Monday, March 11, 2024

Kelembagaan Pendidikan Islam: Perlu Berdamai dengan Tren Modernisasi Era Society 5.0

Oleh: Syamsul Kurniawan

Dari sisi kelembagaan, penting bagi lembaga pendidikan Islam bisa berdamai dengan tren modernisasi di era society 5.0. Bukan berarti, lembaga pendidikan Islam yang kerap dimaknai sebagai lembaga yang betanggung jawab terhadap upaya pengembangan potensi (fitrah) manusia, menuju terwujudnya manusia seutuhnya berdasarkan nilai-nilai luhur ajaran Islam, yaitu Al-Qur‘an dan Hadits,[1] lantas menjauhi modernisasi yang niscaya saat ini? Kecenderungan ini jelas memprihatinkan, mengingat mayoritas dari masyarakat di Indonesia memeluk Islam dan selayaknya lembaga-lembaga pendidikan Islam bisa maju serta berkembang lebih baik.

Di tengah-tengah masyarakat yang terus berkembang, lembaga pendidikan Islam bekerja dalam suatu sistem sosial. Sebab sistem sosial bertumbuh dan berkembang secara dinamis hingga di era society 5.0, maka menjadi kemestian bagi kelembagaan pendidikan Islam bisa turut menyesuaikannya. Jika saat ini sistem sosial masyarakat polanya telah bergeser dari tradisional ke modern, mestinya dari sisi kelembagaan pendidikan Islam pun demikian.[2] Harus dipahami, bahwa tren modernisasi ibarat suatu “kereta besar” yang terus melaju mengiringi tren perkembangan masyarakat menuju masa depannya. Maka siapapun yang tidak berada di kereta tersebut, dan berdiri menghadangnya akan dilindas. pengibaratan ini menunjukkan bahwa modernitas akan melindas apapun yang menghadangnya, dan kelembagaan pendidikan (termasuk: lembaga pendidikan Islam) yang tidak berdamai dengannya dipastikan akan ketinggalan zaman, dan perlahan-lahan akan ditinggalkan oleh pengguna jasanya.

Telah disinggung di atas, bagaimana tiga faktor yang menjadi alasan terjadinya pergeseran kelembagaan pendidikan Islam, dari sisi tradisional ke modern, yaitu: immanent change, selective contact change, dan directed contact. Ketiga faktor ini akan merubah sistem kelembagaan pendidikan Islam, yang berstruktur, meliputi komponen-komponen yang saling memberi pengaruh, yang fungsional masing-masing komponennya, dan secara bersama-sama juga fungsional terhadap kebutuhan sistem.[3] Untuk mewujudkannya jelas kita membutuhkan support system.

Kata “sistem” yang dimaksudkan di sini, berasal dari Bahasa Yunani yaitu “systema”, yang berarti cara atau strategi. Kata ini, yang dalam Bahasa Inggris “system”, bisa diartikan susunan, jaringan atau cara. Dengan kata lain, sistem modern bisa saja mengarah pada susunan, jaringan atau cara-cara yang modern. Maka definisi sistem seyogyanya mengarah pada susunan atau bagian yang saling beririsan satu dengan yang lain secara teratur antar komponennya secara keseluruhan, baik secara struktur atau fungsi.[4] Jika yang dimaksudkan di sini adalah modernisasi kelembagaan pendidikan Islam, maka sistem kelembagaan pendidikan Islam baik secara struktural maupun fungsinya akan sejalan dengan kebutuhan modernisasi tersebut, termasuk di era society 5.0 sebagaimana saat ini.

