Friday, April 26, 2024

Kelas yang Menyenangkan

 


https://www.facebook.com/catatansyamsulkurniawan

beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis ekonomi berkepanjangan. Sebagian yang lain berpendapat mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan pemerintah sering gonta-ganti kurikulum. Dari KBK, KTSP, pernah Kurikulum 2013, sekarang Kurikulum Merdeka dan besok entah menggunakan nama apa lagi. Pendapat yang lain mengatakan, Indonesia begitu luas, sehingga pendidikan tidak merata.

Semua pendapat di atas ada benarnya. Selainnya, mutu pendidikan juga dapat ditentukan “di dalam kelas”. Di dalam kelas?. Betul, begitulah hemat saya. Konkretnya, kelas menjadi lingkungan yang amat menentukan baik-buruknya mutu pendidikan di sekolah secara keseluruhan.

KESENJANGAN HARAPAN DAN KENYATAAN
Kualitas pendidikan sebuah sekolah dapat diukur dari seberapa berkualitas pembelajaran yang berlangsung di kelas. Kalaulah dalam kelas itu kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung menyenangkan, sehingga anak merasa betah dan nyaman, asyik dan dapat menghasilkan anak yang cerdas dan berbakat, maka barulah guru itu dapat dikatakan sukses dalam mendidik atau mengajar. Dari kelas yang baik, maka akan melahirkan mutu pendidikan yang baik pula.

Ironi, sekolah yang kelas-kelasnya nyaman, tenang, dan asyik itu tak banyak. Bahkan, sebagian sekolah-sekolah saat ini terkesan memberikan beban berat yang menghimpit  siswa, karena jam pelajaran di kelas yang membosankan. Akibatnya, ketika siswa berada di kelas, mereka tidak betah, segera ingin mendengar bel istirahat dan keluar kelas secepatnya. Jika ada pengumuman pulang lebih awal atau libur, mereka bersorak-sorai, gembiranya bukan kepalang, seperti baru saja lepas dari beban psikologis yang berat.

Apa simpulannya?
Hemat saya, kekerasan masih terjadi di kelas-kelas kita. Bukan dalam pengertian “kekerasan fisik”, tapi “kekerasan non fisik”. Ketidakpahaman sebagian besar guru tentang jenis kekerasan non fisik ini telah membuat mereka sering melakukannya terutama pada proses pola asuh. Walaupun tidak ada data pasti mengenai hal ini. Namun mari kita mengaku, tentang banyaknya guru-guru di sekolah yang melakukan tindakan dengan nada mengancam, membentak, berteriak, atau memaki siswa-siswanya.

Contoh lain, pemberian tugas yang berlebihan pada siswa, memaksa para siswa berkompetisi secara berlebihan, memberikan target prestasi yang terlalu tinggi dan tak jarang memaksa siswa-siswa untuk menguasai mata pelajaran tertentu di luar minatnya, hingga mematikan kreatifitas mereka. Otak siswa dijejali dengan berbagai pengetahuan sekehendak hati sang guru atau kurikulum, dengan alasan supaya siswa memperoleh nilai tinggi dan lulus ujian nasional. Sementara itu siswa-siswa tak diberi kesempatan berpikir, mencerna, bereksplorasi apalagi berkreasi. Pantaslah, ketika siswa lulus, mereka pikir sedang keluar dari sebuah “penjara” yang bernama sekolah. Mereka ekspresikan dengan coret-coret baju dan berkonvoy motor di jalan-jalan raya.

KONTRAPRODUKTIF
Mengkondisikan sekolah layaknya sebagai penjara jelas keadaan yang kontraproduktif. Harusnya dimaklumi, jika siswa-siswa pada dasarnya mempunyai bakat, potensi atau kemampuan, dan minat yang berbeda-beda antara satu dan lainnya. Oleh karenanya potensi mereka tidak dapat diseragamkan oleh pihak sekolah bahkan orangtua.

Betul, atas pertimbangan masa depan, seorang guru dan orang tua siswa boleh-boleh saja punya obsesi pribadi yang dibebankan di pundak siswa-siswa atau anak-anak mereka. Namun, harusnya pilihan tetap ada pada pundak siswa-siswa. Seberapapun paham dan tahunya guru-guru terhadap mereka, tentu saja mereka jauh lebih tahu tentang keadaan mereka, potensi dan kemampuan mereka sendiri.

Pendidikan tidak boleh seperti mengisi ember yang kosong. Kepala siswa-siswa bukanlah seperti ember kosong yang boleh seenaknya kita isi apa saja. Dengan kata lain, ketika seorang guru mendidik siswa, mereka harus menyadari bahwa seorang siswa sudah membawa “bekal” mereka masing-masing di dalam pikiran mereka. Mereka sudah memiliki pandangan dan latar belakang pengetahuan dari pengalaman hidup mereka sebelumnya, dan ini harus dihargai guru. Tidak boleh sembarangan mengisi kepala para siswa.

Harusnya, guru-guru di sekolah bisa memanfaatkan “bekal” siswa-siswa dengan baik sehingga semakin berkembang maksimal, seperti api yang dinyalakan kembali. Di suatu “kelas yang menyenangkan”, seorang siswa selayaknya kita kondisikan menjadi dirinya sendiri dan dimotivasi untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Inilah pekerjaan rumah sekolah-sekolah kita, yaitu tentang bagaimana mengadakan kelas-kelas yang menyenangkan bagi siswa. Betul-betul sebuah kelas. Bukan sebuah penjara!.***

Monday, April 8, 2024

Masa Depan Pesantren

Oleh: Syamsul Kurniawan

Mencermati tren yang ada sekarang, nampaknya sebagian besar anak-anak usia sekolah lebih cenderung memilih sekolah-sekolah “umum” dari pada pesantren. Pilihan seperti itu dilatarbelakangi oleh bergesernya nilai, motivasi dan orientasi dalam menuntut ilmu. Pada masa dahulu menuntut ilmu lebih didorong oleh keinginginan luhur dan niat suci semata-mata untuk memiliki ilmu pengetahuan. Akan tetapi pada masa sekarang ini orientasinya berkembang dan terkait erat dengan lapangan dan kesempatan kerja di masa mendatang.

Oleh karena itu dibutuhkan kesediaan pengelola pesantren dalam merencanakan strategi yang tepat akan menentukan prospeknya di masa mendatang. Peluang dan kekuatan yang dimiliki pesantren dalam menjawab tantangan zaman adalah keniscayaan yang mesti jadi bahan perhatian para pengelola pesantren.

Pesantren selanjutnya diharapkan tidak hanya mencetak ulama-ulama di bidang agama saja tetapi juga dituntut untuk memberi bekal kemampuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan ini menjadi tantangan baru bagi pesantren untuk terus melakukan modernisasi dan inovasi agar pendidikan pesantren mampu mengikuti perkembangan zaman. Jika pesantren mampu menjawab tantangan itu, maka eksistensinya akan tetap aktual sebagai benteng pertahanan utama peradaban Islam kini dan sekaligus menentukan prospek perkembangannya pada masa yang akan datang.

Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh pesantren dalam hal ini: satu, sistem kurikulum dari pesantren yang akan didirikan mesti lebih modern dari pesantren tradisional kebanyakan, sehingga pesantren ketinggalan jauh dari sekolah umum; dua, kurangnya anggaran dan sumber pendanaan disebabkan oleh kurang siswa perlu dicarikan solusinya; dan tiga, perlu strategi promosi yang efektif dalam mendekati sebagian orang tua tidak tertarik menyekolahkan anak di pesantren.[1]

Menjawab Tren

Diakui oleh para ahli sejarah bahwa lembaga pendidikan Islam pertama yang didirikan di Indonesia dan masih bertahan sampai sekarang adalah dalam bentuk pondok pesantren. Dengan karakternya yang khas dengan orientasi religus, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.

