Oleh: Syamsul Kurniawan
Dari sisi kelembagaan, penting bagi lembaga pendidikan Islam bisa berdamai dengan tren modernisasi di era society 5.0. Bukan berarti, lembaga pendidikan Islam yang kerap dimaknai sebagai lembaga yang betanggung jawab terhadap upaya pengembangan potensi (fitrah) manusia, menuju terwujudnya manusia seutuhnya berdasarkan nilai-nilai luhur ajaran Islam, yaitu Al-Qur‘an dan Hadits,[1] lantas menjauhi modernisasi yang niscaya saat ini? Kecenderungan ini jelas memprihatinkan, mengingat mayoritas dari masyarakat di Indonesia memeluk Islam dan selayaknya lembaga-lembaga pendidikan Islam bisa maju serta berkembang lebih baik.
Di
tengah-tengah masyarakat yang terus berkembang, lembaga pendidikan Islam
bekerja dalam suatu sistem sosial. Sebab sistem sosial bertumbuh dan berkembang
secara dinamis hingga di era society 5.0, maka menjadi kemestian bagi kelembagaan
pendidikan Islam bisa turut menyesuaikannya. Jika saat ini sistem sosial
masyarakat polanya telah bergeser dari tradisional ke modern, mestinya dari
sisi kelembagaan pendidikan Islam pun demikian.[2] Harus dipahami, bahwa tren
modernisasi ibarat suatu “kereta besar” yang terus melaju mengiringi tren
perkembangan masyarakat menuju masa depannya. Maka siapapun yang tidak berada
di kereta tersebut, dan berdiri menghadangnya akan dilindas. pengibaratan ini
menunjukkan bahwa modernitas akan melindas apapun yang menghadangnya, dan
kelembagaan pendidikan (termasuk: lembaga pendidikan Islam) yang tidak berdamai
dengannya dipastikan akan ketinggalan zaman, dan perlahan-lahan akan
ditinggalkan oleh pengguna jasanya.
Telah
disinggung di atas, bagaimana tiga faktor yang menjadi alasan terjadinya
pergeseran kelembagaan pendidikan Islam, dari sisi tradisional ke modern,
yaitu: immanent change, selective contact change, dan directed
contact. Ketiga faktor ini akan merubah sistem kelembagaan pendidikan
Islam, yang berstruktur, meliputi komponen-komponen yang saling memberi
pengaruh, yang fungsional masing-masing komponennya, dan secara bersama-sama
juga fungsional terhadap kebutuhan sistem.[3] Untuk mewujudkannya jelas
kita membutuhkan support system.
Kata
“sistem” yang dimaksudkan di sini, berasal dari Bahasa Yunani yaitu “systema”,
yang berarti cara atau strategi. Kata ini, yang dalam Bahasa Inggris “system”,
bisa diartikan susunan, jaringan atau cara. Dengan kata lain, sistem modern
bisa saja mengarah pada susunan, jaringan atau cara-cara yang modern. Maka
definisi sistem seyogyanya mengarah pada susunan atau bagian yang saling
beririsan satu dengan yang lain secara teratur antar komponennya secara
keseluruhan, baik secara struktur atau fungsi.[4] Jika yang dimaksudkan di
sini adalah modernisasi kelembagaan pendidikan Islam, maka sistem kelembagaan
pendidikan Islam baik secara struktural maupun fungsinya akan sejalan dengan
kebutuhan modernisasi tersebut, termasuk di era society 5.0 sebagaimana saat
ini.