Adapun komponen dari kelembagaan pendidikan Islam yang mesti beririsan dengan kebutuhan kelembagaan modern yang dimaksud di sini: satu, dasar dan tujuan. Dasar adalah fondasi dan sumber di mana digalinya nilai-nilai pendidikan yang memuat nilai-nilai universal, sementara tujuan adalah apapun yang ingin dicapai dari kerja-kerja kelembagaan pendidikan. Kedua, masukan (input), yaitu peserta didik yang akan menjalani proses pendidikan, yang kelak akan menjadi tamatan (output). Ketiga, pendidik dan tenaga kependidikan, kurikulum pendidikan, administrasi pendidikan, prasarana dan sarana pendidikan, anggaran pendidikan, dan seterusnya, yang merupakan masukan instrumental (instrumental input) dan/ atau merupakan sumber daya pendidikan. Keempat, manusia (orang tua dan masyarakat), kondisi alam, ekonomi, sosial, politik, budaya, agama dan lain sebagainya, yang baik langsung atau tidak langsung ikut mempengaruhi proses dan hasil dari pendidikan.[5] Rasionalisasinya bisa dilihat pada gambar 1 di bawah ini:


Gambar 1. Kelembagaan Pendidikan Islam Sebagai Sistem yang Modern di Era Society 5.0

Berdasarkan gambar 1 di atas, maka bisa dijelaskan tentang support system kelembagaan pendidikan Islam untuk kebutuhan modernisasi sebagai berikut:

1.     Rumusan tujuan pendidikan Islam, yang digali dari fondasi dan sumber dasar ajaran agama Islam yaitu Al-Qur’an, Hadits, ijtihad, urf, dan seterusnya mestilah berdamai dengan modernisasi. Secara garis besar, tujuan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tujuan akhir dan tujuan sementara. Tujuan akhir atau tujuan tertinggi kelembagaan pendidikan Islam sifatnya abstrak, idealis dan filosofis yaitu untuk mewujudkan manusia seutuhnya yang menghamba kepada Allah Swt (abdullah), dan di sisi lain mencetak profil khalifah di muka bumi (khalifah fi al-ard). Sementara tujuan sementara dari kelembagaan pendidikan Islam sifatnya empiris, realistik, dan pragmatik, yaitu beririsan dengan kebutuhan modernisasi sebagai tren zaman. Sehingga profil peserta didik yang menjadi keluaran dari lembaga pendidikan Islam, harusnya memiliki kapasitas pengetahuan (kognitif), nilai-nilai dan sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik) yang relevan dengan kebutuhan modernisasi di era society 5.0.

2.     Masukan (input peserta didik), yaitu individu-individu yang memiliki potensi dasar (fithrah) yang kemudian dikembangkan melalui proses yang dinamakan pendidikan. Masukan berupa peserta didik ini akan bertemu dengan pengalaman belajar di lembaga pendidikan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan modernisasi di era society 5.0.

3.     Proses (transformasi) kelembagaan pendidikan Islam, yang meliputi kerja-kerja memindahkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), memindahkan nilai-nilai (transfer of values) dan/atau internalisasi nilai-nilai (internalization of values) untuk menghasilkan keluaran (output) yang sejalan dengan kebutuhan modernisasi. Keseluruhan proses atau kerja-kerja dari komponen-komponen di lembaga pendidikan Islam selayaknya bisa berorientasi pencapaian tujuan (goal-attainment) yang modern. Selanjutnya proses tersebut akan terlaksana dengan baik, efisien, dan efektif manakala diberi support dari dua komponen lain yang juga penting dan saling berhubungan, yaitu: satu, instrumental input berupa pendidik dan tenaga kependidikan yang modern, kurikulum yang modern, prasarana dan sarana yang modern, serta anggaran yang mencukupi. Dua, environmental input, yaitu lingkungan yang mencakup apapun yang mempengaruhi eksistensi kelembagaan pendidikan Islam, apakah orang tua/ wali, masyarakat di sekitar lembaga pendidikan Islam berdiri yang dilihat dari kondisi sosial, ekonomi, politik dan budayanya yang bisa menerima modernisasi di era society 5.0.

4.     Keluaran (output) yaitu tamatan, yang diharapkan menjadi profil muslim yang modern, yang diharapkan sejalan dengan tujuan kelembagaan pendidikan Islam di era society 5.0.***



[1] A. Jamin, “Pendidikan Islam Sebagai Sebuah Sistem: Transformasi Input Menuju Output yang Berkarakter”, Jurnal Islamika, Volume 15 , Nomor 2 (2015), p. 173-186.

[2] Suriadi, “Analisis Filosofis Tentang Pendidikan Islam Sebagai Suatu Sistem”, Ta’dib: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Nomor 2 (2011), 299-307.

