Saturday, April 8, 2023

Tarik Ulur Konstitusionalisasi Hukum Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan (Kaprodi PAI, IAIN Pontianak)

Tidak sedikit orang yang mengasumsikan hukum Islam, sulit dikompromikan dengan “hukum-hukum lain”. Atau, boleh jadi karena hukum Islam selalu menuntut adanya perlakuan khusus untuk dirinya.

Dalam konteks di Indonesia buktinya, sejarah mencatat bagaimana telah terjadi perdebatan hangat, bahkan panas, yang menyertai setiap isu yang berkaitan dengan misalnya formalisasi hukum Islam. Kompleksitas ini tampaknya berkait erat dengan karakter hukum Islam sendiri yang diyakini oleh pemeluknya sebagai hukum yang memiliki dimensi religiusitas.

Tarik ulur

Di Indonesia, fase konstitusionalisasi hukum Islam terjadi setidaknya dalam tiga kali proses pembuatan konstitusi di tahun 1945, 1956-1959, dan 1999-2002 di mana problem hubungan antara Islam dan negara selalu menjadi perdebatan yang tak kunjung selesai. Terjadi Tarik ulur dalam prosesnya.

Di tahun 1945, konstitusionalisasi hukum Islam menghasilkan Piagam Jakarta yang terkenal dengan tujuh katanya, “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Tujuh kata Piagam Jakarta ini yang awalnya merupakan bagian dari Pembukaan UUD, akhirnya dihilangkan dengan prakarsa dari Mohammad Hatta atas bujukan seseorang. Di tahun 1956-1959, upaya untuk kembali menjadikan Islam sebagai dasar negara dan memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam konstitusi yang dibuat Badan Konstituante kembali tidak tercapai setelah Presiden Soekarno mengintervensinya dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Akhirnya, pada tahun 1999-2002, upaya untuk kembali memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta juga tertolak karena kurangnya dukungan politik di MPR, maupun dukungan real-sosiologis dari masyarakat.

Namun tertolaknya hukum Islam di tingkat konstitusi bisa dikatakan terjadi setelah pembahasan konstitusi mencapai titik akhir, setelah empat tahun proses reformasi konstitusi dilakukan. Di dalam rentang empat tahun reformasi konstitusi, pada akhirnya hanya Bab tentang Agama yang tidak berubah, sedangkan Bab lama dalam UUD 1945 yang asli sudah berubah ataupun bertambah dengan Bab-Bab baru. Sebagai satu-satunya bab yang tidak berubah, bab agama semakin menegaskan krusialnya isu relasi agama dan negara dalam sejarah perjalanan konstitusionalisme Indonesia. Meski akhirnya masih tertolak, ketiga pengalaman konstitusionalisasi hukum Islam di atas belum merupakan ujung perjalanan hukum Islam di tanah air. Di akhir masa Sidang Tahunan MPR 2002, dikala sudah kejelasan bahwa tujuh kata Piagam Jakarta tidak akan diadopsi menjadi bagian dari perubahan Pasal 29 UUD 1945, maka maraknya interupsi dari para pendukungnya menyiratkan bahwa perjuangan memasukkan hukum Islam ke dalam konstitusi akan terus dilakukan. Di antara para pendukung tersebut adalah Najib Ahjad (Partai Bulan Bintang) dan Syafriansyah (Partai Persatuan Pembangunan) yang keduanya secara tegas mengatakan bahwa mereka dan partainya tidak akan pernah menyerah dan akan terus mengupayakan masuknya hukum Islam ke dalam konstitusi Indonesia.

Fase selanjutnya adalah formalisasi hukum Islam ditingkat Undang-Undang terutama dengan lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang pada prinsipnya tidak sedikit mengadopsi nilai-nilai hukum Islam. “Undang-Undangisasi” hukum Islam semakin marak di akhir tahun 1980-an dan di era 1990-an RUU bernuansa hukum Islam yang sedang dan akan dibahas di DPR. Di antara undang-undang yang telah berlaku sekarang yang bernuansa ajaran hukum Islam adalah UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Di samping itu ada pula UU yang tidak secara khusus bertema syariat Islam, tetapi sebenarnya membuka pintu bagi diterapkannya hukum Islam, misalnya UU No 7 Tahun 1992 jo. 10 Tahun 1999 jo. 23 Tahun 1999 tentang Sistem Perbankan yang membuka pintu bagi lahirnya bank-bank syariah, karena mengakui adanya sistem bagi hasil di samping pembagian keuntungan dalam bentuk “bunga”. Selain di atas, yang sempat memicu perdebatan hangat adalah lahirnya UU tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memicu demonstrasi pro-kontra dari kelompok muslim maupun non-muslim.

Sebagai proses dari “Undang-Undangisasi” hukum Islam adalah ditetapkannya UU No 44 Tahun 199 tentang Keistemewaan Daerah Istimewa Aceh dan UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Pasal 1 ayat (1) UU No 4 Tahun 1999 mengatur, “Penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat”. Inilah aturan hukum sekaligus pintu pertama dan utama bagi secara resmi diberlakukannya syariat Islam di salah satu provinsi bumi Serambi Mekah Aceh. Selanjutnya sebagai kelanjutan penerapan hukum Islam tersebut di Aceh, UU No 18 Tahun 2001 membentuk peradilan syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam.

Hampir bersamaan dengan lahirnya UU No 44 Tahun 1999, hadirlah faseterakhir yaitu pengadopsian hukum Islam ke dalam Peraturan Daerah (Perda). “Perdaisasi” hukum Islam ini menjamur setelah proses reformasi bergulir sejak tahun 1999 dan semakin marak. Secara legal-formal pintu perdaisasi hukum Islam itu terbuka lebih lebar ketika konsep desentralisasi diakui dengan ditetapkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Interpretasi otonomi yang luas berdasarkan UU tersebut diartikan beragam oleh daerah, salah satunya dengan mereinkarnasi identitas-identitas lokal yang dirasa pernah diberangus oleh praktik sentralisasi orde baru. Pembuatan Perda-Perda bernuansa syariat Islam adalah satu contoh masalah penerapan argumentasi reinkarnasi identitas lokal tersebut. Beberapa kelompok di Sulawesi Selatan, misalnya Sekretaris Majlis Syuro KPPS (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam) H.M. Syiradjuddin, dalam sebuah makalahnya mengungkapkan bahwa berdasarkan data sejarah, orang Sulawesi Selatan pernah berada di dalam pemerintahan (kerajaan) Islam. Ia menyebutkan bahwa nenek moyang orang Sulawesi Selatan yang berada di kerajaan Goa, Talo, Bugis dan Luwu mulai melaksanakan syariat Islam pada tahun pertama abad ke XVII dan mencapai stabilitas sekitar tahun 1800 hingga 1880 M. Ketika itu, orang Bugis, Makasar, Mandar memproklamirkan diri bahwa: “bukan orang Bugis, Makassar atau Mandar kalau bukan Islam”. Dalam periode itu pula kebudayaan dan kepribadian Islam melekat pada hati nurani, perilaku dan interaksi sosial.

Ketiga fase formalisasi hukum Islam di atas menunjukan adanya perubahan wilayah hukum perjuangan hukum Islam dari semula dari diperjuangkan di tingkat konstitusi menjadi kemudian diperjuangkan di tingkat peraturan di bawah UUD khususnya pada level UU dan Perda. Inilah strategi formalisasi hukum Islam yang menurut sebagian kelompok adalah adaptasi strategi Mao Zedong: Desa mengepung Kota.***

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...