Oleh: Syamsul Kurniawan
Gerakan
penyebaran paham radikal berkedok agama di Indonesia kian mengkhawatirkan
karena mulai digiatkan pada kelompok-kelompok strategis, seperti mahasiswa,
Pegawai Negeri Sipil, dan bahkan anggota TNI dan Polri. Indikasi ini kemudian
direspon oleh Presiden Jokowi dengan memberikan perhatian khusus pada gerakan
radikalisme berkedok agama ini, dengan menginstruksikan, bahwa pemerintah akan
melibatkan banyak pihak untuk melakukan deradikalisasi. Presiden meminta
jajarannya melakukan upaya serius mencegah gerakan yang mengkhawatirkan itu.
Ciri
khas gerakan radikalisme ini, yaitu menolak Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan
NKRI; mempraktikan sikap takfiri yang mengafirkan rekan-rekan seagama
yang berbeda pandangan; dan terakhir menolak toleransi dan kerja sama dengan
penganut agama lain. Secara menyeluruh radikalisme agama adalah gerak keagamaan
berbasis kepada tafsiran literal hukum agama demi pemahaman dan praksis
keagamaan yang lurus dan murni, dan karena itu menolak Pancasila dan
toleransi.
Pola
penyebaran radikalisme agama umumnya dapat diidentifikasi ke dalam dua pola: Satu,
pola penyebaran yang bersifat konvensional, yaitu melalui kegiatan keagamaan
yang dilakukan dalam lingkungan masyarakat dalam bentuk pengajian, kajian
agama, dan interaksi dengan anggota keluarga/teman yang telah terpengaruh paham
radikal; dan dua, pola penyebaran yang bersifat modern, yaitu melalui internet
dan media sosial.
Kaitannya dengan ini, strategi pencegahan paham radikalisme agama agar tidak meluas, yaitu dengan penerapan fungsi aparat penegak hukum, yang meliputi secondary prevention (Pre-emtif), primary prevention (Preventif), dan tertiary prevention (Represif). Strategi ini pada dasarnya adalah strategi yang komprehensif dalam mencegah penyebaran radikalisme agama, karena strategi ini mengedepankan 3 (tiga) pendekatan yaitu pendekatan pencegahan dini (pre-emtif), langsung (preventif), dan penegakan hukum (represif) sebagai upaya untuk menimbulkan efek jera. Hanya saja strategi ini dengan tiga pendekatannya, bentuk kegiatan dan program turunanannya, terutama pendekatan pencegahan dini (pre-emtif) dan pencegahan langsung (preventif), kurang adaptif atau kurang kompatibel lagi dengan perkembangan dengan pola penyebaran radikalisme agama yang terjadi saat ini, terutama pola penyebaran melalui internet dan media sosial yang begitu massif.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi strategi pencegahan penyebaran radikalisme agama terhadap anggota Polri di lapangan dapat diidentifikasi sebagai berikut: satu, faktor keterbatasan ruang dan waktu dalam melakukan pengawasan terhadap terhadap oknum-oknum yang terpapar radikalisme berinteraksi dengan lingkungannya; dua, faktor keterbatasan pengawasan terhadap oknum-oknum yang terpapar radikalisme berinteraksi dengan lingkungannya dalam mengakses informasi melalui internet dan media sosial; dan tiga, faktor keterbatasan instrumen yang dapat mengungkap adanya keterpengaruhan paham radikal yang masih bersifat “sel tidur” dalam alam pikir masyarakat.***
No comments:
Post a Comment