Wednesday, January 26, 2022

Pendisiplinan yang Menggelisahkan

Oleh: Syamsul Kurniawan

 Beberapa waktu lalu dunia pendidikan tercoreng oleh perilaku seorang oknum guru dalam mendisiplinkan siswanya. Sangat tidak manusiawi. Bagaimana tidak?! Oknum guru tersebut menghukumi belasan siswanya dengan makan sampah plastik. Walaupun niat dari guru tersebut baik dalam rangka pendisiplinan, namun cara yang ia pilih dalam konteks pendisiplinan tersebut sangat jauh dari prinsip-prinsip pendidikan. Apa lagi korbannya adalah anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) yang bisa dikatakan rentan baik dari sisi fisik maupun psikis. Kasus ini terjadi di Buton, Sulawesi Tenggara. (21/01/2022)

Oknum guru SD ini sangat pantas diberikan hukuman sebagai efek jera, karena apa yang dilakukannya jelas-jelas bisa dikategorikan sebagai kekerasan fisik dan psikis sekaligus. Kekerasan sebagaimana dimafhumi adalah segala bentuk sikap dan perilaku yang berbentuk ancaman, intimidasi, dan yang membuat orang lain menderita. Kekerasan juga dapat berarti hal yang sengaja dilakukan seseorang yang kemudian menyebabkan luka baik fisik maupun psikis orang lain. (Mc.Kinney, et.all, 1977; Michael D. Andrea, 2004)

Apa yang dilakukan oleh oknum guru SD di Buton ini bisa jadi hanyalah puncak gunung es dari banyak kasus yang terjadi di negara ini, di mana pendisiplinan masih diterjemahkan oleh guru-guru sebagai hukuman fisik. Jika ini betul, maka “sekolah aman” agaknya masih akan menjadi pekerjaan rumah dunia pendidikan yang menagih untuk diselesaikan.

Untuk mengidentifikasi apakah suatu sekolah lingkungan belajarnya sudah aman atau belum tidaklah sulit sebenarnya. Di antara indikatornya, jumlah kasus kekerasan di suatu sekolah menurun dan jumlah kasus yang menimbulkan rasa takut dan trauma pada siswa untuk belajar ke sekolah nihil (Tricia S. Jones, 2004). Seperti kasus yang terjadi di Buton ini, jelas sekolah yang aman belumlah terwujud di Sekolah Dasar ini.

 

Perspektif Pendidikan Karakter

Bahwa pendisiplinan itu penting bagi bertumbuhkembangnya karakter siswa ke arah yang positif, penulispun menyetujuinya. Sebab dengan disiplin, siswa akan patuh dan taat pada peraturan atau tata tertib, baik dalam pengertian di sekolah maupun kelak ketika mereka berada di tengah-tengah komunitas masyarakat. Penulispun setuju, bahwa ada korelasi yang signifikan antara karakter disiplin di tengah-tengah masyarakat, dengan keadaan tertib dan aman pada masyarakat tersebut.

Hanya saja, membangun karakter disiplin pada siswa dengan cara-cara di atas, juga tidak dibenarkan. Jelas tidak selalu bentuk-bentuk kekerasan fisik dan psikis yang diterima siswa, akan menimbulkan efek jera ke mereka. Bahkan, bukannya tidak mungkin yang terjadi justru adalah sebaliknya. Pada siswa, muncul perasaan membenci dan tidak hormat pada guru. Sebagian yang lain muncul perasaan takut dan trauma. Kesannya di mata mereka, guru-guru yang demikian ini, adalah profil yang galak dan menakutkan, dan bukannya lagi profil yang seharusnya lemah-lembut, ramah, melindungi, dan membuat mereka merasakan aman dan damai di sekolah.

Bahwa sebuah tindakan indisipliner layak diganjar dengan sanksi, dalam rangka memberikan efek jera. Namun, bentuk sanksi yang diberikan semestinya bisa disesuaikan dengan usia siswa, dan “betul-betul” dalam rangka pendidikan, bukan sebagai bentuk penghakiman, dan apalagi pengasingan yang bersembunyi di balik diksi “pendisiplinan”.

Dalam perspektif pendidikan karakter, apa yang mereka lihat dan alami tentang ini, tidak hanya potensial meninggalkan luka di pikiran mereka, tetapi bukannya pula tidak mungkin akan berpengaruh pada cara mereka memandang dan menyelesaikan masalah. Bisa jadi mereka akan mengimitasi perlakuan guru-guru mereka yang kasar dan menggunakan cara-cara kekerasan ini untuk menyelesaikan masalah.

Menurut Thomas Lickona, guru selayaknya bisa bertindak sebagai seorang penyayang, dalam pengertian sebagai mentor dan model bagi siswa dalam sikap ini. Hal itu berarti, guru harus memperlakukan siswanya dengan respek dan kasih sayang, memberikan contoh yang baik dalam hal ini, dan kalaupun ada di antara siswanya yang berbuat salah atau indisipliner, maka tugasnya adalah memperbaikinya dengan cara-cara yang baik dan lemah-lembut.

Dengan mengutip Peter McPhail, seorang praktisi pendidikan karakter asal Inggris, Lickona mengatakan: “Anak-anak akan merasa senang jika diperlakukan dengan baik dan hangat, sebab sumber utama kebahagiaan mereka adalah dengan diperlakukan seperti itu… ketika anak-anak didukung dengan perlakuan seperti itu, mereka akan senang pula memperlakukan orang lain, hewan, dan bahkan benda mati sekalipun dengan baik dan hangat.” (Thomas Lickona, 1991)***

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...