Wednesday, April 13, 2022

Vaksinasi dan Utopia

Oleh: Syamsul Kurniawan

DI bulan suci Ramadhan tahun ini, pemerintah sangat serius menggenjot capaian vaksinasi nasional. Salah satunya, muncul aturan bagi para pemudik, yang mana untuk mudik, mereka harus telah mendapatkan vaksinasi, apakah itu vaksinasi pertama, kedua, dan booster. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, mewacanakan masjid akan menjadi sentra dari program vaksinasi masyarakat. Seperti misalnya, seusai shalat tarawih.

Namun, ketika kita runut jauh ke belakang, pada awal pandemi, di saat-saat masifnya program vaksinasi, seorang politisi anggota DPR yaitu Ribka Tjiptaning, yang dalam sebuah Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Lanjutan Komisi IX DPR RI, kesannya tidak hanya menolak untuk divaksinasi  tetapi juga mencela program negara dalam soal ini. Sikap Ribka Tjiptaning dalam rapat tersebut, jelas sedikit banyak akan mempengaruhi opini publik; bahkan pada hari ini. Publik yang sebelumnya, merasa ada harapan di tengah ketidakpastian pandemi ini mestilah dari sekian banyak di antara mereka jadi timbul rasa ragu setelah menonton tayangan tersebut. Jelas tayangan tersebut telah menyebar begitu massif di tengah publik saat ini, yang dengan mudah ditonton kembali via youtube.

Adakah harapan?

Seperti dimafhumi, rentetan derita dan kenangan pahit seperti tak kunjung berlalu di masa pandemi ini. Tertatih-tatih bangsa kita ingin bangkit dari empasan krisis multimensi, jatuh bangun digempur pandemi. Sudah banyak korban yang berjatuhan. Pada saat tulisan ini dibuat saja, jumlah mereka yang meninggal akibat covid-19 menurut angka statistik telah mencapai 155.744 orang (data per 15 April 2022). Nyaris memasuki tiga tahun sudah, bangsa ini tenggelam dalam keterpurukan.

Sementara itu, masyarakat juga mengalami permasalahan di bidang perekonomian. Sebagian masyarakat bisa dikatakan saat pandemi ini, hidup sengsara dikejar harga kebutuhan pokok, dan sementara sebagian mereka ini pula tidak sedikit yang baru saja kehilangan pekerjaan dan sumber-sumber ekonomi. Saat pandemi bertamu ke Indonesia, sejak itupula negara ini seolah meniti labirin tanpa terminal. Perjalanan menuju masa depan yang lebih baik seperti tak ada ujung. Tambahan lagi, keadaan kacau balau ini diperparah oleh sikap politisi di senayan yang membuat bingung masyarakat, terutama yang ada di akar rumput (grassroot).

Apakah dalam kepungan trauma, pesimisme dan apatisme saat pandemi ini nyaris tak ada menyisakan ruang untuk membangkitkan harapan? Jelas putus asa bukanlah jalan keluar dari krisis yang kita alami. Pengalaman pahit (memoria passionis) saat ini dan sebelumnya, harusnya bisa memunculkan tindakan baru dalam praksis sosial. Dengan kata lain, memori pahit selayaknya bisa diikuti dengan memori kebangkitan (memoria resurrectionis)

Sejauh yang saya amati, para policymakers dan para analis di negara ini cenderung merasa nyaman mengukur masyarakat secara ekonomi dan data-data statistik sosial. Tidak ada yang salah dengan itu, karena saya pun masih merasa perspektif semacam ini penting. Tetapi, jelas ada indikator lain yang juga penting. Sebagaimana dikatakan oleh Friedman (2005), ada indikator yang walaupun sulit diukur tetapi penting, yaitu apakah masyarakat mempunyai lebih banyak memori ketimbang mimpi atau sebaliknya?

