Tuesday, April 12, 2022

Seremonial Agama "Candu" Masyarakat?

Oleh: Syamsul Kurniawan

KETIKA bangsa yang tengah berjibaku keluar dari pandemi covid-19 dan bertransisi ke endemi, kita malah dipertontonkan berbagai kegiatan umat beragama yang berkerumun untuk merayakan seremonial keagamaan. Merayakan seremonial keagaaan tentu sah-sah saja, apalagi pemerintah telah melonggarkannya pada Ramadhan ini. Tetapi karena mereka berkerumun dan mengabaikan protokol-protokol kesehatan sebagaimana yang dianjurkan oleh negara, ini berpotensi menjadi kluster penularan covid-19 yang membahayakan banyak orang. Sementara kita tahu, virus ini jelas masih ada di tengah-tengah kita.

Di social media misalnya, di bulan suci ini, sangat mudah kita temukan sejumlah kerumunan yang saya maksud ini. Dalam beberapa video dan foto, terlihat bagaimana agamawan yang kharismatik berdiri berceramah dan di sekitarnya dipenuhi sesak jamaah yang antusias mendengarkannya. Seolah tidak takut terpapar virus berbahaya covid-19, mereka berhimpit-himpitan, tidak jaga jarak, dan sebagian bahkan terekam kamera tidak menggunakan masker. Apa yang bisa dipahami dari fenomena ini?

Satu hal yang mungkin, adalah perasaan “dibatasi” selama tiga tahun pandemi kini tidak ada lagi dengan pelonggaran oleh pemerintah saat ini. Sebagaimana dimafhumi, selama tiga tahun pandemi covid-19, ketika banyak hal selama beberapa bulan ini banyak kegiatan dibatasi, termasuk dalam konteks ibadah di ruang publik. Sehingga sangat mudah memahami jika ada sebagian masyarakat (baca: umat beragama) yang merindukan masa-masa sebelum pandemi; masa-masa di mana mereka bisa berkumpul-kumpul untuk beribadah dan merayakan seremonial keagamaan mereka dengan bebas tanpa rasa takut, seperti Ramdhan tahun ini. Dan, merekapun menunggu momen yang semarak itu.

Seremonial Agama yang Dicandu?

Ketika dalam keadaaan serba terbatas, seseorang memang potensial menjadikan agamanya menjadi candu. Relevan dalam konteks ini mengutip Marx. Dalam sebuah tulisannya, Marx mengatakan, ‘Penderitaan religius, pada saat yang bersamaan, adalah ekspresi dari penderitaan riil dan protes terhadap penderitaan riil tersebut. Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jantung-hati dari dunia yang tak berperasaan, dan jiwa dari situasi yang tak berjiwa. Agama adalah candu bagi masyarakat.’ Inilah pernyataan Marx paling terkenal dalam kaitannya dengan agama. 

Tetapi pernyataan Marx di atas memang seringkali disalahpahami, karena para pembaca tidak masuk ke dalam seluruh rangkaiannya dengan jeli. Kalimat “Agama adalah candu bagi masyarakat” sering dikutip dengan pemahaman yang serampangan dan tendensius; diinterpretasi sebagai sikap anti-agama Marx yang vulgar.  Padahal, eksposisi yang sesungguhnya, pernyataan di atas merupakan kritik Marx terhadap penganut agama yang menjadikan agamanya hanya sebatas “candu” untuk membuatnya kuat bertahan dari tekanan atau ketertindasan. Jika ini dikaitkan dengan kondisi umat beragama di masa pandemi covid-19 ini, bisa jadi umat beragama memang berada dalam tekanan dan penderitaan.

Tidak hanya dalam konteks ibadah mereka di ruang publik yang menjadi serba terbatas jika dibandingkan sebelum pandemi, tetapi juga kualitas kehidupan sebagian mereka yang menurun drastis terutama dari sisi ekonomi. Bukan tidak mungkin, mereka yang berkerumun atau berkumpul-kumpul walaupun kondisi pandemi tidak ideal untuk itu, di balik motif mereka adalah menjalin silaturahmi yang bisa menguntungkan mereka dalam sisi ini. Menurut kepercayaan sebagian pemeluk dari suatu agama, menjalin silaturahmi akan memperpanjang rezeki.

Jika demikian halnya, maka lagi-lagi relevan asumsi Marx yang menempatkan agama sebagai instrumen yang menciptakan fantasi-fantasi bagi kelompok-kelompok yang dari sisi ekonomi tidak dalam kondisi diuntungkan. Maka, betapapun besar resiko terpapar virus covid-19 itu tidak sebanding dengan motivasi mereka untuk berkerumun atau berkumpul-kumpul dengan dalih memperingati seremonial keagamaan mereka. Sederhananya, kenyataan bahwa kelompok-kelompok yang tidak diuntungkan secara ekonomi, diberikan peluang oleh agama dengan janji kehidupan yang layak setelah mati.

Meskipun Marx mengkritisi agama sangat pedas, dengan mengasumsikan agama sebagai candu bagi sebagian umat beragama, tetapi bukan berarti ia berkata tanpa simpati. Marx jelas menyadari betapa pentingnya posisi agama dalam memberikan penghiburan, sama seperti seseorang yang fisiknya sedang cidera tengah menerima bantuan dari obat-obatan pereda sakit. Tetapi masalahnya adalah, obat-obatan pereda sakit tidak mampu menyembuhkan.

Demikian pula agama, tidak mampu memperbaiki penyebab rasa sakit dan penderitaan rakyat. Agama malah membantu mereka untuk melupakan mengapa mereka menderita, dan mengajak mereka untuk melihat kehidupan masa depan yang imajiner. Seperti dalam konteks di tengah pandemi, dalam beberapa kasus terakhir, para agamawan berhasil membangkitkan gairah beragama jamaahnya, yang berkerumun dan berkumpul tanpa rasa takut akan terpapar covid-19 untuk bersama-sama memeriahkan seremonial hari besar keagamaan, yang jelas mungkin oleh karena pelonggaran pemerintah pada ramadhan tahun ini.

Jadilah seremonial keagamaan bagi mereka (umat beragama) yang berkerumun dan berkumpul ini sebagai penenang saraf sesaat bagi rakyat yang selama pandemi merasa begitu dibatasi kebabasannya. Akhirnya, seremonial keagamaan menjadi jalan pintas yang tepat untuk bersembunyi dari kekalahan; sebuah bentuk pelarian sesaat dari kepenatan. Bahkan bukan tidak mungkin, seremonial keagamaan yang diperingati secara serampangan tanpa mempertimbangkan kemashlahatan bersama, menjadikan kerja keras sebelumnya untuk memutus mata rantai penularan covid-19 akan sia-sia belaka. Ramadhan tahun ini pertaruhannya, apakah transisi dari pandemi ke endemi sebagaimana utopia kita bersama, betul-betul wujud, dan ataukah sebaliknya distopia?.***

 

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...