Adapun komponen dari kelembagaan pendidikan Islam yang mesti beririsan dengan kebutuhan kelembagaan modern yang dimaksud di sini: satu, dasar dan tujuan. Dasar adalah fondasi dan sumber di mana digalinya nilai-nilai pendidikan yang memuat nilai-nilai universal, sementara tujuan adalah apapun yang ingin dicapai dari kerja-kerja kelembagaan pendidikan. Kedua, masukan (input), yaitu peserta didik yang akan menjalani proses pendidikan, yang kelak akan menjadi tamatan (output). Ketiga, pendidik dan tenaga kependidikan, kurikulum pendidikan, administrasi pendidikan, prasarana dan sarana pendidikan, anggaran pendidikan, dan seterusnya, yang merupakan masukan instrumental (instrumental input) dan/ atau merupakan sumber daya pendidikan. Keempat, manusia (orang tua dan masyarakat), kondisi alam, ekonomi, sosial, politik, budaya, agama dan lain sebagainya, yang baik langsung atau tidak langsung ikut mempengaruhi proses dan hasil dari pendidikan.[5] Rasionalisasinya bisa dilihat pada gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1. Kelembagaan Pendidikan Islam Sebagai Sistem yang Modern di Era Society 5.0
Berdasarkan
gambar 1 di atas, maka bisa dijelaskan tentang support system
kelembagaan pendidikan Islam untuk kebutuhan modernisasi sebagai berikut:
1. Rumusan
tujuan pendidikan Islam, yang digali dari fondasi dan sumber dasar ajaran agama
Islam yaitu Al-Qur’an, Hadits, ijtihad, urf, dan seterusnya mestilah
berdamai dengan modernisasi. Secara garis besar, tujuan ini bisa
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tujuan akhir dan tujuan sementara. Tujuan
akhir atau tujuan tertinggi kelembagaan pendidikan Islam sifatnya abstrak,
idealis dan filosofis yaitu untuk mewujudkan manusia seutuhnya yang menghamba
kepada Allah Swt (abdullah), dan di sisi lain mencetak profil khalifah
di muka bumi (khalifah fi al-ard). Sementara tujuan sementara dari
kelembagaan pendidikan Islam sifatnya empiris, realistik, dan pragmatik, yaitu
beririsan dengan kebutuhan modernisasi sebagai tren zaman. Sehingga profil
peserta didik yang menjadi keluaran dari lembaga pendidikan Islam, harusnya
memiliki kapasitas pengetahuan (kognitif), nilai-nilai dan sikap (afektif), dan
keterampilan (psikomotorik) yang relevan dengan kebutuhan modernisasi di era
society 5.0.
2. Masukan
(input peserta didik), yaitu individu-individu yang memiliki potensi dasar (fithrah)
yang kemudian dikembangkan melalui proses yang dinamakan pendidikan. Masukan
berupa peserta didik ini akan bertemu dengan pengalaman belajar di lembaga
pendidikan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan modernisasi di era society
5.0.
3. Proses
(transformasi) kelembagaan pendidikan Islam, yang meliputi kerja-kerja
memindahkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), memindahkan
nilai-nilai (transfer of values) dan/atau internalisasi nilai-nilai (internalization
of values) untuk menghasilkan keluaran (output) yang sejalan dengan
kebutuhan modernisasi. Keseluruhan proses atau kerja-kerja dari
komponen-komponen di lembaga pendidikan Islam selayaknya bisa berorientasi
pencapaian tujuan (goal-attainment) yang modern. Selanjutnya proses
tersebut akan terlaksana dengan baik, efisien, dan efektif manakala diberi
support dari dua komponen lain yang juga penting dan saling berhubungan, yaitu:
satu, instrumental input berupa pendidik dan tenaga kependidikan yang modern,
kurikulum yang modern, prasarana dan sarana yang modern, serta anggaran yang
mencukupi. Dua, environmental input, yaitu lingkungan yang mencakup apapun yang
mempengaruhi eksistensi kelembagaan pendidikan Islam, apakah orang tua/ wali,
masyarakat di sekitar lembaga pendidikan Islam berdiri yang dilihat dari
kondisi sosial, ekonomi, politik dan budayanya yang bisa menerima modernisasi di
era society 5.0.
4. Keluaran
(output) yaitu tamatan, yang diharapkan menjadi profil muslim yang modern, yang
diharapkan sejalan dengan tujuan kelembagaan pendidikan Islam di era society
5.0.***
[1] A. Jamin,
“Pendidikan Islam Sebagai Sebuah Sistem: Transformasi Input Menuju Output yang
Berkarakter”, Jurnal Islamika, Volume 15 , Nomor 2 (2015), p. 173-186.
[2] Suriadi,
“Analisis Filosofis Tentang Pendidikan Islam Sebagai Suatu Sistem”, Ta’dib:
Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Nomor 2 (2011), 299-307.
[3] U.
Tirtarahardja dan L. Sula, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta,
1995), p. 58.
[4] Made Pidarta, Landasan
Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: Kalam
Mulia, 2002), p. 26. Tatang Saripudin, Pengantar Pendidikan (Jakarta:
Universitas Terbuka, 2008), p. 84.
[5] U.
Tirtarahardja dan L. Sula, Pengantar Pendidikan, p. 181.