Saya hanya mengandai-andai, jika masyarakat memiliki lebih besar memori ketimbang mimpi, yang terjadi adalah romantisme. Mereka pastinya akan menghabiskan waktu untuk melihat ke belakang (looking backward), memaknai masa kini dan mengunyah masa silam. Jadilah mereka ini hidup dalam bayang-bayang kesadaran masa lalu ketimbang membangun imajinasi jauh ke depan, untuk mencapai masa depan yang lebih baik dan berusaha keras mewujudkannya. Mereka, saya ingin katakan “terpenjara kenangan masa lalu tanpa berusaha melihat jauh ke depan.”

Sementara jika mimpi masyarakat kita lebih besar daripada ingatan, muncullah apa yang disebut dengan “utopia”, sebagai sebuah gambaran dari kondisi yang diimpikan. Utopia adalah imajinasi untuk membangkitkan cita-cita dan harapan di masa depan. Antonim dari utopia adalah distopia, yang juga memberikan gambaran tentang masa depan, akan tetapi lebih merujuk pada ketakutan terhadap masa depan dunia yang akan datang. Masih luput dari ingatan, bagaimana kita menerima tontonan secara massif baik di televisi maupun media yang lain seputar bapak Presiden Joko Widodo yang divaksin bersama perwakilan pejabat negera, tokoh dan public fugure. Namun tidakkah kita juga disugui tontonan seorang anggota DPR bernama Ribka Tjiptaning yang menyuarakan kekhawatirannya soal program vaksinasi ini, dan jelas profil anggota DPR satu ini bukanlah satu-satunya politisi yang menunjukkan kecenderungan demikian. Maka entah apakah utopia atau distopia yang dominan muncul di tengah-tengah masyarakat kita?.

Tetapi pastinya, masyarakat Indonesia tidak bisa hidup tanpa utopia yang jelas (Kleden, 2001; Imam Cahyono, 2007). Sukarno misalnya, menggiring bangsa ini pada sebuah utopia bernama revolusi. Kemudian Soeharto yang mengusung utopia “pembagunan”nya. Presiden-presiden setelahnya juga membangun utopia. Termasuk di era kepresidenan Joko Widodo saat ini, yang membangun utopia memutus mata rantai pandemi, yang salah satunya melalui program vaksinasi.  Tanpa utopia, masyarakat akan kehilangan harapan dan semangat untuk hidup.

Membangun optimisme

Bersikap kritis penting seperti yang dilakukan oleh Ribka Tjiptaning di awal-awal program vaksinasi ini digelorakan. Tetapi hemat saya, bangsa ini juga harus bijak mengambil pelajaran  dari sejarah tanpa terkungkung pengalaman traumatik masa lampau, dan berani memandang kenyataan masa kini yang memprihatinkan namun tetap memiliki harapan kemajuan. Sejarah masa lalu seputar vaksinasi dan masa kini harusnya bisa dipandang dengan keterbukaan yang kritis sambil menjaga bandul sejarah bergerak benar ke masa depan. Memori kegagalan program vaksinasi di masa lampau seperti digelarkan wacananya oleh Ribka Tjiptaning dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Lanjutan Komisi IX DPR RI bukannya tidak penting, justru kegagalan tersebut semestinya bisa memunculkan energi yang membangkitkan perubahan dan menggerakkan masa depan.

Utopia Indonesia saat pandemi ini, harus dibangun berdasarkan optimisme menuju masa depan bangsa yang lebih baik. Program vaksinasi di sini adalah bagian dari utopia tersebut. Namun, negara juga mesti bertanggung jawab melindungi masyarakatnya dari apa yang dikhawatirkan oleh Ribka Tjiptaning. Kekuasaan negara harus berorientasi untuk dan melindungi masyarakat Indonesia.***

 

 

Butuh Agamawan Menjaga Komitmen Masyarakat Seputar 3M


 Oleh: Syamsul Kurniawan

MESKI vaksin sudah ada kita tetap harus disiplin menjalankan protokol kesehatan. Tetap disiplin 3M, memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, selalu harus terus kita lakukan,” demikian dikatakan oleh Bapak Presiden Joko Widodo, dalam pernyataan di akun resmi youtube Sekretariat Presiden (Minggu, 06/12/2020).