Pada awal berdirinya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat sederhana. Tidak ada klasifikasi kelas, tidak ada kurikulum, juga tidak ada aturan yang baku di dalamnya. Dalam praktik pembelajarannya, semuanya bergantung pada kyai sebagai poros sistem pembelajaran pesantren. Mulai dari jadwal, metode, bahkan kitab yang hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kyai secara penuh.[2]

Dalam sejarah perkembangan pesantren, disebutkan pula bahwa mulanya pondok pesantren masih berbentuk surau, dan yang pertamakali membuka pendidikan formal adalah Tawalib di Padang Panjang pada tahun 1921, sedangkan di Jawa adalah pesantren Tebu Ireng Jombang pada tahun 1919 menyusul pondok modern Darussalam Gontor pada tahun 1926.[3]

Hal tersebut memberikan gambaran bahwa dalam tubuh pondok pesantren sejak dahulu telah ada upaya untuk mengikuti perkembangan zaman dengan membuka pendidikan formal yang merupakan cikal bakal serta ciri pendidikan modern. Membuka diri untuk menerima modernisasi bagi lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren adalah satu hal yang tidak dapat dihindari. Seiring dengan perkembangan zaman pondok pesantren dituntut untuk mengikuti dinamika perubahan yang begitu kompleks. Pesantren selanjutnya diharapkan tidak hanya mencetak ulama-ulama dibidang agama yang akan berperan aktif dalam penyebaran agama Islam tetapi lebih dari itu juga dituntut untuk memberi bekal kemampuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perubahan ini menjadi tantangan baru bagi pesantren untuk terus melakukan modernisasi dan inovasi agar pendidikan pesantren mampu mengikuti perkembangan global. Jika pesantren mampu menjawab tantangan itu, maka eksistensinya akan tetap aktual sebagai benteng pertahanan utama peradaban Islam kini dan sekaligus menentukan prospek perkembangannya pada masa yang akan datang. Proses perubahan yang terjadi di berbagai pondok pesantren pasca abad ke-19 pada dasarnya merupakan upaya pesantren secara perlahan-lahan dalam rangka membuka diri bagi masuknya modernisasi.

Modernisasi dalam tubuh pesantren berarti sebuah proses menuju perubahan. Modernisasi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.[4] Tantangan zaman modern pada hakekatnya adalah tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa awalnya implikasi dari kemodernan itu jelas positif, yaitu berupa kemajuan-kemajuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam dunia pesantren, wawasan santri terhadap dunia luar kian terbuka. Pesantren bukan lagi komunitas eksklusif seperti dirasakan pada zaman-zaman pra kemerdekaan, namun setelah masa kemerdekaan hingga dewasa ini telah banyak lulusan output dari pesantren yang telah memiliki bekal untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan pemikiran baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren.

Di tengah harapan dan tuntutan yang begitu tinggi bagi pondok pesantren, untuk menyambut modernisasi kelembagaannya yang tidak kunjung berakhir, dihadapkan pula implikasi negatif kemoderenan berupa merosotnya nilai-nilai kehidupan rohani, tercabutnya budaya-budaya lokal, dan degradasi moral (terutama) yang melanda generasi muda. Dampak sistemik lainnya adalah terjadi kemerosotan terhadap kualitas output produk sistem pesantren, termasuk terjadinya kelangkaan out put yang dapat disebut ulama dengan predikat sebagai “Pewaris Nabi” (warastsatul Anbiya).

Kini, sebagaimana tren yang telah disinggung di muka, minat terhadap pesantren semakin menurun. Hal ini selayaknya menjadi perhatian dari sebagian pesantren untuk berdamai dengan perubahan. Kini, tantangannya adalah pesantren selayaknya tidak lagi hanya sebagai lembaga yang kaku dan melulu mengkaji kitab-kitab klasik. Akan lebih baik, jika pesantren saat ini juga turut serta membangun kehidupan masyarakat sekitar, tidak hanya dalam bidang keagamaan tapi juga hal lain misalnya ekonomi, sosial, pendidikan maupun politik. Jika ini mampu dilakukan, tentu saja pesantren akan tetap eksis sampai kapanpun dalam kondisi yang bagaimanapun.***



[1] Yunus, “Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Kecamatan Malangke Kabupaten Luwu”, Jurnal Ilmiah Iqra’, Volume 12 Nomor 2 2018, 88-105.

[2] Haedari, A., & Dkk. (2004). Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern. Jakarta: Diva Pustaka.

[3] Zuhairini. (2002). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

[4] Dalyono, M. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Mencegah Radikalisme Berkedok Agama

Oleh: Syamsul Kurniawan

Gerakan penyebaran paham radikal berkedok agama di Indonesia kian mengkhawatirkan karena mulai digiatkan pada kelompok-kelompok strategis, seperti mahasiswa, Pegawai Negeri Sipil, dan bahkan anggota TNI dan Polri. Indikasi ini kemudian direspon oleh Presiden Jokowi dengan memberikan perhatian khusus pada gerakan radikalisme berkedok agama ini, dengan menginstruksikan, bahwa pemerintah akan melibatkan banyak pihak untuk melakukan deradikalisasi. Presiden meminta jajarannya melakukan upaya serius mencegah gerakan yang mengkhawatirkan itu.

Ciri khas gerakan radikalisme ini, yaitu menolak Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI; mempraktikan sikap takfiri yang mengafirkan rekan-rekan seagama yang berbeda pandangan; dan terakhir menolak toleransi dan kerja sama dengan penganut agama lain. Secara menyeluruh radikalisme agama adalah gerak keagamaan berbasis kepada tafsiran literal hukum agama demi pemahaman dan praksis keagamaan yang lurus dan murni, dan karena itu menolak Pancasila dan toleransi. 

Pola penyebaran radikalisme agama umumnya dapat diidentifikasi ke dalam dua pola: Satu, pola penyebaran yang bersifat konvensional, yaitu melalui kegiatan keagamaan yang dilakukan dalam lingkungan masyarakat dalam bentuk pengajian, kajian agama, dan interaksi dengan anggota keluarga/teman yang telah terpengaruh paham radikal; dan dua, pola penyebaran yang bersifat modern, yaitu melalui internet dan media sosial.

Kaitannya dengan ini, strategi pencegahan paham radikalisme agama agar tidak meluas, yaitu dengan penerapan fungsi aparat penegak hukum, yang meliputi secondary prevention (Pre-emtif), primary prevention (Preventif), dan tertiary prevention (Represif). Strategi ini pada dasarnya adalah strategi yang komprehensif dalam mencegah penyebaran radikalisme agama, karena strategi ini mengedepankan 3 (tiga) pendekatan yaitu pendekatan pencegahan dini (pre-emtif), langsung (preventif), dan penegakan hukum (represif) sebagai upaya untuk menimbulkan efek jera. Hanya saja strategi ini dengan tiga pendekatannya, bentuk kegiatan dan program turunanannya, terutama pendekatan pencegahan dini (pre-emtif) dan pencegahan langsung (preventif), kurang adaptif atau kurang kompatibel lagi dengan perkembangan dengan pola penyebaran radikalisme agama yang terjadi saat ini, terutama pola penyebaran melalui internet dan media sosial yang begitu massif.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi strategi pencegahan penyebaran radikalisme agama terhadap anggota Polri di lapangan dapat diidentifikasi sebagai berikut: satu, faktor keterbatasan ruang dan waktu dalam melakukan pengawasan terhadap terhadap oknum-oknum yang terpapar radikalisme berinteraksi dengan lingkungannya; dua, faktor keterbatasan pengawasan terhadap oknum-oknum yang terpapar radikalisme berinteraksi dengan lingkungannya dalam mengakses informasi melalui internet dan media sosial; dan tiga, faktor keterbatasan instrumen yang dapat mengungkap adanya keterpengaruhan paham radikal yang masih bersifat “sel tidur” dalam alam pikir masyarakat.***

Saturday, April 6, 2024

Tantangan Pembelajaran Pasca-Pandemi Covid-19 Bagi Lembaga Pendidikan Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

ABAD 21 ditandai dengan berbagai kemajuan teknologi yang demikian pesat, terutama dalam ranah komunikasi dan informasi. Teknologi telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Kemajuan-kemajuan dalam sisi ini memberi dampak yang signifikan terhadap berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Dengan berbagai kemajuan teknologi yang ada saat ini, rasanya mubazir jika tidak bisa dimanfaatkan oleh para praktisi pendidikan, khususnya guru, untuk membantu mewujudkan terciptanya pembelajaran bermutu dan menyenangkan.

Model pembelajaran yang berbasis kecakapan abad 21, adalah model pembelajaran yang dirancang dengan menggabungkan setidaknya kompetensi abad 21, yaitu: satu, learning skills (kemampuan belajar); dua, literacy skills (kemampuan literasi); dan tiga, life skills (keterampilan hidup). Ketiganya ini mesti dibangun dengan semangat “berdamai dengan perubahan”. Hal ini berarti, model pembelajaran abad 21 menghendaki peserta didik, tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga mahir dalam mengembangkannya.

