Wednesday, April 13, 2022

Butuh Agamawan Menjaga Komitmen Masyarakat Seputar 3M


 Oleh: Syamsul Kurniawan

MESKI vaksin sudah ada kita tetap harus disiplin menjalankan protokol kesehatan. Tetap disiplin 3M, memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, selalu harus terus kita lakukan,” demikian dikatakan oleh Bapak Presiden Joko Widodo, dalam pernyataan di akun resmi youtube Sekretariat Presiden (Minggu, 06/12/2020).

Dua tahun lalu memang, pesan ini diutarakan oleh Bapak Presiden Joko Widodo. Namun hemat penulis, pesan di atas masih sangat relevan di masa transisi: dari pandemi ke endemi sebagaimana saat ini. Apalagi, cukup bisa dimengerti dari banyak hasil survey yang menyebutkan tingkat kedisiplinan masyarakat berkaitan dengan ini sangatlah rendah. Sebuah ironi memang, karena bagaimanapun mayoritas penduduk di negara ini beragama. Bahkan, jika ini dikaitkan dengan jumlah pemeluk agama yang mayoritas, yaitu Islam, bukan tidak mungkin masyarakat muslim juga ikut andil menyumbang hasil survey disiplin 3M yang rendah tersebut. Jika betul demikian, ibarat jauh panggang dari api, model keberislaman yang rahmatan lil ‘alamin seolah-olah jauh dari pemeluknya.

Jelas, dengan disiplin 3M, memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, tidak hanya soal keselamatan diri kita sendiri, tetapi secara tidak langsung pula berhubungan dengan keselamatan orang lain. Berkaitan dengan disiplin 3 M, yang intinya menjaga pola hidup sehat dan bersih, tentu saja bukanlah hal yang tidak diajarkan oleh Islam, bahkan sangat ditekankan. Saya yang muslim sejak kecil sering mendengar guru-guru agama saya, kiyai/ustadz yang berceramah di mimbar-mimbar masjid, mengatakan bahwa “kebersihan adalah sebagian daripada iman”. Tidakkah ini berarti, disiplin 3 M sama saja dengan sikap positif yang harus dikembangkan mereka yang mengaku beriman.

Peran agamawan yang penting

Di bulan suci Ramadhan tahun ini, terlihat pemerintah mulai melonggarkan aktifitas di tengah-tengah masyarakat, yang sebelumnya amat dibatasi. Sehingga, bisa dibandingkan ramadhan tahun ini memang kesannya jauh lebih semarak ketimbang dua tahun sebelumnya. Namun demikian, jangan sampai pelonggaran ini justru menjadi boomerang, oleh karena masyarakatnya yang lalai dengan disiplin 3M, angka kasus covid-19 yang tengah melandai jadi naik kembali.

Dalam hal ini, untuk menyadarkan umat mengenai pentingnya disiplin 3 M, tidak cukup mengandalkan negara. Negara perlu dibantu, terutama dari kalangan agamawan, termasuk agamawan-agamawan umat Islam. Agamawan-agamawan ini perlu menjadi pelopor-pelopor dalam konteks mencerahkan masyarakat sehubungan dengan disiplin 3 M ini. Keduanya perlu bersinergi.

Tetapi, kerja-kerja yang dilakukan oleh agamawan ini mustahil berhasil jika kerja-kerja tersebut dilakukan secara serampangan. Perlu metode yang tepat sasaran. Metode jelas penting dalam konteks ini, sebagaimana dikatakan oleh M. Arifin (2001: 61), metode merupakan suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Begitupula dikatakan oleh Hasan Langgulung (2005: 39) bahwa metode sebagai cara atau jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan-tujuan.

Berkaitan dengan upaya mendisiplinkan masyarakat terhadap 3 M, ada beberapa metode yang relevan dan saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Pertama, pembiasaan. Jika disiplin 3 M ini telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat kita yang mayoritas muslim, tentulah kerja-kerja memutus mata rantai penularan covid-19 ini jadi lebih mudah. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masyarakat di Indonesia jelas masih belum terbiasa dengan disiplin 3 M itu sendiri. Pembiasaan pada konteks ini adalah metode yang paling relevan. Pembiasaan adalah upaya praktis dalam pembinaan dan pembentukan karakter seseorang. Intinya adalah pengulangan-pengulangan. Hasil dari pembiasaan yang diharapkan adalah terciptanya suatu kebiasaan; yang dalam hal ini disiplin 3 M.