[3] U. Tirtarahardja dan L. Sula, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), p. 58.

[4] Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), p. 26. Tatang Saripudin, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008), p. 84.

[5] U. Tirtarahardja dan L. Sula, Pengantar Pendidikan, p. 181.

Guru Agama Islam: Persyaratan, Ketentuan, dan Peran yang Ditagih darinya

Oleh: Syamsul Kurniawan

GURU adalah profil yang mengabdi pada dunia pendidikan. Hal ini pun harus disadari oleh seorang guru agama Islam. Namun tidak sembarang, bisa menjadi guru agama Islam. Untuk menjadi guru agama Islam, terdapat berbagai syarat yang telah ditetapkan. Beberapa persyaratan tersebut sebagai berikut: Satu, guru wajib memiliki kualifikasi akademik. Kualifikasi akademik dimaksud adalah seorang guru harus diperoleh melalui pendidikan tinggi (minimal S1 atau diploma 4). Dua, guru wajib memiliki kompetensi. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Adapun yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik, yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam; serta yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Tiga, guru wajib memiliki sertifikat pendidik. Keharusan guru memiliki sertifikat pendidik merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Empat, guru harus sehat jasmani dan Rohani. Faktor kesehatan secara fisik maupun kejiwaan/mental guru merupakan faktor penentu dalam melaksanakan proses pembelajaran; dan terakhir yang kelima, guru harus memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Beririsan dengan ini, Djohar menyebut bahwa seorang guru mestinya kompeten mengajar pada mata pelajaran yang diamanahkan kepadanya untuk diajarkan, professional dalam menjalankan kewajibannya, terampil dalam melaksanakan tugas kesehariannya, dan kompeten baik dari sisi professional, pedagogik, personal maupun sosial.(Djohar, 2006, hlm. 11–12) Guru agama Islam pun demikian. Tanpa memiliki kompetensi yang baik dalam soalan ini, tidak mungkin guru memiliki kinerja yang baik.(Sulthon, 2015, hlm. 129)

Kecuali persyaratan di atas, seorang guru agama Islam dalam menjalankan aktifitasnya mesti didasarkan pada ketulusan. Dengan ketulusan, seorang guru akan betul-betul peduli – tanpa rekayasa – sungguh-sungguh mendidik untuk membangun karakter dari siswa-siswanya. Dengan ketulusan pula, sebagai guru agama Islam ia tidak akan mengeluh terhadap keharusan menyiapkan dan berinovasi dalam hal strategi dan metode dalam rangka optimalisasi hasil pembelajaran siswa-siswanya pada mata pelajaran agama Islam.

Guru adalah “pendidik professional” dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan menengah.(Sulthon, 2015, hlm. 115–116) Guru adalah profil yang secara sadar membantu seorang individu untuk berkembang pengetahuan, pengalaman, dan sikapnya melalui proses yang disebut pendidikan. (Uno, 2007, hlm. 15)

Berdasarkan ini, guru mempunyai tanggung jawab menjadikan siswa-siswanya berpengetahuan/ berwawasan dan bermoral/berperilaku positif sejalan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Dalam konteks membekali siswa dengan pengetahuan dan pengalaman terhadap kebutuhan inilah, seorang guru selayaknya bisa bersikap tulus untuk mengayomi dan memperlakukan siswa-siswinya dengan baik dengan penuh kesabaran. Sebab banyak dari guru yang hanya memindahkan pengetahuannya kepada siswa-siswanya, sementara tidak begitu memperhatikan pentingnya menanamkan nilai-nilai dan membangun karakter. Betul bahwa salah satu tugas dari guru adalah mengajar, tetapi dalam proses pembelajaran tidak selayaknya hanya fokus pada kecerdasan kognitif siswa, melainkan juga penting memperhatikan sisi afektif dari siswa sehingga diharapkan siswa-siswa yang belajar bisa memiliki kepekaan budi dan hati nurani.(Sulthon, 2015, hlm. 117) Atau dengan kata lain, kecuali memiliki kecerdasan kognitif juga memiliki kecerdasan sosial. Guru agama Islam pun selayaknya demikian. Tekanannya tidak hanya pada upaya mencerdaskan siswa secara kognitif (yang berarti siswa tahu dan paham akan agama Islam yang ia pelajari) tetapi juga memiliki kecerdasan sosial (mampu mengamalkannya dalam ranah sosial-kemasyarakatan).