Dalam konteks pembelajaran di lembaga pendidikan Islam, selayaknya ini menjadi masalah, terutama di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang masih cenderung mendikotomikan agama dan sains. Pada kasus lembaga-lembaga pendidikan Islam ini, sikap “anti perubahan” menjadikannya ketinggalan dan sulit beradaptasi dengan tren abad 21. Contohnya, di masa pandemi covid-19.

 

Pengalaman Berharga Saat Pandemi Covid-19

Pengalaman berharga kita dapatkan pada masa pandemi covid-19, yaitu bagaimana sikap resistensi sebagian pesantren terhadap himbauan pemerintah untuk memindahkan pembelajaran, dari yang sebelumnya tatap muka (luring) ke online (daring) mengakibatkan banyaknya korban dari kalangan santri yang terpapar covid-19.

Resistensi yang datang dari pihak internal pesantren itu sendiri sesungguhnya bisa kita mengerti. Sistem sosial pesantren dengan sistem mondoknya dan pemeliharaan unsur-unsur pesantren telah sedemikian mapan. Prasyarat sebuah sistem sosial mencapai kemapanannya, oleh Talcott Parsons dikatakan karena memenuhi prasyarat adaptasi (adaptation), mekanisme pencapaian tujuan yang jelas (goal attainment), unsur-unsur kelembagaan yang terintegrasi (integration), dan pola-pola yang dirawat dan diperkuat (latency).(Parsons, 1987) Kecenderungan ini diamini oleh Nurchalish Madjid. Bahwa kata Nurchalish Madjid, hal itu dapat dilihat dari proses pembelajaran atau praktik belajar mengajar di pesantren. Sejak dulu sebagian pesantren di Indonesia telah mempertahankan karakteristik ketradisionalannya, mempunyai tujuan, dan biasanya dirumuskan oleh kiai selaku pembimbing pertama dan key person di pesantren.(Madjid, 1997)

Tentunya tidak sebagian pesantren an sich yang menunjukkan resistensi terhadap hal ini selama pandemi covid-19, juga ada sebagian madrasah yang ngotot menyelenggarakan pembelajaran secara tatap muka, walaupun kala itu mereka berada di zona merah covid-19, sebab mereka merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan fasilitas yang serba terbatas. Satu sisi ini bisa kita pahami, bagaimana fasilitas pesantren/ madrasah yang mendukung terselenggaranya model pembelajaran online (daring) memang masih banyak yang belum memadahi, dan tambahan lagi munculnya stigma di tengah-tengah masyarakat seputar pandemi yang dinilai sebagai bentuk konspirasi. (Humas UIN Jakarta, 2022)

Berdasarkan ini, maka tantangannya bagi kelembagaan pendidikan pasca pandemi covid-19, adalah: satu, pergeseran orientasi. Selama ini pembelajaran di kelembagaan pendidikan Islam hanya dianggap sebuah teori tanpa harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dalam kasus ini perlunya pembelajaran dan perubahan cara berpikir bahwasanya tujuan pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja melainkan afektif dan psikomotorik yang juga perlu diperhatikan. Tentulah perubahan orientasi ini menyebabkan perubahan metode belajar dan penilaian dalam tercapainya tujuan belajar. Sehingga menghasilkan pribadi yang tidak hanya bertakwa kepada Allah Swt serta dapat menjadi pribadi yang aktif dan sadar akan perubahan teknologi informasi dan komunikasi serta berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Pandemi covid-19, selayaknya membuka mata kita, bahwa pergeseran orientasi tidak hanya mungkin dilakukan, tetapi mendesak untuk dikerjakan.

Dua, pengembangan model pembelajaran. Pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, perlu dikembangkan mengikuti perkembangan zaman dan menjadikan peserta didik tertarik terhadap materi pembelajaran. Kaitan dengan model ini, baik dari segi perencanaan pembelajaran pelaksanaan pembelajaran dan sumber pembelajaran, serta evaluasi, mestinya sejalan dengan kebutuhan pasca-pandemi covid-19. Berdasarkan pengalaman berharga masa pandemi covid-19, selayaknya pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, dirancang dengan menggabungkan tiga kompetensi abad 21, yakni kemampuan belajar (learning skills), kemampuan literasi (literacy skills), keterampilan hidup (life skills), keterampilan dan sikap, serta penguasaan terhadap teknologi. Artinya, di masa pasca-pandemi covid-19 ini peserta didik tidak hanya dituntut untuk mahir dalam ilmu pengetahuan, namu lebih dari itu, peserta didik juga harus terampil dalam menggunakan teknologi, menjadi insan literat, serta memiliki akhlak yang baik.*** 

Thursday, April 4, 2024

Tips Menulis Opini

Oleh: Syamsul Kurniawan

Pada sebuah kegiatan seminar kepenulisan, seorang peserta seminar bertanya pada saya: “Pak, saya kok sulit menuangkan ide-ide ke dalam sebuah Opini?”. “Rasa-rasanya kok menulis Opini susah sekali ya Pak?.” Peserta lain juga ada yang mengeluhkan tentang betapa sulitnya ia mulai kata pertama pada Opini yang ingin ia buat. 

Dulu, sewaktu masih jamannya menulis memanfaatkan mesintik (baca: mesin ketik), entah berapa rim kertas habis disobek-sobek, dan dibuang ke keranjang sampah. Sekarang, jaman serba mudah, apapun yang kita ketik di komputer atau laptop kita dapat dikoreksi dengan mudah dan tidak perlu lagi menyobek kertas. Meski dipemudah oleh kecanggihan teknologi komputer, tapi tidak satupun tulisan yang jadi. Jauh di lubuk pikiran kita, betapa sulitnya memulai menuangkannya dalam tulisan. Kalaupun sebuah tulisan sukses dibuat, yang justru muncul adalah rasa minder untuk mempublikasikannya. Seolah, tulisan yang dibuat begitu jeleknya untuk dibaca orang lain.  

Kasus yang dialami peserta seminat di atas mungkin terjadi pada Anda atau yang lain, yang baru mengemukakan ketertarikannya di dunia kepenulisan Opini. Menurut saya, penyebab paling mendasar dari sulitnya seseorang menulis Opini adalah mindsetnya. Ada perasaan tidak percaya diri, bahwa Opini yang mereka buat begitu jeleknya, sehingga minder jikalau Opini yang dibuatnya itu dibaca oleh orang lain. Atau, lantaran tidak bagus atau takut salah maka malu kalau orang lain membacanya. Daripada menerima malu lebih baik dibatalkan, disobek, tidak disimpan dalam bentuk file, atau apalah namanya. Alam bawah sadar mengkondisikan, bahwa cara tersebut terasa menyelamatkan harga diri dan wibawa. Tapi pendapat saya, proses keterampilan menulis sebuah Opini Anda tidak pernah terujud.

Aneh...! Bagaimana tidak aneh. Mau menjadi penulis Opini, atau paling tidak belajar menjadi penulis Opini yang Opininya diterbitkan di koran-koran dan/atau minimal di blog, tapi kok Anda takut tulisan Opininya dibaca oleh orang? Takut ketiban malu, karena orang menilai tulisan Opini yang Anda buat, begitu jeleknya atau banyak salahnya. Tidak seharusnya begitu!!!.

Begini saja perumpamaannya. Dulu, sewaktu Anda kecil, ketika belajar berjalan. Kala itu Anda jatuh bangun dan menangis. Untungnya, Anda tidak malu untuk terus belajar. Jika Anda malu, sungguh Anda tidak akan mampu berjalan pada hari ini. Betulkan?

Perumpamaan lain, saat Anda belajar bersepeda. Jatuh dan bangun juga. Anda bangun lagi dan bangun lagi walaupun dengkul Anda berlumuran darah dan tambal-tambalan kapas serta obat merah. Sampai pada suatu ketika keseimbangan Anda peroleh, sepeda anda kayuh dengan stabil. Jalanlah sepeda roda dua tersebut. Lupa deh, pada dengkul yang luka-luka. Semuanya lunas terbayar ketika kita bisa menaiki sepeda tadi.

