Wednesday, April 13, 2022

Vaksinasi dan Utopia

Oleh: Syamsul Kurniawan

DI bulan suci Ramadhan tahun ini, pemerintah sangat serius menggenjot capaian vaksinasi nasional. Salah satunya, muncul aturan bagi para pemudik, yang mana untuk mudik, mereka harus telah mendapatkan vaksinasi, apakah itu vaksinasi pertama, kedua, dan booster. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, mewacanakan masjid akan menjadi sentra dari program vaksinasi masyarakat. Seperti misalnya, seusai shalat tarawih.

Namun, ketika kita runut jauh ke belakang, pada awal pandemi, di saat-saat masifnya program vaksinasi, seorang politisi anggota DPR yaitu Ribka Tjiptaning, yang dalam sebuah Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Lanjutan Komisi IX DPR RI, kesannya tidak hanya menolak untuk divaksinasi  tetapi juga mencela program negara dalam soal ini. Sikap Ribka Tjiptaning dalam rapat tersebut, jelas sedikit banyak akan mempengaruhi opini publik; bahkan pada hari ini. Publik yang sebelumnya, merasa ada harapan di tengah ketidakpastian pandemi ini mestilah dari sekian banyak di antara mereka jadi timbul rasa ragu setelah menonton tayangan tersebut. Jelas tayangan tersebut telah menyebar begitu massif di tengah publik saat ini, yang dengan mudah ditonton kembali via youtube.

Adakah harapan?

Seperti dimafhumi, rentetan derita dan kenangan pahit seperti tak kunjung berlalu di masa pandemi ini. Tertatih-tatih bangsa kita ingin bangkit dari empasan krisis multimensi, jatuh bangun digempur pandemi. Sudah banyak korban yang berjatuhan. Pada saat tulisan ini dibuat saja, jumlah mereka yang meninggal akibat covid-19 menurut angka statistik telah mencapai 155.744 orang (data per 15 April 2022). Nyaris memasuki tiga tahun sudah, bangsa ini tenggelam dalam keterpurukan.

Sementara itu, masyarakat juga mengalami permasalahan di bidang perekonomian. Sebagian masyarakat bisa dikatakan saat pandemi ini, hidup sengsara dikejar harga kebutuhan pokok, dan sementara sebagian mereka ini pula tidak sedikit yang baru saja kehilangan pekerjaan dan sumber-sumber ekonomi. Saat pandemi bertamu ke Indonesia, sejak itupula negara ini seolah meniti labirin tanpa terminal. Perjalanan menuju masa depan yang lebih baik seperti tak ada ujung. Tambahan lagi, keadaan kacau balau ini diperparah oleh sikap politisi di senayan yang membuat bingung masyarakat, terutama yang ada di akar rumput (grassroot).

Apakah dalam kepungan trauma, pesimisme dan apatisme saat pandemi ini nyaris tak ada menyisakan ruang untuk membangkitkan harapan? Jelas putus asa bukanlah jalan keluar dari krisis yang kita alami. Pengalaman pahit (memoria passionis) saat ini dan sebelumnya, harusnya bisa memunculkan tindakan baru dalam praksis sosial. Dengan kata lain, memori pahit selayaknya bisa diikuti dengan memori kebangkitan (memoria resurrectionis)

Sejauh yang saya amati, para policymakers dan para analis di negara ini cenderung merasa nyaman mengukur masyarakat secara ekonomi dan data-data statistik sosial. Tidak ada yang salah dengan itu, karena saya pun masih merasa perspektif semacam ini penting. Tetapi, jelas ada indikator lain yang juga penting. Sebagaimana dikatakan oleh Friedman (2005), ada indikator yang walaupun sulit diukur tetapi penting, yaitu apakah masyarakat mempunyai lebih banyak memori ketimbang mimpi atau sebaliknya?

Saya hanya mengandai-andai, jika masyarakat memiliki lebih besar memori ketimbang mimpi, yang terjadi adalah romantisme. Mereka pastinya akan menghabiskan waktu untuk melihat ke belakang (looking backward), memaknai masa kini dan mengunyah masa silam. Jadilah mereka ini hidup dalam bayang-bayang kesadaran masa lalu ketimbang membangun imajinasi jauh ke depan, untuk mencapai masa depan yang lebih baik dan berusaha keras mewujudkannya. Mereka, saya ingin katakan “terpenjara kenangan masa lalu tanpa berusaha melihat jauh ke depan.”

Sementara jika mimpi masyarakat kita lebih besar daripada ingatan, muncullah apa yang disebut dengan “utopia”, sebagai sebuah gambaran dari kondisi yang diimpikan. Utopia adalah imajinasi untuk membangkitkan cita-cita dan harapan di masa depan. Antonim dari utopia adalah distopia, yang juga memberikan gambaran tentang masa depan, akan tetapi lebih merujuk pada ketakutan terhadap masa depan dunia yang akan datang. Masih luput dari ingatan, bagaimana kita menerima tontonan secara massif baik di televisi maupun media yang lain seputar bapak Presiden Joko Widodo yang divaksin bersama perwakilan pejabat negera, tokoh dan public fugure. Namun tidakkah kita juga disugui tontonan seorang anggota DPR bernama Ribka Tjiptaning yang menyuarakan kekhawatirannya soal program vaksinasi ini, dan jelas profil anggota DPR satu ini bukanlah satu-satunya politisi yang menunjukkan kecenderungan demikian. Maka entah apakah utopia atau distopia yang dominan muncul di tengah-tengah masyarakat kita?.

Tetapi pastinya, masyarakat Indonesia tidak bisa hidup tanpa utopia yang jelas (Kleden, 2001; Imam Cahyono, 2007). Sukarno misalnya, menggiring bangsa ini pada sebuah utopia bernama revolusi. Kemudian Soeharto yang mengusung utopia “pembagunan”nya. Presiden-presiden setelahnya juga membangun utopia. Termasuk di era kepresidenan Joko Widodo saat ini, yang membangun utopia memutus mata rantai pandemi, yang salah satunya melalui program vaksinasi.  Tanpa utopia, masyarakat akan kehilangan harapan dan semangat untuk hidup.

Membangun optimisme

Bersikap kritis penting seperti yang dilakukan oleh Ribka Tjiptaning di awal-awal program vaksinasi ini digelorakan. Tetapi hemat saya, bangsa ini juga harus bijak mengambil pelajaran  dari sejarah tanpa terkungkung pengalaman traumatik masa lampau, dan berani memandang kenyataan masa kini yang memprihatinkan namun tetap memiliki harapan kemajuan. Sejarah masa lalu seputar vaksinasi dan masa kini harusnya bisa dipandang dengan keterbukaan yang kritis sambil menjaga bandul sejarah bergerak benar ke masa depan. Memori kegagalan program vaksinasi di masa lampau seperti digelarkan wacananya oleh Ribka Tjiptaning dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Lanjutan Komisi IX DPR RI bukannya tidak penting, justru kegagalan tersebut semestinya bisa memunculkan energi yang membangkitkan perubahan dan menggerakkan masa depan.

Utopia Indonesia saat pandemi ini, harus dibangun berdasarkan optimisme menuju masa depan bangsa yang lebih baik. Program vaksinasi di sini adalah bagian dari utopia tersebut. Namun, negara juga mesti bertanggung jawab melindungi masyarakatnya dari apa yang dikhawatirkan oleh Ribka Tjiptaning. Kekuasaan negara harus berorientasi untuk dan melindungi masyarakat Indonesia.***

 

 

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...