Dua tahun lalu memang, pesan ini diutarakan oleh Bapak Presiden Joko Widodo. Namun hemat penulis, pesan di atas masih sangat relevan di masa transisi: dari pandemi ke endemi sebagaimana saat ini. Apalagi, cukup bisa dimengerti dari banyak hasil survey yang menyebutkan tingkat kedisiplinan masyarakat berkaitan dengan ini sangatlah rendah. Sebuah ironi memang, karena bagaimanapun mayoritas penduduk di negara ini beragama. Bahkan, jika ini dikaitkan dengan jumlah pemeluk agama yang mayoritas, yaitu Islam, bukan tidak mungkin masyarakat muslim juga ikut andil menyumbang hasil survey disiplin 3M yang rendah tersebut. Jika betul demikian, ibarat jauh panggang dari api, model keberislaman yang rahmatan lil ‘alamin seolah-olah jauh dari pemeluknya.

Jelas, dengan disiplin 3M, memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, tidak hanya soal keselamatan diri kita sendiri, tetapi secara tidak langsung pula berhubungan dengan keselamatan orang lain. Berkaitan dengan disiplin 3 M, yang intinya menjaga pola hidup sehat dan bersih, tentu saja bukanlah hal yang tidak diajarkan oleh Islam, bahkan sangat ditekankan. Saya yang muslim sejak kecil sering mendengar guru-guru agama saya, kiyai/ustadz yang berceramah di mimbar-mimbar masjid, mengatakan bahwa “kebersihan adalah sebagian daripada iman”. Tidakkah ini berarti, disiplin 3 M sama saja dengan sikap positif yang harus dikembangkan mereka yang mengaku beriman.

Peran agamawan yang penting

Di bulan suci Ramadhan tahun ini, terlihat pemerintah mulai melonggarkan aktifitas di tengah-tengah masyarakat, yang sebelumnya amat dibatasi. Sehingga, bisa dibandingkan ramadhan tahun ini memang kesannya jauh lebih semarak ketimbang dua tahun sebelumnya. Namun demikian, jangan sampai pelonggaran ini justru menjadi boomerang, oleh karena masyarakatnya yang lalai dengan disiplin 3M, angka kasus covid-19 yang tengah melandai jadi naik kembali.

Dalam hal ini, untuk menyadarkan umat mengenai pentingnya disiplin 3 M, tidak cukup mengandalkan negara. Negara perlu dibantu, terutama dari kalangan agamawan, termasuk agamawan-agamawan umat Islam. Agamawan-agamawan ini perlu menjadi pelopor-pelopor dalam konteks mencerahkan masyarakat sehubungan dengan disiplin 3 M ini. Keduanya perlu bersinergi.

Tetapi, kerja-kerja yang dilakukan oleh agamawan ini mustahil berhasil jika kerja-kerja tersebut dilakukan secara serampangan. Perlu metode yang tepat sasaran. Metode jelas penting dalam konteks ini, sebagaimana dikatakan oleh M. Arifin (2001: 61), metode merupakan suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Begitupula dikatakan oleh Hasan Langgulung (2005: 39) bahwa metode sebagai cara atau jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan-tujuan.

Berkaitan dengan upaya mendisiplinkan masyarakat terhadap 3 M, ada beberapa metode yang relevan dan saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Pertama, pembiasaan. Jika disiplin 3 M ini telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat kita yang mayoritas muslim, tentulah kerja-kerja memutus mata rantai penularan covid-19 ini jadi lebih mudah. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masyarakat di Indonesia jelas masih belum terbiasa dengan disiplin 3 M itu sendiri. Pembiasaan pada konteks ini adalah metode yang paling relevan. Pembiasaan adalah upaya praktis dalam pembinaan dan pembentukan karakter seseorang. Intinya adalah pengulangan-pengulangan. Hasil dari pembiasaan yang diharapkan adalah terciptanya suatu kebiasaan; yang dalam hal ini disiplin 3 M.