Demikian pula halnya dengan menulis sebuah Opini. Untuk dapat menulis Opini maka langsung saja menulisnya. Satu hal penting yang harus Anda tumbuhkan adalah “KEMAUAN UNTUK MEMULAI”. Jika kemauan belum muncul, padahal tuntutan menghasilkan Opini terus saja ada, Anda perlu MEMOTIVASI DIRI SENDIRI. Bagaimana caranya? Anda yang paling tahu, bagaimana cara memotivasi diri Anda sendiri. Pastinya tergantung motif. Misalnya, Satu, karena ingin cepat menyelesaikan tugas menulis Opini yang disuruh dosen. Sebagaimana dimafhumi, di mata kuliah-mata kuliah tertentu, ada dosen-dosen yang menugasi mahasiswa dengan pekerjaan menulis Opini. Nah itu bisa jadikan sebagai motivasi; Dua, namanya dikenal orang (terkenal) karena Opininya sering nongol di Koran; Tiga, kepuasan pribadi menulis Opini dan menyebarkan gagasan Anda tentang sebuah hal yang belum banyak dibahas orang; Empat, menanggapi tulisan Opini, pendapat, atau mereaksi suatu keadaan; (5) menambah penghasilan. Sebab, ada sebagian koran atau media online yang memberi apresiasi berupa sejumlah uang ketika Opini Anda diterbitkan mereka.

Lazimnya, orang mempunyai kemauan dan termotivasi karena memiliki pengetahuan dan kemampuan. Maka PENGETAHUAN DAN KEMAMPUAN menurut saya sebuah hal lain yang harus terus Anda asah jika berkeinginan menjadi penulis Opini. Dalam hal ini ada hubungannya dengan selera baca dan jam terbang membaca Anda. Semakin Anda meluangkan banyak waktu untuk membaca, pengetahuan Anda akan bertambah. Demikian pula selera bacaan Anda saya selalu percaya akan menentukan kualitas tulisan yang Anda buat. Ingat baik-baik, PENULIS YANG BAIK ADALAH PEMBACA YANG BAIK. Pengetahuan dan kemampuan berkaitan dengan isi tulisan, apa yang diuraikan dalam Opini Anda, ia juga berkaitan dengan cara dan tatacara mengungkapkannya.

Simpulannya, untuk menjadi penulis atau menghasilkan Opini orang harus memiliki KEMAUAN, MOTIVASI, PENGETAHUAN, DAN KEMAMPUAN.

“Untuk menjadi penulis, yang dibutuhkan hanyalah kemauan keras untuk menulis dan kemudian mempraktikkannya, orang yang hanya mempunyai kemauan untuk menulis namun tidak pernah melakukannya maka ia sama saja dengan bermimpi untuk memiliki mobil, tanpa ada usaha dan kerja keras untuk memilikinya”. Demikian tulis Stephen King, seorang penulis Amerika yang terkenal.

Sugesti Buat Anda yang Ingin Menulis Opini
Topik Opini sebaiknya dicari yang sesuai dengan bidang karena masalah itu yang paling Anda kuasai. 

Satu, Banyak-banyak membaca gagasan-gagasan orang,  baik itu jurnal, laporan penelitian, buku, makalah, dan tentu saja Opini yang berkaitan dengan topik yang sedang ingin kita tulis. Tentu saja, “penulis Opini yang baik (sebagaimana telah disinggung di atas) pasti sekaligus pembaca yang rajin.” Cermati bagaimana isi tulisan-tulisan itu: gagasan, pengembangan dan pengorganisasian gagasan, bahasa, dll. Dari kegiatan-kegiatan itu lazimnya akan muncul “ide” di benak kita. Ingat sekali lagi, penulis Opini yang baik adalah pembaca yang baik.
Dua, Dalam membaca, penting Anda mencermati pola pikir pengarang lain. Cermati dan ikuti bagaimana cara: (a) pengembangan gagasan; (b) pengembangan alinea. (c) perujukan acuan; (d) pengarang yang dirujuk; (e) peramuan berbagai gagasan dari berbagai sumber; (f) sikap pengarang; (g) gaya tulisan dan ejaan, dan lain sebagainya. 

Tiga, Aktifitas menulis Anda tidak cukup hanya berbekal teori walau pengetahuan teoretis juga penting. Untuk dapat menulis, Anda harus benar-benar memulai langsung. PRAKTIK MENULIS. Seperti belajar bersepeda: untuk dapat bersepeda Anda harus betul-betul praktik bersepeda dengan resiko terjatuh dari sepeda. 

Empat, Menulislah tanpa merasa takut tulisan Opini Anda dinilai jelek oleh orang yang membacanya. Santai saja, jika ada yang nyinyir. Bentuk tulisan Opini Anda bisa jadi masih berwujud coretan-coretan ekspresif, tidak karuan, tidak saling terkait. Itu tidak masalah, sebab substansinya adalah menuliskan apa saja gagasan dan ide-ide atau pendapat Anda. Selanjutnya, coba Anda kembangkan gagasan-gagasan yang masih tak karuan itu, menjadi sebuah tulisan Opini yang utuh dan enak dibaca. Tidak mesti terburu-buru untuk menghasilkan sebuah Opini yang baik.

Lima, Jika bentuk tulisan Opini kita adalah bentuk ilmiah populer, maka penting Anda menyertakan rujukan atau kutipan, baik dari jurnal, buku-buku, atau sumber kepustakaan yang lain. Namun yang harus dijadikan catatan: “TEKS YANG DIRUJUK HARUS BENAR-BENAR DIBACA (tidak sekadar untuk ‘sok-sok’-an)”. Cara merujuk harus tepat dan konsisten sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Hati-hati terjebak pada plagiasi. Hindari copy paste tanpa menyertakan kutipan sumber.

Enam, Jangan merasa tabu menerima masukan pembaca Opini Anda. Justru masukan atau kritikan pembaca membuka peluang Anda untuk mengevaluasi kembali yang Anda tulis, dan kembali menyempurnakan tulisan Anda. Tidak ada sebuah tulisan yang dibuat oleh manusia, dan betul-betul sempurna, termasuk Opini.

Tujuh, perlu saya garusbawahi, MENULIS OPINI ITU SANGATLAH MUDAH (TIDAK TERASA SULIT) DILAKUKAN JIKA KITA “MAU” MELAKUKANNYA. 
Jadi, mengapa Anda tidak mulai memotivasi diri Anda untuk menulis dan menulis. Mulai sekarang juga diputuskan untuk segera menulis Opini, topik apa pun bisa ditulis, tinggal Anda pandai-pandai menemukan sudut pandang.***

Wednesday, April 3, 2024

Menakar Peluang Prodi PAI: Melahirkan Guru Agama Islam yang Mampu Berdakwah

Oleh: Syamsul Kurniawan (Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)

Dari rahim kelembagaan pendidikan Islam, dalam hal ini perguruan tinggi keagamaan Islam, selayaknya bisa dilahirkan juru-juru dakwah, yang tidak hanya mampu menyampaikan pesan-pesan moderasi beragama di tengah-tengah umat, melainkan juga selayaknya bisa menghayati dan mengamalkannya dalam konteks “aksi nyata” di kehidupannya sehari-hari. Dengan kata lain, mereka diharapkan tidak hanya mampu melakukan da’wah bil lisan, tetapi juga da’wah bil hal. Kecenderungan ini mestinya menjadi perhatian dari Program Studi (Prodi) Pendidikan Agama Islam (PAI) di suatu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam terhadap bakal alumni-alumninya.

Bisa dimafhumi, pada masa Nabi Muhammad Saw hidup, model dakwah semacam ini telah dipraktikkan dan diteladankan langsung olehnya. Dalam konteks aksi nyata pun demikian. Dalam suatu hadits, diriwayatkan tentang bagaimana Nabi Muhammad Saw pernah memberikan izin kepada Asma binti Abi Bakar untuk berbuat baik kepada ibunya yang tidak memeluk agama Islam. Berdasarkan ini, Nabi Saw menunjukkan keteladanannya dalam aksi nyata seputar moderasi beragama. Darinya kita belajar bahwa dalam agama Islam, sikap toleransi dan mengedepankan kasih sayang harus diutamakan, bahkan dalam hubungan suatu keluarga yang anggota-anggotanya relatif berbeda dari sisi agama yang dipeluk.

Contoh yang lain adalah tentang kisah Nabi Muhammad Saw yang memperlakukan seorang pengemis tunanetra di suatu sudut Pasar Medinah, yang walaupun sehari-harinya pengemis tersebut mencaci-makinya, Nabi Saw memperlakukannya dengn sangat baik. Pengemis Yahudi tersebut merasa jijik dan muak bila mendengar orang menyebut nama Muhammad. Bahkan, ia menuduh Nabi Muhammad sebagai tukang sihir dan pembohong besar. Pengemis itu sering berkata bahwa siapa pun mesti mewaspadai sosok bernama Muhammad.

