Saturday, April 6, 2024

Tantangan Pembelajaran Pasca-Pandemi Covid-19 Bagi Lembaga Pendidikan Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

ABAD 21 ditandai dengan berbagai kemajuan teknologi yang demikian pesat, terutama dalam ranah komunikasi dan informasi. Teknologi telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Kemajuan-kemajuan dalam sisi ini memberi dampak yang signifikan terhadap berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Dengan berbagai kemajuan teknologi yang ada saat ini, rasanya mubazir jika tidak bisa dimanfaatkan oleh para praktisi pendidikan, khususnya guru, untuk membantu mewujudkan terciptanya pembelajaran bermutu dan menyenangkan.

Model pembelajaran yang berbasis kecakapan abad 21, adalah model pembelajaran yang dirancang dengan menggabungkan setidaknya kompetensi abad 21, yaitu: satu, learning skills (kemampuan belajar); dua, literacy skills (kemampuan literasi); dan tiga, life skills (keterampilan hidup). Ketiganya ini mesti dibangun dengan semangat “berdamai dengan perubahan”. Hal ini berarti, model pembelajaran abad 21 menghendaki peserta didik, tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga mahir dalam mengembangkannya.

Dalam konteks pembelajaran di lembaga pendidikan Islam, selayaknya ini menjadi masalah, terutama di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang masih cenderung mendikotomikan agama dan sains. Pada kasus lembaga-lembaga pendidikan Islam ini, sikap “anti perubahan” menjadikannya ketinggalan dan sulit beradaptasi dengan tren abad 21. Contohnya, di masa pandemi covid-19.

 

Pengalaman Berharga Saat Pandemi Covid-19

Pengalaman berharga kita dapatkan pada masa pandemi covid-19, yaitu bagaimana sikap resistensi sebagian pesantren terhadap himbauan pemerintah untuk memindahkan pembelajaran, dari yang sebelumnya tatap muka (luring) ke online (daring) mengakibatkan banyaknya korban dari kalangan santri yang terpapar covid-19.

Resistensi yang datang dari pihak internal pesantren itu sendiri sesungguhnya bisa kita mengerti. Sistem sosial pesantren dengan sistem mondoknya dan pemeliharaan unsur-unsur pesantren telah sedemikian mapan. Prasyarat sebuah sistem sosial mencapai kemapanannya, oleh Talcott Parsons dikatakan karena memenuhi prasyarat adaptasi (adaptation), mekanisme pencapaian tujuan yang jelas (goal attainment), unsur-unsur kelembagaan yang terintegrasi (integration), dan pola-pola yang dirawat dan diperkuat (latency).(Parsons, 1987) Kecenderungan ini diamini oleh Nurchalish Madjid. Bahwa kata Nurchalish Madjid, hal itu dapat dilihat dari proses pembelajaran atau praktik belajar mengajar di pesantren. Sejak dulu sebagian pesantren di Indonesia telah mempertahankan karakteristik ketradisionalannya, mempunyai tujuan, dan biasanya dirumuskan oleh kiai selaku pembimbing pertama dan key person di pesantren.(Madjid, 1997)

Tentunya tidak sebagian pesantren an sich yang menunjukkan resistensi terhadap hal ini selama pandemi covid-19, juga ada sebagian madrasah yang ngotot menyelenggarakan pembelajaran secara tatap muka, walaupun kala itu mereka berada di zona merah covid-19, sebab mereka merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan fasilitas yang serba terbatas. Satu sisi ini bisa kita pahami, bagaimana fasilitas pesantren/ madrasah yang mendukung terselenggaranya model pembelajaran online (daring) memang masih banyak yang belum memadahi, dan tambahan lagi munculnya stigma di tengah-tengah masyarakat seputar pandemi yang dinilai sebagai bentuk konspirasi. (Humas UIN Jakarta, 2022)

Berdasarkan ini, maka tantangannya bagi kelembagaan pendidikan pasca pandemi covid-19, adalah: satu, pergeseran orientasi. Selama ini pembelajaran di kelembagaan pendidikan Islam hanya dianggap sebuah teori tanpa harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dalam kasus ini perlunya pembelajaran dan perubahan cara berpikir bahwasanya tujuan pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja melainkan afektif dan psikomotorik yang juga perlu diperhatikan. Tentulah perubahan orientasi ini menyebabkan perubahan metode belajar dan penilaian dalam tercapainya tujuan belajar. Sehingga menghasilkan pribadi yang tidak hanya bertakwa kepada Allah Swt serta dapat menjadi pribadi yang aktif dan sadar akan perubahan teknologi informasi dan komunikasi serta berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Pandemi covid-19, selayaknya membuka mata kita, bahwa pergeseran orientasi tidak hanya mungkin dilakukan, tetapi mendesak untuk dikerjakan.

Dua, pengembangan model pembelajaran. Pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, perlu dikembangkan mengikuti perkembangan zaman dan menjadikan peserta didik tertarik terhadap materi pembelajaran. Kaitan dengan model ini, baik dari segi perencanaan pembelajaran pelaksanaan pembelajaran dan sumber pembelajaran, serta evaluasi, mestinya sejalan dengan kebutuhan pasca-pandemi covid-19. Berdasarkan pengalaman berharga masa pandemi covid-19, selayaknya pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, dirancang dengan menggabungkan tiga kompetensi abad 21, yakni kemampuan belajar (learning skills), kemampuan literasi (literacy skills), keterampilan hidup (life skills), keterampilan dan sikap, serta penguasaan terhadap teknologi. Artinya, di masa pasca-pandemi covid-19 ini peserta didik tidak hanya dituntut untuk mahir dalam ilmu pengetahuan, namu lebih dari itu, peserta didik juga harus terampil dalam menggunakan teknologi, menjadi insan literat, serta memiliki akhlak yang baik.*** 

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...