Tuesday, April 21, 2015

RA Kartini, Kepahlawanan, dan Kebangkitan Kaum Perempuan


Oleh: Syamsul Kurniawan

Kisah tentang RA Kartini bermula dari keberadaannya sebagai seorang perempuan dari lingkungan sosial priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Kartini adalah anak kelima dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua.

Kartini kemudian memutuskan menikah dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat (yang sudah beristri) pada 12 November 1903. Tetapi suami RA Kartini adalah suami yang mengerti keinginannya, dan padanya diberi kebebasan serta didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks Kantor Kabupaten Rembang. 17 September 1904. Kartini meninggal pada usia 25 tahun, berselang empat hari setelah melahirkan anak pertamanya. Ia dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. RA Kartini kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan tanggal kelahirannya (21 April) dijadikan sebagai hari peringatan khusus melalui Keppres No 108 Tahun 1964.

Perjuangan Kartini tentu tidak dengan angkat senjata sebagaimana pejuang kemerdekaan lainnya. Jalan yang ia tempuh berbeda. Sebuah buku berjudul Door Duistermis tox Licht atau kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, sebuah buku yang lahir dari kumpulan catatannya. Buku itu konon menjadi alibi dan pendorong semangat perempuan-perempuan di Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya yang terdiskriminasikan.

Buku Door Duistermis tox Licht tentu bukan kumpulan teori tertulis yang ia catatkan di atas kertas, tetapi ia nyatakan di lapangan dengan pendirian sebuah sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang. Upaya RA Kartini yang merupakan puteri dari seorang Bupati Jepara ini, rupanya mampu membuka visi kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah perempuan lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun seperti dilahirkan kembali bereinkarnasi menjadi manusia seutuhnya.

Mengapa RA Kartini Diangkat Sebagai Pahlawan?
Kiprah kepahlawanan RA Kartini disebut-sebut berhubungan erat dengan kemajuan pendidikan di Indonesia. Sejarah memang mencatat bagaimana perannya dalam memantik semangat emansipasi kaumnya; para perempuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka dalam berpendidikan. Karena itu, ditinjau dari sudut sejarah, kiprah kepahlawanan RA Kartini memang lebih merupakan kiprah dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan untuk kaum perempuan yang terdiskriminasi oleh kategorisasi gender. Tidak berlebihan jika MIF Baihaqi (2007) mengangkat Kartini sebagai salah seorang tokoh pendidikan di Indonesia.

Pada ranah ini, jelas Kartini adalah figur seorang wanita idealis yang visioner dalam bidang pendidikan. Pada masa itu, kaum perempuan di Jawa yang terkungkung oleh sistem kebudayaan yang membatasi ruang gerak mereka, di mana para perempuan hanya dianggap sebagai “pemeran pembantu” yang menjalankan kontribusinya sebagai konco wingking dengan tugas utama melahirkan anak dan melayani suami, sementara Kartini tidak puas dengan penjara kultural itu. Ia lantas mendambakan adanya jembatan emas, yang menghubungan kaumnya dengan masa depan yang lebih baik.

Untuk itu, ia berpandangan bahwa nasib kaum perempuan Indonesia harus diselamatkan, sehingga mereka dapat mengaktualisasi diri. Menurut RA Kartini, kaumnya mesti berpendidikan. Kemampuannya dalam membagi visi, melakukan lobi-lobi, dan membina kerja sama dengan para penguasa yang pro-rakyat terbukti telah melahirkan proyek-proyek pendidikan nyata yang terukur untuk kepentingan rakyat. Sejarah mencatat bagaimana tokoh-tokoh wanita tampil sebagai pejuang-pejuang pendidikan yang gigih.

RA Kartini dan Era Kebangkitan Kaum Perempuan
Sejarah era Kartini memang mencatat prestasi dan peran besar tokoh-tokoh wanita yang peduli pendidikan.