Nabi Muhammad Saw sama sekali tak membenci dan dendam kepadanya. Beliau hanya tersenyum dan selalu bersikap lembut terhadapnya. Nabi Saw juga rela meluangkan waktu setiap pagi untuk menyuapkan makanan kepada pengemis buta tersebut. Kebiasaan tersebut terus berlanjut, dan si pengemis itu tidak tahu bahwa yang menyuapinya makanan setiap hari ialah Nabi Muhammad Saw, orang yang ia benci.

Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, senyatanya tidak ada lagi yang datang menyuapkan makanan kepada si pengemis tunanetra tersebut. Selang beberapa waktu, Abu Bakar bin Shiddiq menggantikan kebiasaan Nabi tersebut, berkat informasi yang diberikan oleh Aisyah ra. Sesampainya di sana, di tempat di mana seorang pengemis tunanetra biasanya berada, Abu Bakar mencoba mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhamaad Saw kepada si pengemis tunanetra, yaitu menyuapkan makanan kepada si pengemis. Namun, siapa sangka, ia malah dapat teguran kerasa dari si pengemis. "Siapakah Engkau?". Abu Bakar menjawab, "Aku orang yang biasa". Pengemis itu berkata lagi, "Bukan. Pasti engkau bukan orang yang biasa mendatangiku. Apabila ia datang, tak usah tangan ini memegang dan tak usah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku. Dan, ia terlebih dahulu dihaluskan makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku". Mendengar ucapan si pengemis, Abu Bakar menangis terharu dan berkata, "Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku merupakan salah satu sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia merupakan Nabi Muhammad, Rasulullah Saw, yang sehari-harinya engkau caci maki di sini". Seketika, si pengemis pun menyesal dan menangis mendengar penjelasan dari Abu Bakar. "Benarkah demikian?, tanya si pengemis. “Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikit pun, ia mendatangiku dengan membawa makanan tiap pagi, ia begitu mulia", demikian katanya. Orang yang membenci Nabi SAW itu lantas bersyahadat di hadapan Abu Bakar ra.

Berdasarkan kisah ini, jelas Nabi Muhammad Saw, sangat bisa diteladani dalam soal aksi nyata. Ia tidak hanya mendakwahkannya secara lisan (bil lisan), namun juga mempraktikkannya dalam perbuatannya sehari-hari (bil hal). Dalam dua kisah tentang Nabi Muhammad Saw di atas, bahwa dalam dakwah, khususnya dalam membumikan moderasi beragama, selayaknya para juru dakwah memahami bahwa da’wah bil lisan tidaklah cukup, perlu diikuti dengan da’wah bil hal sebagaimana yang diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw. Justru, sebagian besar dari model dakwah Nabi Saw banyak dengan perbuatan nyata.

Berdasarkan ini, praktik dakwah yang senyatanya telah ada sejak lama di tengah-tengah umat Islam, selayaknya bisa menyentuh pada ranah isu-isu strategis kekinian. Tidak hanya, pada ranah da’wah bi lisan, dalam konteks ranah da’wah bil hal juga relevan dilakukan. Aksi nyata, membuat dan mengembangkan model kelembagaan pendidikan Islam yang moderat dan modern, yang walaupun demikian berbiaya murah sehingga dapat diakses oleh siapapun, dan bahkan bisa diakses tidak hanya kalangan umat Islam tetapi pula mereka yang non muslim. Apakah ini berlebihan? Saya kira tidak! Justru, dengan cara demikianlah da’wah Islamiyah bisa betul-betul diterima di tengah-tengah masyarakat kita, yang faktanya plural dari sisi agama.Juru-juru dakwah yang selayaknya dilahirkan dari rahim Prodi PAI adalah juru-juru dakwah yang memperhatikan betul tentang hal ini. Oleh sebab itulah, Prodi PAI, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, di IAIN Pontianak tidak hanya menginsersikan moderasi beragama di materi-materi kuliah (pada semua mata kuliah yang diberikan) yang relevan tidak hanya untuk mencetak profil seorang guru agama Islam, tetapi juga dengan profil tambahan bisa berdakwah di tengah-tengah masyarakat baik secara lisan maupun aksi nyata. Bahkan, ada mata kuliah pilihan, yaitu khitabah yang sangat relevan dalam konteks ini diberikan di semester akhir.

Fokus dari esei ini adalah untuk mendeskripsikan seputar relevansi Prodi PAI dalam melahirkan juru-juru dakwah yang beraksi nyata. Tulisan ini bisa menjadi masukan kritis, terutama soal dikotomi di perguruan tinggi keagamaan Islam yang menganggap bahwa Prodi PAI hanya sebatas mengurusi calon-calon guru agama Islam, dan sementara untuk menjadi juru-juru dakwah mereka bisa berkuliah di prodi-prodi yang ada di Fakultas Dakwah. Tentu, dikotomi semacam ini tidak selayaknya terjadi.

Yang Harus Diperhatikan

Prodi PAI selayaknya mampu melahirkan dari rahim pendidikannya, alumni-alumni yang mampu berdakwah, tidak hanya secara lisan tetapi juga bil hal. Apalagi jelas, misi mendidikkan agama Islam yang diemban para alumni, beririsan dengan misi dakwah yang harus ia tunaikan. Dengan kata lain, tidak saja alumni dari prodi-prodi di Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah yang mengemban misi dakwah.

Dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti ajakan, seruan, atau panggilan. Sedangkan secara istilah berarti mengajak, atau berusaha dengan cara-cara tertentu untuk mengajak orang seorang atau kelompok manusia agar menganut, menyetujui, mengikuti suatu paham atau konsepsi Islam. Jadi sesungguhnya dalam definisi dakwah seperti ini sudah mencakup pengertian dakwah secara lisan dan dakwah bil hal.

Hanya saja karena dakwah mengalami perkembangan pengertian sehari-hari, menjadi sangat identik dengan tabligh, penyampaian secara lisan, maka da’wah bil hal kurang mendapat perhatian. Pengkajian pengertian dakwah bil hal diperlukan untuk menetralisir pengertian tersebut, yaitu untuk melengkapi pengertian da’wah dalam kehidupan sehari-hari yang cenderung dikonotasikan dengan bil lisan tersebut.

Selain da’wah bil lisan dan da’wah bil hal, dalam masyarakat juga timbul berbagai istilah, seperti dakwah Islamiyah dan dakwah pembangunan, Dari berbagai peristilahan tersebut kata-kata dakwah menurut penulis merupakan istilah yang netral dan umum. Kata ini setelah mendapatkan atribut di belakangnya, maka istilah tersebut sudah menunjuk kepada pengertian tertentu. Bahkan dalam konteks pendidikan agama Islam yang diberikan di sekolah/ madrasah/ pesantren sepatutnya juga mengemban misi dakwah.

Terdapat benang merah yang jelas di sini, yakni bahwa dakwah adalah upaya apapun untuk mempengaruhi atau merubah kondisi orang seorang atau kelompok manusia dari kondisi yang kurang baik menjadi lebih baik sesuai dengan dimensi, ruang dan waktu tertentu. Dakwah (apapun atributnya) dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah mengacu kepada upaya menciptakan keadaan orang-seorang dan kelompok manusia untuk dapat meningkatkan taraf kehidupannya yang sesuai, selaras dan seimbang antara kehidupan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah, yang diridhoi oleh Allah SWT.

Da’wah bil lisan merupakan penyadaran diri dalam konteks hubungan seseorang dengan dunia sekitarnya, sementara da’wah bil hal adalah dakwah untuk menciptakan perubahan dalam dataran struktural, politik, ekonomi dan sebagainya melalui prosedur kelembagaan. Sementara da’wah bil lisan merupakan penyadaran diri dalam konteks hubungan seseorang dengan dunia sekitarnya. Sedangkan dakwah bil hal adalah dakwah untuk menciptakan perubahan dalam level praktis, politik, ekonomi dan sebagainya melalui prosedur kelembagaan. Maka da’wah bil hal adalah dakwah yang lebih mementingkan atau menekankan pada dimensi kemasyarakatan, motivasinya lebih dekat kepada pengertian rahmatan lil‘alamin.

Namun demikian pengertian-pengertian di atas bukan pengertian yang menyeluruh yang dapat mewakili pengertian da’wah bil hal secara keseluruhan. Jika pengertian da’wah bil hal motivasinya lebih dekat kepada pengertian rahmatan lil’alamin, demikian pula da’wah bil lisan yang memberikan motivasi kepada pengertian rahmatan lil‘alamin. Seyogyanya dakwah bil lisan lebih ditujukan kepada penanggulangan awal, merintis dan penyadaran pertama, sedangkan da’wah bil hal meneruskan.