Sarlito Wirawan (2001: 29) menyatakan bahwa: ‘seseorang dalam perkembangan kepribadiannya selalu membutuhkan seorang tokoh identifikasi. Dalam proses identifikasi seseorang secara tidak sadar mengambil alih sikap-sikap, norma-norma, nilai dan sebagainya dari tokoh identifikasi tersebut. Dengan demikian dalam proses identifikasi ini seseorang tidak saja ingin menjadi secara lahiriyah, tetapi justru secara batiniah.’ Oleh karena itu menurut Abdullah Nashih Ulwan (2000: 152), “Peranan pembiasaan dalam proses identifikasi ini memegang peranan penting.” Zakiyah Daradjat (1993: 101), pentingnya pembiasaan dalam pendidikan agama. Menyadari pentingnya pembiasaan, maka para agamawan di tanah air jelas tidak boleh berhenti membantu pemerintah untuk mengampanyekan pentingnya disiplin 3 M ini lewat ceramah-ceramah mereka; baik secara luring ataupun daring.

Tetapi pembiasaan yang dikampanyekan oleh para agamawan jelas tidak akan efektif, jika tidak ada metode yang kedua, yaitu: keteladanan. Pembiasaan dan keteladanan mempunyai hubungan yang erat dalam proses identifikasi. Oleh karena seorang muslim misalnya, menjadikan kyai/ustadz mereka sebagai tokoh identifikasi maka kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan kyai/ustadz mereka selalu ditiru oleh mereka. Dalam kehidupan beragama, yang menjadi suri tauladan bagi pemeluk agama adalah agamawan-agamawan mereka. Mereka menganggap agamawan-agamwan mereka ini sebagai tokoh yang perlu mereka tiru dalam kehidupan beragama mereka. Oleh karena itu agamwan selayaknya bisa menjadi teladan yang baik di tengah-tengah umat.

Asnelly Ilyas (2005: 39) misalnya yang mengatakan, bahwa seseorang “lebih banyak mengambil pelajaran melalui cara ikut-ikutan dan meniru perbuatan (gurunya), dibandingkan melalui nasehat dan penuntun lisan.” Dengan demikian, keteladanan sangatlah penting artinya dan merupakan metode influensif yang dapat diandalkan setelah agamawan memaksimalkan perannya dalam mengampanyekan pentingnya pembiasaan disiplin 3M di tengah-tengah umat. Keteladanan merupakan metode yang influensif yang dapat diandalkan keberhasilannya dalam bentuk spiritual, moral dan sosial seseorang. Hal ini disebabkan karena melalui keteladanan yang baik dapat mempengaruhi tingkah lakunya, sehingga secara tidak sadar gambaran profil agamawan yang disiplin 3 M juga terpatri dalam jiwanya.

Menurut Ramayulis (2004: 181), keteladanan itu ada dua macam, yaitu: (a) sengaja berbuat untuk secara sadar ditiru oleh terdidik; dan (b) berprilaku sesuai dengan nilai-nilai norma yang akan kita tanamkan pada si terdidik sehingga tanpa sengaja menjadi teladan bagi si terdidik. Pada poin pertama, agamawan melakukan itu dengan sengaja agar jamaahnya meniru perbuatannya, keteladanan yang disertai penjelasan atau perintah agar meneladani, misalnya ustad/kiyai selama masa pandemi ini sengaja terlihat di mata jamaahnya selalu menggunakan masker, menjaga jarak maupun mencuci tangan; baik ketika sehari-hari di rumah maupun dalam menjalankan kerja-kerjanya sebagai agamawan di tengah-tengah masyarakat. Pada poin kedua, agamawan tidak saja sengaja melakukan perbuatan disiplin 3M, tetapi memang sudah menyatu dalam karakternya, sehingga apapun yang ia lakukan baik sebelum atau saat pandemi covid-19 ini tetap saja berdasarkan pertimbangan pola hidup sehat dan bersih. Poin yang kedua ini tentu sebagai karakter yang ideal dari profil agamawan di tengah pandemi ini, yang mampun menampilkan pribadi yang baik secara wajar tanpa dibuat-buat atau memaksakan diri sedemikian rupa.