Peran Fungsional Guru Agama Islam yang Ditagih Darinya

Setelah memiliki persyaratan sebagai guru, sadar terhadap tugasnya sebagai guru, seorang guru agama Islam selayaknya mampu memerankan secara fungsional sekurang-kurangnya dua belas peran sebagai berikut: satu, sebagai manajer pendidikan atau pengorganisasian kurikulum; dua, sebagai fasilitator pendidikan; tiga, pelaksana pendidikan; empat, pembimbing dan supervisor; lima, penegak disiplin; enam, menjadi model perilaku yang akan ditiru siswa; tujuh, sebagai konselor; delapan, menjadi penilai; Sembilan, petugas tata usaha tentang administrasi kelas yang diajarnya; sepuluh, menjadi komunikator dengan orang tua siswa dan masyarakat; sebelas, sebagai pengajar untuk meningkatkan profesi secara berkelanjutan; dan dua belas, menjadi anggota dari organisasi profesi pendidikan. (Pidarta, 1997, hlm. 279)

Sebagai manajer pendidikan atau pengorganisir kurikulum, seorang guru agama Islam melakukan pengelolaan pembelajaran melalui penerapan kurikulum. Sebagai guru agama Islam tentu ia memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan materi pelajaran dan bertindak sejalan dengan keilmuannya, namun juga harus sesuai dengan pedoman kurikulum meskipun dituntut kemampuannya dalam mengembangkannya. Sebagai fasilitator pendidikan, seorang guru agama Islam akan melakukan perubahan-perubahan dalam pembelajaran yang dilakukan oleh siswa. Sebagai pelaksana pendidikan, guru agama Islam sama dengan guru-guru lainnya bertindak sebagai agen pelaksana pembelajaran, administrasi pembelajaran, dan mengevaluasi hasil belajar siswa sebagai wujud nyata keberhasilan pelaksanaan pembelajaran pada mata pelajaran agama Islam. Sebagai pembimbing atau supervisor, guru juga mesti bisa memberikan bimbingan dan pengawasan pada siswa sehingga perkembangan siswa bisa berkembang baik. Sebagai penegak disiplin, guru agama Islam perlu menegakkan disiplin dan bisa diteladani oleh siswa-siswinya dalam hal bersikap disiplin. Guru agama Islam juga selayaknya bisa menjadi model yang diteladani oleh siswa-siswinya. Sebagai konselor, guru agama Islam mesti juga mampu mengatasi masalah-masalah siswa terutama masalah-masalah yang menghambat optimalisasi hasil positif dalam pembelajaran agama Islam. Sebagai penilai, guru agama Islam dituntut mampu melakukan penilaian, terutama seberapa mampu siswa-siswinya menyerap pembelajaran yang ia berikan. Penilaian ini perlu dilakukan sebagai umpan-balik. Sebagai tata usaha, guru agama Islam maksudnya penting untuk mengadministrasikan semua bukti administratif pembelajaran, yang kemudian akan ia manfaatkan sebagai pelaporan pertanggung jawaban seputar tugas keguruan yang diamanahkan kepadanya. Sebagai komunikator dengan orang tua dan masyarakat, maksudnya bahwa guru agama Islam mesti bersedia memberikan informasi atas kemajuan dan keberhasilan selama pembelajaran dalam bentuk laporan hasil belajar yang ia sampaikan pada wali kelas, dan wali kelas membubuhkannya ke rapor yang diterima oleh orangtua/wali siswa. Hal ini juga sebagai bentuk tanggung jawab sekolah kepada masyarakat sebagai stakeholder. Guru agama Islam juga mesti berperan terhadap upaya peningkatan kualitas kompetensinya, sebab kualitas kompetensinya ini jelas baik langsung atau tidak langsung akan berdampak pada materi dan optimalisasi pembelajaran yang ia berikan. Terakhir, guru agama Islam sangat penting bergabung ke dalam organisasi profesi. Hal ini karena organisasi ini akan melindungi hak-haknya sebagai guru.   