Baik da’wah bil lisan maupun bil hal, yang harapannya bisa dilahirkan dari rahim pendidikan Prodi PAI, tujuannya adalah mewujudkan manusia berkualitas. Dengan demikian, baik da’wah bil lisan maupun bil hal mengarah pada upaya mengajak orang-seorang atau kelompok orang yang mengikuti prinsip bil hikmah wal mau’izhatil hasanah dan lebih menekankan kepada kegiatan nyata di lapangan, dengan amal perbuatan, memberikan keteladanan, berorientasi kepada pemecahan masalah bersama, melaksanakan hal-hal yang konkrit terutama di bidang ibadah ghairu mahdhah di samping ibadah mahdhah, ia juga lebih menekankan pada action approach di samping oral approach.

Menurut pengertian ini jelas bahwa dakwah bil hal bukan berarti tidak di dahului dengan berbicara antara da‘i dan mad‘i, tetapi dia sama sebagaimana dakwah bil lisan yang menggunakan pendekatan berbicara, dakwah bil hal pun demikian. Hanya saja da’wah bil hal menggunakan perbuatan nyata sebagai fokus usahanya. Da’wah bil hal sebagai dakwah yang memakai pendekatan sosial atau dalam istilah Inggris “society development”, yang mempunyai konotasi baik aspek maupun caranya.

Da’wah bil hal yang boleh dikatakan sama pentingnya dengan da’wah bil lisan, pada dasarnya adalah upaya untuk lebih mendekatkan dakwah dengan masyarakat sebagai objek dakwah, sehingga misi dakwah diharapkan lebih sukses dengan berdaya guna, dan pada akhirnya tercipta kondisi baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Ini berarti dakwah Islam tidak hanya terbatas pada bil lisan dalam bentuk himbauan saja, akan tetapi juga mengajak orang-seorang atau kelompok manusia untuk berbuat nyata (bil hal) di tengah-tengah masyarakat untuk memecahkan masalah konkrit yang sedang dihadapinya.

Berdasarkan paparan di atas, bahwa yang dimaksud dengan da’wah bil lisan maupun dakwah bil hal adalah upaya mengajak orang-perorang maupun kelompok untuk mengembangkan diri dan masyarakat dalam rangka integritas dan sosialisasi ajaran Islam ke dalam semua aspek kehidupan manusia, baik untuk mewujudkan tatanan sosial ekonomi maupun kebutuhan jasmani dan rohani lainnya yang lebih baik, baik disampaikan secara lisan maupun ajakan beraksi nyata. Mungkinkah, ini bisa dilakukan oleh alumni-alumni PAI? Di IAIN Pontianak, sebagaimana telah saya singgung dimuka, kecuali melalui insersi materi-materi yang relevan untuk kebutuhan dakwah di semua mata kuliah yang diberikan, kurikulum di Prodi PAI IAIN Pontianak menyediakan satu mata kuliah khusus sehubungan dengan kebutuhan ini yaitu mata kuliah khitabah.

Maka melalui mata kuliah khitabah ini, karakteristik dari dakwah juga perlu dibekalkan. Tidak hanya seputar tips berdakwah secara lisan, tetapi juga dakwah bil hal. Kaitannya dengan da’wah bil hal, relevan bagi dosen mengajarkan ke mahasiswa seputar: satu, dakwah yang menggunakan pendekatan tindakan nyata; dua, dakwah yang menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan; tiga, dakwah untuk mengembangkan diri dan masyarakat; empat, lebih banyak menggunakan analisis sosial; lima, mengarah kepada gerakan praktis dan pemecahan masalah; enam, berposisi komplementer; tujuh, banyak menggunakan mekanisme gerakan; dan delapan, dakwah yang merupakan manifestasi dari kesadaran keagamaan yang dimiliki seseorang atau kelompok. Dengan demikian, sudah terang-benderang, bahwa tidak hanya lulusan Prodi-Prodi Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah yang mengemban misi dakwah, Prodi PAI di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, juga memiliki peluang yang sama. Tidak selayaknya ini didikotomikan, meminjam istilah M. Amin Abdullah.(Abdullah, 2006).***

Thursday, March 28, 2024

Peta Sukses Bagi Penulis

Oleh: Syamsul Kurniawan (Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)

“Besar sukses seseorang ditentukan oleh seberapa kuat keinginannya; ditentukan oleh seberapa besar impiannya; dan ditentukan oleh kecakapannya dalam mengatasi kekecewaan yang ia alami,” demikian Robert T. Kiyosaki. Berdasarkan ini, impian bagi seseorang memiliki sebuah dampak yang sangat besar atas pada apa yang dapat ia capai.


Impian akan mengantarkan seseorang ke mana ia melangkah, bagaimana ia berbuat dan bersikap. Dengan impian, seseorang menjadi mengerti kapan harus memulai, melanjutkan dan mengakhiri usahanya. Segera setelah impian terwujud, seseorang dapat menggantikannya dengan impian-impian baru yang ingin dicapai.


Dalam mewujudukan impian-impian, seseorang perlu membuat semacam peta. Sehingga saat berjalan dan bertemu dengan hambatan, seseorang dapat memilih untuk melompatinya ataukah memutarinya dan mengambil jalan lain. Tanpa mengubah impian sebelumnya. Hanya mengubah arah jalan saja.


Kriteria Peta yang Dibuat

Semua orang sukses pasti pada awalnya adalah mereka yang memiliki peta impian ini. Setidaknya, itu yang bisa saya simpulkan. Peta impian inilah yang akhirnya menuntun para tokoh besar untuk meraih sukses, demikian pula saya kira amat menentukan kesuksesan seorang penulis. Namun demikian, ada kriterianya:

 

Pertama, Berorientasi Perubahan. Salah satu kriteria impian yang menentukan kesuksesan seorang penulis adalah impian yang berorientasi pada perubahan. Soekarno, Tan Malaka, Hamka, Kartini dan lain-lain, adalah profil tokoh nasional yang menuliskan impian-impian mereka untuk perubahan. Tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi terutama bagi banyak orang. Peta impian yang mereka miliki bahkan mendorong banyak orang juga untuk membantu para tokoh tersebut mewujudkan perubahan yang ingin mereka ciptakan.


Kedua, Fokus Ke Masa Depan. Impian tentang masa lalu tidak termasuk dalam impian yang menentukan kesuksesan seorang penulis. Sebaliknya, impian yang berorientasi ke masa depanlah yang menuntun seorang penulis meraih sukses dalam karirnya sebagai penulis.

Ketiga, Jelas. Satu lagi kriteria utama yang harus dimiliki sebuah impian agar bisa menuntun pada kesuksesan adalah kejelasan. Artinya, semakin jelas dan terperinci impian yang dimiliki, semakin mudah bagi seorang penulis untuk mengatur rencana dan strategi untuk mewujudkannya.


Setelah seorang penulis mengetahui kriteria dari impian yang menuntunnya meraih sukses, selanjutnya apa saja fungsi peta impian bagi seorang penulis?


Fungsi Peta Impian

Pertama, Kekuatan Motivasi. Peta impian seorang penulis idealnya mampu memberikan motivasi bagi penulis untuk merencanakan apa yang akan ditulis. Dengan memiliki peta impian juga seorang penulis terpacu berusaha memulai langkah pertama menuju sukses yang ia impikan sebagai seorang penulis. Tentu saja, seorang penulis bersemangat (karena impian-impian yang ia punya), punya korelasi dengan kualitas tulisan yang ia buat. Saya selalu menyarankan, bahwa agar termotivasi menulis, “tulislah sesuatu sesuai kemauan dan kemampuan”.

Kedua, Kekuatan Arah. Selain mampu memberikan motivasi yang kuat untuk bertindak, peta impian yang jelas dan terperinci juga mampu memberikan arah yang jelas bagi seorang penulis ke arah mana ia harus melangkah, mengambil sikap, atau memberikan solusi yang tepat sehubungan dengan persoalan-persoalan yang ia tulis.