Ketiga, latihan dan praktikum. Latihan dan praktikum merupakan metode yang penting dalam pendisiplinan 3M. Dengan adanya latihan dan praktikum ini maka individu-individu muslim di tengah-tengah masyarakat mengerti tentang 3M yang harus mereka disiplinkan. Teknik pendidikan yang bersifat praktek dan amaliah merupakan hal yang pokok yang jelas banyak dijumpai pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits. Hal ini dapat dilihat dalam ibadah shalat, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya semua perlu dipraktekkan. Apa hubungannya dengan agamawan. Saya ingin mengatakan, agamawan harus sering-sering tampil di mass media, dan tampil secara kreatif menunjukkan bagaimana seharusnya disiplin 3 M itu dipraktikkan. Apalagi mass media, tidak saja teve, tetapi juga ada media-media baru seperti youtube. Konten-konten yang sifatnya mengajak umat untuk berlatih dan mempraktikkan disiplin 3M perlu dibuat oleh para agamawan. Setelahnya, pengguna media sosial bisa membantu dalam konteks memviralkannya.

Keempat, nasihat yang sifatnya perintah dan larangan. Pada konteks ini, jelas agamawan sudah sangat familiar. Menurut Amir Dien Indrakusuma (2004: 141), perintah adalah ‘suatu keharusan untuk berbuat atau melakukan sesuatu’, sedangkan larangan adalah ‘suatu keharusan untuk tidak melakukan sesuatu yang merugikan’. Perintah dan larangan dapat dilakukan agamawan asal dalam batas kewajaran terutama dalam melaksanakan ibadah dan akhlak yang terpuji, seperti saat pandemi ini: jamaah dalam beribadah dinasihati tetap mejaga disiplin 3M dalam prosesnya, menasihati jamaah supaya melaksanakan akhlak yang baik di tengah pandemi ini dengan cara mendisiplinkan 3M tersebut, dan melarang aktifitas-aktifitas yang beresiko di tengah pandemi ini seperti berkerumun, dan semacamnya. Nasihat yang sifatnya perintah dan larangan ini, adalah metode yang relevan ketika padanya mengikut keteladanan dari agamawan yang memberikan nasihat. Komitmen agamawan dalam hal ini harus terus dijaga, sampai pandemi ini betul-betul dirasakan bisa dikendalikan. Firman Allah SWT: Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang yang beriman. (QS Adz-Zariyat: 55)

Bersinergi dengan kebijakan negara

Sebagai penutup, seperti telah saya katakan sebelumnya, bahwa kerja-kerja agamawan dalam mencerahkan umat di tengah pandemi ini hanya mungkin berhasil guna, manakala bisa bersinergi dengan kebijakan-kebijakan yang diproduksi oleh negara. Dalam mendisiplinkan umat selama pandemi ini dalam 3M, negara tidak hanya perlu menunjukkan reward tetapi juga tegas terhadap punishment, terhadap pelanggar disiplin 3 M.

Reward misalnya, bisa diberikan pada agamawan-agamawan yang proaktif di tengah-tengah umat mengampanyekan disiplin 3M. Selain dokter, mereka (agamawan) yang konsisten mengampenyekannya juga adalah pahlawan-pahlawan selama pandemi ini, sama seperti dokter, perawat atau tenaga medis yang berguguran merawat pasien yang terpapar pada masa pendemi. Kecuali reward, jauh lebih penting pula pelangar-pelangar disiplin dikenai punishment yang wajar sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku. Jangan tebang pilih!. Menurut Amir Dien Indrakusuma (2004: 147), sanksi diberikan untuk membuat seseorang sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya. Jadi hukuman itu disebabkan karena adanya pelanggaran yang bertujuan agar pelaku sadar dan berjanji tidak mengulanginya.