Dalam pendidikan agama Islam, guru agama Islam juga menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan agama Islam. Sebab, tanpa guru agama Islam takkan ada pembelajaran agama Islam yang dapat berlangsung. Sebab itu, selayaknya persyaratan, ketentuan dan peranan di atas bisa jadi bahan perhatian, khususnya oleh calon-calon guru agama Islam dan/atau mereka yang saat ini telah berprofesi sebagai guru agama Islam.***  

Bahan Bacaan

Djohar. (2006). Guru, Pendidikan dan Pembinaannya: Penerapannya dalam Pendidikan dan Undang-Undang Guru. Yogyakarta: Gravika Indah.

Pidarta, M. (1997). Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sulthon. (2015). Konsep Guru yang Menginspirasi dan Demokratif. Elementary, 3(1), 115–134.

Uno, H. B. (2007). Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia (Cet. 1). Jakarta: Bumi Aksara.

Sunday, March 10, 2024

Pentingnya Menumbuhkan Budaya Literasi: Belajar Dari Gie

Oleh: Syamsul Kurniawan

BUDAYA literasi perlu dikembangkan sejak dini. Kebiasaan membaca dan menulis sejak dini akan memberikan pengaruh yang besar terhadap seseorang, baik pada saat itu juga ataupun pada saat dewasa nantinya. Pengalaman Soe Hok Gie setidaknya bisa ikut membenarkan. Soe Hok Gie. Gie yang dilahirkan pada 17 Desember 1942 adalah generasi muda tahun 60-an yang dikenal sebagai aktivis yang radikal dalam berbagai gerakannya. Sebagai sosok aktivis ketika mahasiswa, Gie sejak kecil amat suka membaca ataupun mengarang. Kebiasaan mengarang dari kecilpun sangat kelihatan ketika buku-buku hariannya di kemudian hari diterbitkan (Catatan Seorang Demonstran). 

Gie adalah adik dari Arief Budiman (lahir dengan nama Soe Hok Djin), doktor alumnus Universitas Harvard AS, dan dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal sebagai seorang akademisi, sosiolog, pengamat politik dan ketatanegaraan yang kini bermukim di Australia. Kebiasaan membaca ataupun menulis berlangsung hingga SMP bahkan sampai kuliah. Kebiasaannya yang kutu buku tersebut tampaknya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sikapnya dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya, semakin besar ia semakin berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena dari seorang guru. Suatu ketika Gie pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Sang gurupun kemudian marah sehingga di dalam catatan hariannya yang kemudian menjadi buku tersebut, Gie menulis, “Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.” Sikap kritis Gie adalah buah dari bacaannya yang ternyata jauh lebih banyak daripada gurunya ketika itu. 

Belajar dari Gie, membaca buku dapat menjadikan seseorang merasa percaya diri. Ini terjadi karena kepalanya terasa seperti telah terisi oleh berbagai pengetahuan. Apalagi jika kita mampu menuangkan hasil bacaan dan pemahaman kita ke dalam sebuah tulisan. Bahwa budaya lokal kita adalah budaya lisan, bukan budaya tulis, tak bisa kita bantah. Hal itu membuat penyimpanan informasi, gagasan, dan pengetahuan hanya terjadi di dalam “ingatan”. Isi ingatan itulah yang ditransmisikan ke pihak lain yang belum mendapatkannya. Terkadang, kisah-kisah hikmah atau sumber informasi hanya dipegang oleh seorang yang mempunyai posisi khusus dalam masyarakat kita, yang berfungsi sebagai sumber kebenaran. Ignas Kleden menyebut budaya itu sebagai kelisanan primer (primary orality), di mana masyarakat kala itu belum mengenal baca-tulis. Namun, karena ingatan bersifat terbatas, tidak semua informasi yang dibutuhkan bisa ditransmisikan lisan secara sempurna. Budaya cetak baru memasuki Indonesia sekitar abad ke-20, saat tradisi lisan masyarakat kita masih berakar kuat. Jika dihitung usianya, kebiasaan baca-tulis yang, antara lain, ditandai oleh masuknya budaya cetak masih sangat muda. Budaya cetak telah mendorong kemampuan masyarakat untuk bersinggungan lebih luas dengan apa yang ada di luar kediriannya dan kedirian kolektifnya. Tentu saja itu akan sangat membantu untuk mendapatkan informasi dari luar yang bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki tatanan kehidupan. Itu sekaligus membuktikan betapa baca-tulis merupakan kendaraan menuju perbaikan peradaban. 

