Wednesday, January 18, 2012

Rethinking Formalisasi Hukum Islam di Aceh

Oleh: Syamsul Kurniawan


FORMALISASI hukum Islam, di Aceh misalnya, satu sisi menggembirakan namun sisi lainnya mengkhawatirkan. Menggembirakan oleh karena, formalisasi hukum Islam di Aceh adalah buah dari perjuangan umat Islam terutama dari provinsi ini di ranah konstitusi. Perjuangan ini terus diperjuangkan sampai kemudian di tingkat peraturan di bawah Undang-Undang dasar khususnya pada level Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Disebut mengkhawatirkan karena, perda yang dikembangkan terkesan kurang memberikan ruang yang luas bagi kultur Aceh yang heterogen, sehingga yang terjadi adalah sebuah langgam keberagamaan yang tercitrakan simbolik-literalistik. Hal ini menunjukkan bahwa Aceh, tidak mempunyai eksperimentasi yang cukup bagi model formalisasi hukum Islam dengan menggunakan optik kultur yang beragam, yang mana jika seandainya ada mestilah ada pula bargaining discourse antara formal hukum Islam dengan kultur Aceh yang heterogen.

Betul, bahwa satu sisi kultur selayaknya mengikuti agama, tapi sisi lainnya agama harusnya juga bisa mengakomodir kultur. Tetapi dalam konteks Aceh, praktik hubungan yang timbal balik dalam hal ini masih belum optimal bisa kita lihat di Aceh.

***

Penulis ambil contoh, bagaimana penerapan hukum cambuk, yang kesannya hanya menunjukkan praktik hukum Islam yang ‘simbolik’. Apa yang menjadi ukuran dalam formalisasi hukum Islam di Aceh itu adalah dogma-dogma yang sekunder dalam ranah teks-teks keagamaan. Atau, bisa pula dikatakan, bagaimana formalisasi hukum Islam di Aceh pada hari ini, pemaknaan syariat sesungguhnya belum menyentuh esensi dari syariat itu sendiri, dan berjalan di alur yang begitu sempit dengan euphoria yang sifatnya simbolik. Konkret, hukum Islam ketika diformalisasi menjadi perda-perda di Aceh, tidak lagi dipahami sebagai esensi, substansi, dan komitmen, tetapi tradisi kearaban yang bersifat sekunder.

Begitupula adanya polisi syariat di Aceh yang ingin difungsikan menjadi pengawas dan pengontrol bagi pemberlakuan syariat, maka kesannya ‘ideologisasi syariat’. Dengan adanya polisi syariat, artinya penerapan syariat akan sangat tergantung pada sejauh mana peran aparat keamanan (polisi), bukan pada kebebasan masyarakat untuk menerapkan ajaran agamanya sesuai dengan pemahamannya. Konsekuensinya, polisi syariat sangat dimungkinkan akan melahirkan kecenderungan represif dan otoritarianistik. Sehingga bukan hal yang aneh, manakala syariat yang diterapkan sebagai bentuk ‘formalisasi hukum Islam’ dipatuhi secara terpaksa oleh masyarakat.

Polisi syariat menurut penulis, tidak hanya berdampak kontraproduktif bagi suasana keberagamaan yang pluralis dan inklusif, tetapi dipastikan dapat memandulkan tradisi ijtihad atas doktrin-doktrin keagamaan, karena pemahaman keagamaan sangat terpaut dengan otoritas politik Aceh.

Jika syariat simbolik semacam ini diterapkan dan masuk dalam sistem hukum dan politik di Indonesia, maka sangat dimungkinkan akan mengulangi memori kelabu dalam sejarah Islam di mana Dinasti Umayah dan Abbasiyah, yang menggunakan syariat sebagai komoditas politik. Jangan sampai, hukum di Aceh tidak mampu menyentuh tindak pidana dengan kerugian sosial, ekonomi, serta politik yang lebih besar, seperti pelaku korupsi yang biasanya ‘dekat’ dengan politik kekuasaan. Bila ini yang terjadi, maka atas nama syariat, peminggiran terhadap kaum minoritas dan tindakan represif dapat berlaku secara massif. Hal ini jelas bertentangan dengan substansi syariat Islam yang seyogyanya diperjuangkan di Indonesia sebagai jalan agama menuju keadilan dan harmoni sosial.

***

Hukum Islam sebagai manifestasi kehendak syar’i memang dalam realitas kehidupan manusia menuntut terjadinya dialektika antara teks dan realitas yang selalu berusaha menemukan inovasi-inovasi baru dan progresifitas dalam memadukannya. Inovasi-inovasi baru dan progresifitas dalam hukum Islam tidak lain tujuannya adalah untuk mewujudkan kemashlahatan universal umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada karakter dasarnya Islam itu tidak saja ma’qûl (sensible) tetapi sekaligus juga ma’mûl (applicable). Sebagai upaya untuk menjadikan hukum Islam agar lebih inovatif dan progresif, maka berbagai langkah ditempuh agar hukum Islam tidak terasa asing dengan lingkungan yang mengitarinya. Tidak saja berkutat pada ranah normatif (law in book) namun harus bergerak maju secara riil (law in action) secara historis kritis.

Begitupun di Aceh, formalisasi hukum Islam semestinya tidak bisa dipisahkan dari lingkungan sosial masyarakat yang menerimanya. Dengan demikian hukum Islam yang diformalisasikan akan selalu dituntut untuk secara cerdas berdialektika dengan lingkungan sosial, budaya maupun politik secara simultan dan kontinyuKemandekan pada satu sisinya akan menjadikannya pincang dan problematik dalam segala sisi kehidupan sosial maupun kebangsaan.

Untuk itu, agar bisa betul-betul fungsional, formalisasi hukum Islam perlu terus dikaji dengan tidak hanya berkutat pada formalisasi diktum-diktum syariat (Al-Quran dan al-Sunnah), melainkan juga terletak pada bagaimana menemukan makna substantif syariat Islam dari diktum-diktum tersebut dalam visinya yang inklusif-multikultural serta berkeadilan. Penulis percayakarena hanya dengan pemikiran seperti inilah, maka formalisasi hukum Islam – termasuk dalam konteks Aceh – akan menemukan sosoknya yang elegan, tidak menakutkan, dan fleksibel dalam menghadapi perubahan sosial dan zaman, sekaligus relevan untuk diterapkan dalam konteks kekinian.*** 

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...