Sarlito Wirawan (2001: 29) menyatakan bahwa: ‘seseorang dalam perkembangan kepribadiannya selalu membutuhkan seorang tokoh identifikasi. Dalam proses identifikasi seseorang secara tidak sadar mengambil alih sikap-sikap, norma-norma, nilai dan sebagainya dari tokoh identifikasi tersebut. Dengan demikian dalam proses identifikasi ini seseorang tidak saja ingin menjadi secara lahiriyah, tetapi justru secara batiniah.’ Oleh karena itu menurut Abdullah Nashih Ulwan (2000: 152), “Peranan pembiasaan dalam proses identifikasi ini memegang peranan penting.” Zakiyah Daradjat (1993: 101), pentingnya pembiasaan dalam pendidikan agama. Menyadari pentingnya pembiasaan, maka para agamawan di tanah air jelas tidak boleh berhenti membantu pemerintah untuk mengampanyekan pentingnya disiplin 3 M ini lewat ceramah-ceramah mereka; baik secara luring ataupun daring.

Tetapi pembiasaan yang dikampanyekan oleh para agamawan jelas tidak akan efektif, jika tidak ada metode yang kedua, yaitu: keteladanan. Pembiasaan dan keteladanan mempunyai hubungan yang erat dalam proses identifikasi. Oleh karena seorang muslim misalnya, menjadikan kyai/ustadz mereka sebagai tokoh identifikasi maka kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan kyai/ustadz mereka selalu ditiru oleh mereka. Dalam kehidupan beragama, yang menjadi suri tauladan bagi pemeluk agama adalah agamawan-agamawan mereka. Mereka menganggap agamawan-agamwan mereka ini sebagai tokoh yang perlu mereka tiru dalam kehidupan beragama mereka. Oleh karena itu agamwan selayaknya bisa menjadi teladan yang baik di tengah-tengah umat.

Asnelly Ilyas (2005: 39) misalnya yang mengatakan, bahwa seseorang “lebih banyak mengambil pelajaran melalui cara ikut-ikutan dan meniru perbuatan (gurunya), dibandingkan melalui nasehat dan penuntun lisan.” Dengan demikian, keteladanan sangatlah penting artinya dan merupakan metode influensif yang dapat diandalkan setelah agamawan memaksimalkan perannya dalam mengampanyekan pentingnya pembiasaan disiplin 3M di tengah-tengah umat. Keteladanan merupakan metode yang influensif yang dapat diandalkan keberhasilannya dalam bentuk spiritual, moral dan sosial seseorang. Hal ini disebabkan karena melalui keteladanan yang baik dapat mempengaruhi tingkah lakunya, sehingga secara tidak sadar gambaran profil agamawan yang disiplin 3 M juga terpatri dalam jiwanya.

Menurut Ramayulis (2004: 181), keteladanan itu ada dua macam, yaitu: (a) sengaja berbuat untuk secara sadar ditiru oleh terdidik; dan (b) berprilaku sesuai dengan nilai-nilai norma yang akan kita tanamkan pada si terdidik sehingga tanpa sengaja menjadi teladan bagi si terdidik. Pada poin pertama, agamawan melakukan itu dengan sengaja agar jamaahnya meniru perbuatannya, keteladanan yang disertai penjelasan atau perintah agar meneladani, misalnya ustad/kiyai selama masa pandemi ini sengaja terlihat di mata jamaahnya selalu menggunakan masker, menjaga jarak maupun mencuci tangan; baik ketika sehari-hari di rumah maupun dalam menjalankan kerja-kerjanya sebagai agamawan di tengah-tengah masyarakat. Pada poin kedua, agamawan tidak saja sengaja melakukan perbuatan disiplin 3M, tetapi memang sudah menyatu dalam karakternya, sehingga apapun yang ia lakukan baik sebelum atau saat pandemi covid-19 ini tetap saja berdasarkan pertimbangan pola hidup sehat dan bersih. Poin yang kedua ini tentu sebagai karakter yang ideal dari profil agamawan di tengah pandemi ini, yang mampun menampilkan pribadi yang baik secara wajar tanpa dibuat-buat atau memaksakan diri sedemikian rupa.