Tak lama setelah Kartini lahir pada 1879, Raden Dewi Sartika lahir pada 4 Desember 1884. Sejak usia 10 tahun, Dewi Sartika meminati dunia pendidikan, ia bermain “sekolah-sekolahan” dengan mengajar anak-anak para nelayan. Visinya di bidang pendidikan menjadikannya sebagai “Kartini untuk Jawa Barat”. Pada masa gadisnya, Dewi Sartika menemui Bupati Bandung untuk meminta izin membuka sekolah. Usahanya tak sia-sia. 16 Januari 1904, ia mendapat izin dan dukungan untuk membuka sekolah wanita di ruang pendopo kabupaten. Karena muridnya makin banyak, sekolah itu dipindahkan di Ciguriang yang sekarang dikenal sebagai Jalan Dewi Sartika. Sekolah-sekolah rintisan Dewi Sartika berkembang makin maju. Pada 1909 murid-murid angkatan pertama berhasil menamatkan studi mereka. Pada 1912 telah ada 9 sekolah wanita. Pada ulang tahun yang ke-10, sekolah-sekolah itu diberi nama “Sekolah Keutamaan Istri” dan mulai berkembang pula di Sumatera. Pada ulang tahun ke-25, sekolah-sekolah itu memiliki gedung sendiri dan diubah namanya menjadi “Sekolah Raden Dewi Sartika”.

Setahun setelah Kartini lahir, Hellen Keller dilahirkan di Alabama pada 27 Juni 1880. Pada usia 19 bulan, ia mengalami demam otak (brain fever) yang menyebabkannya bisu dan tuli. Ia pun kehilangan penglihatannya. Namun, belajar keras telah menjadikannya berprestasi secara akademis. Pada 1904, ia lulus dari Radcliffe College dengan predikatcum laude. Ia pun meraih gelar doktor dari Temple University di Philadelphia. Kemudian ia mendapat gelar doktor honoris causa dari Glasglow University (1932) dan dari Witwaterstand University (1951). Anggota American Foundation for the Blind ini telah menulis banyak artikel dan buku serta berkeliling dunia untuk mengajar.

Masih sezaman dengan Kartini, pada 1870 lahirlah tokoh wanita pendidik bernama Maria Montessori. Bebannya pada pendidikan membawanya menjadi pendidik bagi anak-anak dan juga bagi anak-anak idiot. Kegigihannya dalam mendidik dan mengembangkan metode mendidik menjadikan Montessori sangat diperhitungkan, tak kalah bila dibanding tokoh pendidikan lain seperti Jean Jacques Rousseau maupun Ellen Key.

Jadi, peringatan Hari Kartini memberi pesan khusus tentang kiprah wanita dalam pendidikan. Hambatan fisik seperti dialami Hellen Keller maupun hambatan kultural seperti dialami Kartini dan Dewi Sartika tidak boleh menghambat kemajuan kaum wanita. Kepedulian dan idealisme wanita seperti dalam diri RA Kartini, Dewi Sartika, dan Maria Montessori kiranya mendapat perhatian para pemimpin untuk mengedepankan kaum wanita sebagai pelopor-pelopor pendidikan.

RA Kartini tidak pernah berkeinginan menuntut sama dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan karena disadari kartini antara keduanya memang masing-masing punya keterbatasan. Yang terpenting adalah, kerjasama kolektif antara keduanya, "Seperti dua sayap seekor burung yang mesti berfungsi dua-duanya," sebagaimana ungkapan Sukarno yang terkenal itu. Untuk bisa terbang, kedua sayap itu harus berfungsi dengan baik. Bayangkan saja jika sayap seekor burung cedera sebelah, secara otomatis ia takkan mungkin bisa terang.

Sembari merefleksi perjuangan kartini, bolehlah kita berharap, perempuan Indonesia saat ini yang telah banyak berpendidikan semakin cerdas mengukur diri, semakin piawai mengatasi masalah, dan semakin peduli terhadap nasib bangsanya.***

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...