Ketiga, Kekuatan Menggulirkan Perubahan. Kekuatan yang juga sangat penting adalah kekuatan menggulirkan perubahan. Tanpa peta impian tak akan ada perubahan. Peta impianlah yang menuntun seseorang membuka jendela ke perubahan positif di masa depan. Melalui peta impian seorang penulis bisa melihat masa depan. Gambaran perubahan positif di masa depan inilah yang akhirnya mendorong seorang penulis mewujudkan perubahan tersebut. Hal ini juga yang dialami misalnya, RA. Kartini, yang ingin mengubah derajat para wanita Indonesia, dan mengangkatnya ke tingkat yang lebih tinggi melalui pendidikan. Ia pun lalu terdorong menuliskan “unek-unek”nya ke dalam bentuk surat dan selanjutnya mengirimi surat yang ia tulis kepada sahabat-sahabat Belandanya. Peta impian sekali lagi memberi bukti, telah memberi kekuatan yang dahsyat kepada RA Kartini untuk memperjuangkan perubahan, dalam hal ini melalui tulisan.


Seorang penulis tidak akan pernah mencapai sukses sebagai seorang penulis, jika dia tidak memiliki peta impian ini, kemudian bekerja keras siang malam untuk meraih impiannya tersebut, menemukan terobosan-terobosan bagus untuk masa depan anak didiknya. Kerja keras seorang penulis memang perlu. Namun hanya mengandalkan kerja keras tidaklah cukup untuk membangun sukses yang besar.

Seorang penulis tanpa tujuan yang jelas, tanpa mengetahui dan mengerti fungsi dan perannya sebagai seorang penulis; adalah sama dengan dilema pulau impian, yaitu pulau di mana terdapat semua yang diimpikan. Satu-satunya cara untuk mendapatkan itu semua adalah sampai ke pulau itu. Pulau itu ada di belakang cakrawala. Tapi cakrawala yang mana? Masalahnya adalah, penulis tersebut tidak punya kompas, peta, radio, telpon, dan tidak tahu mana arah pulau yang ia ingin tuju. Arah yang salah akan membuat penulis tersebut melenceng jauh sekali dari pulau impian.

Seperti itulah pentingnya peta impian bagi seorang penulis. Semua impian, baik untuk dirinya maupun untuk kesuksesan anak didiknya di masa depan, bisa diraih jika mengikuti petunjuk peta impian. Yaitu apa, di mana, dan bagaimana mencapainya. Seperti sudah diuraikan di muka, saat berjalan dan bertemu dengan hambatan, peta impian bisa dijadikan panduan, untuk dapat memilih: melompatinya ataukah memutarinya dan mengambil jalan lain. Tanpa mengubah impian. Hanya mengubah arah jalan saja.

Maka saran saya, jika Anda ingin menjadi penulis, buatlah sebuah peta impian Anda, ikutilah petunjuk peta impian yang Anda buat, jangan mudah menyerah, jangan pernah takut pada celaan pembaca. Seperti pendapat Robert T. Kiyosaki di muka, “Besar sukses seseorang ditentukan oleh seberapa kuat keinginannya; ditentukan oleh seberapa besar impiannya; dan ditentukan oleh kecakapannya dalam mengatasi kekecewaan yang ia alami.”***

Thursday, March 21, 2024

Reformasi Kelembagaan Pendidikan Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan 

BANYAK ahli mengungkapkan urgennya pengembangan sumber daya manusia (SDM), khususnya melalui peranan fungsional pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut teori human capital, pendidikan memberi pengaruh pada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan keterampilan dan produktivitas kerja.Theodore W. Schultz pada tahun 1961 mengungkapkan bahwa Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi dalam sumber daya manusia, selain kesehatan dan migrasi. 

Demikian juga Robert M. Solow pemenang Nobel bidang ekonomi pada tahun 1987 menekankan peranan ilmu pengetahuan dan investasi sumber daya manusia dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Dari teori Solow yang kemudian dikembangkan menjadi teori baru pertumbuhan ekonomi (The New Growth Theory) tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan dasar pertumbuhan ekonomi. 

Seperti yang diungkap Schutz dan Solow serta ahli-ahli ekonomi lainnya bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam pertum-buhan ekonomi melalui peningkatan kualitas SDM.Hal ini dapat dilihat pada negara Jepang misalnya, dimana kemajuan ekonomi yang didapatnya sekarang tak lepas dari peranan pendidikan. 

Sistem pendidikan Jepang yang baik terbukti bisa menghasilkan manusia-manusia berkualitas, sehingga walaupun hancur setelah mengalami kekalahan pada Perang Dunia II, mereka dapat cepat bangkit maju dan bahkan bersaing dengan negara yang mengalah-kannya dalam pe-rang. Negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura juga memperlihatkan fenomena yang tidak jauh berbeda dari Jepang, dimana kemajuan ekonomi yang mereka dapat adalah karena tingginya kualitas SDM-nya. Agaknya keadaan di Indonesia berbeda jauh sekali dengan negara-negara tersebut. Dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang relatif lebih banyak, tapi negara kita ternyata jauh tertinggal.

 

Oleh karena itu reformasi pendidikan – perlu dilakukan sekarang juga walaupun hal itu terasa amat terlambat – dan harus diseriusi. Reformasi berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar. Reformasi berimplikasi pada merubah sesuatu, menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan kebijakan institusional. Beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidang tertentu yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa yang lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan, adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu institusi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti negara sekalipun.Sedangkan yang dimaksudkan dengan reformasi pendidikan dalam tulisan ini adalah upaya perbaikan pada kelembagaan pendidikan, khususnya kelembagaan pendidikan Islam. 

Kenapa ini penting kita bincangkan? Seperti yang diuraikan di atas, bahwa keadaan pendidikan di negeri kita pada masa sekarang sangat mengkhawatirkan. Pendidikan kita hingga saat ini belum mampu membawa Indonesia keluar dari lingkaran krisis yang berkepanjangan. Sementara kita mafhum, bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, lumayan banyak jumlahnya, dalam bentuk yang juga beragama, sebutlah: pesantren, madrasah, dan sekolah bercirikan Islam.

 

Bukan saja itu, krisis moral juga menjadi bagian yang menambah deret persoalan yang dihadapi bangsa kita, yang mayoritas berpenduduk memeluk Islam. Seperti yang bisa kita simak di berita-berita di setiap harinya, kasus tawuran antar pelajar; mahalnya biaya masuk sekolah; sarana dan prasarana pendidikan yang tak tercukupi di banyak sekolah, terutama di daerah perbatasan, sampai tentang tragedi contek massal yang pernah mewarnai momen ujian nasional, dan lain-lain. Sebagian persoalan yang saya sebut tersebut, merupakan salah satu alasan tentang pentingnya melakukan reformasi kelembagaan pendidikan, khususnya kelembagaan Islam. 

Pada aras ini, reformasi kelembagaan pendidikan Islam harusnya memiliki dua karakteristik dasar yaitu “terprogram” dan “sistemik”. Reformasi kelembagaan pendidikan Islam yang terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu lembaga pendidikan Islam. Adapun yang termasuk ke dalam reformasi terprogram ini adalah inovasi. Inovasi adalah memperkenalkan ide baru, metode baru atau sarana baru untuk meningkatkan beberapa aspek dalam proses pendidikan agar terjadi perubahan secara kontras dari sebelumnya dengan maksud-maksud tertentu yang ditetapkan. Seorang reformer terprogram memperkenalkan lebih dari satu inovasi dan mengembangkan perencanaan yang terorganisir dengan maksud adanya perubahan dan perbaikan untuk mencapai tujuan baru. Biasanya inovasi pendidikan terjadi terlebih dahulu sebelum terjadinya reformasi kelembagaan pendidikan. Meskipun dalam kasus berbeda, bisa sebaliknya. Dalam konteks kelembagaan pendidikan Islam, hal ini juga relevan. 

Sementara itu reformasi sistemik berkaitan dengan adanya hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem kelembagaan pendidikan Islam secara keseluruhan. Hal ini sering kali terjadi di luar pesantren, madrasah, dan sekolah bercirikan Islam yang berada pada kekuatan sosial dan politik. Karakteristik reformasi sistemik ini sulit sekali diwujudkan karena menyankut struktur kekuasaan yang ada. 