Ketiga, latihan dan praktikum. Latihan dan praktikum merupakan metode yang penting dalam pendisiplinan 3M. Dengan adanya latihan dan praktikum ini maka individu-individu muslim di tengah-tengah masyarakat mengerti tentang 3M yang harus mereka disiplinkan. Teknik pendidikan yang bersifat praktek dan amaliah merupakan hal yang pokok yang jelas banyak dijumpai pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits. Hal ini dapat dilihat dalam ibadah shalat, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya semua perlu dipraktekkan. Apa hubungannya dengan agamawan. Saya ingin mengatakan, agamawan harus sering-sering tampil di mass media, dan tampil secara kreatif menunjukkan bagaimana seharusnya disiplin 3 M itu dipraktikkan. Apalagi mass media, tidak saja teve, tetapi juga ada media-media baru seperti youtube. Konten-konten yang sifatnya mengajak umat untuk berlatih dan mempraktikkan disiplin 3M perlu dibuat oleh para agamawan. Setelahnya, pengguna media sosial bisa membantu dalam konteks memviralkannya.

Keempat, nasihat yang sifatnya perintah dan larangan. Pada konteks ini, jelas agamawan sudah sangat familiar. Menurut Amir Dien Indrakusuma (2004: 141), perintah adalah ‘suatu keharusan untuk berbuat atau melakukan sesuatu’, sedangkan larangan adalah ‘suatu keharusan untuk tidak melakukan sesuatu yang merugikan’. Perintah dan larangan dapat dilakukan agamawan asal dalam batas kewajaran terutama dalam melaksanakan ibadah dan akhlak yang terpuji, seperti saat pandemi ini: jamaah dalam beribadah dinasihati tetap mejaga disiplin 3M dalam prosesnya, menasihati jamaah supaya melaksanakan akhlak yang baik di tengah pandemi ini dengan cara mendisiplinkan 3M tersebut, dan melarang aktifitas-aktifitas yang beresiko di tengah pandemi ini seperti berkerumun, dan semacamnya. Nasihat yang sifatnya perintah dan larangan ini, adalah metode yang relevan ketika padanya mengikut keteladanan dari agamawan yang memberikan nasihat. Komitmen agamawan dalam hal ini harus terus dijaga, sampai pandemi ini betul-betul dirasakan bisa dikendalikan. Firman Allah SWT: Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang yang beriman. (QS Adz-Zariyat: 55)

Bersinergi dengan kebijakan negara

Sebagai penutup, seperti telah saya katakan sebelumnya, bahwa kerja-kerja agamawan dalam mencerahkan umat di tengah pandemi ini hanya mungkin berhasil guna, manakala bisa bersinergi dengan kebijakan-kebijakan yang diproduksi oleh negara. Dalam mendisiplinkan umat selama pandemi ini dalam 3M, negara tidak hanya perlu menunjukkan reward tetapi juga tegas terhadap punishment, terhadap pelanggar disiplin 3 M.

Reward misalnya, bisa diberikan pada agamawan-agamawan yang proaktif di tengah-tengah umat mengampanyekan disiplin 3M. Selain dokter, mereka (agamawan) yang konsisten mengampenyekannya juga adalah pahlawan-pahlawan selama pandemi ini, sama seperti dokter, perawat atau tenaga medis yang berguguran merawat pasien yang terpapar pada masa pendemi. Kecuali reward, jauh lebih penting pula pelangar-pelangar disiplin dikenai punishment yang wajar sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku. Jangan tebang pilih!. Menurut Amir Dien Indrakusuma (2004: 147), sanksi diberikan untuk membuat seseorang sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya. Jadi hukuman itu disebabkan karena adanya pelanggaran yang bertujuan agar pelaku sadar dan berjanji tidak mengulanginya.

Punishment terhadap pelanggar disiplin 3M selama pandemi ini bisa saja bersifat positif dan juga bersifat negatif. Bersifat positif jika: pertama, memperbaiki individu yang melanggar agar menyadari kekeliruan, dan tidak akan mengulanginya lagi; kedua, melindungi individu yang melanggar agar tidak melanjutkan pola tingkah laku yang menyimpang, buruk dan tercela; dan ketiga, melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan salah yang dilakukan para pelanggar. Sementara punishment disebut negatif, apabila dipakai sebagai: pertama, alat untuk membalas dendam; kedua, alat untuk menakut-nakuti dan mengancam, tetapi hanya berpengaruh sebentar saja dan tidak memberikan rasa jera pada pelakunya; dan ketiga, sebagai alat untuk menindas seseorang tanpa membukakan pengertian akan kekeliruannya. Pada konteks inilah, komitmen dari aparat dipertaruhkan. “Salus Populi Suprema Lex Esto”, yaitu keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi harus selalu dijunjung. ***

 

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...