Punishment terhadap pelanggar disiplin 3M selama pandemi ini bisa saja bersifat positif dan juga bersifat negatif. Bersifat positif jika: pertama, memperbaiki individu yang melanggar agar menyadari kekeliruan, dan tidak akan mengulanginya lagi; kedua, melindungi individu yang melanggar agar tidak melanjutkan pola tingkah laku yang menyimpang, buruk dan tercela; dan ketiga, melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan salah yang dilakukan para pelanggar. Sementara punishment disebut negatif, apabila dipakai sebagai: pertama, alat untuk membalas dendam; kedua, alat untuk menakut-nakuti dan mengancam, tetapi hanya berpengaruh sebentar saja dan tidak memberikan rasa jera pada pelakunya; dan ketiga, sebagai alat untuk menindas seseorang tanpa membukakan pengertian akan kekeliruannya. Pada konteks inilah, komitmen dari aparat dipertaruhkan. “Salus Populi Suprema Lex Esto”, yaitu keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi harus selalu dijunjung. ***

 

Tuesday, April 12, 2022

Seremonial Agama "Candu" Masyarakat?

Oleh: Syamsul Kurniawan

KETIKA bangsa yang tengah berjibaku keluar dari pandemi covid-19 dan bertransisi ke endemi, kita malah dipertontonkan berbagai kegiatan umat beragama yang berkerumun untuk merayakan seremonial keagamaan. Merayakan seremonial keagaaan tentu sah-sah saja, apalagi pemerintah telah melonggarkannya pada Ramadhan ini. Tetapi karena mereka berkerumun dan mengabaikan protokol-protokol kesehatan sebagaimana yang dianjurkan oleh negara, ini berpotensi menjadi kluster penularan covid-19 yang membahayakan banyak orang. Sementara kita tahu, virus ini jelas masih ada di tengah-tengah kita.

Di social media misalnya, di bulan suci ini, sangat mudah kita temukan sejumlah kerumunan yang saya maksud ini. Dalam beberapa video dan foto, terlihat bagaimana agamawan yang kharismatik berdiri berceramah dan di sekitarnya dipenuhi sesak jamaah yang antusias mendengarkannya. Seolah tidak takut terpapar virus berbahaya covid-19, mereka berhimpit-himpitan, tidak jaga jarak, dan sebagian bahkan terekam kamera tidak menggunakan masker. Apa yang bisa dipahami dari fenomena ini?

Satu hal yang mungkin, adalah perasaan “dibatasi” selama tiga tahun pandemi kini tidak ada lagi dengan pelonggaran oleh pemerintah saat ini. Sebagaimana dimafhumi, selama tiga tahun pandemi covid-19, ketika banyak hal selama beberapa bulan ini banyak kegiatan dibatasi, termasuk dalam konteks ibadah di ruang publik. Sehingga sangat mudah memahami jika ada sebagian masyarakat (baca: umat beragama) yang merindukan masa-masa sebelum pandemi; masa-masa di mana mereka bisa berkumpul-kumpul untuk beribadah dan merayakan seremonial keagamaan mereka dengan bebas tanpa rasa takut, seperti Ramdhan tahun ini. Dan, merekapun menunggu momen yang semarak itu.

Seremonial Agama yang Dicandu?

Ketika dalam keadaaan serba terbatas, seseorang memang potensial menjadikan agamanya menjadi candu. Relevan dalam konteks ini mengutip Marx. Dalam sebuah tulisannya, Marx mengatakan, ‘Penderitaan religius, pada saat yang bersamaan, adalah ekspresi dari penderitaan riil dan protes terhadap penderitaan riil tersebut. Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jantung-hati dari dunia yang tak berperasaan, dan jiwa dari situasi yang tak berjiwa. Agama adalah candu bagi masyarakat.’ Inilah pernyataan Marx paling terkenal dalam kaitannya dengan agama. 