Sebagai penutup, reformasi kelembagaan pendidikan Islam saya ibaratkan sebagai pohon yang terdiri dari empat bagian yaitu akar, batang, cabang dan daunnya. Akar reformasi yang merupakan landasan filosofis yang tak lain bersumber dari cara hidup (way of life) masyarakatnya. Sebagai akarnya reformasi pendidikan adalah masalah sentralisasi-desentralisasi, masalah pemerataan-mutu dan siklus politik pemerintahan setempat. Sebagai batangnya adalah berupa mandat dari pemerintah dan standar-standarnya tentang struktur dan tujuannya. Dalam hal ini isu-isu yang muncul adalah masalah akuntabilitas dan prestasi sebagai prioritas utama. Cabang-cabang reformasi kelembagaan pendidikan Islam adalah manajemen lokal, pemberdayaan liyai/ ustadz/ guru, perhatian pada daerah setempat. Sedangkan daun-daun reformasi pendidikan adalah keterlibatan orang tua/ wali peserta didik dan keterlibatan masyarakat untuk menentukan misi sekolah yang dapat diterima dan bernilai bagi masyarakat setempat. Terdapat tiga kondisi untuk terjadinya reformasi pendidikan yaitu adanya perubahan struktur organisasi, adanya mekanisme monitoring dari hasil yang diharapkan secara mudah yang biasa disebut akuntabilitas dan terciptanya kekuatan untuk terjadinya reformasi.

Strategi reformasi kelembagaan pendidikan Islam di atas barangkali sudah sering dibicarakan, didiskusikan bahkan diagendakan oleh pemerintah, namun agaknya berjalan masih “setengah hati”. Karena itu yang terpenting dari agenda reformasi kelembagaan pendidikan Islam menurut saya adalah komitmen, bukan sekadar diwacanakan, tapi betul-betul dikerjakan.***

Sunday, March 17, 2024

Pers Mahasiswa, Masihkah Menjanjikan?


Oleh: Syamsul Kurniawan

Pasal 1 ayat (1) UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan tentang definisi pers:

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

 Sementara pada Pasal 1 ayat (2) disebutkan: "Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi." 

Membaca kedua ketentuan dalam UU Pers tersebut maka posisi pers mahasiswa memang tak bisa sepenuhnya disebut sebagai badan usaha pers. Karena itu, payung eksistensial pers mahasiswa menurut saya tak bisa keluar dari badan hukum di kampus yang dianut atau organisasi mahasiswa yang mewadahinya.

Lepas dari persoalan eksistensial pers mahasiswa, saya melihat saat ini semestinya manajemen pers mahasiswa merupakan hasil transformasi sosial dan politik kehidupan pers mahasiswa; dari semula hanya berorientasi sekadar kekuatan pengontrol kebijakan kampus dan non-kampus yang otoritarian, atau dalam konteks HMI sebagai pengontrol organisasi, melebarkan sayapnya tidak hanya sebagai pengontrol kebijakan kampus atau organisasi menjadi kekuatan pembangkit kesadaran dan kebutuhan “publik pembacanya” terhadap aneka kepentingan publik itu sendiri.

Pers mahasiswa juga harus tahu selera pasar. Itulah juga sebabnya mengapa pers mahasiswa sekarang, perlu menata dirinya untuk mereorientasikan ke mana dirinya hendak melangkah lebih jauh. Maka langkah awal yang perlu dan harus dilakukan pengelola pers mahasiswa generasi sekarang adalah dengan melakukan review atau audit atas kebutuhan, keinginan, dan kepentingan para pembacanya terhadap kehadiran pers mahasiswa di masing-masing kampus. Pers mahasiswa karenanya tidak boleh berjarak dengan pembacanya.

Strategi yang bisa dipertanggungjawabkan adalah dengan membuat semacam riset apa saja keinginan dan kebutuhan pembaca tersebut. Biasanya ini tugas bagian “Penelitian dan Pengembangan (Litbang)” yang idealnya dimiliki di suatu lembaga pers mahasiswa. Tidak hanya mengurusi penelitian, Litbang juga harus mengagendakan diskusi rutin yang diikuti selurus pengurus internal lembaga pers mahasiswa.

Setelah ini, lalu dilakukan reformat atas produk pers mahasiswa. Dari mulai metode rekruitmen anggota baru, reposisioning konten dan format penerbitan, hingga reformasi di bidang manajemen administrasi dan pemasaran.

***

Bukan maksud saya hendak menggiring pers mahasiswa menjadi sepenuhnya berorientasi kepada pers umum komersial. Tapi itu penting mengingat reformasi manajemen pers mahasiswa menurut saya menjadi sangat urgen dewasa ini, yang mana menempatkan posisioning pers mahasiswa secara tepat.

Salah satu “persoalan manajerial” yang menonjol pada tubuh pers mahasiswa dari dulu yang saya amati (sejak saya masih mengelola lembaga pers mahasiswa) adalah sulitnya memperoleh kader-kader yang berkualitas. Pada awalnya, ketika melakukan rekruitmen, tersedia cukup banyak –bahkan kadangkala terlalu banyak—calon-calon pengurus pers mahasiswa. Namun seiring perkembangan waktu, jumlah mereka pun semakin menyusut. Inilah “hukum alam” dalam istilah saya dulu dan kawan-kawan. Acapkali tinggal beberapa orang saja dari generasi baru ini yang bertahan hingga puncak karier di kepengurusan pers mahasiswa.

Apa penyebabnya? Apakah pers mahasiswa sebenarnya telah kehilangan daya tariknya bagi sebagian mahasiswa? Ini seperti persoalan sederhana. Tapi memiliki efek yang besar bagi pengembangan artikulasi kehidupan pers mahasiswa di masa depan.

Semestinya, regenerasi para pengelola pers mahasiswa kini mulai dijadikan perhatian serius oleh pengelola sekarang, jika tak ingin pers mahasiswa bakal menjadi “fosil dinosaurus”, tinggal kenangan dalam jangka waktu tak terlalu lama lagi. Pengelola pers mahasiswa juga mesti bekerja keras menemukan minat setiap generasi baru pers mahasiswa itu, agar tidak semua kader diarahkan pada bidang redaksi, tapi masih cukup banyak yang tersisa untuk mengisi bidang-bidang lain yang tak kalah prestisius. Seperti bidang administrasi, bidang pelatihan dan pengembangan (litbang), serta bidang usaha (periklanan dan distribusi).

Dalam konstelasi pergerakan, pers mahasiswa seringkali menjadi satu kesatuan dari pergerakan mahasiswa. Nyaris setiap muncul momentum gerakan mahasiswa, elemen-elemen pers mahasiswa memberikan support yang penting. Melalui gagasan-gagasan yang disampaikannya, ia turut menggelorakan momentum pergerakan tersebut untuk turut bersama meraih satu tujuan tertentu.

Bagaimana seandainya momentum gerakan sedang tidak berkembang? Apa yang harus dilakukan pengurus pers mahasiswa untuk menjaga ritme dinamika organisasinya? Postur dan potret organisasi pers mahasiswa dalam hemat saya tidak memiliki standar yang baku. Setiap organisasi pers mahasiswa bisa mendesain struktur organisasinya sesuai kebutuhan di setiap kampus/ atau organisasi yang mewadahinya. Karakter setiap kampus/ organisasi akan menentukan corak dan struktur organisasi tersebut. Di kampus/ organisasi yang cenderung konservatif pemimpinnya, tentu akan memberikan ruang tumbuh yang berbeda dengan di kampus/organisasi yang pemimpinnya lebih bergaya progresif.

Satu hal yang menarik, model organisasi pers mahasiswa memungkinkan dikembangkannya sikap-sikap egalitarian dan menyuburkan sifat demokrasi di antara para pengelolanya. Sikap-sikap otoritarian tidak bisa menemukan ruang untuk hidup di dalam organisasi pers mahasiswa. Hanya saja, salah satu titik lemah organisasi pers mahasiswa adalah cara pengelolaannya yang acapkali terlalu bersifat paguyuban. Egalitarianisme tidak dengan serta merta mesti melarutkan gaya pengelolaan organisasi yang serius (untuk tidak menyebutnya dengan “profesional”). Hubungan yang terlalu cair diantara pengelola pers mahasiswa membuat hampir semua urusan bisa ditoleransi. Akibatnya, sejumlah program yang awalnya biasa dirancang, ternyata hanya berhenti di atas lembaran-lembaran kertas: “tak kunjung diterbitkan”.

***

Menilik pengalaman semacam ini, di masa mendatang organisasi pers mahasiswa saya kira menjadi miniatur organisasi pers komersial. Posisinya tetap masih menjanjikan. Mengapa demikian? Pasalnya, fakta membuktikan bahwa sampai hari ini pers mahasiswa masih menjadi sumber terbesar pemasok SDM industri pers. Termasuk saat terjadi pergeseran dari pers yang memproduksi tulisan-tulisan yang dicetak, ke tulisan-tulisan yang disebar secara online.*** 

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...