaan pendidikan Islam, yang menjadi poin
pembahasan pada artikel ini?.
Rasionalisasi
Sulit memungkiri bagaimana di tengah tren
modernisasi saat ini, masih cukup banyak lembaga pendidikan Islam puas dengan
sisi ketradisionalannya. Padahal, dari sisi kelembagaan, penting bagi lembaga
pendidikan Islam bisa berdamai dengan perubahan, dan salah satunya saat ini:
modernisasi. Bukan berarti, lembaga pendidikan Islam yang kerap dimaknai
sebagai lembaga yang betanggung jawab terhadap upaya pengembangan potensi (fitrah)
manusia, menuju terwujudnya manusia seutuhnya berdasarkan nilai-nilai luhur
ajaran Islam, yaitu Al-Qur‘an dan Hadits,[8]
lantas menjauhi modernisasi yang niscaya saat ini?
Harus kita pahami, bahwa di
tengah-tengah masyarakat, lembaga pendidikan Islam bekerja dalam suatu sistem sosial.
Sebab masyarakat bertumbuh dan berkembang secara dinamis, maka menjadi
kemestian bagi sistem pendidikan Islam secara kelembagaan menyesuaikannya. Jika
saat ini sistem sosial masyarakat polanya telah bergeser dari tradisional ke
modern, mestinya dari sisi kelembagaan pendidikan Islam pun demikian.[9]
Support System
Telah dipaparkan di atas, bagaimana
tiga faktor yang menjadi alasan terjadinya pergeseran kelembagaan pendidikan
Islam, dari sisi tradisional ke modern, yaitu: immanent change, selective
contact change, dan directed contact. Ketiga faktor ini akan merubah
sistem kelembagaan pendidikan Islam, yang berstruktur, meliputi
komponen-komponen yang saling memberi pengaruh, yang fungsional masing-masing
komponennya, dan secara bersama-sama juga fungsional terhadap kebutuhan sistem.[10]
Dengan kata, butuh yang kita sebut dengan support system.
Kata “sistem” yang dimaksudkan di sini,
berasal dari Bahasa Yunani yaitu “systema”, yang berarti cara atau
strategi. Kata ini, yang dalam Bahasa Inggris “system”, bisa diartikan
susunan, jaringan atau cara. Dengan kata lain, sistem modern bisa saja mengarah
pada susunan, jaringan atau cara-cara yang modern. Maka definisi sistem seyogyanya
mengarah pada susunan atau bagian yang saling beririsan satu dengan yang lain
secara teratur antar komponennya secara keseluruhan, baik secara struktur atau
fungsi.[11]
Jika yang dimaksudkan di sini adalah modernisasi kelembagaan pendidikan Islam,
maka sistem kelembagaan pendidikan Islam baik secara struktural maupun
fungsinya akan sejalan dengan kebutuhan modernisasi tersebut.
Adapun komponen dari kelembagaan
pendidikan Islam yang mesti beririsan dengan kebutuhan kelembagaan modern yang
dimaksud di sini: satu, dasar dan tujuan. Dasar adalah fondasi dan sumber di
mana digalinya nilai-nilai pendidikan yang memuat nilai-nilai universal,
sementara tujuan adalah apapun yang ingin dicapai dari kerja-kerja kelembagaan
pendidikan. Kedua, masukan (input), yaitu peserta didik yang akan menjalani
proses pendidikan, yang kelak akan menjadi tamatan (output). Ketiga, pendidik
dan tenaga kependidikan, kurikulum pendidikan, administrasi pendidikan,
prasarana dan sarana pendidikan, anggaran pendidikan, dan seterusnya, yang
merupakan masukan instrumental (instrumental input) dan/ atau merupakan sumber
daya pendidikan. Keempat, manusia (orang tua dan masyarakat), kondisi alam,
ekonomi, sosial, politik, budaya, agama dan lain sebagainya, yang baik langsung
atau tidak langsung ikut mempengaruhi proses dan hasil dari pendidikan.[12]
Rasionalisasinya bisa dilihat pada gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1. Kelembagaan Pendidikan Islam Sebagai
Sistem yang Modern
Berdasarkan gambar 1 di atas, maka bisa
dijelaskan tentang support system kelembagaan pendidikan Islam untuk
kebutuhan modernisasi sebagai berikut:
1.