Tetapi pernyataan Marx di atas memang seringkali disalahpahami, karena para pembaca tidak masuk ke dalam seluruh rangkaiannya dengan jeli. Kalimat “Agama adalah candu bagi masyarakat” sering dikutip dengan pemahaman yang serampangan dan tendensius; diinterpretasi sebagai sikap anti-agama Marx yang vulgar.  Padahal, eksposisi yang sesungguhnya, pernyataan di atas merupakan kritik Marx terhadap penganut agama yang menjadikan agamanya hanya sebatas “candu” untuk membuatnya kuat bertahan dari tekanan atau ketertindasan. Jika ini dikaitkan dengan kondisi umat beragama di masa pandemi covid-19 ini, bisa jadi umat beragama memang berada dalam tekanan dan penderitaan.

Tidak hanya dalam konteks ibadah mereka di ruang publik yang menjadi serba terbatas jika dibandingkan sebelum pandemi, tetapi juga kualitas kehidupan sebagian mereka yang menurun drastis terutama dari sisi ekonomi. Bukan tidak mungkin, mereka yang berkerumun atau berkumpul-kumpul walaupun kondisi pandemi tidak ideal untuk itu, di balik motif mereka adalah menjalin silaturahmi yang bisa menguntungkan mereka dalam sisi ini. Menurut kepercayaan sebagian pemeluk dari suatu agama, menjalin silaturahmi akan memperpanjang rezeki.

Jika demikian halnya, maka lagi-lagi relevan asumsi Marx yang menempatkan agama sebagai instrumen yang menciptakan fantasi-fantasi bagi kelompok-kelompok yang dari sisi ekonomi tidak dalam kondisi diuntungkan. Maka, betapapun besar resiko terpapar virus covid-19 itu tidak sebanding dengan motivasi mereka untuk berkerumun atau berkumpul-kumpul dengan dalih memperingati seremonial keagamaan mereka. Sederhananya, kenyataan bahwa kelompok-kelompok yang tidak diuntungkan secara ekonomi, diberikan peluang oleh agama dengan janji kehidupan yang layak setelah mati.

Meskipun Marx mengkritisi agama sangat pedas, dengan mengasumsikan agama sebagai candu bagi sebagian umat beragama, tetapi bukan berarti ia berkata tanpa simpati. Marx jelas menyadari betapa pentingnya posisi agama dalam memberikan penghiburan, sama seperti seseorang yang fisiknya sedang cidera tengah menerima bantuan dari obat-obatan pereda sakit. Tetapi masalahnya adalah, obat-obatan pereda sakit tidak mampu menyembuhkan.

Demikian pula agama, tidak mampu memperbaiki penyebab rasa sakit dan penderitaan rakyat. Agama malah membantu mereka untuk melupakan mengapa mereka menderita, dan mengajak mereka untuk melihat kehidupan masa depan yang imajiner. Seperti dalam konteks di tengah pandemi, dalam beberapa kasus terakhir, para agamawan berhasil membangkitkan gairah beragama jamaahnya, yang berkerumun dan berkumpul tanpa rasa takut akan terpapar covid-19 untuk bersama-sama memeriahkan seremonial hari besar keagamaan, yang jelas mungkin oleh karena pelonggaran pemerintah pada ramadhan tahun ini.

Jadilah seremonial keagamaan bagi mereka (umat beragama) yang berkerumun dan berkumpul ini sebagai penenang saraf sesaat bagi rakyat yang selama pandemi merasa begitu dibatasi kebabasannya. Akhirnya, seremonial keagamaan menjadi jalan pintas yang tepat untuk bersembunyi dari kekalahan; sebuah bentuk pelarian sesaat dari kepenatan. Bahkan bukan tidak mungkin, seremonial keagamaan yang diperingati secara serampangan tanpa mempertimbangkan kemashlahatan bersama, menjadikan kerja keras sebelumnya untuk memutus mata rantai penularan covid-19 akan sia-sia belaka. Ramadhan tahun ini pertaruhannya, apakah transisi dari pandemi ke endemi sebagaimana utopia kita bersama, betul-betul wujud, dan ataukah sebaliknya distopia?.***

 

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...