Sayangnya, meski sudah disadari sedemikian pentingnya budaya baca-tulis, toh tingkat kesadaran baca-tulis masyarakat kita masih rendah. Masyarakat kita lebih suka mendapatkan informasi dari media elektronik, terutama televisi. Kesimpulannya, masyarakat lebih suka mendapat informasi yang “dibacakan”, sehingga penonton hanya berlaku sebagai “pembaca pasif” yang dengan tenang mengunyah dengan renyah segala persepsi yang dikemukakan di televisi. Fenomena itu disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder (secondary orality). Budaya kelisanan sekunder tersebut menggambarkan bahwa kemampuan baca-tulis tidak terlalu dibutuhkan karena sumber informasi lebih bersifat audio-visual. 


BELUM MEMBUDAYA? 
Budaya baca-tulis belum membudaya, belum pernah benar-benar mendarah daging di Indonesia: bahkan di provinsi saya di Kalimantan Barat. Budaya lisan primer yang belum terkikis oleh hadirnya budaya baca-tulis kini telah tergantikan oleh gempuran budaya lisan baru lewat media elektronik, khususnya televisi. Budaya lisan baru itu mempunyai daya pikat lebih dan “mudah.” Masyarakat kita tampaknya lebih menyukai sajian-sajian sinetron ketimbang baca koran, majalah, atau buku. Apalagi tertarik untuk membiasakan diri untuk menulis. 

Padahal buku boleh kita sebut sebagai jendela ilmu pengetahuan. Dari buku kita mampu meyelam keribuan kilometer kedalaman laut. Mengarungi tujuh samudera dunia. Mengangkasa di semesta yang tak pernah terjangkau oleh nalar. Buku-buku layaknya sebuah surga yang menghadirkan begitu banyak celah-celah dunia yang bisa kita intip. Buku adalah sebuah jalan keabadian. Buku mengekalkan penulis hingga beribu tahun. Pada bukulah kita mampu melihat masa lalu. Melihat sejarah peradaban dan menjadi lebih bijak di masa depan. Ini untuk menegaskan bahwa budaya literasi menjadi satu-satunya jalan untuk mampu menjelajahi ruang dan waktu semesta. Satu-satunya jalan untuk bisa melihat sejarah masa lalu. namun, ketika budaya tak lagi dilestarikan sanggupkah manusia bisa mengintip lagi melalu celah-celah itu. Jangan sampai tradisi membaca dan menulis menjadi suatu hal yang sangat ekslusif, seperti yang sudah dipaparkan di atas, tergeser oleh media-media elektronik. 

Jangan sampai konsumsi membaca masyarakat kita tergantikan begitu saja oleh berbagai hiburan televisi. Karena kecenderungan memang sudah mengarah ke hal yang demikian. Durasi televisi on-air 24 jam menyita waktu masyarakat kita, sementara menurut penelitian, waktu membaca tiap rata-rata masyarakat kita sekarang hanya sekitar empat jam/minggu. Penumbuhan budaya literasi ini tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun juga, tanggung jawab bersama masyarakat. upaya sosialisasi secara serius dan kontinyu harus terus digalakkan dengan upaya dari berbagai pihak. Upaya pengenalan buku di usia kanak-kanak menjadi salah satu solusi. Selain itu lingkungan yang literate pun harus mampu memberi sugesti bagi anggotanya untuk membudayakan gerakan membaca. 

Menutup tulisan ini: Mari kita jadikan membaca seperti udara. Tak mampu bernapas tanpanya.***

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...