Rumusan
tujuan pendidikan Islam, yang digali dari fondasi dan sumber dasar ajaran agama
Islam yaitu Al-Qur’an, Hadits, ijtihad, urf, dan seterusnya mestilah
berdamai dengan modernisasi. Secara garis besar, tujuan ini bisa
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tujuan akhir dan tujuan sementara. Tujuan
akhir atau tujuan tertinggi kelembagaan pendidikan Islam sifatnya abstrak,
idealis dan filosofis yaitu untuk mewujudkan manusia seutuhnya yang menghamba
kepada Allah Swt (abdullah), dan di sisi lain mencetak profil khalifah
di muka bumi (khalifah fi al-ard). Sementara tujuan sementara dari
kelembagaan pendidikan Islam sifatnya empiris, realistik, dan pragmatik, yaitu
beririsan dengan kebutuhan modernisasi sebagai tren zaman. Sehingga profil
peserta didik yang menjadi keluaran dari lembaga pendidikan Islam, harusnya
memiliki kapasitas pengetahuan (kognitif), nilai-nilai dan sikap (afektif), dan
keterampilan (psikomotorik) yang relevan dengan kebutuhan modernisasi.
2.
Masukan
(input peserta didik), yaitu individu-individu yang memiliki potensi dasar (fithrah)
yang kemudian dikembangkan melalui proses yang dinamakan pendidikan. Masukan
berupa peserta didik ini akan bertemu dengan pengalaman belajar di lembaga
pendidikan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan modernisasi.
3.
Proses
(transformasi) kelembagaan pendidikan Islam, yang meliputi kerja-kerja
memindahkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), memindahkan
nilai-nilai (transfer of values) dan/atau internalisasi nilai-nilai (internalization
of values) untuk menghasilkan keluaran (output) yang sejalan dengan
kebutuhan modernisasi. Keseluruhan proses atau kerja-kerja dari komponen-komponen
di lembaga pendidikan Islam selayaknya bisa berorientasi pencapaian tujuan (goal-attainment)
yang modern. Selanjutnya proses tersebut akan terlaksana dengan baik, efisien,
dan efektif manakala diberi support dari dua komponen lain yang juga penting
dan saling berhubungan, yaitu: satu, instrumental input berupa pendidik dan
tenaga kependidikan yang modern, kurikulum yang modern, prasarana dan sarana
yang modern, serta anggaran yang mencukupi. Dua, environmental input, yaitu lingkungan
yang mencakup apapun yang mempengaruhi eksistensi kelembagaan pendidikan Islam,
apakah orang tua/ wali, masyarakat di sekitar lembaga pendidikan Islam berdiri
yang dilihat dari kondisi sosial, ekonomi, politik dan budayanya yang bisa
menerima modernisasi.
4.
Keluaran
(output) yaitu tamatan, yang diharapkan menjadi profil muslim yang modern, yang
diharapkan sejalan dengan tujuan kelembagaan pendidikan Islam.***
[1] Ellya Rosana, ‘Modernisasi dalam Perspektif
Perubahan Sosial’, Al-Adyan: Jurnal Studi Agama, vol. X, no. 1 (2015),
p. 67.
[2] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial,
ed. by Alimandan (Jakarta: Prenada, 2005), p. 153; Abdulsyani, Sosiologi:
Skematika, Teori dan Terapan (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), p. 177.
[3] Rosana, ‘Modernisasi dalam Perspektif Perubahan
Sosial’, p. 71.
[4] Irma Sulistiowati, ‘Gejolak Politik dan Ekonomi
Afrika Pasca Perang Dunia II’, ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah,
vol. 16, no. 2 (2020), p. 5; Abdullah, ‘Studi Tentang Modernisme Indonesia’, Sulesana:
Jurnal Wawasan Keislaman, vol. 8, no. 2 (2013), p. 18; Bandingkan dengan:
Mansour Fakih, Runtuhnya teori pembangunan dan globalisasi, Cetakan
pertama edition (Yogyakarta: Insist Press, 2009), p. 47.
[5] Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, p.
151.
[6] Rosana, ‘Modernisasi dalam Perspektif Perubahan
Sosial’, p. 76.
[7] Jefta Leibo, Sosiologi pedesaan, Ed. 2.,
cet. 1 edition, ed. by J. Nasikun (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), p. 71.
[8] A. Jamin, “Pendidikan
Islam Sebagai Sebuah Sistem: Transformasi Input Menuju Output yang Berkarakter”,
Jurnal Islamika, Volume 15 , Nomor 2 (2015), p. 173-186.
[9] Suriadi, “Analisis
Filosofis Tentang Pendidikan Islam Sebagai Suatu Sistem”, Ta’dib: Jurnal
Pendidikan Islam, Volume 6, Nomor 2 (2011), 299-307.
[10] U. Tirtarahardja
dan L. Sula, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), p. 58.
[11] Made Pidarta, Landasan Kependidikan:
Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: Kalam Mulia, 2002),
p. 26. Tatang Saripudin, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2008), p. 84.
[12] U. Tirtarahardja
dan L. Sula, Pengantar Pendidikan, p. 181.